Sumber: http://myquran.com/forum/showthread.php/11080-Klarifikasi-Tentang-Syaikh-Muhyiddin-Ibnu-Arabi
Klarifikasi Tentang Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Mukaddimah
Setelah mengikuti diskusi di MyQuran tentang Ibnu ‘Arabi dan kontroversi seputar tokoh itu, saya menjadi tertarik untuk mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya tokoh yang banyak diperbincangkan ini. Saya langsung membuka perpustakaan digital di laptop saya, Maktabah Syamilah versi 3.28.
Setelah saya ketik nama Ibnu ‘Arabi di daftar nama kitab, saya langsung dibawa ke sebuah folder berisi kitab-kitab yang berkaitan dengan Ibnu ‘Arabi dalam sebuah rak khusus. Ada beberapa nama kitab tertera di situ, di antaranya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah karya terbesar Ibnu ‘Arabi yang banyak dijadikan rujukan dalam penilaian terhadap tokoh besar ini. Ada juga kitab bernama Ar-Radd ‘Ala Ibni ‘Arabi (Sanggahan Terhadap Ibnu ‘Arabi) karya Ibnu Taimiyah.
Ada juga sebuah kitab bernama Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Bersihnya Ibnu ‘Arabi) karya imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi. Yang menjadi perhatian saya adalah kitab terakhir ini. Di samping ukurannya kecil (sekitar 16 halaman) juga judulnya yang unik.
Setelah saya baca, pada kata pengantar penerbit disebutkan bahwa kitab itu sengaja ditulis untuk membantah kitab berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Takfir Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Kafirnya Ibnu ‘Arabi) karya Burhanuddin Al-Biqa’i.
Pandangan Ulama Terhadap Ibnu ‘Arabi
Secara ringkas, Imam As-Suyuthi membagi para ulama menjadi beberapa kelompok dalam menyikapi Ibnu ‘Arabi:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah wali. Di antaranya adalah Tajuddin bin ‘Atha’illah, ulama dari kalangan Mazhab Maliki dan Syaikh Afifuddin Al-Yafii dari kalangan Mazhab Syafii.
Kelompok kedua, menganggap bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sesat. Pendapat ini diambil oleh sebagian besar para ahli fikih.
Kelompok ketiga, menyatakan ragu terhadap perkara Ibnu ‘Arabi. Di antaranya adalah Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan.
Adapun Izzuddin bin Abdissalam, semula beliau mengingkari Ibnu ‘Arabi, kemudian setelah berjumpa langsung, beliau berbalik memuji dan menganggapnya wali.
Dalam kitab Lathaiful Minan karangan Tajuddin bin Atha’illah disebutkan bahwa Syaikh Izzuddin bin Abdissalam semula mengikuti pendapat ahli fikih, yaitu segera mengingkari kaum sufi.
Kemudian ketika Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili pulang dari haji, beliau mendatangi Syaikh Izzuddin sebelum memasuki rumahnya, lalu menyampaikan salam dari Rasulullah SAW untuknya.
Sejak saat itu, Syaikh Izzuddin menjadi lunak lalu mengikuti majelis Asy-Syadzili.
Sejak saat itu pula, beliau selalu memuji-muji kaum sufi setelah memahami metode mereka dengan sebenar-benarnya.
Imam As-Suyuthi berkata:
“Syaikh kami, Syaikhul Islam Al-Mujtahid Syarafuddin Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibnu ‘Arabi, beliau menjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang paling layak bagi seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya.”
Kemudian beliau menukil salah satu perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabi, “Kami adalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kitab kami.”
Hal itu dikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka.
Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran.
Hal itu disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh As-Suyuthi, beliau berkata, “(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemayam) sebagaimana makna yang selama ini diketahui, ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi?
Pertanyaan ini sangat perting untuk dijawab mengingat banyaknya orang yang menghukumi Ibnu ‘Arabi hanya berdasarkan kitab-kitab yang konon adalah karangan beliau.
Imam As-Suyuthi menjawab:
Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kitab itu adalah karangan Ibnu ‘Arabi.
Cara ini tidak mungkin lagi dilakukan karena tak ada bukti yang kuat bahwa kitab-kitab itu adalah asli karangan Ibnu ‘Arabi, meskipun kitab-kitab itu sudah sangat populer di masyarakat, karena popularitas di zaman ini tidak cukup.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa perkataan itu benar-benar berasal dari penulis sendiri.
Selain itu juga agar dipastikan tidak ada sisipan penambahan atau pengurangan yang tidak ilmiah yang bertendensi untuk menciptakan citra buruk terhadap penulisnya, karena ada indikasi kuat bahwa kitab-kitab karangan beliau sengaja disisipi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, istilah-istilah di dalamnya harus dipahami sesuai dengan maksud penulisnya.
Cara ini juga tidak mungkin dilakukan, karena di dalamnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Sebagian ahli fikih pernah bertanya kepada sebagian kaum sufi, “Apa yang mendorong kalian menggunakan istilah-istilah yang secara literal mengundang rasa risih di hati?”.
Mereka menjawab, “Sebagai bentuk rasa kecemburuan kami terhadap metode kami, agar orang-orang yang bukan dari golongan kami tidak dapat mengaku-ngaku bahwa mereka dari golongan kami dan supaya orang yang bukan ahlinya tidak masuk ke dalam golongan kami.”
Siapapun yang membaca atau mendengarkan isi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi pasti akan menyarankan bagi dirinya sendiri, terlebih orang lain, untuk tidak membacanya karena hanya akan membahayakan diri mereka sendiri dan kaum muslimin secara umum, terutama mereka yang masih dangkal pengetahuannya tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu zhohir lainnya. Mereka dapat tersesat dan menyesatkan.
Bahkan, sekalipun yang membacanya adalah seseorang yang ‘arif dan ‘alim, mereka takkan mau mengajarkannya kepada murid-murid mereka, karena ilmu mereka tak bisa dipahami dari kitab-kitab.
Alangkah indahnya jawaban salah seorang wali ketika ia diminta oleh seseorang untuk membacakan kitab Taiat Ibn Al-Faridh, beliau menjawab, “Tinggalkan itu! Orang yang telah berlapar-lapar sebagaimana mereka berlapar-lapar, terjaga di malam hari sebagaimana mereka terjaga, ia akan melihat (mengetahui) apa yang mereka lihat.”
Imam As-Suyuthi pernah ditanya tentang seorang pemuda yang menyuruh membakar kitab-kitab Ibnu ‘Arabi sambil mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi lebih kafir dari orang Yahudi, Nasrani dan kaum yang berkeyakinan bahwa Allah punya anak.
Beliau menjawab, “Wajib bagi pemuda itu untuk bertaubat dan beristighfar serta tunduk dan kembali kepada Allah agar ia tidak termasuk orang yang memusuhi wali Allah, yang berarti telah mengumandangkan perang terhadap Allah.”
Dalam hadis Qudsi, Rasulullah SAW pernah bersabda:
إن الله قال من عادى لى وَلِيًّا فقد آذَنْتُهُ بالحرب
“Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumandangkan perang terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6134)
Imam As-Suyuthi melanjutkan, “Jika ia tetap enggan bertaubat, cukuplah hukuman Allah baginya, tanpa hukuman dari makhluk. Apa kiranya yang akan diperbuat oleh hakim atau pihak yang berwajib? Inilah jawabanku mengenai masalah itu. Wallahu A’lam.”
Banyak ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi, di antaranya adalah Asy-Syaikh Al-‘Arif Shafiyyuddin bin Abi Manshur dalam Risalah-nya, beliau berkata, “Aku telah melihat di Damaskus, seorang syaikh imam yang tiada duanya, seorang alim dan amil, namanya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, salah seorang pembesar ulama tarekat. Ia telah menggabungkan antara ilmu-ilmu Kasbi (ilmu yang didapatkan dari proses belajar) dan ilmu-ilmu Wahbi (ilmu yang didapatkan dari anugerah Allah secara langsung). Popularitasnya tak diragukan lagi. Karya-karyanya pun terlampau banyak. Jiwanya telah dipenuhi oleh tauhid, baik dari segi ilmu maupun akhlaknya.”
Asy-Syaikh Abdul Ghaffar Al-Qushi berkata dalam kitabnya, Al-Wahid, “Syaikh Abdul ‘Aziz pernah bercerita bahwa di Damaskus terdapat seorang lelaki yang berjanji ingin melaknat Ibnu ‘Arabi setiap hari selepas Shalat Ashar sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ia meninggal dunia. Ibnu ‘Arabi datang bersama kerumunan manusia untuk menjenguk jenazahnya, lalu pulang dan duduk di rumah salah seorang sahabatnya. Beliau lalu menghadap kiblat. Ketika waktu makan siang tiba, makanan dihidangkan untuk beliau, tapi beliau tak mau makan. Beliau masih terus berada dalam keadaan seperti itu dan melakukan shalat, hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu beliau menoleh dengan wajah gembira, lalu meminta makanan itu. Ketika ditanya tentang yang baru saja diperbuat, beliau menjawab, “Aku berjanji kepada Allah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Dia mau mengampuni dosa-dosa lelaki yang dulu melaknatku ini. Aku terus-menerus seperti itu sambil membaca kalimat La Ilaha Illallah sebanyak tujuh puluh ribu kali. Akhirnya aku melihat lelaki itu, ia telah diampuni dosanya.”
Salah seorang pelayan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam pernah bertanya kepada beliau, “Bukankah tuan telah berjanji ingin mempertemukan saya dengan seorang wali?”. Syaikh Izzuddin menjawab, “Dialah wali itu.” Sambil menunjuk ke arah Ibnu ‘Arabi yang sedang duduk dalam majelis halaqohnya. Pelayan itu bertanya lagi, “Tuan, bukankah ia adalah orang yang selama ini anda ingkari?”. Syaikh tetap menjawab, “Dialah wali itu.” Beliau selalu mengulang-ulang jawaban itu setiap kali ditanya.
Imam As-Suyuthi berkomentar, “Seandainya dia bukan wali, niscaya perkataan Syaikh Izzuddin itu pun tidak bertentangan, karena beliau pernah menilainya dari segi zhohirnya (yang tampak) saja demi menjaga keselamatan syariat. Sedangkan rahasia di balik itu, diserahkan kepada Allah. Dia yang berhak melakukan apa saja yang Dia kehendaki.”
Oleh karena itu, para ulama jika menemukan hal-hal yang secara zhohir bertentangan dengan apa yang selama ini dipahami orang biasa, mereka mengingkari hal itu demi menjaga hati orang-orang yang lemah dan demi menjaga batas-batas syariat. Jadi mereka memberikan masing-masing orang haknya secara utuh.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menyebutkan dalam kitabnya, Inba Al-Ghumur Bi Akhbar Al-‘Umur, nama-nama ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Badruddin bin Ahmad bin Syaikh Syarafuddin Muhammad bin Fakhruddin bin Ash-Shahib Bahauddin bin Hana (w. 788 H)
2. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub, yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Al-Wudhu’
3. Abu Abdillah Muhammad bin Salamah At-Tuziri Al-Maghribi
4. Syaikh Najmuddin Al-Bahi
5. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ash-Shufi
6. Syaikh Ismail bin Ibrahim Al-Jabaruti Az-Zubaidi
7. Al-‘Allamah Majduddin Asy-Syirazi
8. Syaikh Alauddin Abul Hasan bin Salam Ad-Dimasyqi Asy-Syafii (w. 829 H)
9. Qadhi Al-Qudhat Syamsuddin Al-Bisathi Al-Maliki.Mengenai nama terakhir ini, Ibnu Hajar menyebutkannya kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju Syaikh Alauddin Al-Bukhari. Dalam perbincangan, mereka menyinggung nama Ibnu ‘Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-jelekkan Ibnu ‘Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu ‘Arabi, “Sebenarnya orang-orang mengingkari Ibnu ‘Arabi hanya karena berdasarkan kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminya sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil.” Demikian sanggahnya. Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkaran terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaqah ala Ibnu ‘Arabi. Al-Bisathi menjawab, “Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaqah?”. Syaikh Alauddin marah besar mendengarnya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktifkan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirnya dari Mesir.
Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalahan ini kepada pemerintah. Hampir saja pemerintah mengabulkan permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi. Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan.
Imam As-Suyuthi berkomentar, “Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah.”
Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktifkannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.
Dan masih banyak lagi pujian dan sanjungan yang dilontarkan oleh para ulama kepada Ibnu ‘Arabi. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih lanjut bisa membaca langsung kitab karangan Imam As-Suyuthi yang saya sebutkan di atas atau kitab-kitab tentang biografi Ibnu ‘Arabi.
Penutup
Pagi tadi (25 Mei 2010 M), selepas Shalat Shubuh di Jami Al-Buthi, saya bertanya langsung kepada Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (semoga Allah menjaga beliau), mengenai Ibnu ‘Arabi dan kontroversi seputar tokoh besar itu. Syaikh menjawab, “Beliau (Ibnu ‘Arabi) adalah Al-Imam Al-Akbar yang telah dicemarkan namanya. Kaum Bathiniyah dari kalangan Ismailiyah telah menyusupkan perkataan-perkataan bathil ke dalam kitab-kitab karangan beliau. Dan sekarang kaum Wahabi sering mengkafirkan beliau berdasarkan isi kitab-kitab itu.”
Jawaban Syaikh Al-Buthi tersebut ternyata sesuai dengan jawaban Imam As-Suyuthi di atas.
Demikianlah ringkasan mengenai masalah ini. Wallahu A’lam Bis Showab.
Damaskus, 25 Mei 2010 6:06 a.m.
Tambahan dari komentar pengunjung yang lain pada thread tsb,
Syeikh ‘Abdullah al-Talidi (حفظه الله) di dalam al-Mutrib bi Masyahir Awliya’ al-Maghrib, mengatakan :
“Beliau(Ibn ‘Arabi) sebenarnya adalah lambang kebanggaan dan tokoh besar umat ini. Khususiyyah dan ma’rifah beliau dengan Allah Taala serta keteguhan pendiriannya di dalam tauhid dan berpegang dengan syarak telah disaksikan oleh ramai tokoh-tokoh besar seperti Abu Madyan al-Ghawth, al-‘Izz bin ‘Abdil Salam, Fakhruddin al-Razi, katanya: Beliau adalah wali yang agung. al-Syihab al-Suhrawardi, al-‘Arif Sayyidi Mustafa al-Bakri, al-‘Arif Sayyidi ‘Abdul Qadir al-‘Idrus, Syeikh Zakariyya al-Ansari, Ibn Hajar al-Haytami, al-‘Arif al-Yafi’i, al-Fairuzabadi pengarang al-Qamus, al-‘Arif Ibn ‘Ata’illah,… ”
“… penyusun al-Hikam, al-Qutb al-Sya’rani, al-Hafiz al-Suyuti, al-‘Arif al-Nabulusi, al-‘Arif Ibn ‘Ajibah, Abu ‘Abdillah ibn Ja’far al-Kattani, Khatimah al-‘Arifin Sayyidi Muhammad bin al-Siddiq, dan lain-lain lagi dari kalangan tokoh-tokoh sepanjang zaman.
Ia adalah penyaksian adil para imam besar berkenaan ketokohan beliau (Ibn ‘Arabi), sifat istiqamah dan khususiyyah beliau, serta kebebasan beliau daripada kecaman-kecaman yang ditujukan kepadanya. Sesungguhnya mereka itu adalah imam-imam hidayah, serta pemimpin-pemimpin tarbiah dan islah. Maka penyaksian mereka adalah didahulukan ke atas sesiapa yang mengecam dan mengkritiknya, kerana mereka mengkritiknya dengan perkara yang mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan lengkap tentangnya, dan tidak sampai kepada mereka takwilnya. Maka mereka tidak mengetahui maksud beliau berbanding tokoh-tokoh tersebut.”
– Masih ada banyak lagi tokoh besar yang tidak disebutkan oleh Syeikh al-Talidi seperti Ibn Kamal Basya, Ibn al-‘Imad al-Hanbali, al-‘Allamah al-Munawi, Syeikh Ahmad al-Sirhindi, Syeikh Hayat al-Sindi, Syeikh Abu al-Mahasin al-Qawuqji, Imam ‘Abdullah al-Haddad, al-Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri dan sebagainya.
Allahu’alam*Dulu ada situs forum yg khusus menelaah/mendiskusikan tentang segala yg berkaitan dengan beliau, tentang karya2 kitabnya, dllnya, forum stb dinamai dg “forum mempertahankan Ibnu Arabi”,..(berbahasa arab),..namun sayang sekarang situs tsb di blokir ga bs di buka linknya.
Umuman semoga ada hikmah dibalik semua ini, Allahu Musta’an.
Bagus ini Mas, copas aja di Ummati Press untuk jawab kicauan yusuf ibrahim tentang Imam Ibnu Arabi….
Assalamu’alaikum
Alhamdulillah saya menemukan tulisan Anda. Semoga Allah SWT selalu menunjukkan kebenaran kepada kita semua. Amin
Terimakasih atas wacana dan ilmu yang telah ditularkan kepada kami. Saya berasumsi Anda saat ini bermukim di Damascus, Syria. Insyallah, saya tertarik untuk membaca dan mencari ilmu ‘ngelmu’ lebih lanjut.
Wassalamu’alaikum
Sriyanta Hadi
Warga RI di Kuala Lumpur, Malaysia
Walaikumsalam Wr. Wb
Blog ini berisikan tulisan-tulisan saya dan saudara-saudara kita. Alhamdulillah tulisan tentang kajian Ibnu Arabi berasal dari saudara kita. Tulisan-tulisan yang bukan dari saya, telah disebutkan sumbernya.
Wassalamu’alaikum
Saya punya buku terbitan 1990an “Wasiat-wasiat Ibnu `Arabi / Al-Washaayaa li Ibn al-`Arabi” , penerbit Pustaka Hidayah, Bandung. Kalau tidak salah merupakan bagian karya puncak Beliau ‘Futuhat Al Makiyah’. Dari buku tersebut amat jelas kalau Beliau sangat menghormati syariat / fiqh.
Makamnya di Damaskus cantik sekali, silahkan lihat google (image – tomb Ibnu Arabi).
Semoga pangkat Beliau semakin ditinggikan.
Kita sebaiknya merawat dan mewarisi buku-buku / kitab yang kita ketahui keasliannya. Begitu juga penerbit-penerbit dapat menerbitkan kembali. Seperti yang kita ketahui bahwa generasi berikut kemungkinan besar, fitnah (dalam hal ini pemalsuan buku/kitab) akan makin bertambah.
Luar biasa tulisannya, barakallahu fiik.
terima kasih…
Subhanallah, ane ijin copas ustad, buat ana print, kebetulan ana sedang kaji Insan Kamil karyanya dan insan kami karya Al Jilly.
Alhamdulillah, silahkan dimanfaatkan
saya juga semula ga percaya kalaui Ibnu Arobi sesat.
ada 2 hal yang ingin ana tanyakan kepada penulis :
1. apakah antum sudah mengetahui sisi-sisi dari Ibnu ‘Arabi yang dikritik oleh Ibnu Taimiyah?
2. apa saja sisi dari Ibnu ‘Arabi yang dipuji oleh ulama-ulama tersebut?
Begitulah pentingnya syariat dan tasawuf. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka amalan batin (amalan tasawuf) lah yang lebih utama. Seperti dalam sabda Rasulullah yang artinya “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu”. (HR Muslim 4651)
tadi nya ketika akan membaca, saya berharap akan bisa mendapatkan gambaran profil lengkap dari Ibnu Arabi… ternyata saya salah…, tak satupun saya temukan tentang Ibnu Arabi… isinya tentang orang-orang yang kenal dengan Ibnu Arabi.. ada yang nganggep Wali.. ada yang nganggep sesat… tapi gak di jelasin alasan nganggep wali-nya dan alasan nganggep sesatnya..
seperti Syech Siti Jenar, sebagian orang mengatakan Sesat, karena ajarannya tidak mengikuti pandangan umum tapi sebagian lainnya mengatakan Wali…karena Beliau mengajarkan sesuatu yang langsung menuju hakekat… dll-nya
terima kasih,
jarS_
belajarlah bertasawuf dari sumber yang muktabar ………pasti akan tau jawabnya …..
boleh tahu gak ciri-ciri sumber yang Muktabar itu yang seperti apa ? tapi kalau mau langsung sih, bisa gak referensi-nya sumber yang dapat dipercaya dan lurus tentunya serta yang bisa diajak ngomong pastinya… jangan lagi-lagi referensi dari bacaan… malah gek mumet, dikon moco melulu…, kapan praktek-nya…
terima kasih,
jarS_
Yang mutakbar artinya sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
halo Om Zon,
terima kasih atas informasinya, jadi untuk saat ini ada dimana sumber tersebut ? yang sanad ilmunya tersambung kepada lisan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ?
apakah Om Zon termasuk di dalam urutan yang Muktabar ?
atau mungkin Om Mamo malahan sudah tahu jawaban-nya ? dan sudah berhasil ? mohon bantuannya bisa di sharing…, kan sharing ilmu bermanfaat.
terima kasih,
jarS_
top markotop dech, ogut hormati tulisannya. Banyak orang baca kitab, banyak orang mencela, banyak orang memuji, banyak,orang berkomentar mungkin tak ada satupun yang memahami yang dimaksud penulis. Membaca, dan menganalisis merupakan pendekatan aja. Asline yo mboh ra ngerti. Banyak komentar, banyak diskusi, banyak perdebatan menimbulkan pertentangan dan perpecahan. Begitulah dilemanya penulis, maksud hati memberi pencerahan, sehubungan banyak pembaca yang tingkat pemahaman berbeda beda dapat menjadikan perpecahan.
thank you ach, bisa ikut comment
Kalau mendengar cerita2 orang2 sufi kok seperti cerita dongeng fiksi yang sulit dicerna oleh akal.Contohnya ada orang di luar jazirah arab yg setiap sholat jumat itu di Masjidil Harom, ada yang mengaku mengetahui sesuatu yang ada di pikiran orang lain,ada barang miliknya yang hilang tahu2 ketemu dg sendirinya atau dg sebab yg hampir tidak masuk akal.Kalo itu benar terjadi,agaknya ada sesuatu yang patut dicurigai. Apa ini ada pihak ketiga (mahluk goib,sebangsa jin) yang ikut bermain didalamnya? Terus….. cara beribadahnya sepertinya khusus yaitu dg wirid2 khusus maupun tatacara yang berbeda dari yang diterangkan oleh para sahabat dlm hadits2 yang shohih,contoh tentang cerita Ibnu Arobi yg membuat “perhitungan” kpd Alloh yang tidak mau makan (adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh),sampai katanya Alloh mau mengmpuni seorang jenazah yang pada masa hidupnya melaknatnya.Ini adalah cerita2 yang dibuat oleh Ibnu Arobi sendiri atau cerita dari oang2 yang “memanfatkan” ibnu arobi sebagaimana cerita2 yang dibuat oleh murid2 syeikh abdulqodir jaelani tentang diri gurunya. Kalo cerita itu dr ibnu arobi sendiri,tidaklah naif jika para ulama salaf “mengkritiknya” atau bahkan ada yg menghukumi sesat kepadanya.Bukankah Rosululloh orang yang paling mulia.Beliau tidak pernah “memaksa” Alloh dg “mengharamkan” sesuatu yang telah dihalalkan oleh Alloh dg tidak mau makan untuk meluluskan harapannya.Kemudian cerita tentang Rosululloh yang memberi salam kepada orang yang masih hidup. Tidak pernah dijumpai dalam Hadits yg shohih bahwa setelah sepeninggal beiau, rosululloh memberi salam kepada para sahabatnya yang masih hidup.Apalagi tentang kepercayaan sebagian dari para sufi yang percaya bahwa orang yg sudah mati dari orang2 sholih dapat memberi tausiah kpd yang masih hidup.Rosululloh adalah orang yang paling sholih.Sepeninggal beliau tidak pernah memberi nasihat kpd para sahabatnya,kecuali semasa hidup beliau. Karena memang wahyu itu telah terputus dengan diwafatkannya beliau.Dan dengan demikian telah sempurnalah agama ini,tdak ada yang perlu ditambah ataupun dikurangi , sebagaimana bunyi pada surat almaiadah ayat yang ke tiga “pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhoi Islam itu mejadi agama bagimu”
Mas Asmuri, memahami tulisan atau perkataan ulama Sufi sebaiknya mempergunakan hati bukan pada akal pikiran karena apa yang mereka ungkapkan adalah keadaan cinta mereka terhadap Allah Azza wa Jalla.
Cobalah mas Asmuri kalau ada waktu untuk membaca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/03/11/bentuk-ruh/
@Mas Zon…..sebenarnya memang ada yg memanipulasi kitab Ibnu Al-Arobi. ada yg melebih-lebihkan….ada yg membuat-buat cerita hingga keluar dari jalur syar’i…seperti Ibnu al-Arobi membolehkan untuk tidak shalat.
@mas Asmuri Sayuti…kalau untuk shalat jum’at di masjidil haram dan mengetahui apa yg ada di hati seseorang…itu namanya kasyaf pak. Dan kasyaf memang ada dan disebut kata kasyaf ini di dalam al-Qur’an. Seperti halnya Nabi Khidir As yang kasyaf…diberi pengetahuan Allah Swt mengenai apa yg akan terjadi di masa akan datang, sehingga ia membunuh seorang anak, melubangi kapal, dan mendirikan rumah yg ternyata dibawah rumah itu ada harta anak yatim. Namun itu semua tidak diketahui oleh nabi Ibrahim As. Nabi Muhammad Saw juga kasyaf…oleh Allah Swt diperlihatkan neraka, surga, siksa kubur, dsb… Seorang waliyullah pun banyak yg diberikan kasyaf ini berdasarkan kedekatannya kpd Allah Swt…namun, tingkatan kasyafnya tentu di bawah nabi Muhammad Saw. Kasyaf ini hanya untuk memperteguh iman saja.
Yang saya ketahui…orang2 yg diteguhkan hatinya oleh Allah Swt dengan dibuka sedikit tabir kegaiban….mereka akan banyak menangis dan menangis, kadang menangis senang krn melihat keindahan yg dinampakkan oleh Allah Swt, terkadang menangis takut krn melihatkan hal2 yg menakutkan yg ditampakkan Allah Swt. Biasanya mereka yg kasyaf lebih sibuk melihat amalan diri sendiri daripada melihat amalan orang lain…..lebih sibuk mengoreksi diri sendiri daripada mengoreksi orang lain. BIasanya mereka ini memiliki akhlak yg baik, santun, pendiam, damai dengan siapa saja, dan banyak menangis…
Tidak ada yg tidak mungkin jika Allah berkehendak….
sudahlah saudaraku,, tidak perlu berbantahan tentang ibnu arobi. yang terpenting yakinilah pa yang telah anda semua ketahui. dan jalankkanlah apa yang telah anda yakini, tapi ingat jangan pernah menyakiti saudara anda sendiri yang tidak sependapat dengan anda. “bagimu amalanmu bagiku amalanku”. jangan biarkan orang kafir bergembira melihat sesama muslim bertengkar.
as salamo’aikom..
Saya berharap sekali..sekiranya forum artikel ini membahas baik secara garis besar ataupun sedikit mendetail kitab” karya Ibnu ‘Arabi.
Sekian dan Terima kasih.
Was salam.
Berikut ini sebuah tulisan yg mengupas PEMALSUAN TERHADAP KITAB IBNU ARABI (ternyata Ibnu Arabi tidak berakidah Hulul dan menolak akidah Hulul) : http://abu-syafiq.blogspot.com/2008/10/imam-ibnu-al-araby-sufi-mangsa-takfir.html
Hal itu dikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran.
He..he.. mau tanya kenapa harus menggunakan istilah khusus ya?
Untuk menghindari pihak yang mengaku-ngaku telah mengamalkan tasawuf namun sebatas pengakuan saja
Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/14/sebatas-pengakuan/
Mas, Yth, tolong dong dimana perpustakaan yang menyajikan kitab sufi atau kitab kitab ibnu Araby. trims, ditunggu balasannya
Mas Akhyar , kami tidak menyarankan untuk membaca kitab Ibnu Arabi karena agak sulit untuk meneliti bahwa kitab tersebut memang karya beliau karena banyaknya upaya pemalsuan sebagaimana yang telah kami jelaskan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/19/dijauhkan-dari-tasawuf/
Assalamualaikum..
alhamdulillah bisa menemukan tulisan ini, sangat membantu untuk pencerahan..
oh iya.. tlng donk mas mutiara zuhud ini mengambilkan kutipan-kutipan dan footnote tentang konsep zuhud dan Riyadhohnya Ibn Arabi, biar tambah mantab.. biar bisa ngecek secara langsung.. terima kasih mas mutiarazuhud.
kalau membaca sebagian terjemahannya, ajaran-ajarannya, hikmah perkatannya “luar biasa bagus”, ditanggung bersesuaian syareat banget, … tetapi kalau dah menyangkut kata-kata yang agak “metafor/kiasan” wah …ini yang susah dari beliau. Tapi bisa dipahami mengapa banyak ulama senior dan sarjana-sarjana Barat yang doktor-doktor itu menganggapnya “brilant”… (tapi tidak usah ketinggian sampai kesitu, baca terjemahan dari wasiat, hikmah dan ajaran syareatnya saja menurut saya sudah lebih dari cukup).
Mas Haryanto sebaiknya janganlah membatasi diri dengan ungkapan “tapi tidak usah ketinggian sampai kesitu, baca terjemahan dari wasiat, hikmah dan ajaran syareatnya saja menurut saya sudah lebih dari cukup”
Ungkapan seperti itu pada hakikatnya meragukan kehendak Allah karena kehendak Allah semata seseorang meraih manzilah (maqom/derajat) yang tinggi sehingga berkumpul dengan Rasulullah
Allah Azza wa Jalla telah mensucikan (menganugerahkan) mereka dengan akhlak yang tinggi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Ya….ini karena …nganu mas, saya ada alasannya juga:
Pertama, seperti kata Jalaluddin As-Suyuthi, shohibul Tafsir Jalalain dan penulis kitab-kitab kuning ilmu-ilmu al-Quran yang menjadi rujukan para pakar tafsir di zaman sesudahnya. As- Suyuthi membuat kitab khusus “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”. Dikatakan (dengan mengutip kata-kata dari Imam Ghazali) Ibn Arabi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-istilah itu jika dipahami zhahirnya secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru, menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemayam) sebagaimana makna yang selama ini diketahui, ia kafir secara pasti.” Imam As-Suyuthi walaupun membela Ibn Arabi tetapi juga mencegah untuk menelaah kitab-kitab karangannya yang penuh dengan ibarat-ibarat yang sukar difahami.
Kedua, ulama-ulama dari kalangan Bani Alawi pada umumnya juga mencegah menelaah kitab-kitab Ibn Arabi seperti kisah Syaikh Abu Bakar al-‘Aydrus, “Ayahku tidak pernah memukul dan membentakku kecuali sekali, tatkala dia melihat pada tanganku ada satu juz dari “Futuhaatul Makkiyyah” karya Ibnu ‘Arabi. Maka marahlah ayahku dengan sangat marah, dan mulai saat itu dicegahnya aku menbaca karangan Ibnu Arabi. Dan dia telah mencegah membaca dua buah kitab karangan Ibnu ‘Arabi, kitab “al-Futuhaat” dan kitab “al-Fushush” tetapi beliau menyuruh agar berbaik sangka dengan Ibnu ‘Arabi serta mengi’tiqadkan bahawasanya beliau adalah sebesar-besar wali dan ulama billah, al-‘aarifin billah ta`ala pada jamannya. Dan beliau berkata, “Bahawasanya kitab-kitabnya (yakni kitab Syaikh Ibnu ‘Arabi) dipenuhi dengan hakikat-hakikat yang tidak diketahui melainkan oleh mereka-mereka yang khawas (arbab an-nihaayaat) dan berbahaya bagi mereka-mereka yang baru bermula (ahlu al-bidaayaat).”
Ketiga, ditanyakan kepada Imam Ibnu Hajar Al Haitami, “Apa hukum membaca kitab-kitab karya Syekh Muhyidin Ibnu ‘Arobiy ? Maka beliau menjawab, “Menurut keterangan yg aku kutip dari guru-guruku, …..bahwa sesungguhnya Syekh Muhyidin Ibnu Arobiy itu termasuk golongan auliya’ arifin. Dan merekapun telah sepakat mengenai predikat beliau sebagai orang yang paling ‘alim pada zamannya …. dan sesungguhnya di dalam ilmu tahqiq, kasyf dan pembicaraan yang terkait dengan pemisahan dan pengumpulan, beliau ini laksana lautan ilmu yg tidak perlu dialiri…..Termasuk tanda kebesarannya adalah ketika beliau menyusun kitabnya yg berjudul “Al Futuhatul Makkiyyah”, beliau meletakkan kitab tersebut diatas Ka’bah dengan tanpa pelindung. Maka kitab tersebut bertahan selama setahun di bagian luar Ka’bah, sama sekali tidak tersentuh air hujan dan tidak tertiup angin, padahal waktu itu di daerah Makkah banyak terjadi angin kencang dan hujan lebat. Maka penjagaan dari Allah kepada kitab beliau tersebut dari tiupan angin dan hujan ini cukup menjadi bukti dan tanda bahwa Allah ta’ala menerima kitab tersebut di sisiNya, ….. Maka seyogianya jangan sekali-kali ingkar atas isi kitab tersebut. Karena hal itu akan menjadi racun yang siap membinasakan pada waktu itu juga, sebagaimana saya ( Imam Ibnu Hajar) menyaksikan dan mengalami peristiwa yang terjadi pada orang-orang yang ditimpakan bencana dan keburukan azab atas mereka (karena ingkar kepada kitab Ibnu Arobiy tersebut). Dan mengenai membaca kitab-kitab karya beliau, maka sebaiknya dihindari saja, baik dengan alasan apapun juga. Sebab di dalam kitab-kitab beliau tersebut terdapat pembahasan-pembahasan ilmu-ilmu hakikat yang sulit difahami kecuali oleh ulama-ulama ‘arifin yang memahami betul Al Quran dan As Sunnah pada pembahasan-pembahasan yang .tersurat maupun tersirat.
Mas Haryanto dari ketiga kutipan “larangan” yang anda sampaikan seluruhnya diberikan catatan dalam arti larangan bagi orang awam namun kalau Allah Azza wa Jalla menghendaki maka batasan “orang awam” akan terlampaui.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka
Ulama-ulama dari kalangan Bani Alawi , dipenuhi dengan hakikat-hakikat yang tidak diketahui melainkan oleh mereka-mereka yang khawas (arbab an-nihaayaat) dan berbahaya bagi mereka-mereka yang baru bermula (ahlu al-bidaayaat).”
Imam Ibnu Hajar Al Haitami, terdapat pembahasan-pembahasan ilmu-ilmu hakikat yang sulit difahami kecuali oleh ulama-ulama ‘arifin yang memahami betul Al Quran dan As Sunnah pada pembahasan-pembahasan yang .tersurat maupun tersirat.
Assalamualaikum wbh Sdr Seugama Islam yth. Mohon info pada saya di mana saya bisa dapat beli Kitab Futuhat Al Makkiyah karya Sy Sidi Ibn ‘Arabi Ra. Makasih – Jazakallah. Selamat Beribadah Puasa Ramadhan 1437H. Bisa sms no.hp: +6598379849
memang ilmu tasswuf itu membuat banyak orang bingung…..maka jauhilah….dan beralilah ke ilmu yang jelas…yaitu alqu an dan sunnah dg pemahaman nabi salafu sholeh
Mas Ruwaidi , Tasawuf adalah istilah yang dipergunakan untuk segala perkara terkait dengan akhlak atau segala perkara terkait dengan ihsan
Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah ihsan atau akhlak.
Contoh silabus pada tingkatan sekolah lanjutan dapat dilihat pada http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/125464278.png
Contoh hasil scan buku guru kelas XI kurikulum 2013 bahwa tasawuf adalah pendidikan akhlak dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/tasawuf-dalam-buku-guru-kelas-xi-kurikulum-2013.jpg
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana tulisannya yang diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Al Habib Luthfi ketika ditanya apa pandangan-pandangan beliau tentang tasawuf. Beliau menjelaskan sebagaimana yang termuat pada http://www.habiblutfi.net/index.php/berita/item/338-pengamalan-tasawuf-ala-al-habib-luthfi
***** awal kutipan *****
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.
***** akhir kutipan *****
Begitupula ketika Al Habib Luthfi ditanyakan apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf, beliau menjawab
***** awal kutipan *****
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
***** akhir kutipan *****
Silahkan baca tulisan selanjutnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/13/tasawuf-tentang-ihsan/