Di manakah posisi/derajat kita di sisi Allah saat kini ?
Firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Sebagian kita memahami “di sisi” Allah adalah semata-mata kejadian kelak di akhirat nanti. Namun sesungguhnya posisi/derajat manusia di sisi Allah berlangsung ketika kehidupan di dunia.
Ada sebagian muslim “berani” melakukan perbuatan yang dilarang Allah, sesungguhnya karena tidak merasakan “di sisi” Allah. Padahal Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Sedangkan ada sebagian muslim karena posisi/derajat nya lebih mulia “di sisi” Allah maka Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan rezeki dari arah yang tidak disangka dan Allah mencukupkan (keperluan)nya
Sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Benarlah, manusia di sisi Allah ketika kehidupan di dunia bahkan dimulai sejak manusia diciptakan.
Menurut para ahli Tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama, yaitu bangunan jasmani dan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan melalui enam proses kejadian yaitu:
- Sari pati tanah
- Nuftah
- Segumpal darah
- Segumpal daging
- Pertumbuhan tulang-belulang
- Pembungkusan tulang-belulang
Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati tanah itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadiukan segumpal darah, dari segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging (QS Al Mu-minun (23): 12-14)
Setelah melalui enam tahap proses tersebut maka jasmani manusia boleh dikatakan sebagai makhluk yang sempurna apabila dipandang dari sudut jasmaniah, tetapi apabila dipandang dari sudut Rohaniah, manusia yang belum ditiupkan Roh-Ku belumlah dapat disebut manusia sempurna. Oleh karenanya itu, pada proses kejadian yang ketujuh, Allah meniupkan sebagian Roh-Nya kepada jasmani manusia. Pada saat itulah manusia tersebut bisa dikatakan sebagai manusia yang sempurna baik jasmani maupun rohani.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka jika Aku telah menyempyurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. (QS Al Hijr (15):28-30)
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Menurut tinjauan ahli Tasawuf, di bagian kepala manusia terdapat tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi, yaitu,
- Dua lubang telinga sebagai sumber (alat) pendengaran.
- Satu lubang mulut sebagai sumber (alat) pengucapan dan pengecapan
- Dua lubang mata sebagai sumber (alat) penglihatan
- Dua lubang hidung sebagai sumber (alat) pernapasan.
Ketujuh buah lubang (pintu) yang ada di kepala manusia tersebut secara simbolis diinformasikan Allah dalam al-Qur’an dengan istilah “tujuh buah jalan” yang ada di atas badan manusia.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas (badan) kamu tujuh buah jalan dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami” (QS Al-Mu’minun (23):17)
Tujuh lubang ini disebut juga sebagai “pembuka”, karena dengan tujuh lubang inilah, manusia berhasil membuka segala rahasia pengetahuan, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Proses terjadinya aktifitas alat inderawi tersebut yang terwujudkan dalam bentuk pendengaran, pengucapan atau pengecapan, penglihatan dan pernapasan inilah yang disebut kiasan “tujuh buah jalan” yang dapat memberi petunjuk karena dengan adanya empat inderawi tersebut maka manusia mendapatkan pengetahuan tentang masalah apapun yang sedang dipelajarinya.
Pada tubuh manusia, total keseluruhan terdapat sepuluh lubang inderawi, yaitu tujuh di kepala dan tiga lubang dibagian badan yaitu lubang pusar, lubang anus dan lubang kemaluan. Khusus untuk lubang pusar sudah tidak berfungsi sejak manusia dilahirkan. Sehingga yang berfungsi secara maksimal adalah Sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia.
Apabila dikaitkan dengan keadaan bayi dalam kandungan maka dapat terlihat bahwa Sembilan lubang yang ada pada tubuh bayi tidaklah berfungsi, hal ini dikarenakan seorang bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.
Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan rohani bayi telah hidup sempurna. Peristiwa ini dialami oleh seorang bayi selama kurang lebih sembilan bulan. Dalam bahasa Tasawuf, keadaan ini disebut dengan peristiwa dimana seorang bayi berada dalam Janah yang berada di bawah telapak kaki ibu selama Sembilan bulan.
Sayangnya setelah bayi itu tumbuh dewasa, dia tidak dapat mengingat perjalanannya ketika berada dalam kandungan rahim ibunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Sejak bayi dalam kandungan yang bersih dan suci telah keadaan “menemui” Allah.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah anak manusia terlahir ke dunia, keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama.
Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.
Di dalam Islam, sistem pendidikan dalam keluarga menjadi penentu masa depan anak. Apakah anak akan menjadi shaleh, baik, santun, penyayang atau kurang ajar, kasar, bengis, semuanya tergantung pada tangan-tangan pertama yang mendidiknya, yakni orang tuanya.
Dalam sebuah hadits, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah (mentauhidkan Allah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud adalah anak-anak yang baru dilahirkan memiliki fitrah yang bersih dan suci, yaitu beriman kepada Allah SWT. Orang tua memiliki peran dalam mengarahkan fitrah anak. Apakah akan tetap bersih, murni dan bersinar? Ataukah cahayanya akan memudar, bahkan hilang.
Lalu bagaimana arah tujuan pendidikan anak berdasarkan Islam
Kalau mengacu kepada al Qur’an, maka al Qur’an memberi tuntunan bagaimana seharusnya tujuan pendidikan anak.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al Furqaan 25: 74)
…“Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”” (QS. Al A’raf 7: 189)
…“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)
Ini sebenarnya inti dari kurikulum pendidikan anak: (1) menjadikan anak-anak kita sebagai penyenang hati / penyejuk mata dan orang-orang bertaqwa (2) Menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak yang shaleh (3) Menjadikan anak-anak kita sebagai umat terbaik yang akan mengemban dakwah Islam, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
Kemudian setelah anak dewasa dan mampu dengan bekal pengetahuan dan pendidikan yang didapatnya mereka akan mengarungi kehidupan dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan kemampuan merekalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Hadist, mengupayakan posisi/derajat di sisi Allah. Sebagian mereka yang dianugerahi Allah ilmu pengetahuan mendapatkan posisi/derajat yang lebih baik sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Mujaadilah 58: 11)
Upaya kitamendapatkan posisi/derajat yang lebih baik di sisi Allah, salah satunya dengan mengendalikan hawa nafsu atau mengendalikan tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi.
Hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Nafsu Amarah yang bentuk perwujudannya berupa sifat marah, dengki, ujub dan syirik. Nafsu ini sumbernya di telinga yang dapat timbul melalui hantaran pendengaran. (Dua lubang telinga, disimbolkan pintu Umar bin Khatab)
2. Nafsu Lawamah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat rakus, tamak, loba dan malas. Nafsu ini sumbernya di mulut yang dapat dimbul melalui hantaran pengucapan atau peengecapan. (Satu lubang mulut disimbolkan pintu Ali bin Thalib)
3. Nafsu Sufiyah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat cinta, kekaguman, dan keindahan. Nafsu tersebut berada pada mata yang akan timbul melalui hantaran penglihatan. (Dua lubang mata disimbolkan pintu Usman bin Affan)
4. Nafsu Mutmainah yang termanifestasikan dalam sifat ketenangan dan kedamaian. Nafsu tersebut berada di hidung yang dapat timbul melalui hantaran pernafasan. (Dua lubang hidung disimbolkan pintu Abu Bakar)
Ke empat nafsu yang termanifestaasikan dalam bentuk pendengaran, pengucapan (pengecapan), penglihatan dan pernafasan, pada akhirnya akan menimbulkan “hawa” yang berbentuk rasa jasmani yakni
- Rasa Pendengaran.
- Rasa Pengecapan ataiu pengucapan
- Rasa Penglihatan
- Rasa Pernafasan atau penciuman
Semua bentuk “rasa” tersebut bersifat ghaib atau bathin yang tidak berwujud tetapi bisa dirasakan keberadaannya. Ke-empat rasa dari nafsu tersebut dapat dimatikan maupun dihidupkan, tergantung dari bagaimana kita menutup atau membuka “pintu” keluar masuknya rasa dari sumber nafsu tersebut.
Cara menutup pintu hawa nafsu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah yang artinya:
“Carilah Akhirat dengan “alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia” (QS Al Qashash 28: 77)
“Tatkala aku berada di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu ?” lantas beliau memerintahkan supaya pintu di tutup dan bersabda “Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
“Tutup pintumu dan ingatlah Allah”. (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw ” Tutuplah seluruh pintu-pintu kecuali pintu Abu Bakar.”
Prosesi “menutup pintu” hawa nafsu yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali sholat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat, dan berbicara kecuali bernafas (simbol pintu Abu Bakar), karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firmanNya yang artinya,
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS Al An’am 6: 79)
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita sholat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah, yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “Sholatku, Ibadahku, Hidupku dan Matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan sholat. Sesungguhya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain)” (QS Al Ankabut 29: 45)
Allah memberikan gelar kepada orang yang shalat tidak sesuai dengan ikrar/sumpahnya sebagai sholatnya orang munafik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk Sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah (menyebut Allah) kecuali hanya sedikit sekali” (QS An-Nisa 4: 142)
Ketika melakukan sholat, ada kalanya mengalami rasa jenuh dan tidak kusyu’, padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah. Hal ini terjadi karena tidak mengetahui bagaimana cara melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.
Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin”. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Apakah kita bisa “bertemu” dengan Allah ketika Sholat ?
Sebagian orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat Sholat atau bahkan hanya menganggap sholat sebagai kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Dilain pihak ada orang yang melakukan sholat, telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai kusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari sudah keluar dari “kesadaran sholat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang sholat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan sholat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah.
‘…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
Perihal itu terjadi bagi orang yang dalam sholatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Sholat yang demikian adalah sholat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki sholat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“… maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku” (QS Thaha 20: 14)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”(QS Al A’raaf 7: 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah sholat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang dilakukan. Sholat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan orang, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.
“Jangan engkau mendekati sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)… “ (QS An nisa 4: 43)
Nahyi (larangan) ditujukan kepada mushalilin agar tidak melakukan sholat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Larangan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apalagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yaitu “maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-ma’un 107: 4-6)”
Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu dalam sholatnya
“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya” (QS Al Mukminun 23: 1-2)
Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu’an
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2: 45-46)
Semoga kita dapat merasakan menemui Allah, kedekatan dengan Allah, mengetahui posisi/derajat kita di sisi Allah.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan Allah, semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan diri kita sendiri.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita yakin bahwa segala keperluan kita didunia , Allah akan mencukupkannya, sedangkan semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan “kepayahan” dengan upaya sendiri memenuhi segala keperluan kita di dunia.
Orang yang dekat dengan Allah dikenal sebagai orang-orang Arif.
Orang-orang Arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Mereka paham bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah atau mengetahui apa yang Allah berkenan adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal marifatullah. Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita bisa memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu untuk mempelajari tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan metode pemahaman secara harfiah atau tekstual akan tetapi melalui metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Wassalam.
Ditulis dari berbagai sumber, sebagian besar diambil dari buku Abu Irsyad, Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai sarana menemui Allah, Pustaka Aladdin
Klik disini untuk pemesanan buku Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai sarana menemui Allah
sebuah pencerahan buat kita. thanks for shared
pengupasannya terlalu bercampur aduk antara ilmu lahir(syariat) dan bathin(thariqat,hakikat,ma’rifah).jd mnrt saya apapun judulnya masalah harus dikupas secara ilmu apa?(lahir atau batin). Sehingga para pembaca lbh mudah memahaminya.
subhanallah.
harap kalau buat artikel tidak terlalu panjang, dan bertele tele,
Mas Firman Asyhari,(maaf) baru sekali ini kami mendapatkan “gugatan” terhadap tulisan kami karena “terlalu panjang”.
Menurut saya dak masalah panjang,yg penting apa yg ingin disampaikan tuntas..
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
alhamdulillah penerangan ini amat jelas sekali. mungkin tuan menulis dgn sepenuh hati. pemahaman setiap individu ikutlah seperti yang dikurniakan oleh Allah SWT. terima kasih ya
mohon di buat satu blog khusus,biar q enak bacay
alhamdulillah sedikit banyak insha allah mencerahkan.dan penulis semoga diberi rahmat ridho serta taufik dan hidayahnya selalu oleh allah.dan insha allah banyak lg tulisan yang mencerahkan.insha allah jadi ilmu bermanfaat
bagi pembaca kalo kita mau menerima orang lain berdakwah.hilangkan keakuan renungkan amalkan jadikan ilmu.jgn saling berbantah.allah selalu memperhatikan kita.buat penulis alhamdulillah masih da manusia seperti anda.
Assalammu’alaikumwaromatullahiwabarokatuh….mohon izin untuk copy setiap artikel yang bermanfaat dari blog antum…syukron…wassalammu’alaikum wr wb..
Assalamu ‘ alaikum .
Apa yang km mksut dengan Roh-Ku beradaplah km .
Kt ini di Ciptakan bukan Roh kt ini bagian dari Roh ALLAH SUBAHANAHU WA TA’ALA .
MAHA SUCI ALLAH. Dan ALLAH MAHA HIDUP DAN ALLAH AKAN TETAP KEKAL DAN ALLAH HANYA SATU DAN TIDAK TERBAGI2 DAN APA YANG AD DI LANGIT MAUPUN DI BUMI BAHKAN DIRI KITA SENDIRI ADLAH CIPTA’AN ALLAH SUBAHANAHU WA TA’ALA.
Dan tidak lain roh kita pula adalah mahluk cipta’an ALLAH AZZA WAJALLA.
Yang di Maksut Roh-Ku dalam ALQUR’AN IT ROH CIPTA’AN ALLAH AZZA WAJALLA . Bukan roh ALLAH .
Beradaplah jIka km menulis . jngn membuat orng slh faham .
Maaf tp saya meluruskan .
Wallahu a’lam wa billahi taufik walhidayah wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh .
Walaikumsalam
Darimana anda mendapatkan tulisan “Roh-Ku beradaplah km” atau “Roh kt ini bagian dari Roh ALLAH SUBAHANAHU WA TA’ALA” ?
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah bagian yang dapat tampak dengan panca indera kita disebut juga lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak dengan panca indera kita disebut juga bathiniah.
Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: ”Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Ruhani (ruhNya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal (akal qalbu)
Oleh karenanya dikatakan bahwa hati adalah inti dan pusat kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati” (HR Bukhari 50 , HR Muslim 2966) yang maknanya adalah apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya”
Hati mempunyai makna dzahir yakni segumpal darah dan makna bathin seperti dalam kalimat “hati yang lapang” atau “hati yang sempit” atau “mata hati”
Orang gila disebut sebagai orang yang kehilangan akal walaupun secara dzahir mereka tentu masih memiliki akal pikiran atau otak namun mereka kehilangan akal qalbu.
Setan mengganggu manusia melalui bisikan ke dalam hati manusia.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” (QS An Naas [114]:4-5)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan di tubuh manusia pada peredaran darah, aku khawatir setan itu melontarkan kejahatan di hati kamu berdua , sehingga timbul prasangka yang buruk.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Jangan banyak melamun, nanti kemasukan setan lhoo…!” ungkapan yang sering kita dengar.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka” (QS An Nisaa [4]:120)
Setan akan menguasai manusia melalui sepuluh pintu yakni
1. Melalui sifat bohong dan angkuh
2. Melalui sifat bakhil
3. Melalui sifat takabur
4. Melalui sifat khianat
5. Melalui sifat tidak suka menerima ilmu dan nasihat
6. Melalui sifat hasad
7. Melalui sifat suka meremehkan orang lain
8. Melalui sifat ujub atau bangga diri
9. Melalui sifat suka berangan-angan
10. Melalui sifat buruk sangka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Pada hakikatnya ke dalam hati (jiwa) setiap manusia telah diilhamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk menimbang antara yang Haq dan Bathil
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Eh mas mkst aku . Firman ALLAH yang di maksut Roh-Ku it bkan Roh ALLAH tp Roh Cipta’an ALLAH .
Mkst ak yg beradap it km .
Jngn membuat Orng slh tafsir . Shrusnya Anda beri sedikit imbuan Roh-Ku it di tambah dengan Roh (Ciptaan)-Ku .
Mas Adenysta , terjemahan berbeda dengan pemahaman. Untuk itulah Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kita membutuhkan para penunjuk untuk dapat memahami kitab petunjuk
Oh ia mas maf ya jk ak bwt km trsinggung .
Jk it benar kebenaran adlh mutlak milik ALLAH .
Tp jk sya slah maka itu mutlah kesalah diri sya sndiri krna manusia tak pernh luput dari slh trmasuk sya sndiri.
Sya mohon maf yg sbesar2nya . Mafkan yaa. 🙂
Ass. Yth.Bangda Zon di Peraduan
Rasulullah s.a.w pernah sampai 4 kali semasa hidupnya dibersihkan jiwa/hatinya/ruhnya oleh malaikat Jibril,.. Nah kita sebagai umatnya “wajibkah” membersihkan pula ? dan bagaimana metode membersihkan itu ? dan apakah iblis masih bercokol di jiwa manusia jika tidak dibersihkan ?
dan bukankah ruh dan jiwa manusia itu yg akan menyeberang kelam barzakh dan alam akherat ?
Bagaimana menurut Bangda Zon, dan jawabannya atas pertanyaan saya tsb ?
Wass.
Walaikumsalam
Dalam kisah Isra’ Mi’raj disebutkan bahwa Malaikat Jibril mengeluarkan hati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. “Lalu ia (Malaikat Jibril) membasuhnya dengan air zamzam dan menghilangkan sifat yang mengganggu”
Malaikat Jibril berkata kepada Malaikat Mikail, “Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) dan aku lapangkan dadanya”
Di dalam musnad Ahmad dan selainnya dari Ibn Mas’ud ra disebutkan bahwasanya ia (Ibn Mas’ud) berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hambaNya, maka didapati bahwa hati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah sebaik-baik hati para hamba”
Dalam kisah Isra’ Mi’raj, Anas bin Malik berkata “mereka mendatangi beliau (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) lagi, yang ketika itu hati (beliau) melihat, mata beliau tidur namun tidak untuk hatinya. Demikian pula para nabi, mata mereka tertidur namun hati mereka tidak tidur” (HR Bukhari 6963)
Dalam Sunan ad Darimi disebutkan, “Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang, kemudian dikatakan kepadanya, “Benar-benar matamu tertidur, telingamu mendengar dan hatimu memahami?” Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “maka dua mataku tertidur, dua telingaku mendengar, dan hatiku memahami”.
Al Habib al Imam al Arif Billah as Sayyid Ali al Habsyi mengatakan mengenai masalah dibelahnya dada Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan dikeluarkan bagian setan dari hatinya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits dan atsar-atsar, “Dan tidaklah para malaikat mengeluarkan dari hatinya penyakit akan tetapi mereka menambah padanya kesucian di atas kesucian”
Oleh karenanya jelas bahwa dengan persiapan “hati yang suci yang disucikan” Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam diperjalankan ke alam ghaib menemui para Nabi yang telah wafat atau yang “diangkat” dan telah menjadi penduduk langit pada tingkatan maqom mereka masing-masing.
Manusia hidup di dua alam sekaligus, tubuh (jasad) kita hidup di alam fisik, terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut, alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya. Sementara itu, ruh kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam ini alam malakut. Bukan hanya manusia, segala sesuatu mempunyai malakutnya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya malakut segala sesuatu. Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’ (QS. Yaasiin [36]:83);
“Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim, malakut langit dan bumi.” (QS. Al-An’am [6]:75)
Ruh kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita. Ruh adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat dilihat oleh mata batin. Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat ruh dirinya atau orang lain. Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah ta’ala (al-mawahib al-rabbaniyyah).
Para Nabi, para wali Allah (shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam malakut itu.
Ditanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami Radhiyallaahu ‘anhu (semoga Allah memberikan kemanfaatan atas ilmunya), “Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
Imam Ibn Hajar menjawab: ”Ya, hal itu dapat terjadi, dan telah dijelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allah seperti Imam al-Ghozali, Al-Barizi, Taaj ad-Diin as-Subki, dan al-‘Afiif al-Yafi’i yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Syafi’i, serta Qurthubi dan Ibn Abi Jamroh yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Maliki.
Dan dikisahkan, bahwasanya ada Wali Allah menghadiri majlis ilmunya seorang yang faqih, kemudian seorang faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadits, lalu Wali tersebut berkata, “Hadits itu bathil.” Maka Sang faqih pun berkata, “Bagaimana bisa engkau mengatakan kalau hadits ini bathil, dari siapa?”
Sang Wali menjawab, “Itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri di hadapanmu dan Beliau bersabda: [Inniy lam aqul hadzal hadits] -Sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini-“
Lalu faqih tersebut dibukakan hijabnya dan beliau pun dapat melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (al-Fatawa al-Haditsiyyah li Ibn Hajar al-Haitami)
Orang-orang yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat membantu orang lain untuk dapat melihat alam malakut dengan doa dan tentunya dengan izinNya seperti contoh riwayat berikut ini
Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Kabah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shadiq ra, ulama besar dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk ruh mereka.
Seperti tubuh, ruh mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa ruh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. Ruh dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Al-Ghazali menulis: ‘Al-Khuluq dan Al-Khalq kedua-duanya digunakan. Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan batin. Yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahir, yang dimaksud dengan khuluq adalah bentuk batin. Karena manusia terdiri dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir dan ruh yang dapat dilihat dengan mata batin. Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah. Ruh yang dapat dilihat dengan mata batin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir. Karena itulah Allah memuliakan ruh dengan menisbahkan kepada diri-Nya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku menjadikan manusia dan’ tanah. Maka apabila telah kusempurna kan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruhku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’ (QS. Shaad [38]:71-72).
Allah menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan ruh dari Tuhan semesta alam. (Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlak. Ruh kita menjadi indah dengan akhlak yang baik dan menjadi buruk dengan akhlak yang buruk. Dalam teori akhlak dari Al-Ghazali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki ruh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki ruh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai ruh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk memperindah bentuk ruh kita, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita. Kita dapat simpulkan dari doa ketika bercermin. “Allahumma kama ahsanta khalqi fa hassin khuluqi.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku)
Jadi tujuan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) adalah untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” sebagaimana yang dituturkan oleh Dr Sri Mulyati MA, Dosen Pascasarjana , pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
“Dirinya bukanlah Hamka tetapi “hampa” adalah ungkapan penyaksian Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat yakni membenarkan dan menyaksikan bahwa selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong
kaum sufi dengan perjalanannya hingga mereka meraih maqom (derajat) di sisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) dan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah
Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan ‘ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya
Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia..
Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu a’lam.
Tentang ulama yang baik dan ulama yang buruk (su’u) telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/23/ulama-baik-dan-buruk/
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/31/sayyid-kaum-bertaqwa/ bahwa bagi kaum muslim yang mengenal dan mengetahui para Wali Allah sangat ikhlas memanggil sayyidina bagi Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena Beliau adalah sekaligus pemimpin atau Imam para Wali Allah
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari Jum’at. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda“Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali” maksudnya hanya muslim tertentu yang dapat mengakui (meyakini) Sayyidina Ali ra sebagai Wali Allah atau imamnya para Wali Allah.
Mereka adalah orang-orang yang dapat meyakini pula bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah imamnya para Wali Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskannya dengan kalimat “aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“. Serupa dengan hadits qudsi, “Allah ta’ala berfirman “Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya“ (HR Bukhari 6021)
Jadi apa yang diperselisihkan oleh kaum Syiah bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra mengkhianati ketetapan Rasulullah di Ghadir Khum adalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya kepemimpinan pada wilayah yang berbeda sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di atas pada penjelasan huruf “waw” dalam tasawuf
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah penerus setelah khataman Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali Allah
Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah dan Imamnya yang akan menjaga agamaNya dan syariatNya. Berapa jumlah mereka dan di manakah mereka berada hanya Allah ta’ala yang mengetahuinya.
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajarkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”.
Para Wali Allah (kekasih Allah) , jika melihat mereka mengingatkan kita kepada Allah
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingat mereka.” (Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6)
Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”(Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6)
Imam Al-Bazzaar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia mengatakan, seseorang bertanya, ya Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab, “Orang-orang yang jika mereka dilihat, mengingatkan kepada Allah,” (Tafsir Ibnu Katsir III/83).
Para Wali Allah (kekasih Allah) selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“
Para Wali Allah (kekasih Allah) suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16)
Para wali Allah jika mereka meminta akan dikabulkanNya
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan. Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”. Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar. “Aku Uwais”, jawabnya datar. “Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi. “Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas. Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang). “Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”. “Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?” Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah” Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in
Seluruh Khulafaur Rasyidin adalah wali Allah (kekasih Allah) karena mereka termasuk Assab’ul-matsani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/16/yang-dikaruniai-nikmatnya/
nyuwun ijin copy paste pak Zon… 🙂
Alhamdulillah, silahkan copas. Semoga bermanfaat dan barokah
alhamdulillah hampir saja saya tersesat dgn ajakan wahabrot.ijin copas ya mas..
Alhamdulillah, silahkan copas.
Tulisan terkait firqah Wahabi dapat dibaca tulisan terbaru pada