Janganlah mengharamkan peringatan Maulid Nabi
Semoga sudah jelas bahwa mereka yang mengikuti fatwa ulama mereka yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi adalah mereka yang tanpa sadar telah menjadikan ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah karena tidak satupun nash secara qath’i baik kalamiyyah, ushuliyyah (ijma,qiyas) dan fiqhiyyah yang dapat dipergunakan untuk mengharamkan peringatan Maulid Nabi.
Begitupula dengan peringatan hari ulang tahun, dirgahayu, milad atau kejadian apapun di waktu lampau adalah sarana untuk mengambil pelajaran atau intropeksi terhadap apa yang telah dilakukan selama ini sebagai bekal untuk hari esok sesuai dengan firmanNya yang berbunyi, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad” “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18 )
Mereka yang mengikuti larangan (jika dilanggar berdosa) dan mereka yang menjalankan suruhan (jika ditinggalkan berdosa) dari ulama mereka tanpa landasan dari Al Qur’an dan Hadits adalah mereka yang menjadikan ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Dalam sebuah hadits Qudsi , Rasulullah bersabda, “Setan mengharamkan yang Aku halalkan pada mereka dan memerintahkan mereka agar menyekutukanKu dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim 5109)
Semua itu terjadi karena mereka telah menjadi korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga tanpa disadari mereka telah bertasyabuh dengan kaum Nasrani, menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Pokok utama kesalahpahaman yang berlarut-larut hingga menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim adalah karena salah memahami hadits “kullu bid’ah dholalah” (HR Muslim). Kesalahpahaman terjadi karena mereka berpegang kepada pendapat ulama yang sanad ilmu atau sanad gurunya tidak tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Umumnya terputus sanad ilmu dikarenakan mereka memahami agama lebih bersandar pada muthola’ah, menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Ulama yang sholeh yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu bid’atin dholalah” menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhsus, artinya makna bid’ah lebih luas dari makna sesat. Maknanya adalah “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Pada hakikatnya perkara baru (bid’ah) dapat pula diterapkan ke dalam hukum taklifi yang lima, wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, haram
Al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Jadi seluruh hadits yang menyebutkan harus menghindari bid’ah maksudnya adalah bid’ah yang akan berakibat bertempat di neraka yakni bid’ah yang menyekutukan Allah. Allah Azza wa Jalla menutup pintu taubat pelaku bid’ah yang menyekutukan Allah hingga pelaku bid’ah meninggalkan bid’ahnya
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” H. R. Thabrani
Bid’ah yang akan berakibat bertempat di neraka karena menyekutukan Allah adalah.
1. Mengada ada dalam perkara larangan dan pengharaman (perbuatan yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa)
2. Mengada ada dalam perkara kewajiban (perbuatan yang jika ditinggalkan berdosa)
3. Perkara baru atau contoh baru yang diikuti oleh orang lain namun bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Segala perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah berdosa.
Point 1 dan 2 adalah yang dimaksud dengan bid’ah dalam urusan agama atau bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah dalam perkara syariat, bid’ah dalam urusan Allah ta’ala menetapkannya.
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak“. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Intinya segala perkara yang berhubungan dengan dosa hanya ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Jadi jika ada yang secara serampangan menetapkan atau berfatwa ini dosa, itu dosa dengan akal pikirannya sendiri tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka dia telah menyekutukan Allah dengan akal pikirannya sendiri.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tinggalkan komentar