Kami telah sampaikan tentang bagaimana yang dimaksud dengan mengikuti Rasululullah dan Salafush Sholeh dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/10/ulama-yang-sholeh/ dan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/pengikut-salafush-sholeh-sebenarnya/
Kesempatan kali ini kami sampaikan tulisan habib Hasan Husen Assagaf mengenai perilaku ulama dahulu.
Sumber tulisan : http://www.rabithah-alawiyah.org/id/?p=79
Perilaku Ulama Dahulu
Daripada mikirin dunia melulu, mari sebentar kita alihkan pikiran kita ke tempo seabad yang lalu, ke satu masa, di mana masyarakat dan ulama masih baik-baik perilakunya dan bersih jalan pikiranya. Perilaku baik itu dalam bahasa Arab disebut suluk atau sirah. Yaitu hal baik yang tidak hanya menyangkut tindakan atau perbuatan, tetapi juga baik dalam hal pikiran dan perasaan. Orang yang alam pikir dan rasanya baik akan melahirkan perilaku atau suluk yang baik. Sebaliknya orang yang perilakunya atau suluknya buruk, timbul dari alam pikir dan rasa yang rusak. Sudah pasti alam pikir dan rasa yang rusak inilah yang mendorong perilaku atau suluk menjadi jahat seperti merusak di muka bumi, menipu, mencuri, korupsi, mencaci-maki, memfitnah, dst.
Perilaku atau suluk yang mulia dalam tindakan, perbuatan dan perasaan itu menjadi motif mufti besar pertama di Indonesia, Habib Ustman bin Yahya seabad yang lalu atau lebih, yang hidupnya penuh disegani oleh semua lapisan masyarakat. Bukan dari masyarakat Muslim saja, bahkan non Muslim juga sangat menyeganinya. Beliau dikategorikan sebagai ulama dahulu yang berdakwah penuh dengan perasaan, penuh dengan ilmu dan perilaku baik dalam tindakan dan perbuatan, menghormati sesama, tidak berlebih-lebihan atau ikut-ikutan.
Cita-cita mufti besar Habib Ustman bin Yahya adalah ingin mengangkat derajat dan martabat manusia Muslim Indoneisa menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesamanya, terhormat dalam perbuatan, tindakan, serta pikiran dan perasaannya. Orang yang terhormat itu adalah orang yang tidak tercela perbuatannya. Ia adalah orang pintar dan terpelajar, berani dan jujur serta cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama mufti besar Habib Ustman bin Yahya yang ingin membebaskan Muslimin Indonesia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dan mengangkat mereka menjadi manusia terhormat, terpelajar, berakhlak dan bersuluk baik.
Adapun ulama yang terhimpun dalam wadah Habib Ustman bin Yahya, mereka pintar-pintar, terpelajar, dan digembleng di madrasah Rasulullah SAW. puluhan tahun. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama secara menyeluruh. Di antara tokoh-tokoh itu adalah Habib Ali Al Habsyi (Kwitang), penerus ajaran dan cita-cita Habib Ustman bin Yahya. Ribuan umat Islam datang ke majlis Habib Ali semasa hidupnya hanya sekedar mendengar nasihat, wejangan dan diakhiri dengan pembacaan kalimat tauhid. Tidak pernah kita mendengar di majlis itu caci-maki terhadap seseorang atau golongan, melaknat atau mengkufurkan seseorang atau golongan. Majlis penuh dengan ilmu dan nasihat, penuh dengan akhlak dan suluk yang baik, penuh dengan doa dan rahmat.
Dakwah semacam inilah yang telah diwasiatkan Rasulullah SAW. lima belas abad silam, yang datang membagi rahmat dan membawa perdamaian bagi alam semesta. Bukankah Rasulallah, setelah berhijrah ke Madinah pertama-tama yang dilakukannya, setelah mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajirin, adalah mengadakan perdamaian dengan tiga kelompok Yahudi yang berada di sana, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Beliau telah membuat hubungan baik dan menggelar perjanjian untuk hidup damai dan saling menghormati. Akan tetapi orang-orang Yahudi sendirilah yang mengkhianati dan merusak perjanjian tersebut.
Islam adalah agama yang membawa damai dan rahmat lil ‘alamin (bagi semesta alam). Islam diambil dari kata “salam” yang berarti damai, damai di dunia dan damai di akhirat. Damai yang dimaksudkan disini adalah berperilaku baik dan berbuat hormat kepada sesama manusia.
Contohnya, suatu saat Rasulullah sedang duduk di beranda rumahnya. Tiba-tiba ada orang-orang lewat mengusung keranda jenazah. Beliau pun berdiri karena rasa hormat terhadap jenazah tersebut. Namun salah seorang sahabat memberi tahu Nabi SAW., serta berkata “Wahai Rasulullah, itu adalah jenazah orang Yahudi?” Nabi menanggapi “Bukankah ia juga jiwa manusia” ( HR Imam Bukhari )
Islam mengajarkan damai dan berbuat baik bukan hanya terhadap manusia, akan tetapi sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah dalam hadist Nabi saw telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk neraka karena telah menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur masuk sorga karena telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?.
Rahmat Islam rupanya benar-benar lil ‘alamin (bagi semesta alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup, semua memperoleh rahmat Islam. Ibnu Abbas ra. meriwayatkan, ada seorang lelaki yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Rasulullah bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu.”
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah melihat seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau marah dan menegur orang tsb., “Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai)
Itulah kebesaran agama Islam. Itulah kehebatan agama kita. Rahmat semacam inilah yang pernah dirintis rastusan tahun yang lalu oleh ulama pendatang dahulu. Mereka datang tidak membawa pendang atau keris, belati atau penangkis, akan tetapi berkat ilmu yang luas serta akhlak dan perilaku (suluk) yang luhur, Islam menjadi agama terbesar di seluruh lapisan masyarakat Indoneisa.
Rasulullah tidak mengajarkan kita berdakwah dengan kekerasan, paksaan dan brutal. Akan tetapi beliau mengajarkan umatnya berdakwah dengan hikmah dan mauizhah hasanah, dengan akhlak dan suluk yang ramah. Ini kunci kesuksesan dakwah ulama kita masa lalu.
Wallahu’alam
Hasan Husen Assagaf
hmm..ty
bang Zon pelajaran apa yang kita petik dari pelacur yang masuk sorga karena memberi minum seekor anjing …..? mohon pencerahannya …..salam
Dari Abi Hurairah r.a. dari Rasulullah saw berabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari)
Pertanyaan mas Mamo serupa dengan pertanyaan Bung Karno kepada Al Mukaram Al Mujaddid Prof. DR. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin , silahkan baca tulisan pada
http://www.blogsief.co.cc/2010/06/dialog-bung-karno-dan-kadirun-yahya.html
Mas Mamo, sebelum pelacur itu wafat, dia menyadari kenistaannya dan dengan amal yang dilakukannya secara ikhlas mengantarkan dia ke surga. Menyadari kesalahan atau bertobat , seberapapun besarnya dosa jika Allah Azza wa Jalla menerima tobat mereka maka mereka kembali suci seperti baru terlahir.
Rasulullah Saw. bersabda “Sesungguhnya Allah akan menerima tobat seorang hamba, selama ruhnya belum tercabut” (HR Ibnu Majah dan Al-Tirmidzi)
Kisah pelacur ini serupa pula dengan kisah pembunuh 99 jiwa sebagaimana telah kami cuplikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/04/menghukum-yang-berdosa/
Inti sari hadits tentang amal seorang pelacur adalah keikhlasan. Rasa cinta atau kasih kepada seekor anjing tanpa mengharapkan kembali.
Begitulah kita seharusnya mencintai dan mengasihi tanpa mengharapkan kembali hanya karena Allah Azza wa Jalla . Sungguh hanya karena Ar-rahmaan dan Ar Rahiim Allah Azza wa Jalla maka kita dapat mencintai dan mengasihi yang lain. Ar-rahmaan dan Ar Rahiim Allah Azza wa Jalla tanpa mengharapkan kembali, karena Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan apapun dari ciptaanNya.
Pada zaman modern ini, dapat kita temukan muslim yang menjalankan sholat karena mereka tahu dan mampu bukan karena Allah Azza wa Jalla. Wallahu a’lam. Hal ini telah kami sampaikan bahwa
Jangan merasa senang, karena sudah beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Azza wa Jalla
Tetapi merasa senanglah, karena diberi kekuatan oleh Allah ta’ala, untuk beribadah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/hakikat-manusia/
Wassalam
Ulama dahulu yang berada 1 abad silam berarti kita berbicara di masa penjajahan,
Bagaimana hubungan mereka dengan penjajahan, apakah ada peristiwa2 yang menimbukan ketegangan, intimidasi dari pihak penjajah?
Maklumlah , penjajahan belanda bukan sekedar menjajah hasil bumi, tapi menyebarkan agama kristen dengan oritentalisnya,
Diwaktu itu gerakan wahabi juga ada pengaruhnya di Indonesia, apakah tidak terjadi gesekan sperti zaman sekarang?
Maaf , ya tanyanya banyak banget, 🙂
Kabar bang zon baik sekali? semoga slalu dinaungi hidayahNya 🙂 oya icon senyumnya apa ngak ada nih, untuk ungkapan ekspresi?
Wasalam slah satu sahabatmu dari forum MyQuran
Alhamdulillah, mengenai seputar ulama dahulu dan hubungan dengan penjajah, ada sedikit diulas dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/17/wali-sanga/
Masuknya seseorang ke dalam Surga adalah berkat Rahmatnya, bukan karena amal ibadahnya, sebesar apapun dosa tanpa adanya RahmatAllah tetap saja masuk Neraka.
Surga dan Neraka ada pada masing-masing diri, sekarang di dunia ini…bukan nanti..
Salam kenal Bang Zon…
Salam kenal kembali mas Yahya.
Apa yang mas sampaikan adalah “tauhid tingkat lanjut”
Tujuan beragama atau tujuan hidup adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Sejak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lahir sampai dewasa sebelum menerima wahyu , beliau telah dikenal berakhlak baik.
Manusia yang berakhlak baik dapat dikarenakan karena mereka menuruti mata hatinya (ain bashiroh).
Setiap manusia walaupun terlahir pada orang tua yang tidak beragama (non muslim) pada hakikatnya kedalam jiwanya telah diilhamkan pilihan yang haq dan bathil.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10)
Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan pilihan mereka di akhirat kelak.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 )
Walaupun Allah ta’ala menetapkan seorang manusia terlahir pada keluarga Yahudi , keluarga Nasrani maupun keluarga non muslim lainnya namun mereka tetap diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak atas pilihan mereka karena seluruh manusia jiwa/qalbu nya telah diilhamkan pilihan (jalan) kefasikan dan ketaqwaan atau pilihan yang haq dan bathil.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’ [21]:23)
Oleh karenanya dapat kita temukan seorang pendeta yang menguasai teologi Nasrani sampai pendidikan S3 namun akhirnya mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala sehingga sekarang telah beragama Islam dikarenakan dia mengikuti panggilan jiwanya yang tidak membenarkan bahwa manusia cukup dengan mempercayai Yesus akan mendapatkan keselamatan sebagaimana yang dijelaskannya dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=9MudvQLQWso
Bahkan seluruh manusia sebelum terlahir , ketika kita belum dapat ber-lisan atau ketika kita belum dapat menulis atau ketika jasmani belum disempurnakan telah bersaksi bahwa tuhan kita adalah Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Jadi jiwa kita atau ruhani kita sudah bersaksi ketika kita sebelum terlahir dari rahim ibu. Namun ketika kita (manusia) lahir maka kitapun suci, lupa, tidak tahu , ummi bahwa ruhani kita pernah bersaksi. Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.
Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah atau ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS Adh Dhuhaa [93]:7)
“seorang yang bingung” (QS Adh Dhuhaa [93]:7) yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.
Pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat meneladani manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga menjadi muslim yang berakhlakul karimah.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Syahadat adalah sebuah awal dari kesaksian secara lisan bahwa tiada tuhan selain Allah. Kemudian syahadat dibuktikan dengan menjalankan perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah. Selanjutnya seorang hamba Allah memperjalankan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala hingga menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh) sehingga mereka menjadi shiddiqin yakni membenarkan dan menyaksikan bahwa selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” sebagaimana yang dituturkan oleh Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
“Dirinya bukanlah Hamka tetapi “hampa” adalah ungkapan penyaksian Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِه
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Muslim yang dekat dengan Allah ta’ala maka berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para Shiddiqin dan Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah adalah kaum muslim yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Yang dimaksud “orang yang murtad dari agamanya” adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi. Murtad dikarenakan pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yang keras kepada kaum muslim bahkan membunuh kaum muslim dan membiarkan para penyembah berhala atau membiarkan kaum Zionis Yahudi bahkan berteman dengan mereka adalah mereka keluar dari Islam atau murtad
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1762)