Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘mengingat sebelum bersikap dan berbuat’

Lakukanlah selalu perbuatan yang mendekatkan diri kepadaNya

 

Mereka mengatakan bahwa acara “Pekan Memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” berbeda dengan acara peringatan Maulid Nabi , sebagaimana yang kita dapat ketahui pada http://kangaswad.wordpress.com/2011/02/28/antara-pekan-muhammad-bin-abdul-wahhab-dan-maulid-nabi/

Salah satu alasan perbedaannya sebagaimana yang disampaikan ulama Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah adalah “Pekan Memorial Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimahullahu Ta’ala” tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah Azza Wa Jalla“.

Apakah mereka memang sengaja melakukan perbuatan yang bukan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza Wa Jalla artinya mereka memang melakukan perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla ?

Mengapakah ulama Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menggunakan perbuatan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah ta’ala sebagai pembeda antara “Pekan Memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” dengan “Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Tentu beliau berpegang pada pendapat para ulama yang beliau ikuti seperti ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti ulama Ibnu Taimiyyah

Contohnya

Ulama Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615] Salah satu sumber:  http://almanhaj.or.id/content/539/slash/0

Definisi bid’ah menurut ulama Ibnu Taimiyyah adalah

Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Maka, jika  dalam hal itu terdapat dalil syar’i, maka itu adalah disukai.

Adapun apa-apa yang tidak ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin  yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/40. Mawqi’ Al Islam)

Beliau mengatakan “Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin

Kalimat “Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya” adalah saling bertentangan karena kalau sudah ada kewajiban dan sunnahnya maka tidaklah dikatakan sebagai bid’ah atau perkara baru.

Kalimat “bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin”  memang kita sepakat bahwa secara tata bahasa, bid’ah dholalah adalah bid’ah yang jelek atau bid’ah sayyiah.

Jadi memang ada pengecualian bid’ah yang tidak termasuk  bid’ah dholalah yakni bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yakni bid’ah yang tidak satupun menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits “Kullu bid’ah dholalah”

Dalam Ilmu Balaghah dikatakan,

حدف الصفة على الموصوف

membuang sifat dari benda yang bersifat”.

Jadi jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah

a. Kemungkinan pertama :

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua “bid’ah yang baik”  itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Jadi kemungkinan ini tidak dipakai dan menjelaskan adanya pengecualian terhadap bid’ah dholalah yakni bid’ah hasanah atau mahmudah (bid’ah yang baik)

b. Kemungkinan kedua :

كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِر

Semua “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka

Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat dan akan masuk neraka adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang jelek).

Hadits “kullu bid’ah dholalah” bersifat umum, sedangkan dari hadits-hadits yang menjelaskan, dapat kita ketahui bahwa bid’ah sayyiah (bid’ah yang jelek) adalah “mengada-ada dalam urusan agama” atau “mengada-ada dalam urusan kami” atau  yang melakukan sunnah sayyiah yakni  mencontohkan atau meneladankan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.  Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/06/13/bidah-dalam-agama/

Dari pendapat ulama Ibnu Taimiyyah di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa  beliau berpendapat bahwa bid’ah adalah “Perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan

Definisi bid’ah yang beliau utarakan yakni  “Perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah” adalah kalimat yang saling bertentangan karena bid’ah adalah perkara baru , bukan sesuatu yang diperintahkanNya  baik sebagai perkara wajib atau sebagai perkara sunah).

Definisi bid’ah dengan kalimat bertentangan tersebut diutarakan juga oleh ulama yang sepahaman dengan beliau seperti yang kita dapatkan dari salah satu sumber seperti http://almanhaj.or.id/content/650/slash/0

Bid’ah adalah  “mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan

Kalau sudah disyari’atkan maka tentu bukan bid’ah (perkara baru).

Begitupula yang kita dapatkan dari salah satu sumber seperti http://www.mediasalaf.com/aqidah/bahaya-bidah/

Imam Asy-Syathibi berkata : “Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama guna menandingi syari’at dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala 

Kesimpulannya definisi  bid’ah menurut mereka adalah “perbuatan mengada ada atau perkara baru yang ditujukan mendekatkan diri (taqarrub ) kepada Allah ta’ala

Perbuatan manusia ada dua jenis yakni

  1. Perkara syariat ,  segala  apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meliputi perkara wajib (wajib dijalankan)  perkara  sunnah  atau mandub (sebaiknya dijalankan) , perkara haram atau larangan (wajib dihindari)  perkara makruh (sebaiknya dihindari)
  2. Di luar perkara syariat, segala sikap dan perbuatan di luar dari apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla. Hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum perkaranya tergantung  jenis dan tujuan perbuatannya.

Perbuatan di luar perkara syariat, di luar dari apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, kita dapat berpegang pada kaidah berikut,

Sikap atau perbuatan yang baik atau yang boleh dilakukan adalah sikap atau perbuatan yang tidak melanggar satupun laranganNya atau perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Sikap atau perbuatan yang buruk atau yang tidak boleh dilakukan adalah sikap atau perbuatan yang melanggar  laranganNya atau perbuatan yang  bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas

Firman Allah ta’ala yang artinya “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)

Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)

Sebagai hamba Allah maka seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla meliputi menjalankan perkara syariat dan melakukan sikap dan perbuatan di luar perkara syariat yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an , As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Kita melakukan perbuatan yang tidak melanggar satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas adalah suatu bentuk ibadah karena kita selalu mengingat Allah (dzikrullah) sebelum bersikap atau sebelum melakukan perbuatan.

Dalam suatu riwayat.

”Qoola A’liyy bin Abi Thalib:  “Qultu yaa Rasulullah ayyun thoriiqotin aqrobu ilallahi?”  Faqoola Rasullulahi:  dzikrullahi”.

Artinya;

“Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasulullah,  jalan / metode (thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasulullah menjawab; “dzikrullah.”

Dzikrullah yang memperjalankan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau jalan (tharikat) mendekatkan diri kita kepada Allah Azza wa Jalla

Banyak dzikrullah dapat dilakukan setiap saat, setiap waktu, setiap detik , setiap detak jantung kita baik dengan berdzikir maupun  bersikap dan berbuat yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits  sebagaimana Ulil Albab “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3] : 191)

Jadi perbuatan kita di luar perkara syariat,  wajib tujuannya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dengan cara bersikap  dan melakukan perbuatan yang  tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an , As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Cara atau jalan mendekatkan diri  kepada Allah tidak hanya dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla wajibkan (wajib dijalankan dengan wajib dijauhi) atau perkara syariat namun dengan terus menurus melakukan amal kebaikan

Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amal kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35)

Kesimpulannya  kita boleh  mencari jalan atau melakukan bid’ah atau perkara baru di luar perkara syariat (di luar dari apa yang telah disyariatkanNya) untuk tujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah selama tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an , As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Sikap atau akhlak  yang  tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an , As Sunnah, Ijma dan Qiyas adalah akhlak yang baik

Sebaliknya sikap atau akhlak  yang   menyalahi satupun laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an , As Sunnah, Ijma dan Qiyas adalah akhlak yang buruk

Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah  karena mereka memperturutkan hawa nafsu.

Firman Allah ta’ala yang artinya

…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)

Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )

Akhlak yang baik adalah mereka yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla  atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah.

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Tujuan beragama adalah untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah , muslim yang baik, muslim yang sholeh (sholihin),  muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) dan  muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Firman Allah ta’ala yang artinya,

Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah

Muslim yang dekat dengan Allah atau muslim yang meraih maqom disisiNya yakni muslim yang telah dikaruniakan ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran, selalu berada pada jalan yang lurus.

Firman Allah ta’ala

…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

Muslim yang  terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya  dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah  shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah

Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)

Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”

 

Wassalam

 

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Read Full Post »