Berikut cuplikan artikel terkait adanya pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/
Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî
Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;
1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Kemudian tulisan tersebut dilanjutkan dengan mengungkapkan fasa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Selengkapnya dapat dibaca pada
http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Berikut cuplikannya,
Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada metodologi Salaf.
Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.
Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :
“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.
Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.
Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)
Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah tidak menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.
Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.
Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?
Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia
Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.
Semoga bermanfaat.
Kasus seperti itu menimpa al Ghozali, sulaiman bin abdul wahab dan beberapa tokoh lainnya. Wallahu a’lam
terus brjuang, ustadz. Tetap brhati hati akan tipu daya kaum wahabi.
Di kampung saya yang lain lagi, seorang ust dituduh sesat, dipropokasi untuk dijauhi, lantaran ust tsb pernah masuk bui jaman orba.
Ust ini masih eksis dan istiqomah terus saja membina kholaqoh, semakin banyak santri nya, dan memang keimanan kuat dan mendasar, karena yang digali selalu Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Sementara ust yang memprofokasi santrinya semakin sedikit dan selalu saja ajarannya cuma melakukan ritual-ritual fadhilah saja dengan akidah yang lemah.
Akhirnya kegiatan jamaahnya rutin tiap tahun jiarah wali songo sampai ke Bali (kuta lihat bule-bule ?), tiap malam jum’at yasinan-ratiban, kalau ada yang meninggal tiap malam tahlilan sampai 7 hari lalu 40 hari dan seterusnya, dan banyak lagi puji-pujian yang dilantunkan setiap kesempatan.
Masjid dan lingkungan memang jadi meriah (speaker bunyi terus).
Baguskan ?
Gak usah ribut dengan perbedaan, insy semua juga benar.
Jalankan saja apa yang diyakini, dengan syarat terus belajar mencari ilmu.
Ilmu kan tidak ada ujungnya.
Moh Nadjib->kenapa komentar antum tidak sesuai dengan isi artikel? Tapi mudah-mudahan komentar antum dijawab oleh ustadz Zon dengan objektif.
Silahkan dibaca di http://www.muhammadiyyah.or.id ttg “Wahhabi” atau “Muwahhid” Strategi Dakwah dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Dunia
dan http://www.persis.or.id bagian Fiqh (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah (I): disampaikan mengenai akidah menurut al ibanah). Mudah2an kita bisa lebih objektif dan lebih jernih lagi dalam menilai saudara kita
Mas Heri Sopari, ulama-ulama yang tergabung dalam Persis dan Muhammadiyyah adalah ulama-ulama yang tidak bermazhab pada Imam Mazhab yang empat
Mereka lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan ditanyakan seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan
Buya Hamka boleh jadi akan kecewa melihat keadaan saudara-saudara kita yang tergabung dalam ormas Muhammadiyyah.
Pada masa Buya Hamka, keanehan Wahabi tak begitu terasa atau lebih tepatnya, pada saat itu belum terasa perbedaan antara Salafi-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dengan Salafi-nya Wahabi.
Dari sejarah kita mengetahui, bahwa ide-ide awal Salafi dilahirkan oleh Ulama Ibnu Taimiyyah.
Melihat bahwa banyak negeri Muslim yang dijajah Eropa, beliau menarik kesimpulan bahwa hal tersebut akibat ijtihad telah mati dan umat Islam tenggelam dalam kejumudan. Salah satu penyebab kejumudan adalah akibat tradisi Sufi yang melahirkan banyak bid’ah.
Lalu oleh pengikut Salafi berikutnya digeneralisasikan bahwa Sufi adalah sesat; gerakan pembaharuan yang mulanya untuk memerangi syirik, khurafat dan tahyul kemudian malah melahirkan mazhab baru karena melahirkan fatwa-fatwa fiqh di luar mazhab-mazhab yang telah lebih dulu mapan di masyakat Muslim.
Salafi Al Afghani dan Salafi Wahabi adalah saudara kandung, sehingga di antara mereka banyak kemiripan. Perbedaan besar mereka terutama dalam hal berorganisasi.
Salafi Al Afghani menerima bentuk organisasi modern yang merupakan produk Barat. Ikhwanul Muslimin, PKS, dan Muhammadiyah, Hasan Al Banna, Yusuf Qardhawi, dan KH Ahmad Dahlan bisa menerima bentuk negara republik, bisa menerima demokrasi, berpartai, dll. Sedangkan Salafi Wahaby, Hizbut Tahrir, dll tidak dapat menerima bentuk lain selain khilafah atau negara Islam.
Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Azhari pendiri NU memiliki guru yang sama dengan RA Kartini di Indonesia, yaitu KH Sholeh Darat.
Di Saudi, mereka juga memiliki guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi – ulama kelahiran Padang yang di masa itu dapat menduduki posisi Imam di Mekah karena ketinggian ilmunya (tidak harus Wahaby Arab seperti saat ini).
Syekh Ahmad Khatib adalah ulama bermazhab Syafi’i, tetapi beliau sendiri yang menyarankan murid-muridnya untuk mengikuti gerakan Salafi Al Afghani yang saat itu dimotori oleh murid Al Afghani, Rasyid Ridha, dan muridnya Muhammad Abduh. Jadi kita bisa menyimpulkan, bahwa perbedaan di antara ulama-ulama mazhab dan Salafi saat itu tidak terlalu berbeda jauh.
Ketika kembali ke tanah air, KH Ahmad Dahlan dan Hasyim Azhari sama-sama melakukan pembaharuan di bidang pendidikan (bukan bidang politik).
KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah di mana metodologinya meniru pendidikan Barat yang memiliki jenjang (berkelas-kelas).
Di sekolah-sekolah itu, ia tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga ilmu-ilmu modern (baca: Barat).
Sedangkan Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tetap mempertahankan metodologi pengajaran pesantren. Tetapi selain ilmu-ilmu agama, di pesantren tersebut juga diajarkan ilmu-ilmu modern. Pesantren beliau dinamakan Pesantren Modern Tebu Ireng.
Hanya itulah perbedaan mereka, perbedaan yang sangat kecil. Keduanya tetap bermazhab Syafi’i, sesuai dengan mazhab guru mereka, Syekh Ahmad Khatib.
KH Ahmad Dahlan membaca qunut dalam shalat Subuh dan Tharawih 23 rakaat.
Maka wajar bila Buya Hamka yang hidupnya lebih dekat ke masa hidupnya Ahmad Dahlan tidak melihat perbedaan signifikan antara Islam umum dengan Salafi, antara Salafi Al Afghani dengan Salafi Wahabi.
Kalau Buya Hamka hidup di masa kini, kemungkinan besar akan berkata lain karena Hamka juga berzikir dengan tasbih, suatu perbuatan yang dianggap bid’ah oleh Salafy Wahaby kontemporer.
Buya Hamka pun menjalankan tasawuf dan menuliskan kitab berjudul “Tasawuf Modern”
Buya Hamka sendiri pernah berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” , selengkapnya dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/28/hampa/
Kalau memang mengaku bermazhab Syafi’i, maka harus konsisten dan memegang teguh semua fatwanya, kalau ga salah beliau tdk pernah tahlilah atau maulid. Kalau meninggalkan sebagian fatwanya dan menjalankan sebagiannya, berarti sama saja tdk bermadzhab bukan…???
Apakah beliau penganut tsawuf, dan menyatakan ikut tasawuf….??? kalau perilaku/akhlak seperti zuhud, waro, tdkn cinta dunia, itu adalah ajaran Islam, dan tdk hanya penganut tasawuf yg mengamalkan itu.
Ya betul Ijtihad itu tidak tertutup sampai hari kiamat, oleh karena itu kita harus belajar terus, jangan merasa puas dg apa yg diperoleh sekarang. Coba pelajari pemahaman yg lainnya , siapa tahu disana banyak kebenaran.
Ahli hadits itu Imam Ahmad, Imam Bukahari, Imam Muslim, dll, kemungkinan ada hadits shahih yg tidak terpakai/ bertentangan dg Ijtihad Imam Syafi’i itu tetap ada. Beliau berijtihad, jika salah tetap dapat pahala. Apakah setelah beliau tdk ada lagi ulama yg mampu berijtihad…???? pasti banyak termasuk saat ini, qurais shihab sbg ahli tafsir, ulama salafy, ulama IKhwanul Muslimin, dan mungkin ulama2 NU, Muhammadiyyah, Persis juga. jadi artinya apa…?? masing2 berijtihad tentunya merekapun sudah memenuhi syarat Ijtihad apalagi Arab Saudi banyak DR. dibidang Hadits (Seperti Syaikh Fauzan, dll), Muhammdiyyah dg majlis tarjihnya banyak juga Professornya. nah pada level ini Ijtihad masing2 adalah hasil usaha mereka dalam menentukan hukum (fikih/tauhid/dll), bisa jadi sama dg salah satu Imam Madzhab, Bisa jadi tidak disatu sisi. Karena yg mereka pegang adalah AL Qur’an dan As-Sunnah (hadits), adapun pendapat madzhab bisa dijadikan referensi/pertimbangan. jadi menurut hemat saya, ini adalah bukti bahwa akal ini harus digunakan untuk berfikir, jangan hanya ikut2an saja, sebagaimana kebanyakan umat islam di Indonesia…, sehingga akhirnya mereka sangat rapuh ilmunya dan tidak mau mempelajari lebih dalam lagi, karena sudah merasa cukup dg ikut ulama yg ada didekatnya, tanpa crosscek ulang. Sehingga kalau begini ya umat islam akan tetap terpuruk, kurangnya intelektual muslim.
Mas Hery, sudah kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/02/potongan-perkataan-ulama/