Sudahkah membaca tulisan sebelumnya tentang Menjadi Muslim Terbaik ?.
Klo belum, silahkan baca dahulu
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/28/menjadi-muslim-terbaik/.
Muslim yang terbaik adalah yang dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin).
Seorang yang sampai pada tingkatan seolah-olah melihat Allah atau paling tidak seorang yang yakin bahwa segala perbuatannya dilihat Allah maka tentu akan terdorong melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya
Inilah sesungguhnya bentuk ketaqwaan kepada Allah yang menentukan tingkat/ukuran kemuliaan seorang muslim dihadapan Allah.
Sesuai firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Tingkatan utama yakni “Seolah-olah melihat Allah” bersifat aktif artinya dengan karunia Allah kita “melakukannya”/”merasakannya” sedangkan tingkatan dibawahnya adalah “Segala perbuatan dilihat Allah” bersifat pasif.
“Seolah-olah melihat Allah”, tentu tidak boleh diartikan secara harfiah atau secara fisik atau tersurat. Namun pahami secara hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi / tersirat, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Sesungguhnya manusia tidak akan mampu “melihat” Allah ketika di dunia.
Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al A’raf (7) ayat 143,
“Dan tatkala Musa tiba di miqat lalu berkata, ‘Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu supaya aku bisa melihat-Mu.’ Maka Tuhan pun berkata, ‘Kamu tidak akan bisa melihat-Ku , tetapi pandang saja gunung di seberangmu, bila dia tetap di tempatnya, maka kamu akan melihat-Ku’. Maka ketika Tuhannya menampakkan cahaya-Nya ber-tajalli kepada gunung, jadilah gunung itu hancur lebur. Maka Musa tersungkur pingsan. Dan setelah siuman dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku akan menjadi orang mukmin pertama’.”
Kisah ini tercantum juga dalam kitab Qishashul Anbiya’ karangan Ibnu Katsir yang mencoba menjelaskan bahwa Nabi Musa a.s. adalah Kalimullah, orang yang mampu berbicara langsung dengan Allah. Namun dia hanya mendengar suara Allah dari balik hijab. Ketika dia meminta hijab itu disingkapkan, Allah tidak menuruti, tetapi Ia memberikan pelajaran telak kepada hamba-Nya sehingga pingsan dan sadar kelemahan diri. Manusia memang tidak akan sanggup melihat Allah. Jangankan cahaya Allah, memandang matahari pun mata manusia akan terbakar.
Tetapi kelak di akhirat, melihat Allah merupakan puncak kenikmatan ahli surga. Lebih mulia dari kenikmatan istana, kebun, buah-buahan, dan bidadari surgawi.
Ketika para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, akankah kita kelak bisa memandang Allah?” Beliau menjawab, “Kalian akan memandang-Nya sebagaimana kalian memandang bulan purnama raya. Dan setelah itu para ahli surga tidak mau lagi memalingkan wajah mereka dari memandang Allah.”
Subhanallah.
Sebagian umat muslim memahami ihsan itu khususnya pada ketika ibadah saja, seperti ketika sholat.
Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “melihat” dengan “mata hati”.
Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “merasakan” “kedekatannya” dengan Allah disetiap saat kehidupan.
Sungguh Allah itu dekat, sesuai dengan firman Allah yang artinya
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ( Al Baqarah: 186).
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Selalu berada dalam kebenaran bisa diartikan selalu merasakan “bersama” Allah dalam menjalani kehidupan di dunia.
Kedekatan kita dengan Allah terhalang/terhijab dengan dosa. Untuk itulah langkah pertama agar kita lebih dekat dengan Allah adalah bertaubat, salah satunya dengan berzikir
Astaghfirullah.
“Ampunilah hambamu ini ya Allah”.
Firman Allah yang artinya
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (Al Hud : 3)
“dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Al Hujurat : 12) .
Istighfar diikuti dengan taubat, penyesalan atas dosa dan sekuat tenaga dan sepenuh kesadaran untuk tidak mengulangi lagi.
Kemudian perbaharuilah selalu kesaksian dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Asyhadu anlaailaaha illallah Wa-asyhadu anna Muhammadar-rasulullah
Syahadat berarti bersaksi dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Membaca dua kaliamat Syahadat merupakan cara untuk mengislamkan kembali atau untuk mengembalikan iman seorang muslim yang telah murtad, karena melakukan perbuatan syirik kepada Allah atau lainnya baik disengaja ataupun tidak disengaja.
Seorang yang kafir bila beramal shaleh maka tidak akan diterima dan bila berdoa maka akan terhijab ( tertutup ). Semua amal dan doa mereka sia-sia dan ditolak oleh Allah, kecuali jika mereka beriman dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat.
“Dan doa ( ibadah ) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka ” ( Arra’d : 14 ).
Selanjutnya biasakan Zikir Hauqolah agar kita didekatkan dengan Allah atas pertolonganNya.
Laahaulaa walaaquw-wata il-laabillahil ‘aliy-yil ‘adziim.
”Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin/pertolongan Allah”
Yakinlah bahwa kita sebagai manusia adalah “lemah” dan upaya kita mendekatkan diri kepada Allah semata-mata atas karunia / izin Allah.
Tentang karunia Allah. Allah telah berfiman yang artinya,
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar” ( Al-Jumu’ah : 4)
Bershalawat kepada Nabi Muhammad adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa ali Muhammad“
Membaca shalawat atas Nabi merupakan perintah Allah dan anjuran dari Nabi Muhammad.
Firman Allah yang artinya ” Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya ” ( Al Ahzab:56 ) ]
Membaca shalawat merupakan salah satu kunci diterimanya doa, karena tanpa diawali dengan shalawat maka doa tidak diterima oleh Allah.
” Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan “ ( Al Maidah:35 ).
Selanjutnya adalah upaya yang sering dilakukan oleh muslim agar terjaga dekat dengan Allah yakni dengan berdoa sebelum melakukan perbuatan/kegiatan atau minimal dengan membaca basmalah.
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang”
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.
Sebagaimana dalam kehidupan kita ,secara naluri jika ingin keberhasilan perbuatan atau permohonan biasanya kita menyebut nama orang yang berkuasa.
Misalnya,
– Zaman orde baru, tingkat keberasilan menjadi besar, jika kita menyebut (mengenalkan/mereferensi) nama pa Harto yang berkuasa kala itu.
– Memberikan perintah kepada bawahan atau ajakan kepada sesama staff akan “lebih segera” dilaksanakan/diikuti jika menyebut nama yang lebih berkuasa seperti nama direktur atau manajer sebagai sumber perintah atau bentuk izin.
Begitu pula dalam mengarungi kehidupan kita di dunia, sebelum melakukan perbuatan/tindakan upayakan selalu diawali menyebut nama Allah, mengingat Allah. Sehingga Allah yang Maha Kuasa akan mengizinkan dan menolong perbuatan/tindakan tersebut akan terlaksana. Seberapa dekat dengan Allah akan memperbesar kemungkinan terkabulkannya.
Perbedaannya, kalau kita menyebut nama manusia, manusia yang kita sebutkan tidak mendengar dan bukan pula dia yang menolong. Namun kalau kita menyebut nama Allah, Allah Maha Mendengar dan berkenan menolong kita
Kita sangat ingin untuk taqarrub mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun mendekatkan diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku sehasta. Aku pun akan mendekatkan diri padanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil”.
Waktu-waktu di keseharian kita, perbanyaklah dzikir kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu tempat, lalu di situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan mendapat kerugian dan penyesalan” (HR Abu Dawud).
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai Allah SWT dan berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.”
Manakala sifat zuhud di kalangan muqarrabin (orang yang sentiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT) pula adalah dengan terus meninggalkan kenikmatan dunia; segala-galanya adalah tidak penting bagi mereka melainkan mendekati Allah SWT semata-mata.
Suatu saat terjadi dialog antara Rosulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rosulullah bertanya kepada HUdzaifah, ” Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini?”
Jawab Hudzaifah, ” Saat ini saya bener-bener beriman ya Rosulullah.” Rosulullah kemudian mengatakan, “ setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu wahai Hudzaifah?”
Jawab Hudzaifah, ” Ada dua, Ya rosulullah.
Pertama saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan emas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur pada Allah SWT.
Tapi kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah dan bila ia pergi maka Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Yang kedua Hudzaifah mengatakan, ” Setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan syurga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli syurga itu menikmati kenikmatan syurga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah bagi saya untuk melakukan yang di perintahkan dan meninggalkan yang dilarang Nya.”
Kesimpulan,
Atas karunia Allah kita berupaya mendekatkan diri kepada Allah, Dengan kedekatan itulah kita terdorong untuk melakukan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarangNya. Dengan ketaqwaan inilah membuat kita menjadi lebih mulia di sisi Allah.
Allah tidak menyampaikan bentuknya tetapi kekuasaannya dalam bentuk mendatangkan kebaikan dan kekuasaan menimpakan bencana kepada manusia. Allah setiap menimpakan bencana kepada ummatyang lalu selalu mengatakan ” jadikanlah hal demikian sebagai pelajaran” .Pelajarannya adalah bahwa memiliki kemampuan atau kekuasaan menimpakan pembinasaan kepada manusia dan tidak ada yang dibinasakan Allah kecuali yang tidak beriman kepada kekuasaan Allah. Orang yang mengambil pelajaran adalah yang meyakini bahwa kaum terdahulu itu dibinasakan Allah karena kekafirannya. Orang yang percaya kepada petunjuk Allah tersebut bahwa Allah akan membinasakan orang yang durhaka, maka orang ini tidak mau durhaka kepada Allah agar terhindar dari pembinasaan, sementara yang tidak yakin tidak peduli dengan kedurhakaan.
trims banget ats kiriman tulisanx. smoga bermanfaat bg kt smua. dan tlong krimkn lg yg lain.
Ge cuman mo tanya ente satu hal.
Di atas ‘Arsy ada Allah atau tidak ada Allah ?
Mas Green, Hakikat Arsy (Singgasana) diciptakan bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla karena Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Barang siapa yang beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 73)
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya. Haba’ memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut. Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333)
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“ (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/27/bukan-tempat-baginya/
assalamu alaikum,blog ni kaya dengan dalil dan ilmiah,saya hampir disesatkan oleh pahaman wahabi yang mempertahankan kefantikannya mengatakan bahwa Allah SWT bertempat,dan tempatnya diatas arsy.Jelasnya kaum wahabi hanya menerima sabahagian Al-Qur’an dan menolak sebahagian yang lain,hanya mempertahankan pendapat ulama klasik yang tak mampu berdepan dengan science moderen,kaum wahabi hanya menerima ayat:Allah bersemayam diatas arsy,qs.taha 5,al-araaf 54…berarti menolak ayat yang lain sepert:apabila hamba-KU bertanya katakan bahwa Aku dekat..QS al-baqarah 186,dan Kami lebih dekat kepadanya di banding diri kamu sediri..qs al-waqiah 85,kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah..qs al-baqarah 125,ketika Allah menampakkan Diri dibukit,hancurlah bukit itu dan Musa as jatuh pingsan..qs.al-araaf 143 dst.dengan hadirnya saintis moderen Islam Harun Yahya yang membongkar segala bentuk kepalsuan,bermula teori Darwin,materialisme,kapitalisme,tak terkecuali aliran wahabi turut dibongkar kepalsuannya dalam bukunya:Hakikat dibalik materi,risalah gusti surabaya.sains moderen semakin menampakkan kebenaran Al-Qur’an,maka kaum wahabi yang tetap klasik bakal runtuh seiring runtuhnya teori darwin,yang mulanya disangka benar tapi keliru.wassalam
Ah mas bro. Tlg dech cari referensi yg akurat, apa itu wahabi, dr satu hal ini saja selayaknya kita terus lbh banyak belajar . Smg Allah menuntun kita semua di atas shirotol mustaqim. Best regards
Dimanakah Allah ? – Ini Jawaban Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah
Abu Al-Jauzaa’ :,
Permasalahan ‘dimanakah Allah’ adalah permasalahan krusial yang di jaman dulu para imam kita dari kalangan salaf mudah menjawabnya dengan jawaban sederhana, namun menjadi susah oleh generasi setelahnya. Generasi khalaf, terutama yang berafiliasi dengan kelompok Asyaa’irah, membuat aneka jawaban yang susah untuk dimengerti, mempersulit diri sendiri. Dulu, ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita ‘dimanakah Allah’, dengan mudah dijawab : ‘Di atas langit’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya.[1]
Tidak terkecuali Imam Daaril-Hijrah, Maalik bin Anas rahimahullah. Beliau pun – sebagaimana salaf beliau dari kalangan shahabat dan taabi’iin – menjawab dengan jawaban yang mudah, ringkas, dan jelas. Berikut riwayatnya :
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dlam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76.
Suraij bin An-Nu’maan bin Marwaan Al-Jauhariy, Abul-Hasan (atau Abul-Husain) Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah, sedikit melakukan kekeliruan. Wafat tahun 117 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 366 no. 2231].
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].
Namun, kalangan Asyaa’irah[2] lagi-lagi berusaha menafikkan atsar ini. Mereka melemahkannya dari faktor ‘Abdullah bin Naafi’, karena sebagian huffadh mengkritik hapalannya. Namun alasan ini tidaklah valid. Disamping pujian ulama tentang ketsiqahannya secara khusus[3], maka ia juga dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.
Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا لا يقدم عليه أحد
“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya”.
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
روى عن مالك غرائب ، و هو فى رواياته مستقيم الحديث
“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya (Maalik) mustaqiimul-hadiits”.
Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :
وعبد الله بن نافع ثبت فيه
“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
كان عبد الله بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه ، كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك
“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan hadits Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir hayatnya”.
Abu Daawud rahimahullah berkata :
وكان عبد الله عالما بمالك ، و كان صاحب فقه
“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :
كان أعلم الناس بمالك، و حديثه
“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.
[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].
Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan untuk melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ ini.
حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال : حدثنا الفضل بن زياد قال : سمعت أبا عبد الله أحمد بن حنبل يقول : قال مالك بن أنس : الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان ، لا يخلو منه مكان ، فقلت : من أخبرك عن مالك بهذا ؟ قال : سمعته من شريح بن النعمان ، عن عبد الله بن نافع
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].
Dan kemudian ia (Ahmad) berhujjah dalam masalah ‘aqidah ini seperti dikatakan Maalik, sebagaimana terdapat dalam riwayat :
فقال يوسف بن موسى القطان شيخ أبي بكر الخلال قيل لأبي عبد الله : الله فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال : نعم هو على عرشه ولا يخلو شيء من علمه
Telah berkata Yuusuf bin Muusaa Al-Qaththaan, syaikh Abu Bakr Al-Khallaal : Dikatakan kepada Abu ‘Abdillah : “Apakah Allah berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, serta kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya ada di setiap tempat ?”. Ia (Ahmad) menjawab : “Benar, Allah ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada sesuatupun yang luput dari ilmu-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-‘Ulluw hal. 130; shahih].
Banyak riwayat-riwayat Al-Imam Ahmad yang menjelaskan hal yang semisal.
Al-Laalikaa’iy rahimahullah berkata :
وقال عز وجل (يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ) وقال : (أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ)وقال : (وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً) فدلت هذه الآيات أنه تعالى في السماء وعلمه بكل مكان من أرضه وسمائه . وروى ذلك من الصحابة : عن عمر ، وابن مسعود ، وابن عباس ، وأم سلمة ومن التابعين : ربيعة بن أبي عبد الرحمن ، وسليمان التيمي ، ومقاتل بن حيان وبه قال من الفقهاء : مالك بن أنس ، وسفيان الثوري ، وأحمد بن حنبل
“Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang’ (QS. Al-Mulk : 16). ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Maka ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di atas langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat di bumi dan langit-Nya. Dan diriwayatkan hal itu dari kalangan shahabat : ‘Umar, Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Abaas, Ummu Salamah; dan dari kalangan tabi’iin : Rabii’ah bin Abi ‘Abdirrahmaan, Sulaimaan At-Taimiy, Muqaatil-bin Hayyaan; dan dengannya dikatakan oleh para fuqahaa’ : Maalik bin Anas, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Ahmad bin Hanbal” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal. 387-388].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
قال غير واحد سمعت مالكا يقول : الله في السماء وعلمه في كل مكان
“Lebih dari satu orang yang berkata : Aku mendengar Maalik berkata : ‘Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya berada di setiap tempat” [Tartiibul-Madaarik, 2/43 – melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 183, taqdim : Masyhur Hasan Salmaan; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].
Abul-Mutharrif ‘Abdurrahmaan bin Haaruun Al-Qanaaza’iy Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
وفي هذا الحديث – يعني حديث الأمة السوداء – بيان أن الله تبارك وتعالى في السماء، فوق عرشه، وهو في كل مكان بعلمه،….
“Dan dalam hadits ini – yaitu hadits budak wanita hitam – terdapat penjelasan bahwasannya Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas langit, di atas ‘Arsy-Nya. Dan Dia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya…” [Syarh Al-Muwaththa’, hal. 269 – melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qararahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 184].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan ijma’ perkataan Al-Imaam Maalik di atas dengan perkataannya :
علماء الصحابة والتابعين الذين حمل عنهم التأويل قالوا في تأويل قوله عز وجل (مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ) هو على العرش، وعلمه في كل مكان، وما خالفهم في ذلك أحد يحتج بقوله
“‘Ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin yang diambil ta’wil mereka berkata tentang ta’wil firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7) : ‘Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat’. Tidak ada seorangpun yang dijadikan hujjah perkataannya yang menyelisihi mereka” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah, hal. 166 no. 77].
Perlu dicatat, Ibnu ‘Abdil-Bar rahimahullah adalah fuqahaa’ dan ahli-hadits madzhab Maalikiyyah yang tentunya lebih mengetahui madzhab Al-Imaam Maalik dibandingkan lainnya.
Dan saya tutup dengan perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah :
وعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : ((ما بين السماء القصوى والكرسي خمسمائة عام، وبين الكرسي والماء كذلك، والعرش فوق الماء، والله فوق العرش، ولا يخفى عليه شيء من أعمالكم)). رواه اللالكائي والبيهقي، بإسناد صحيح عنه
“Dan dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyllaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Jarak antara langit yang paling tinggi dengan kursi adalah limaratus tahun. Begitu juga jarak antara kursi dengan air. Dan ‘Arsy berada di atas air. Dan Allah berada di atas ‘Arsy, tidak ada sesuatupun tersembunyi atas-Nya dari amal-amal kalian’. Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dan Al-Baihaqiy dengan sanad shahih darinya” [Al-‘Arsy, 2/129, tahqiq : Prof. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Adlwaaus-Salaf, Cet. 1/1420 H].
Kesimpulannya : Shahih perkataan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah bahwasannya Allah ta’ala berada di atas langit, dan ilmu-Nyalah yang berada di setiap tempat. Inilah madzhab salaf, bukan madzhab Asyaa’irah.
Wallaahu a’lam.
Para Salafush Sholeh maupun para Imam Mazhab yang empat, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu.
Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau
kenapa nt nggak bermahzab ???
jelaskan tentang Zat,Sifat,Asma dan Af”al Allah
Subahanallah…terima kasih atas uraiannya yg gamblang, sangat membantu saya.