Mereka bertanya mengapa kita panggil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ?
Pertanyaan ini pada hakikatnya tidaklah terkait dengan dalil atau hujjah namun bagian dari akhlak.
Sebagian ulama (ahli ilmu) pada zaman modern ini memahami ilmuNya secara ilmiah/logika yakni menggunakan pikiran dan memori.
Jumhur ulama sejak dahulu memahami ilmuNya secara hikmah yakni menggunakan akal dan hati
Pikiran adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami dengan menterjemahkan)
Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran)
Berpikir dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat.
Hati dalam bentuk jasmani adalah “segumpal darah”
Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”
Orang-orang “Barat” yang umumnya non muslim yang berpikir secara ilmiah/logika dapat kita temui anak-anak memanggil orang tua mereka dengan namanya dan murid-murid memanggil guru mereka dengan namanya.
Kita orang-orang “Timur” khususnya kaum muslim memangil orang tua laki-laki kita dengan panggilan “ayah”, “abi”, “papa” dll sebagai penghormatan dan ikatan bathin/ruhani
Kita memanggil “ayah”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang anak.
Kita memanggil “pa guru” , pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang murid.
Kita memanggil “ya Robb”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai hamba Allah.
Kita memanggil “sayyidina” kepada Rasulullah, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebaga ummat beliau
Perbuatan memanggil “hubungan” adalah yang dimaksud dengan perbuatan bathin atau ruhani yang berhubungan dengan akal dan hati.
Contoh lain di kalangan orang jawa walaupun yang memanggil lebih tua namun sebagai penghormatan tetap memanggil yang muda dengan “mas”.
Kalau kita pahami secara ilmiah/logika maka itu kita katakan keliru seharusnya memanggilnya “dik” namun kalau kita pahami secara hikmah (akal dan hati) maka panggilan tersebut sah-sah saja
Apa yang kami sampaikan adalah apa yang dinamakan “hakikat”.
Pada zaman sekarang ini ulama (ahli ilmu) mulai melupakan yang namanya “hakikat”.
Semua itu ditengarai karena ulama-ulama mulai tercemar atau terserang ghazwul fikri dari pemikir-pemikir agama Islam namun mereka adalah non muslim. Mereka mendirikan “pusat kajian Islam” yang dipimpin oleh orientalis barat/non muslim. Aneh memang ada cendekiawan muslim namun belajar agama kepada orientalis barat/non muslim. Pastilah akam mendapatkan ilmu agama sebatas secara ilmiah/logika.
Syariat dapat dipahami secara ilmiah/logika dengan pikiran dan memori namun untuk selanjutnya tharikat, hakikat dan ma’rifat harus dipahami secara hikmah atau dengan akal dan hati
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Tharikat, hakikat, ma’rifat yang disebut juga tauhid tingkat lanjut
Tauhid tingkat lanjut tidak dapat dipahami oleh mereka yang tidak bersyahadat (non muslim)
Secara lengkap syariat, tharikat, hakikat, ma’rifat dinamakan dengan tasawuf atau tentang ihsan atau tentang akhlak.
Oleh karenanya dikatakan oleh sebagian ulama bahwa “modernisasi agama Islam” sebenarnya adalah “pendangkalan ajaran agama Islam” dan dikatakan “ulama pembaharu” sebenarnya adalah mereka yang “mendangkalkan” ajaran agama Islam.
Semoga saudara-saudara ku para pembaca dapat memahami bagaimana “peta” dunia Islam sesungguhnya.
Ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz hanyalah sebagai bekal/syarat/syariat bagi kita untuk tujuan sesungguhnya. Tujuan sesungguhnya adalah memperjalankan diri kita (jasmani dan ruhani) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah Azza wa Jalla sang pemilik ilmuNya.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Oleh karenanya marilah kita temui Allah Azza wa Jalla dengan sholat sunnat dua raka’at dan mohon ampunanNya atas ketersia-siaan waktu karena ilmuNya begitu luas tidak hanya sebagaimana syaikh/ulama/ustadz ajarkan kepada kita.
Biarkanlah Allah Azza wa Jalla yang membimbing kita sekalian untuk memahami ilmuNya.
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).
Jika kita telah ada kemauan untuk menuju kepadaNya, Allah Azza wa Jalla akan menentukan melalui sarana apa kita akan dibimbingnya seperti hati, ilham, firasat, mimpi atau melalui kekasihNya (Wali Allah), dan sarana lain yang dikehendakiNya.
71.9/6475. Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Musayyab, bahwasanya Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kenabian tidak ada lagi selain “berita gembira”, para sahabat bertanya; ‘apa maksud “berita gembira”? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; mimpi yang baik.
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=71&ayatno=9&action=display&option=com_bukhari
71.14/6480. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ubaidullah bin Abi Ja’far telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Qatadah mengatakan, Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “mimpi yang baik adalah berasal dari Allah, sedang mimpi yang buruk berasal dari setan, maka barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah ke samping kirinya sebanyak tiga kali, dan mintalah perlindungan dari setan, sesungguhnya mimpinya tersebut tidak akan membahayakannya, dan setan tidak mungkin bisa menyerupaiku.”
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=71&ayatno=14&action=display&option=com_bukhari
Contoh bimbingan melalui mimpi
14.159/1575. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami An-Nadhar telah mengabarkan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Abu Jamrah berkata; Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma tentang muth’ah (hajji tamattu’), maka dia memerintahkan aku untuk melaksanakannya. Dan aku bertanya pula kepadanya tentang Al Hadyu (hewan qurban), maka dia berkata: ‘Untuk Al Hadyu boleh unta, sapi atau kambing atau bersekutu dalam darahnya (kolektif dalam penyembilahannya). Dia berkata: Seakan orang-orang tidak menyukainya. Kemudian aku tidur lalu aku bermimpi seakan ada orang yang menyeru: Hajji mabrur dan tamattu’ yang diterima. Kemudian aku menemui Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma lalu aku ceritakan mimpiku itu, maka dia berkata: Allahu Akbar, ini sunnah Abu Al Qasim Shallallahu’alaihiwasallam. Dia berkata; Dan berkata, Adam, Wahb bin Jarir dan Ghundar dari Syu’bah dengan redaksi: ‘Umrah mutaqabbalah (Umrah yang diterima) dan hajji mabrur.
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=14&ayatno=159&action=display&option=com_bukhari
Jangan ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz justru menghijab diri kita dengan Allah Azza wa Jalla. Hal ini diungkapkan oleh ulama Tasawuf sebagai berikut,
Mereka yang terhalang melihat Allah yakni mereka yang tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya atau amalnya.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jallan dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya.
Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.
Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Kita katakan bahwa sholat yang kita lakukan selama ini adalah berdasarkan ilmu dari syaikh/ulama/ustadz adalah sebagaimana sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun sebagaimana yang dilakukan para Sahabat. Pertanyaannya adalah, sudahkah sholat yang kita lakukan tersebut menghantarkan kita ke hadhirat Allah Azza wa Jalla ?
Walaikumsalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Note: Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”
Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/15739/07/03/2011/hukum-sebut-%E2%80%9Csayyid%E2%80%9D-untuk-rasulullah.html
Dar Al Ifta Al Mishriyah, lembaga fatwa resmi Mesir dalam fatwa no. 292, membahas mengenai hukum mengucap “Sayyiduna” kepada Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam. Fatwa ini dikeluarkan untuk merespon permohonan fatwa bernomor 2724, yang diajukan ke Dar Alifta, mengenai masalah tersebut.
Dalam fatwa itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wassalam merupakan “Sayyid” (tuan) bagi seluruh makhluk adalah ijma’ umat Islam. Bahkan beliau sendiri telah bersabda,”Aku adalah sayyid (tuan) anak Adam”, dan diriwayat lain disebutkan,”Aku sayyid (tuan) manusia”, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Sedangkan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi peringatan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan menolong-Nya, mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di pagi hari dan petang.” (Al Fath: 8-9)
Sebagian ulama menilai bahwa perintah mengagungkan, kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Imam Qatadah dan As Suddi, mengagungkan Rasulullah termasuk mensayyidkan beliau.
Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”
Dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, ”Kami melalui tempat air mengalir, maka aku turun dan mandi dengannya, setelah itu aku keluar dalam keadaan demam. Maka hal itu dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam. Maka beliau bersabda, ”Perintahkan Aba Tsabit untuk meminta perlindungan.” Saya mengatakan,”Wahai Sayyidku (tuanku) apakah ruqyah berfungsi?” Beliau bersabda,”Tidak ada ruqyah kecuali karena nafs (ain), demam atau bisa.” (Al Hakim, beliau menyatakan isnadnya shahih)
Shalawat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar gunakan “Sayyid”
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga menyebut “Sayyid” untuk Rasulullah dalam shalawat beliau berdua. Ibnu Mas’ud pernah mengajarkan,”Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka baguskanlah shalawat untuk beliau, sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa shalawat itu ditunjukkan kepada beliau. Maka, mereka mengatakan kapada Abdullah bin Mas’ud,’Ajarilah kami.’ Ibnu Mas;ud menjawab,’Ucapkanlah, Ya Allah jadikanlah shalat-Mu dan rahmat-Mu dan berkah-Mu untuk Sayyid Al Mursalin (tuan para rasul), Imam Al Muttaqin (imam orang-orang yang bertaqwa), Khatam An Nabiyyin (penutup para nabi), Muhammad hamba-Mu dan rasul-Mu, Imam Al Khair (imam kebaikan), Qaid Al Khair (pemimpin kebaikan) dan Rasul Ar Rahmah (utusan pembawa rahmat).’” (Riwayat Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mundziri)
Atsar serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Musnad, dengan sanad hasan pula.
Walhasil, menyebut Rasulullah dengan gelar “Sayyid” adalah perkara yang disyariatkan
jadi hamba Allah itu harus utuh dalam ketundukan dan kepatuhan, tidak setengah-setengah.
Yā ‘Ayyuhā Al-Ladhīna ‘Āmanū Adkhulū Fī As-Silmi Kāffatan Wa Lā Tattabi`ū Khuţuwāti Ash-Shayţāni ۚ ‘Innahu Lakum `Adūwun Mubīnun
—————-
Qul Yā ‘Ahla Al-Kitābi Ta`ālaw ‘Ilá Kalimatin Sawā’in Baynanā Wa Baynakum ‘Allā Na`buda ‘Illā Al-Laha Wa Lā Nushrika Bihi Shay’āan Wa Lā Yattakhidha Ba`đunā Ba`đāan ‘Arbābāan Min Dūni Al-Lahi ۚ Fa’in Tawallaw Faqūlū Ash/hadū Bi’annā Muslimūna
Gaya penulisan abang yang mengalir dan mudah dipahami sangat saya sukai. Minta izin untuk saya posting di blog saya. Hadiyatan ila Sayidina Rasulillah wa ummatih 🙂
Alhamdulillah, silahkan abang
alhamdulillah satu lagi pemahaman yang sering diperselisihkan ………trima kasih bang Zon …..salam
Subhanallah, penjelasannya disertai pemahaman yang dalam Akhi… Minta Izin untuk saya simpan dan saya sampaikan kepada Saudara2 yang lain…
Alhamdulillah, silahkan akhi disebarluaskan..
Ass,…..minta izin untuk copas akhi….thanks
Walaikumsalam
Alhamdulillah, silahkan di copas
Maaf sebelumnya. Ini pendapat sya, kalau setuju alhamdulillah, kalau tidak juga tdk apa2…masing2 punya hujjah, dan nanti kelak Alloh yg akan menilainya. Bismillahirrohmanirrohiim. As- Sayyid bermakna pemimpin / raja salah satu asmaul husna
Dalam sholawat kpd Rosul apakah perlu membacanya memakai sayyidinaa Muhammad…??? (memang banyak perbedaan pendapat)..tapi ini pemahaman saya saja…..sekali lagi kita tdk boleh saling mencemooh, tapi kita sampaikan secara hikmah apa yg kita yakini benar…
Bahkan dalam sebuah hadits shahih , dikatakan bahwa ada sahabat bertanya pada Rosul bolehkah kami memanggil engkau dg sayyid kami (bahasa arab: sayyidina) , Rosul menjawab: hati2 kamu jangan terperdaya oleh syaiton, sayyid bagi umat ini adalah Alloh Tabaroka Wata a’ala, ucapkanlah Muhammad itu abduhu warosuluhu (Muhammad itu hamba-Nya dan Rosul-Nya) …(Prinsip-2 Dasar Islam: Abdul Qodir Jawas)
Nama Alloh itu tidak boleh digunakan untuk nama makhluk. Contoh yg boleh adalah : abdulloh (Hamba Alloh), Abdurrohman (Hambanya Yg Maha Pengasih), tapi kalau menamai manusia dg asmaul husna : seperti Arrohman (Yg Maha Pengasih) hal ini terlarang karena itu adalah salah satu nama ALLoh SWT.
Dalam melakukan ibadah (baik sholat, berdzikir, bersholawat, dll) wajib mengikuti tatacara yg telah Alloh perintahkan yg disampaikan oleh lisan Sang Rosul.
Kita jangan terkecoh oleh sebagian yang mengaku berilmu padahal dia menyelisihi Al Qur’an dan As-Sunnah (Al -Hadits)…yg mana mereka beribadah hanya taklid/mengikuti seseorang tanpa mengecek ulang/mempelajari apakah dasar/dalil yg digunakan itu benar adanya/shahih atau hanya berdasarkan akal2an /hawa nafsu seseorang saja.
Ingat agama ini bukan dibangun atas dasar akal manusia tapi Wahyu Ilahy yg kepadanya akal harus tunduk. Benar memang ada dalil yg sejalan dengan akal, tapi ketika tidak sejalan maka tetep kita harus tunduk. Contoh :
Sholat shubuh itu 2 rokaat (menurut hadits), kalau menurut akal : sholat shubuh 4 rokaat atau bahkan 10 rokaat akan lebih besar pahalanya. Nah ini bukti kelemahan akal. Padahal bukan dapat pahala yg banyak justru malah berdosa gede banget , knapa…?? karena tidak sesuai dg apa yg diperintahkan oleh Alloh SWT yg disampaikan Sang Rosul. Ini bukti bahwa kita jangan mengaku pintar, sehingga berani melawan Wahyu Ilahy dan Al Hadist, tapi pergunakan akal untuk taat dan mempelajari ilmu religi. (fikih, tauhid, dll)
Ada yg bilang bahwa penambahan sayyid itu adalah bermakna pemuliaan (maknanya: Yang Mulia), sebagai bentuk penghormatan kepada Rosul. Dengan alasan Rosul tdk mungkin bilang untuk diri sendiri Yang Mulia. Ya….ini lebih mengedepankan akal pikiran, secara logika ada benarnya. Namun sekali lagi agama ini bukan logika tapi Wahju Ilahy dan AL Hadits. Padahal sudah dijelaskan dlm AL Qur’an apa2 yg diperintahkan kepadamu maka lakukanlah, dan apa2 yg dilarang padamu maka tinggalkanlah. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa ketika Rosul memerintahkan suatu bacaan sholawat tertentu (tanpa sayyidina), maka kita harusnya mengikuti apa Yang dicontohkan oleh Rosul sebagai penghormatan kepada Perintah Alloh dan Rosul-Nya. Jadi menghormati beliau itu dengan Mengikuti apa Yg disampaikannya, bukan membuat akal akalan/tatacara yg baru dlm aspek ibadah.
Untuk Lebih mudah lagi untuk memahami itu adalah Kembali ke kaidah ushul fiqh :
hukum dasar dari ibadah itu semuanya haram, kecuali ada dalil yg memerintahkannya. Sholawat sbg bentuk ibadah yg di perintahkan oleh Alloh SWT dan telah diajarkan oleh Rosulullan melalui hadits Bukhori (bahwa sholawat ibrahimiyyah itu : tanpa sayyidina). (….Silahkan di cek….di kitab2 hadits…)
Sholawat tersebut di baca pada attahiyyat awal dan akhir. Sedangkan dalam hadist yg terkenal bahwa sholat itu harus mengikuti rosulullah . (Shollu kamaa roaitumunii usollii: sholatlah kamu sebagaimana melihat aku sholat). Jelas mengikuti tatacara sholat nabi adalah suatu kewajiban, yg mana didalamnya ada bacaan2 tertentu yg salah satunya adalah bacaan sholawat ibrohimiyyah (tanpa sayyidina). Jika kita tetep berpegang teguh pada sebagian besar manusia di Indonesia (Yg membacanya memakai sayyidina), berarti sebenarnya kita sudah berani menentang perintah Rosul itu sendiri).
Perlu direnungkan…jangan2 slama ini kita masih mengikuti sbagian besar manusia Indonesia ini…??? Yup , kita tetep terus belajar, jika belum tahu maka mudah2an Alloh mengampuni karena kebodohan kita, kalau sudah tahu…maka amalkan dan tetep belajar terus menerus ilmu yg tidak akan pernah habis2nya ini…(smoga ada manfaatnya)
Silahkan mas Hery , silahkan mengikuti pemahaman mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak lebih dari mengikuti pemahaman ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan ulama Al Albani
Mereka adalah ulama-ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tentu tidak bertalaqqi (mengaji) kepada Salafush Sholeh. Ulama-ulama mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman mereka terhadap lafaz/tulisan perkataan Salafush Sholeh. Kita sepakat bahwa setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah, lebih besar kemungkinan salahnya jika mereka tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid
Lebih baik kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab yang empat dan pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Para Imam Mazhab yang empat, mereka bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh
Fatwa dari ulama Mesir dalam tulisan diatas adalah fatwa ulama bermazhab contoh fatwa mereka lainnya yang berlandaskan pendapat/pemahaman Imam Mazhab yang empat adalah dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
saya heran dengan mereka yang mempermasalahkan masalah kata sayyidina pada salawat padahal kitab-kitab ulama penuh dengan hal itu.
kita ambil contoh ibnu jauziyah dalam awwal shawaiq mursalah `ala jahmiyah wa almuathilah berkata :
الصواعق المرسلة (1/
بسم الله الرحمن الرحيم وبه أستعين
رب يسر بفضلك يا كريم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم أجمعين
disitu shalawatnya memakai sayyidina.
atau dalam pembukaan syifa`il `alil
شفاء العليل (ص: 2)
الحمد لله ذي الأفضال والأنعام
وصلى الله تعالى وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والأئمة الأعلام أما بعد فإن أهم ما يجب معرفته على المكلف النبيل فضلا عن الفاضل الجليل
disitu juga pake sayyidina
di akhir kitab shiyagil hamd, ibnu qayyim juga berkata :
صيغ الحمد (ص: 66)
فالحمد لله بمحامده التي حمد بها نفسه وحمده بها الذين اصطفى حمدا طيبا مباركا فيه كما يحب ربنا ويرضى وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وآله وصحبه وسلم
di situ ada sayyidina
dan dikitab-kitab lain dari ibnu qayyim juga akan kita temukan shalawat dengan sayyidina.
sedangkan ibnu taimiyah.
di akhir kitab siyasah syariyah beliau berkata :
السياسة الشرعية (ص: 217)
فنسأل الله العظيم أن يوفقنا وسائر إخواننا وجميع المسلمين لما يحبه لنا ويرضاه من القول والعمل فإنه لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم والحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا دائما إلى يوم الدين
disitu terdapat kata sayyidina.
di awwal kitab aqidah washitiyah beliau berkata :
العقيدة الواسطية (ص: 2)
والصلاة والسلام على النبي الأمي سيدنا محمد خيرته من خلقه وأمينه على وحيه الذي أوضح السبيل وأنار الطريق وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها
disitu terdapat kata sayyidina.
di awwal dan akhir fatwa-fatwanya sering beliau mengucapkan sayyidina dalam shalawatnya :
الفتاوى الكبرى (1/ 194)
والحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم
الفتاوى الكبرى (2/ 365)
219 – 303 – مسألة : في رجل قال : إذا جاء يوم الجمعة يوم العيد وصلى العيد إن اشتهى أن يصلي الجمعة وإلا فلا فهل هو فيما قال مصيب أم مخطئ ؟
الجواب : الحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما كثيرا إذا أجتمع يوم الجمعة ويوم العيد ففيها ثلاثة أقوال للفقهاء :
الفتاوى الكبرى (3/ 325)
والحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما كثيرا ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
الفتاوى الكبرى (3/ 503)
والحمد لله رب العالمين وصلاته وسلامه على خير خلقه سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
الفتاوى الكبرى (4/ 264)
والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب والحمد لله رب العالمين وصلى الله عليه سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما كثيرا إلى يوم الدين
الفتاوى الكبرى (4/ 331)
والله سبحانه يوفقنا لما يحبه ويرضاه والحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما
dan masih banyak lagi hal seperti itu.
assyaikh muhammad bin abdul wahhab saja dalam awal kitabnya “ta`limu asibyan attauhid berkata :
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وأصحابه أجمعين.
disitu memakai kata sayyidil mursalin
lalu mengapa mereka mempermasalahkan hal ini jika imam-imam mereka melakukannya, ataukah mereka lebih mengetahui dari imam mereka sendiri ? wallahu a`lam.
saya setuju dngan mas jon,emang skarang itu banyak yg suul dab kpada nabi,tpi husnul adab kpada imam mereka,contonya mereka memanggil muhammad abduh dengan panggilan sayyid muhammad abduh,yg memanggil rosul ga pake sayyidina sama dngan ga sopan klo dalam bhasa sunda mah culangung
assalammu’alaikum
Kita sebagai umat muslim janganlah saling terpecah apalagi apatis terhadap ajaran/imam tertentu . . . baiknya saling menghargai masing2 ilmu yang didapat,karena wallahualam apakah itu shahih or not. karena setiap amalan itu, baik/bagus menurut manusia belum tentu diterima baik/bagus di mata Allah. tetapi apa yang Allah telah turunkan melalui Nabi Muhammad pasti dan akan selalu pasti yang terbaik buat umatnya.
mari tetap bersatu, diluar sana islam dan kaum muslim sedang di gerogoti/dihancurkan sedikit demi sedikit. yang harus kita lakukan adalah apatis terhadap para yahudi/zeonis di luar sana yang semakin membabi buta menghancurkan islam secara halus/terang2an
maaf sebelumnya, saya masih awam urusan agama. namun saya sedih kita sesama saudara se-muslim berselisih masalah aqidah/aliran tertentu. memang kita wajib memberikan informasi bila tau/mendapati hadist shahih namun tidak perlu memaksakan apalagi menghina/mencela. Karena hanya Allah yang berhak untuk memuji/menghina dan melakukan apapun pada makhluknya.
Apakah kita manusia ga malu melangkahi kekuasaan Allah, apalagi kita diciptakan oleh Allah.
ada berapa versi bacaan doa tahiyat…………dan bagaimana asbabul wurudnya bacaan doa iftitah.
Budak saja diperbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada Rasul saw, dan beliau sendiri yg menamakan dirinya Sayyid, seraya berkata : “akulah Sayyid (pemimpin)seluruh manusia dihari kiamat” (Shahih Bukhari).
menambahkan doa dalam shalat diperbolehkan, para sahabat bahkan ada yg merubah bacaan Tahiyyat, sebelum Rasul saw wafat semua membaca “ASSALAMUALAIKA AYYUHANNABIYYU WARAHMATULLAH WABARAKATUH”
namun setelah Rasul saw wafat sebagian sahabat membaca ASSALAMUALANNABIY WARAHMATULLAH WABARAKATUH
mereka tak lagi menggunakan assalamualaika, namun sebagian sahabat tetap berpegang pada bacaan yg diajarkan oleh Rasul saw karena berlandaskan perintah beliau saw : Shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat (SHahih Bukhari)
maka jelaslah boleh boleh saja menambah Sayyidina pada bacaan Tahiyyat, karena tak merubah makna, dan menambahkan doa pada tahiyyat adalah diperbolehkan, mereka yg menolak itu karena dangkalnya pemahaman mereka dalam ilmu hadits.