Perlunya kriteria Hisab Rukyat Indonesia sebagai alat pemersatu
Permasalahan penentuan awal bulan qomariyah di Indonesia yang utama adalah terletak pada perbedaan definisi “melihat / menyaksikan hilal” antara menggunakan hisab hakiki wujudul hilal atau rukyat bil ilmi/bi qalbi dengan rukyatul hilal bil fi’li /bil ain atau hisab sebagai alat bantu rukyat
Berikut landasan bahwa penentuan awal bulan harus dengan melihat / menyaksikan hilal
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS Al Baqarah [2]:189 )
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS Yaasin [36]:39)
“Sebagai bentuk tandan yang tua” maksudnya: bulan-bulan itu pada awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. ” (QS Yaasin [36]:40)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak (penuh dengan hikmah). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”. ( QS Yunus [10]:5 )
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” (QS Ar Rahmaan [55]:5 )
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (QS At Taubah [9] : 36)
“Empat bulan haram” maksudnya: Bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram. Bulan haram adalah bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah”. (QS At Taubah [9] : 37 )
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari 1776)
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=15&ayatno=19&action=display&option=com_bukhari
Dalam penentuan 1 Syawal (bulan baru) kaum Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki wujudul hilal , kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu.
NAHDLATUL Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fi’li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.
Dalil shahihnya adalah “melihat/menyaksikan hilal”
Boleh “melihat/menyaksikan hilal” dengan hisab (perhitungan/ilmu) atau rukyat bil ilmi (menyaksikan dengan ilmu) / bi qalbi (menyaksikan dengan keyakinan),
Boleh “melihat/menyaksikan hilal” dengan rukyatul hilal bil fi’li /bil ain (menyaksikan dengan mata) atau hisab sebagai alat bantu rukyat (imkanur rukyat)
Permasalahannya adalah visibilitas hilal atau keadaan bagaimana yang dikatakan terlihatnya hilal, inilah yang disebut kriteria visibilitas hilal baik dengan Hisab maupun rukyatul hilal bil fi’li
Masalahnya terjadi kaum Muhammadiyah asal tinggi hilal positif sudah dikatakan “terlihat hilal”
Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat, walaupun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik.
Namun menurut ahli Astronomis kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam belumlah cukup, karena ada satu parameter lagi yang dapat mempengaruhi “terlihatnya hilal” yakni beda azimut Bulan-Matahari.
Berikut pendapat T. Djamaluddin, peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung, anggota Badan Hisab dan Rukyat tentang penggunaan “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai pemersatu definisi hilal sebagai penentu awal bulan. Sumber: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Djamal/redefinisi.html
*****awal kutipan*****
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi’ili, bil ain, bil ‘ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat.
Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi’li/bil ‘ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kaum yang menggunakan hisab hakiki wujudul hilal atau pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul hilal internasional. Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam membuat “Kriteria Hisab Rukyat Indonesia”.
Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB, Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia.
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN (Djamaluddin, 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137-136) terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria “hilal” yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, umur hilal minimum 8 jam.
Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah dimasyarakatkan untuk difahami bersama. Untuk tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS yang baru.
Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan “hilal” semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun).
Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fikih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Iduladha yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip ukhuwah islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini.
*****akhir kutipan*****
Hal yang perlu kita ingat adalah jangan menyelisihi pendapat as-sawaad al-a’zhom atau pendapat jumhur ulama (ahli ilmu) karena hal tersebut mengingkari Sunnah Rasulullah
Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تختلفوا فتختلف قلوبكم، إذا رأيتم خلافاً فعليكم بالسواد الأعظم ومن شذ شذا فى النار.. لا تجتمع أمتى على ضلالة.. ما راءه المسلمون حسن فهو عند الله حسن
“Janganlah kalian berpecah belah hingga berpecah belah hati kalian, apabila kalian melihat perpecahan maka hendaknya kalian bersama yang mayoritas… dan siapa yang menyendiri maka akan menyendiri di neraka… tidak akan berkumpul umatku dalam kesesatan… apa-apa yang dipandang kaum muslimin baik maka baik pulalah di sisi Allah.”
Wasalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
MENYOAL KRITERIA “IMKANUR RU’YAH” SEBAGAI PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Watansoppeng
Ummat Islam sering bersedih saat berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock , seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan, bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun nampak sama-sama cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu kadang ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”.
Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam.
Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada angin segar bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama Pusat di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah dirumuskannya gagasan kesepakatan tersebut dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi :
2). Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
3) Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
Dari butir-butir tersebut diatas disimpulkan, yang menjadikan ketidak sepakatan lagi-lagi adalah criteria ketinggian hilal sebagai dasar penentuan awal bulan yang biasa disebut “imkanur rukyat”.
Problem Pemahaman Hadis
Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi tekstual”. Kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) hadits, karena itu hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya yang dalam bahasa ilmu musthalah hadits diistilahkan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “asbaabul wurud”nya.
Paradigma Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran methodology hukum Islam, lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang melingkupinya.
Selain argumen pemikiran tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan Al-Quran surat Al-Qolam ayat ( )“wa maa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa”; Muhammad tidak mengatakan atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-mata wahyu Allah”.
Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits tentang ru’yat adalah shahih, Imam Bukhari dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat 3 buah hadist dari Sahabat Abdullah bin Umar 2 hadits dan dari Abu Hurairah 1 buah hadits, Imam Muslim dalam Shahehnya juga meriwayatkan haits yang sama, sedangkan dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas R.A. dan hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam, boleh dikatakan semua ummat Islam yang terpelajar mengatahui hadits “shuumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatih.. (al-hadits)”, karena hadits ini senantiasa diceramahkan dimasjid-masjid saat menyambut bulan ramadlan tiba.
Perintah berpuasa ramadlan sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah 183 dan 185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa selama bulan ramadlan dari tanggal 1 sampai berakhir yaitu tanggal 29 atau boleh jadi sampai tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah kapankan tanggal 1 Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ?
Menentukan pergantian bulan qomariyah adalah domain “ilmu pengetahuan” bukan domain “kerasulan”. Penetuan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya sama dengan menentukan tanggal 1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan lainnya, tidak ada bedanya. Manusia tidak memerlukan wahyu untuk itu, karenanya tidak diperlukan dalil agama baik Al-Qur-an atau Hadits. Adanya hadits-hadits ”Shuumu liru’yatihi waafthiruu liru’yatihi….”, tidak harus dipedomani dalam menetukan tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal dengan alasan bahwa hadits tersebut merupakan reaksi basyariyah (sisi kemanusiaan) nabi terhadap laporan sahabat kepadanya bahwa ia telah melihat hilal, kemudian beliau member petunjuk (irsyaad), yang kalau kita terjemahkan secara bebas “kalau anda sudah dapat melihat hilal, berarti bulan Sya’ban sudah habis, sekarang sudah masuk tanggal 1 Ramadlan, maka berpuasalah, nanti juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal berarti habislah bulan Ramadlan dan masuk tanggal 1 Syawwal, maka berbukalah.
Hadits “shuumuu liru’yatih..” tersebut, tidak tepat jika secara tekstual, sehingga melahirkan pemahaman “puasa ramadlan harus dilakukan kalau sudah melihat hilal”, tetapi kita perlu memahami konteksnya. Contohnya adalah hadist : idzaa baala ahadukum fa laa yastiqbil al-qiblah wa laa yudbiru ‘anha, walaakin syarriquuhu au gharribuuhu” : “Jika kalian buang air, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, tetapi menghadaplah kalian ke barat atau ketimur”. Perintah menghadaplah “kebarat atau ke timur”, tidak tepat kalau kita pahami secara tekstual, sebab bagi orang-orang Indonesia bisa berarti justru menghadap kearah kiblat. Konteks hadits itu karena Rasulullah saat itu berada di Madinah, kiblat berada diselatan kota Madinah, sehingga nabi perintahkan supaya menghadap ke barat atau timur agar tidak menghadap kiblat.
Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab
Jauh sebelum nabi Muhammad diutus, masyarakat arab tentunya sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar system) yang jumlahnya 12 itu. Masyarakat arab adalah masyarakat yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya misalnya Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum masehi mereka sudah jauh lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia dan Rumawi adalah Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab.
Masyarakat arab dimasa Rasulullah benar-benar sederhana (ummiy), mereka belum menemukan teknologi apapun, “roda” saja mereka belum mengenal, padahal roda itu suatu penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan roda system transformasi manusia lebih efektif dan effesien, sehingga alat tranformasi masyarakat arab satu-satuinya adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar tidak mengenal gerobak, pedati/dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an, sehingga Al-Quranpun menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Pola hidup mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya senantiasa ditanyakan kepada nabi, sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat didahului dengan kata-kata “Yas aluunaka ‘anil ahillah, yasalunnaka ‘anil makhiid, yasaluunaka ‘anir ruuh, ya’alunaka ‘anil anfaal, dll ‘.
Disaat mereka bertanya tentang ketentuan puasa kapan mulai dan kapan mereka dapat berbuka, Allahpun menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqoroh ayat 187: “kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal fajar” artinya : “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dengan benang merah pada waktu fajar”. Untuk melaksanakan ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat menjelang tidurnya telah menyiapkan dua benang, berwarna hitam dan putih, saat dia bangun malam karena belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum ada televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain saat dia bangun tidur. Maka yang dia lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disediakan itu, mana yang hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia imsak. Itulah keadaan sahabat saat itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka.
Nabi sendiri tidak mengerti ilmu hisab, dan hal ini tidak menurunkan derajad nabi sebagai Rasulullah. Saat terjadi gerhana nabi tidak menyinggung sama sekali sebab-sebabnya menurut ilmu pengetahuan, nabi hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, kerjakan shalat, berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul, Nabi adalah ummiy masyarakatnya juga ummy yang tidak pandai menulis dan ilmu hitung (hadits Ibnu Abbas).
Kalau boleh mengandai-andai, seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat itu sudah ada yang tahu ilmu hisab, maka Nabi akan mempedomani hisab “Ijtima’” sebagai pedoman penetapan tanggal baru tiap bulan bukan lagi atas dasar melihat hilal.
Tanggalkan hadits itu, yang berhak menentukan pergantian bulan qomariyah baik 1 Ramadlan, 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya itu tugas ilmuwan, Nabi sendiri sudah pernah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”;
Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan
Berdosakah kita mengabaikan hadits-hadits shahih tentang “ru’yah” tersebut:
Kema’suman Rasulullah S.A.W. (Al-‘Ishmah) tidak dalam semua aspek perbuatannya, tetapi terbatas dalam hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata dan maknanyasekaligus, persis sebagaimana beliau menerimanya dari Allah dalam bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke dalam tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
•• •
Artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah 67);
Oleh karena itu ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam dataran Ar-Risalah atau fungsinya sebagai seorang rasul atau pembawa risalah, tidak dalam dataran dan kapasitas beliau sebagai manusia. Dalam masalah-masalah duniawi apalagi masalah teknis duniawi nabi tidak memiliki sifat “ishmah” atau nabi tidak makshum, contoh:
1. Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka mengawinkan bunga jantan dan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus, sehingga para petani mempertanyakan perintah Nabi tersebut, lalu Nabi bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
2. Hadits-hadits nabi tentang menyusun pertahanan dan siasat dalam peperangan, setelah mendapat koreksi dari sahabat, Nabipun mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan masuk akal;
3. Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memeutus terhadap 2 (dua) orang yang sedang bersengketa dihadapannya, nabi kemudian menyatakan “Innama ana basyarun mitslukum…. , dst; Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian… dst”
4. Hadits nabi,tentang peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah ( yang punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda “ Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya menyakitiku !”; Pernyataan nabi ini dalam perspektif ushul fiqih tidak dapat dijadi dasar hokum bahwa nabi tidak menyetujui poligami, karena sikap demikian adalah “Jibilliyah” sifat dari seorang manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap nabi sebagai Rasulullah, tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat anaknya dimadu.
5. Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga menangisi putranya bernama Ibrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah tidaklah harus diteladani pula.
6. Dan lan-lain hadits yang tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.
Implementasi Hadis Rukyah
Dalam hal-hal penting berkaitan dengan agama, nabi biasanya membentuk ekspidisi guna mengurus/menjalankan sesuatu, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah amat penting, karena menyangku ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib pada masa pemerintahannya menindak lanjuti perintah nabi tersebut. Juga tidak ada riwayat bahwa para sahabat berbondong-bondong mengintai hilal, Padahal para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga dan melaksanakan perintah Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka terhadap apa yang dimaksud Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan perintah itu. Meraka adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama Rasulullah meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi tidak ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ru’yat itu seperti yang dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi tersebut difahami oleh para sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan mereka bukan tugas kerasulan. Puasanya memang ta’abbudi tetapi penetuan tanggal 1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal adalah ta’aqquli.
Selama ummat Islam dalam menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan Ramadlan dan Syawal dianggap sebagai masalah ta’abbudi sehingga harus berpegang pada hadist-hadits tentang “ru’yah”, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata “ru’yah”; yang harus diartikan “imkanur rukyah”, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian turun 6 derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5 derajat dan seterusnya dan seterusnya.
Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Kebenara Agama
Dalam kulliyah Al-Islam sering dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan adalah bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses. Kebenaran pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya “hilal” adalah kebenaran ilmiyah, bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan bukti-bukti yang logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan tanggal 1 Ramadlan dengan dapatnya melihat “hilal” itu adalah kebenaran agama yang tidak perlu berproses, maka kita tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa perjalan bulan dan matahari dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab tersebut disebut “ilmu pasti”.
Mencari tahu kapan terjadinya pergantian bulan qomariyah adalah mencari kebenaran ilmiyah bukan kebenaran agama, yang diperlukan adalah dasar-dasar dan alasan yang logis dan ilmiyah sehinga dapat diterima oleh orang sebanyak-banyaknya, syukur jika kemudian menjadi “kesepakatan”. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits). Contoh :
1. 4 x 4 = 16 (enam belas) adalah kebenaran ilmiyah, hakikatnya adalah kesepakatan.
2. Garis meredian 0° yang menjadi batas hari menurut solar sestem adalah meridian yang lalui kota Grenwicg, adalah kesepakatan ;
3. Matahari beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, yang kemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu) tahun, adalah kesepakatan ilmiyah;
4. Bulan beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, mengitari bumi adalah kesepakatan ilmiyah;
5. Matahari dan bulan beredar dalam orbitnya masing-masing setiap bulan akan bertemu dalam satu garis ekleptika di langit yang kemudian dikenal dengan istilah konjungsi (ijtima’) adalah kesepakatan ilmiyah.
Hal-hal sebagai tersebut diatas dianggap benar menurut ilmu pengetahuan dan kebenarannya tidak memerlukan wahyu, suatu saat dapat berubah jika ditemukan alasan yang lebih logis dan ilmiyah bahwa hal tersebut salah.
Kiranya argument tersebut membuka pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan yang paling diperlukan adalah “kesepakatan”. Kesepakatan itu akan terjadi jika orang lain bersedia menerima. Supaya orang lain dapat menerima maka diperlukan alasan-alasan yang logis dan ilmiyah.
Fenomena Ijtima (Conjungtion).
Ijtima (konjungsi) terjadi dalam satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang sama di seluruh dunia, jikalau terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab haqiqi bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem, New Com, maka perbedaan itu dalam hitungan detik, sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan. System ijtima’ memiliki criteria-criteria yang signifikan dan lebih bisa meminimalisir perbedaan, karena dengan sistim ijtima’ mempersempit lokasi/daerah kritis (batas tanggal), karena daerah kritis adalah daerah yang ghurubnya bersamaan dengan terjadinya ijtima’, kalau misalkan berdasarkan hisab ijtima terjadi pada jam 16.43’.12” WITA, sedangkan ghurub (maghrib) untuk kota Makassar juga pada jam 16.43’.13” maka hanya kota Makassar saja dearah kritis, tidak termasuk kota Bone, kota Wajo, kota Sengkang, kota Pare-Pare, kota Soppeng dll, karena berdasarkan perhitungan hisab ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah berbeda walaupun hitungan detik (subhanallah). Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigm ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah.
Ilmu hisab kini telah merambah dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat menyusun kalender yang dipercayai, tetapi tetap saja setiap tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya dengan kalender yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada paradigma yang parsial, untuk tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah (ta’abbudi). Sedangkan untuk 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqo’dah adalah dunmiawi (ta’aqquli). Puasanya ibadah untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal bukan ibadah.
Kesimpulan:
1. Menentukan awal bulan qomariyah termasuk bulan Ramadlan dan Syawwal adalah masalah ta’akkuli, tidak perlu pedoman dalil agama (Al-Qur-an maupun Hadits); Nabi sendiri menyatakan ” antum a’lamu bi umuuri dunyakum.
2. Perintah nabi memulai puasa kalau sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah (kemanusiaan) nabi, yang saat itu masyarakat memahami pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya hilal, hal itu bukan satu-satunya cara, karena kebenaran ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang terus.
3. Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan serius menindak lanjuti perintah nabi, tetapi mereka tidak membentuk kelompok-kelompok untuk ru’yat, hal ini dapat diartikan bahwa perintah nabi tersebut hanya “irsyad”.
4. Gerakan “merukyat hilal” tidak ada landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dan cenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada hisab yang lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Sulitnya merukyah hilal, menjadikan penyebabkan ketidak percayaan kepada hasil hisab.
5. Methode hisab yang telah berjalan selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan telah dipercayaai sebagai penentuan waktu. Maka seharusnya ummat Islam juga menerima penetapan pergantian bulan atas dasar hisab;
6. Ijtima’ (konjungsi) sebagai fenomena yang spesifik, karena terjadi sekali setiap bulan saatnya hanya satu, sehingga penyusunan kalender dan penentuan “awal dan akhir” bulan qomariyah lebih logis, ilmiyah dan rasionil bila atas dasar paradigma ijtima’;
7. Selama ummat Islam masih mempedomani hadist-hadits ru’yah sebagai dasar pergantian bulan Sya’ban ke Ramadlan atau Ramadlan ke Syawwal, selama itu pula akan terikat dengan kriteria-kriteria ketinggian hilal, akibatnya selama itu tidak akan menemukan titik temu.
Catatan :
Wacana diatas telah banyak dibenak ummat Islam, namun selama dalam sidang-sidang “istbat hilal”, tidak ada ormas yang berani melontarkan gagasan mengesampingkan hadits-haidits tentang rukyat, karena resiko organisasinya bisa dapat stigma negative ” ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja “kafir” (takfir);
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).”
Bagaimana seandainya kalau yg mayoritas itu yg tersesat…?
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimana yanng telah kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/21/demi-ukhuwah-islamiyah/ bahwa kaum muslim dalam menjalankan kehidupan diperbolehkan berkelompok atau mengikuti jama’ah minal muslimin seperti mengikuti organisasi kemasyarakatan (ormas) namun ketika sebuah kelompok kaum muslim menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqoh.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Kesimpulannya ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Lembaga negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/watch?v=JKJ24FDd3B8
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari
http://www.youtube.com/watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/watch?v=elalhSVpY3o
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
http://www.youtube.com/watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/watch?v=2JT28bp_Ep4
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.
http://www.youtube.com/watch?v=XpGuEfRQSv4
http://www.youtube.com/watch?v=ACGtp3Ze7eA
pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam
rotasibulanblogspot.com