Mereka melarang orang mentakwilkan ayat mutasyabihat tentang sifatNya
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka kembali kepada Al Qur’an dan Hadits bersandarkan muthola’ah, menelaah kitab dengan makna dzahir atau terjemahannya saja atau hanya dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Pemahaman model ini disebut pemahaman secara ilmiah menggunakan akal pikiran dan memori yang disebut dengan logika. Pemahaman yang dikuasai pula oleh kaum Zionis Yahudi untuk menghasut atau melancarkan korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dengan tujuan menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim karena perbedaan pemahaman.
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya, semula bermazhab atau berguru dengan para ulama bermazhab Hambali namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamannya bertentangan dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Bahkan karena kesalahpahamannya dalam i’tiqod yakni memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dengan makna dzahir mengakibatkan ulama Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Mereka melarang orang mentakwilkan ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat Allah. Mereka menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Terhadap ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat Allah mereka mengi’tiqodkan berdasarkan makna dzahir atau arti harfiah atau literal (sebagaimana yang tersurat, apa adanya teks)
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Mereka tidak membedakan antara “mencari-cari takwil” sebagaimana kaum mu’tazilah dengan “men-takwilkan” sebagaimana contohnya yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ra dan Ulil Albab lainnya
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas ra untuk dapat mentakwilkan atau mengambil hikmah,
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
dan
Allahum ‘allimhu al hikmah
Andaikan “mentakwilkan” adalah suatu hal yang haram, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak akan mendoakan hal yang haram atau jelek kepada Ibnu Abbas ra
Kaum muslim yang dapat menta’wilkan atau mengambil hikmah atau mengambil pelajaran atas firman Allah ta’ala adalah mereka yang dikehendakiNya, mereka yang dikaruniakan hikmah oleh Allah ta’ala yakni yang disebut Ulil Albab.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Karunia hikmah atau pemahaman secara hikmah tentu tidak dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla kepada kaum yang dimurkaiNya yakni kaum Zionis Yahudi.
Kerajaan dinasti Saudi dengan lembaga Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) berpendapat bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar telah sesat dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau telah terjatuh / tergelincir pada pen-ta’wilan terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana yang dapat diketahui dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/klaim-mereka/
Berikut penjelasan tentang ta’wil yang kami kutip dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/inilahahlussunnahwaljamaah.pdf
***** awal kutipan *****
Al Qur’an di dalam mengungkapkan suatu masalah ada yang konkrit, misal nya hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan kiasan, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat, dan sebagainya.
Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, dan neraka dan lain-lain maka Al Qur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat.
Kurang tepat juga bila dikatakan kalau Allah berada di mana-mana, walau pun difirmankan “…..kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”.
Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita harus menunjuk ke arah atas atau ketika kita berdo’a kita menengadahkan tangan ke atas sambil dibenak/dipikiran kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada di langit di atas nun jauh di sana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah di langit atas sana berarti Allah bertempat tinggal di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain di langit apakah tidak ada Allah ? Na’udzubillah.
Hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia Maha meliputi segala sesuatu. Begitu juga bila Allah Subhanahu wa Ta’ala memerlukan singgasana (‘Arsy), seakan-akan Allah setelah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya ? Kalau Allah memerlukan singgasana (‘Arsy) berarti Allah memerlukan ruangan untuk bertempat tinggal ?, na’udzubillah.
Alangkah kelirunya bila orang mengartikan ayat-ayat ilahi yang mutasyabihaat (samar) ini secara hakiki/arti sebenarnya. Mereka mengatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya secara hakiki, dan dikatakan Allah mempunyai wajah ~Na’udzubillah~ dan lain sebagainya secara hakiki.
Dengan adanya riwayat-riwayat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi seorang makhluk ~Na’udzubillah~ yang mempunyai sifat-sifat hakiki yang dimiliki oleh makhluk-Nya.
Bahwa istilah ‘langit’ bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruh annya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah ’langit’ digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik. Banyak ahli tafsir yang mengartikan makna-makna ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala umpamanya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi“. Kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu, jadi ayat ini diartikan sebagai berikut: “Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”.
Begitu juga firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini: “Wajah Allah” berarti “Dia Allah”, “Tangan Allah” berarti Kekuasaan Allah, “Mata Allah” berarti “Pengawasan Allah” dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah Subhanahu wa Ta’ala harus diartikan sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Mahaagungan-Nya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an.
Marilah kita teliti lagi berikut ini beberapa contoh saja dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang ditakwil (digeser) dari makna aslinya/dhahirnya tekst dan firman-firman Allah Subhanhu wa Ta’ala yang mutasyabihat harus diartikan sesuai dengannya, dengan demikian tidak akan berbenturan dengan firman-firman Allah Subhanhu wa Ta’ala yang lain.
Di antara Sahabat besar yang berjalan di atas kaidah ta’wîl adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu- yang pernah mendapat do’a Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari)
Telah banyak riwayat yang menukil ta’wîl beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat : يوم يُكْشَفُ عَ ن ساقٍ “Pada hari betis disingkapkan.” (QS. al Qalam [68]:42) Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّ ةٌ “kegentingan”.
Ta’wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode dan diamalkan para Sahabat dan Tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini. Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dan lain-lain.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat : و السَّمَا ءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُو ن “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS adz Dzâriyât [51] : 47). Kata أَیْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata یَدٌ .(Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâjal ‘Ârûs, 10/417.). Akan tetapi Ibnu Abbas ra. mena’wîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh Tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَٰذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS. al A’râf [7]:51). Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut (Allah) melupakan kaum kafir dengan ta’wîl “menelantarkan/membiarkan”. Ibnu Jarir berkata: “Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, Kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkanmereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201) Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an. Mujahid adalah seorang tabi’în agung …. Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: – “Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, “Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ’Âlamîin?” Allah menjawab, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya….” (HR. Muslim,4/1990, Hadits no.2569)
Apakah boleh kita mengatakan; Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita (makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh !!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan sakit atau Dia sedang sakit dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus Dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut;“Para ulama berkata, “disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf,pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud engkau akan dapati Aku di sisinya(ialah) engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)
Begitu juga dalam pembuktian bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada / bersemayam di atas langit, kaum Mujassimah antara lain ulama madzhab Wahabi Nâshiruddîn al Albani dalam Mukhtashar al Uluw dan Syeikh as Sabt dalam kitab Ar Rahmân ‘Alâ al Asryi Istawâ membawakan beberapa hadits, sebagiannya shahih sanadnya, sementara sebagian lainnya cacat secara kualitas sanad- nya (walaupun oleh sebagian ulama madzhab ini dianggap sebagai hadits shahih). Adapun hadits hadits yang shahih sanadnya tidak jarang mereka salah dalam memaknainya, akibatnya mereka mempercayai kepada syubhat konsep Tajsîmdan Tasybîh. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti istidlâlh/ upaya pengajuan dalil oleh mereka.
Hadis Pertama:
أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidaklah kalian percaya padaku, padahal aku ini kepercayaan yang dilangit, dimana khabar datang kepadaku pada pagi dan sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap ayat/hadits yang menyebut kata: مَنْ فِى السَّمَاء untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah makna majâzi/kiasan, yaitu berarti keagungan, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material).
Seorang pujangga Arab klasik bersyair:علونا السماءَ مَجْد ُنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا
“Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu”.
Jelas sekali bahwa yang dimaksud menaiki/meninggii langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi langit kemuliaan dan keagungan.
Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash yang datang dengan redaksi: مَنْ فى السَّمَاء (andai ia shahih tentunya). Hal demikian dikarenakan dasar dasar yang pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah shahihah yang mengharuskan kita mensuci- kan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama; bersemayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi /bertempat pada makhluk-Nya.
Hadits di atas dalam riwayat Bukhari dan Muslim, telah mengalami “olah kata” oleh perawi. Artinya si perawi meriwayatkannya dengan makna saja, ia tidak menghadirkan redaksi sebenarnya. Akan tetapi seperti telah kami singgung, kaum Mujassimah (golongan yang menjasmanikan Allah) lebih cenderung membuka mata mereka kearah hadits di atas ketimbang membuka mata mereka terhadap riwayat lain dari hadits yang juga diriwayat-kan Imam Bukhari.
Coba perhatikan, dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadits di atas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuatkata: مَنْ فى السَّمَاء yang tentunya tidak akan membantu kaum Mujassimah, karenanya hadits itu selalu dikesampingkan (tidak pernah merekagubris). Perhatikan hadits di bawah ini:
فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟!
“Siapakah yang mena’ati Allah jika aku (Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) menentangnya?! Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak mempercayaiku?!”
Coba perhatikan redaksi hadits di atas, kemudian bandingkan dengan redaksi hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan Bukhari!
Al-Hâfidz Ibnu Hajar al-Asqallani mengomentari hadits tersebut dengan kata-katanya, “Nanti akan dibicarakan makna sabda (kata-kata): مَنْ فِى السَّمَاء pada Kitab at-Tauhid. Kemudian seperti beliau janjikan, beliau menguraikan makna kata tersebut: “Al-Kirmâni berkata, “Sabda: مَنْ فى السَّمَاء makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian Dzat dan sifat-Nya. “Dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab / menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.”(Fathu al Bâri,28/193)
Andai seorang mau merenungkan dan meresapi keterangan di atas pasti ia akan selamat dari syubhat kaum Mujassimah dan pemuja riwayat yang mutasyabihat yakni golongan al-hasyawiyah.
Jadi para ulama telah mengarti- kan / memaknai hadits-hadits yang memuat redaksi yang mengesankan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di sebuah tempat dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Akan tetapi golongan Mujassimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadits-hadits dengan redaksi yang mendukung konsep dan pandanganTajsîm yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Madzhab Mujassimah. Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadits-hadits Shifat yang tidak tercantum disini yang ditakwil maknanya oleh para ulama pakar (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Umpama lagi kata, و جاء رَبُّكَ arti secara bahasa; “Dan datanglah Tuhamu”,tapi ditakwil oleh para ulama pakar ialah: جاء ثوابُهُ artinya: “Datang pahala-Nya”. Dan kata الضحك atau يَضْحَكُ artinya secara bahasa tertawa tapi ditakwil oleh para ulama pakar berarti Rahmat dan ada lagi yang mengartikan kerelaan dan kebaikan balasan. Tertawa yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut, dan tentunya makna ini mustahil disamakan maknanya atas Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nah kalau kita baca, bukankah banyak para ulama pakar memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim dengan ta’wil yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan mentakwil ayat-ayat atau hadits-hadits sifat sesuai dengan Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak akan berlawanan dengan firman-firman Ilahi yang telah dikemukakan (QS. Asy-Syuura [42]:11; QS Al-An’aam [6] : 103; QS Ash-Shaffaat [37] : 159) atau ayat-ayat lainnya yang serupa.
Untuk lebih lengkapnya bacalah kitab Daf’u Syubahi At Tasybih bi Akuffi At-Tanzih karya Ibnu al-Jauzi, seorang ulama bermadzhab Imam Ahmad bin Hanbal, di sana semua syubhat yang selama ini menghinggap dalam pikiran sebagian golongan muslimin, insya Allah tersingkap atau paling tidak mereka mengetahui dalil-dalil para ulama yang menentang aliran Mujassimah.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat”, Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat”, disertai dengan pengakuannya bahwa beliau telah merujuk seratus kitab tafsir. Tetapi nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat.
Disamping contoh yang telah dikemukakan diatas, kita ambil contoh riwayat Ath-Thabari berikut ini yang mana Ibnu Taimiyyah mengenai kitab tafsir Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut, “Di dalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh.” (Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51.)
Ketika kita merujuk kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang beliau katakan di dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322, Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. ” Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7.)
Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Ath-Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar“, Ath-Thabari berkata, “Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka berpendapat, ‘Artinya ialah, ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak bahwa maknanya ialah ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, Tidaklah boleh Dia tidak ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.'” (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9.)
Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala beliau sampai kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy “, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada di atas langit.” (Al-‘Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 – 332.) Yang beliau maksud adalah tempat.
Adapun didalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap juga sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu ‘Athiyyah memberikan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Ath-Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, “Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim. Wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya.” (Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.)
Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya” (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. ar-Rahman: 27), di mana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam arti yang sesungguhnya.
Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali wajah-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka, “Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82).
Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’. Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’.”
Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).
Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “Artinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”
Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’.”
Oleh karena itu, para ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyyah tidak tinggal diam atas perkataanperkataannya (yang menyifati Allah Subhanahu wa Ta’ala secara hakiki). Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk men- jauhinya. Dikarenakan keyakinan-keyakinan tajsim dan tasybih itu, akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis di dalam penjara, dan kemudian meninggal dunia di dalam penjara di kota Damaskus.
Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinan beliau ini.
Umpamanya, Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman terhadapnya atas keyakinan keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, yang mana ‘Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, halaman 190.
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan di atas pondasi Al Qur’an dan Sunnah yang telah dikemukakan diatas, para sahabat, tabi’în dan para imam mujtahidîn dan di atas methode inilah para ulama berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan Shifat.
Masih banyak lagi pendapat para ulama baik yang mentakwil maupun yang tidak mentakwil ayat ayat atau hadits-hadits shifat itu yang tidak tercantum disini. Ulama yang tidak mentakwil hanya menyebutkan apa adanya tekts saja yaitu menurut bacaannya saja dan menyerahkan kepada Allah s Subhanahu wa Ta’ala pe-makna-annya.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Lho darimanakah bukti bahwa mereka mendapat hasutan dari Yahudi? Bukankah argumen kesangathati-hatian mereka juga merujuk kepada para salaf?
Jadi ada dua posisi terkait ini bukan? Yang agak longgar dan yang sangat berhati-hati.
Silahkan baca beberapa tulisan terkait pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/benar-dua-pahala/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/29/bertanya-di-mana/
Justru pertanyaannya masih sama. Jika ulama salaf ada yang agak longgar dan ada yang keras dalam perkara ini mengapa memberi stempel sesat-menyesatkan jika Panjenengan yang agak longgar dan mereka yang agak keras sama-sama merujuk pada ulama terdahulu?
Permasalahannya cara mereka merujuk pada ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Hal ini dapat kita ketahui dari kalangan mereka sendiri yang memberikan panggilan “Imam” kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa metode belajar beliau adalah otodidak (belajar sendiri) atau shahafi seperti yang dikabarkan mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula Ibnu Taimiyyah yang menjadi ulama panutan bagi Muhammad bin Abdul Wahhab juga termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula ulama panutan mereka lainnya seperti Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani atau pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Silahkan baca tulisan seperti pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Akibat memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir adalah ibadah tidak diterima karena Ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya
Ibadahnya tidak diterima layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada tuhan yang disangkakan menurut akal pikiran mereka sendiri karena selalu berpegang pada nash secara dzahir.
Mereka beribadah kepada sesuatu yang bertempat, berkaki, bertangan, bermuka, bertubuh, dan lain lain sebagaimana yang telah dipublikasikan mereka pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka seperti yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-keduanya-adalah-kanan/
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna hijau,
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran (berbentuk) maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.thobary.com/2013/06/aqidah-50-ahlussunnah-wal-jamaah.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Pokok-pokok Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد):
===========================
1. Definisi Ilmu Tauhid (حده):
Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong, kitman / menyembunyikan, khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini dinamakan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah.
2. Objek atau Sasaran Ilmu Tauhid (موضوعه): Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.
3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعاه): Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M – 947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).
4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.
5. Nama Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.
6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu selainnya.
7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.
8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Diambil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sehat.
9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.
10. Puncak Mempelajari Ilmu Tauhid (غايته): Memperoleh kebahagian, baik di dunia maupun akherat dan mendapat ridha dari Allah swt serta mendapat tempat di surga.
****** akhir kutipan ******
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah berdasarkan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah.
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata “Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah Ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Quran diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima.
Hal yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Begitupula dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu balaghah (sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).