Hilangnya naskah asli Tuanku Imam Bonjol
Banyak pihak yang menulis mengenai Perang Paderi namun sumber primer tulisan pada umumnya berasal dari pihak imperialisme atau pihak non muslim yang berbeda sudut pandang dan kepentingannya. Salah satu sumber primer yang berasal dari orang Minang yang langsung mengalaminya adalah sebuah naskah yang berjudul Tuanku Imam Bonjol yang sempat ditemukan namun naskah aslinya hilang kembali sejak tahun 1991.
Berikut ini penelusuran dan penuturan Suryadi (Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda) dan pernah diterbitkan di Singgalang, 3 & 6 Desember 2006 dan Ranah Minang.Net, 4 Oktober 2006; kemudian dimuat pada http://naskahkuno.blogspot.com/2007/02/siapakah-kini-yang-menyimpan-naskah.html atas izin dari penulisnya.
Berikut penuturannya
Sampai sekarang sudah banyak publikasi ilmiah mengenai Perang Paderi, di antaranya studi Muhammad Radjab (1958), Christine Dobbin (1983), dan Rusli Amran (1981, 1985), belum lagi puluhan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Studi-studi tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang umumnya ditulis oleh pemimpin-pemimpin militer, komandan-komandan lapangan, dan juga pegawai swasta kolonial Belanda yang, langsung atau tidak, pernah terlibat dalam Perang Paderi.
Ini dapat dikesan, misalnya, dalam publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer mengenai perang tersebut, yaitu: “De Luitenant Generaal, Kommissaris Generaal van Nederlandsche-Indië J. van den Bosch aan den Luitentant Kolonel Adjudant J.H.C. Bauer bij aankomst te Padang, den 13 October 1833, no.354” (hlm.23-25); “Over het attaqueren van versterkte linien en kampongs” (hlm.27-39); “Rapport omtrent den staat van zaken ter Westkust van Sumatra in Januari 1836 ingediend door de 1e Luitenant Adjudant Steinmetz, hem opgedragen bij besluit van den kommandant van het leger, 13 november 1835 no.4” (hlm.41-56), dan; “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hlm.59-183).
Yang kurang diketahui selama ini adalah bahwa ada beberapa sumber primer mengenai Perang Paderi yang ditulis oleh orang Minang sendiri yang terlibat langsung dalam perang tersebut. Walaupun indegenous sources ini agak kurang populer dibanding sumber-sumber Barat, nilai historisnya jelas amat tinggi: sumber-sumber pribumi tersebut dapat dijadikan rujukan bandingan bagi sumber-sumber Barat yang cenderung militaire minded. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat perbedaan persepsi dan sudut pandang antara orang Minang sendiri dan orang Belanda melihat peristiwa Perang Paderi.
Salah satu sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Sumber lainnya adalah Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karangan Fakih Saghir (lihat transliterasinya oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir, DBP, Kuala Lumpur, 2002) dan Memorie van Toeankoe Imam (De Stuers 1850, Vol. II:221-40,243-51).
Naskah Tuanku Imam Bonjol (TIB) ini telah hilang sejak tahun 1991 (lihat Kompas, 22 November 2005). Dalam artikel ini saya ingin menguraikan sejarah naskah TIB, dan proses “penghilangannya” oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di Sumatra Barat, sekaligus memohon kepedulian masyarakat pencinta naskah Nusantara untuk menemukan kembali naskah yang memilki nilai sejarah yang amat tinggi itu.
Keberadaan naskah TIB pertama kalinya dilaporkan oleh Ph. S. van Ronkel dalam artikelnya “Inlandsche getuigenissen aangaande de Padri-oorlog” [Kesaksian Primbumi mengenai Perang Paderi] dalam jurnal De Indische Gids 37 (II) (1915): 1099-1119, 1243-59. Van Ronkel menyebutkan bahwa ia telah menyalin satu naskah yang berjudul Tambo Anak Tuanku Imam [Bonjol] yang tebalnya 318 halaman; naskah aslinya dipegang oleh Khatib Nagari di Bonjol. Sayang sekali salinan naskah TIB yang diusahakan Van Ronkel itu tidak ketahuan pula dimana sekarang. Naskah itu tidak tercantum dalam katalog-katalog naskah Melayu/Minangkabau di Belanda.
Tahun 2004 Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah TIB yang dikerjakan oleh Sjafnir Aboe Nain. Judulnya: Naskah Tuanku Imam Bonjol. Penerbitan buku itu patut disambut gembira, tetapi sekaligus juga memunculkan kembali pertanyaan tentang “hilangnya” naskah asli TIB.
Dalam “kata Pengantar” bukunya itu, Sjafnir menyebutkan bahwa naskah TIB ditulis dengan huruf Arab Melayu oleh anak Tuaku Imam Bonjol, Naali Sutan Caniago (yang pernah menjadi tuanku laras tahun 1872-1876) dan saudaranya, Haji Muhammad Amin—keduanya ikut terlibat dalam Perang Paderi. Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pertama naskah ini (sampai hlm.191) berisi catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol sendiri. Catatan-catatan itu dikumpulkan oleh Naali dan Muhammad Amin yang ikut dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Ambon dan kemudian ke Menado, lalu mereka menambahkannya dengan tulisan mereka sendiri (bagian kedua), sehingga menjadi naskah asli TIB. Bagian kedua itu berisi pengalaman Naali sendiri setelah tunduk kepada Belanda sampai ia diangkat menjadi laras alahan Panjang. Bagian ketiga (terakhir) berisi keputusan rapat tentang peralihan dari hukum adat kepada hukum sipil di Sumatra Barat (Sjafnir, 2004: xi-x). Jadi, logis kalau ada dua versi nama naskah ini: Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Tambo Anak Tuanku Imam seperti disebut Van Ronkel, karena catatan-catatan dari Tuanku Imam Bonjol sendiri kemudian ditambahkan oleh anaknya Naali Sutan Caniago.
Sjafnir tidak menyebutkan apakah transliterasi naskah TIB dalam bukunya itu didasarkan atas naskah aslinya atau fotokopinya. Juga tidak ada penjelasan apapun dari Sjafnir bagaimana dan dari mana ia mempeoleh naskah itu. Ini agak menyalahi kaedah penelitian filologi. Juga tidak ada penjelasan apakah Sjafnir mentransliterasikan naskah TIB berdasarkan yang aslinya atau salinan/fotokopinya. Pun tidak disebutkan darimana ia memperolehnya.
Penelusuran yang saya lakukan bersama Jeffrey Hadler (asisten Professor University of California, Berkeley), Yasrul Huda (Dosen IAIN Imam Bonjol Padang), dan Yusmarni Djalius (Dosen Universitas Andalas) mengenai raibnya naskah asli TIB menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
Pada 28 April 1983 surat kabar Haluan di Padang menurunkan satu berita berjudul: “Pemda Sumbar bentuk tim khusus untuk teliti masalah keabsahan sejarah Imam Bonjol”. Waktu itu terjadi polemik mengenai sejarah Tuanku Imam Bonjol yang dipicu seorang penulis bernama Yusuf Abdullah Puar. Orang ini berpendapat bahwa yang dimakamkan di Menado bukanlah Tuanku Imam Bonjol yang sebenarnya. Gubernur Sumbar Azwar Anas membentuk tim khusus untuk meneliti keabsahan sejarah Tuanku Imam Bonjol. Tim itu terdiri dari unsur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Depsos, Hankam, dll.
Dalam rangka mencari kebenaran tentang sejarah Tuanku Imam Bonjol, utusan keluarga Tuanku Imam Bonjol, Ilyas St. Caniago, beserta seorang anggota keluarga lainnya, datang menghadap Gubernur Sumbar, Azwar Anas, untuk menyerahkan naskah asli TIB. (Menurut Ali Usman Datuak Buruak, kemenakan M. Ilyas St. Caniago yang diwawancarai oleh Jeffrey Hadler dan Yusmarni Djalius di Bonjol [8-7-2006], M. Ilyas St. Caniago ketika menghadap Gubernur Azwar Anas didampingi oleh seorang familinya yang menjadi guru SD di Indarung). M. Ilyas St. Caniago didampingi oleh Safnir Aboe Nain yang waktu itu menjadi staf Permuseuman, Sejarah dan Kepurbakalaan (PSK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatra Barat (Sumbar). Gubernur Azwar Anas, yang didampingi oleh Asisten II Sekwilda Akniam(?) Syarif, Kabiro Bina Mental Spiritual Drs. H. Thamrin, dan Kabiro Humas Zainal Bakar, SH. menerima M. Ilyas St. Caniago di ruang kerjanya tanggal 27 April 1983. Ia menyerahkan satu bukti otentik mengenai kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol kepada Azwar Anas, yaitu naskah asli TIB. M. Ilyas St. Caniago (yang waktu itu sudah berumur 72 tahun) adalah seorang pensiunan ABRI yang tinggal di Medan (di Jalan Sukaria no. 109, Kelurahan Sidorejo). Rupanya ia pulang kampung dan mengambil naskah TIB yang disimpan keluarganya di Bonjol dan menyerahkannya kepada Pemda Sumbar.
Haluan (28-4-1983) menulis: “M. Ilyas, mengatakan naskah Tuanku Imam Bonjol ini sedianya akan diserahkan [kepada Pemda Sumbar] sejak beberapa waktu lalu, tetapi karena kesulitan hubungan dan berbagai halangan lainnya, baru kini dapat diserahkan untuk dapat disimpan oleh Pemda bagi kepentingan sejarah” . Selanjutnya dikatakan: “ Sejak 26 Mei 1966, naskah [asli TIB] dipinjam oleh salah seorang kenalan [Ilyas], TZ. Anwar dan dijemput 14 Juni 1976 ke Jakarta oleh menantu M. Ilyas, Usman St. Pangeran. M. Ilyas sendiri adalah turunan kelima dari Tuanku Imam Bonjol dengan istrinya Balun Ameh”.
Bagian terakhir berita Haluan itu menyebutkan: “Naskah Tuanku Imam Bonjol ini, sekarang sudah ada yang dialihtuliskan kepada tulisan latin oleh Drs. Sjafnir AN [Aboe Nain] dari bidang PSK Kanwil Dep. P & K Sumbar dan diperbanyak dalam bentuk stensilan serta kulit luarnya dicetak”.
Gubernur menerima naskah [asli TIB] itu melalui Kabiro Bina Mental Spiritual drs. H. Thamrin dan untuk sementara disimpan pada Bank Indonesia [Cabang Padang] menjelang diserahkan kepada Museum Negeri [Adityawarman] di Padang”. (kursif oleh Suryadi).
Dengan demikian, jelas bahwa baru pada bulan April 1983 naskah asli TIB berpindah ke Pemda Sumatra Barat. Namun, rupanya sebelum itu Sjafnir Aboe Naim, staf PSK Kanwil Dep. P& K Sumbar waktu itu, rupanya telah mentrasliterasikan naskah TIB. Menurut Jeffrey Hadler (email, 24-7-2006) transliterasi Sjafnir Aboe Nain itu diterbitkan Komite Pembangunan Museum Imam Bonjol pada tahun 1979. Kurang jelas apakah transliterasi itu dikerjakan Sjafnir di Bonjol (artinya naskah asli TIB tidak dibawanya keluar Bonjol) atau ia memfotokopinya (kemungkinan terakhir ini kecil mengingat tahun 1979 mesin fotokopi mungkin masih sulit ditemukan di Bonjol). Saya sependapat dengan Jeffrey Hadler bahwa transliterasi naskah TIB yang muncul di buku Sjafnir terbitan PPIM (2004) berasal dari transliterasi yang sudah dikerjakannya sejak tahun 1979 itu (ada banyak kesalahan yang tampaknya tidak dikoreksi).
Fotokopi transliterasi Latin naskah TIB oleh Sjafnir Aboe Nain itu antara lain dimiliki oleh budayawan Wisran Hadi, Museum Adityawarman, Museum Imam Bonjol di Bonjol, Perpustakaan Pemda Sumbar, sejarawan Jeffrey Hadler, dan seorang Malaysia bernama Abdur-Razzaq Lubis di Penang.
Naskah asli TIB terakhir kalinya muncul pada pameran naskah-naskah di Festival Istiqlal I, Jakarta, 15 Oktober-15 November 1991. Rupanya naskah itu dipinjamkan oleh Pemda Sumbar untuk dipamerkan dalam acara tersebut. Naskah dibawa ke Jakarta oleh dosen IAIN Imam Bonjol Padang, Rusydi Ramli, yang menjadi ketua Panitia Daerah Festival Istiqlal untuk Propinsi Sumatra Barat. Rusydi Ramli sempat memfotokopi naskah TIB atas izin Panitia Festival Istiqlal I (Rusydi Ramli, sms, 23-7-2006).
Dalam kesempatan ceramah di IAIN Imam Bonjol tgl. 10 Juli 2006, Jeffrey Hadler memfotokopi lagi fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli itu sebanyak 4 rangkap: untuk Jeffrey Hadler, untuk Perpustakaan Berkeley, untuk Datuak Buruak di Bonjol (yang sudah kehilangan naskah asli TIB), dan untuk Yasrul Huda, dosen IAIN Imam Bonjol (Jeffrey Hadler, email, 22-7-2006). Mungkin ada lagi beberapa orang kolega Rusydi Ramli yang memfotokopinya. Saya sendiri kemudian memperoleh fotokopi naskah TIB itu atas jasa baik Jeffrey Hadler. Dengan memperbanyak fotokopi itu, setidaknya naskah TIB tentu makin aman dari kepunahan.
Menurut Rusydi Ramli, selesai dipamerkan di Festival Istiqlal I, naskah TIB dibawa kembali ke Padang dan diserahkannya kepada Bagian Pembinaan Sosial (Binsos) Pemda Sumbar. Ia mengatakan bahwa orang yang bertanggungjawab menerima naskah TIB darinya ketika itu adalah bendahara Gubernur Sumbar, Drs. Armyn An (sms, 24-7-2006). Drs. Armyn An bersama Drs. H. Karseno, MS, H. Rajuddin Noeh, SH, Drs. Sjafnir Aboe Nain, dan Djurip, SH. telah menulis satu buku yang berjudul Naskah Tuanku Imam Bonjol yang diterbitkan Pemerintah Daerah Tingkat, Sumatera Barat pada tahun 1992 (lihat tulisan Abdur-Razzaq Lubis kepemimpinan tradisional suku Mandahiling dalam http://www.mandailing.org/ mandailinge/columns/autonomy.htm). Ini setidaknya mengindikasikan bahwa dua orang yang sejak semula telah “mengurus” naskah TIB, yaitu Sjafnir Aboe Nain dan Drs. Armyn An, mengetahui keberadaan naskah itu seusai dipamerkan dalam Festival Istiqlal 1 di Jakarta tahun 19991.
Dari fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli terlihat bahwa kolofon naskah ini begitu rumit karena banyak tambahan catatan oleh para pembaca. Namun hal itu dapat dijadikan pedoman untuk melihat riwayat resepsi aktif terhadap naskah TIB. Tanpa sadar telah ‘mencemari’ keontentikan naskah, masing-masing pembaca telah menambahkan sendiri catatan-catatan pada kolofon naskah TIB: ada nama Ahmad Marzoeki, “de president vereeniging Bondjol”. Orang ini telah membawa naskah asli TIB ke Medan, seperti dapat dikesan dari catatan pada kolofonnya: “didjilid dan dibaharoei koelitnja boekoe Tjeritera (Riwajat) Toeankoe Imam ini di Medan pada November 1925”.
Juga ada nama Dawis [Dt. Madjolelo]: orang ini menerima naskah catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol dari Tuanku Bandro Sati, Kepala Laras Bonjol, pada awal 1915. Dawis kemudian menjadi Camat Lubuk Sikaping (Jeffrey Hadler, email 24-7-2006). Dawis dan Ahmad Marzoeki kemudian menulis buku, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan, Tjermin Kehidupan (Djakarta: Djambatan, 1951) yang sangat mungkin berdasarkan pembacaannya terhadap naskah asli TIB.
Sangat mungkin pula seorang yang bernama L. Dt. Radjo Dihoeloe telah membaca naskah asli TIB, seperti dapat dikesan dari judul bukunya, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol sebagai Pahlawan Islam: Disoesoen dari Tjatatan2 Poetra Beliau St. Tjaniago alm. (Medan: Boekhandel Islamijah, 1939; cet ke-2, 1950).
Ada pula kolofon yang tampaknya berasal dari masa yang lebih awal lagi, tulisan tiga atau empat orang yang agak sulit dibaca karena berasal dari tahun 1870-an (mungkin catatan dari tahun 1882 oleh seorang pembaca; Haluan, 28-4-1983). Kemudian ada lagi catatan dari pembaca tahun 1910-an, dan dari sejarawan/arkeolog Drs. Buchari tahun 1978 (kurang jelas dimana Buchari membacanya). Catatan terbaru di kolofon itu menyebutkan bahwa naskah aslinya diserahkan oleh ahli waris Sutan Caniago yang berdiam di Medan (jelaslah bahwa yang dimaksud penyerahan naskah TIB oleh M. Ilyas St. Caniago, yang memang tinggal di Medan, kepada Pemda Sumbar pada 27 April 1983).
Selanjutnya, ada keterangan bahwa naskah itu pernah difotokopi oleh “Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat (Ketua I)” atas nama Dato’ Haji Djafri, DPTJ, DSN dan Datuk Bandaharo Lubuk Sati pada tahun 1989 (Sepertinya Dato’ Haji Djafri, DPTJ, DSN nama yang berbau Malaysia; kurang jelas apa hubungannya dengan LKAAM). Kolofon terakhir ini mengindikasikan bahwa petinggi LKAAM (dalam hal Datuk Bandaharo Lubuk Sati) pernah pula “menyentuh” naskah asli TIB setelah naskah itu berada di tangan Pemda Sumbar.
Jelaslah bahwa naskah TIB yang dipamerkan di Festival Istiqlal I 1991 (dan kemudian difotokopi oleh Rusydi Ramli) memang asli.
Kesimpulannya: sejak April 1983 sampai awal Oktober 1991 naskah asli TIB berada dalam otoritas Pemda Sumbar. Sejak akhir November 1991 naskah itu kembali masuk ke kantor Gubernur Sumbar (kalau naskah itu sampai keluar dari otoritas Pemda Sumbar, dan berpindah ke tangan orang lain, pastilah atas sepengetahuan Pemda Sumbar, kecuali jika ada oknum dalam tubuh Pemda Sumbar atau orang luar yang bekerjasama dengan oknum tersebut yang berusaha memiliki sendiri naskah ini untuk kepentingan yang tidak kita ketahui). Naskah itu rupanya tidak pernah diserahkan kepada Museum Negeri Adityawarman (seperti diberitakan Haluan 28-4-1983), sebab Rusydi Ramli menyerahkannya kepada Pemda Sumbar selesai dipamerkan di Festival Istiqlal 1 di Jakarta. Filolog Zuriati sudah mendata sekitar 60 naskah yang tersimpan di Museum Adityawarnan dan ia tidak menemukan naskah TIB di sana (sms, 11-8-2006). Jika tempat penyimpanan naskah itu tetap di Bank Indonesia Cabang Padang (Haluan, Ibid.), terutama setelah Festival Istiqlal I (1991), maka sudah semestinya naskah itu diserahkan kepada Museum Adityawarman atau Museum Imam Bonjol di Bonjol atau kepada ahli warisnya Ali Usman Dt. Buruak di Bonjol.
Dengan demikian, selama dalam otoritas Pemda Sumbar (1983-1991) paling tidak ada empat orang yang tampaknya telah ‘mengurus’ naskah asli TIB: Drs. H. Tahmrin, Sjafnir Aboe Nain (sebelum 1991), Rusydi Ramli dan Drs. Armyn An (sesuai dengan keterangan Rusydi Ramli) (sejak 1991). Untuk menelusuri keberadaan naskah asli TIB yang “hilang” itu, keempat orang itu dapat dimintai keterangannya. Selain itu dapat juga diminta keterangan dari Drs. Akniam(?) Syarif (mantan Asisten II Sekwilda Sumbar), Zainal Bakar, SH. (mantan Kabiro Humas Pemda Sumbar, mantan Gubernur Sumbar), dan mantan Gubernur Sumatra Barat, Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman. Juga dapat dimintai keterangan Datuk Bandaharo Lubuk Sati (dan Dato’ Haji Djafri) dari LKAAM, dan guru SD Indarung yang telah menemani M. Ilyas St. Caniago ketika menyerahkan naskah TIB kepada Gubernur Sumbar, Azwar Anas. M. Ilyas St. Caniago sendiri tidak mungkin dimintai lagi keterangannya karena sudah meninggal.
Penelusuran selanjutnya adalah ke Bank Indonesia Cabang Padang: kapan naskah asli TIB mulai disimpan di sana dan kapan diambil? Siapa yang mengambilnya dan dari instansi mana orang itu? (Apakah benar naskah asli TIB memang pernah disimpan disana?; apakah dari 1983-1991 naskah itu disimpan di sana?). Apakah setelah dipamerkan di Festival Istiqlal 1 Jakarta (1991), naskah TIB disimpan (lagi) di Bank Indonesia. Kalau tidak, dimana Drs. Armyn An menyimpannya? Atau kepada siapa ia menyerahkan naskah itu? Keterangan yang lebih lengkap dan jelas tentang siapa persisnya yang memegang naskah asli TIB sebelum dan sesudah dipamerkan di Festival Istoqlal Jakarta (1991) dapat ditanyakan pula kepada Rusydi Ramli.
Adalah tugas pemerintah, pihak universitas, museum, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menyelamatkan naskah asli TIB. Penyelamatan naskah ini masih mungkin diusahakan mengingat sebagian besar tokoh-tokoh kunci yang mengetahui keberadaan naskah itu di Padang selama periode 1982-1991 masih hidup, dan oleh karenanya masih mungkin untuk diminta keterangannya. Mudah-mudahan naskah asli TIB yang amat punya nilai sejarah itu belum berpindah ke negara lain.
Penghilangan naskah kuno, apalagi disengaja (misalnya menjualnya kepada pihak asing), adalah tindak kejahatan. Pelakunya dapat dijatuhi hukuman. Namun, yang kita inginkan adalah agar naskah asli TIB dapat diselamatkan, untuk kemudian dikembalikan kepada ahli warisnya. Atau dengan persetujuan ahli warisnya, disimpan dengan baik di Museum Tuanku Imam Bonjol di Bonjol atau di Museum Adityawarman di Padang.
Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, sepatutnya mengkoordinasikan upaya pencarian naskah asli TIB yang hilang itu. Dan upaya itu sudah selayaknya didukung oleh pihak-pihak yang peduli terhadap pelestarian naskah-naskah kuno di Sumatra Barat, seperti Museum Adityawarman, Museum Tuanku Imam Bonjol, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta, dan UNP, serta Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Cabang Sumatra -Barat, dll. Mereka dapat saling bekerjasama, kalau perlu dengan polisi, untuk menemukan kembali naskah asli TIB yang hilang itu.
Berikut ini sebuah kajian yang bersumber dari http://www.sarkub.com/2012/tuanku-imam-bonjol-bukan-wahabi/
***** awal kutipan *****
Kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi SAW…
Secara umum, para pemerhati sejarah Islam di Indonesia menyebut gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi atau—kalau tidak—sebagai “kegiatan ikut-ikutan” gerakan Wahabi—seperti yang diistilahkan Mangaradja Onggang Palindungan dan Hamka. Akan tetapi, jarang orang mengetahui bahwa yang pertama kali menduga—tetapi kemudian justru diikuti banyak orang untuk mengecap—gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi adalah Pieter Johannes Veth (1814 – 1895).
Veth dikenal sebagai seorang ahli bahasa dan kebudayaan Timur. Ia menguasai bahasa Ibrani (Yahudi dan Arab), Latin-Yunani, Melayu-Jawa. Meski belum pernah satu kali pun datang ke kepulauan Nusantara waktu itu, Veth telah dipercaya mengajar calon-calon pegawai pemerintah kolonial yang akan ditempatkan di Sumatera, Jawa dan pulau-pulau taklukan Belanda di Nusantara. Karya besarnya adalah Java: Geograpisch, Etnologisch, Historisch yang terdiri dari empat jilid.
Veth melihat ada kesamaan antara gerakan Padri itu dan gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Menurutnya, kesamaan itu berupa penggunaan metode kekerasan untuk mencapai tujuan. Dugaan seperti ini dikemukakan Veth dalam “Kata Pengantar” buku yang dikarang H.J.J. Ridder de Stuers, seorang pensiunan pejabat militer yang pernah diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai residen di Sumatera Barat pada 1825 – 1830.
Dugaan Veth itu kemudian ditolak tegas-tegas oleh Bertran Johannes Otto Schrieke (1890 – 1945), penulis Indonesian Sociological Studies. Menurut Schrieke, ada beberapa alasan yang membuat gerakan Padri tidak bisa disamakan dengan gerakan Wahabi. Pertama, kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi, sebuah bid’ah yang sangat ditentang oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya.
Berbeda dengan gerakan Wahabi di Jazirah Arab yang berada di bawah satu kepemimpinan, Schrieke mencatat, gerakan Padri di Sumatera Barat terpecah-pecah di bawah banyak pimpinan. Ironisnya, antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain sering terjadi pertikaian. Salah seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang pernah tahu hal itu sempat mengeluhkan akibat pertikaian itu. Jika satu perjanjian telah diteken oleh salah seorang pemimpin Padri, katanya, bukan berarti persetujuan itu juga persetujuan pemimpin-pemimpin Padri yang lain.
Sanggahan Schrieke itu bukan omong kosong belaka. Dalam buku-buku sejarah yang umum kita temui, akan tampak bagi kita bahwa gerakan Padri tidak sama sekali konsisten dengan cara beragama yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya. Bahkan, deskripsi tentang gerakan Padri sebelum tahun 1833 adalah sebuah deskripsi tentang kebrutalan segerombolan orang berjubah dan bersorban dalam memaksakan satu prinsip agama.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid IV, misalnya, salah seorang di antara tiga haji itu, Haji Miskin, diceritakan membakar balai sabung ayam milik warga setempat sebagai balasan atas tindakan mereka yang tidak menggubris nasehatnya agar tidak melakukan perjudian lagi. Tindakan itu segera menjadi bumerang buatnya. Masyarakat pun marah dan berusaha menangkapnya
Misal yang lain, pada 1815 kaum Padri mengumpulkan keluarga kerajaan Pagaruyung di tempat yang bernama Batu Sangka. Di tempat itu, kaum Padri menghabisi hampir semua anggota kerajaan itu. Di sini, kaum Padri pun tampak semacam kelompok yang mudah menghalalkan darah kaum muslimin lain hanya karena berbeda pendapat.
Harus diakui bahwa selama ini penulisan sejarah tentang gerakan kaum Padri banyak didasarkan pada catatan-catatan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang pernah bertugas di Sumatera Barat, baik ketika masih terjadi Perang Padri maupun setelahnya. Sebagai misal adalah catatan H.J.J.L. de Stuers yang diterbitkan sebagai De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra di Amsterdam pada 1849 – 1850.
Selain itu, penulisan sejarah gerakan Padri juga banyak bersandar pada “Surat Keterangan dari pada Saya Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo,” sebuah catatan otobiografis yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin. Terkait dengan gerakan Padri, Jalaluddin menjadi salah satu pihak yang menentang dan mengkritik kaum Padri. Sebagai misal adalah ketika menulis,
“Adapun yang baik sebalah Tuanku2 Pedari ialah mendirikan sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang menuntub ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan memunuh orang dengan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama, dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan yang tidak sekupu (sederajat) dengan tidak relanya, dan menawan orang dan berjual dia, dan bepergundi’ (mempergundik) tawanan, dan menghinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.”
Hanya Naskah Tuanku Imam Bonjol yang dapat menjadi pembanding buat kita. Naskah yang dimaksud berisi ringkasan sejarah Minangkabau pada abad ke-19 M dan hampir menjadi satu-satunya catatan sejarah yang ditulis orang pribumi. Bagian pertama naskah itu berisi memoar Tuanku Imam Bonjol yang dibawa pulang dari tanah pembuangan oleh putranya, Sutan Saidi. Bagian kedua berisi memoar salah seorang putra Imam Bonjol yang lain, Naali Sutan Caniago, yang pernah berperang di samping ayahnya. Bagian ketiga hanya berisi dua notulen rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875.
Dalam salah satu bagian naskah itu, Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864) menyadari sebuah kekeliruan fatal dalam gerakan Padri. Ketika itu, memang, sudah banyak korban yang jatuh di tengah penduduk pribumi. Dalam perenungannya, ia akhirnya menyimpulkan dan kemudian menyampaikannya di depan para penasehatnya, “Adapun hukum kitabullah banyaklah nan terlampau dek (baca: terabaikan) oleh kita. Itu pun bagaimana pikiran kita?”
Sebagai buntut penyesalan itu, Imam Bonjol membekali Tuanku Tambusai, Fakih Muhammad dan dua orang pengikutnya yang lain untuk pergi berhaji ke Makkah sekaligus mencari kejelasan di sana. Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar tentang penyerbuan Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal oleh Turki Utsmani.
Mengetahui kabar seperti itu, Imam Bonjol mengadakan pertemuan penting, masih pada 1832 itu juga. Di tengah para tuanku, hakim-hakim syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol mengumumkan semacam gencatan senjata. Semua harta rampasan turut dikembalikan.
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala keinginannya untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf kepada para pemuka adat yang telah banyak dirugikan. Kepada pemerintah Hindia Belanda, ia menawarkan keinginan untuk berdamai.
Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri baru ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1838
***** akhir kutipan ****
Jadi dari tahun 1821 M s/d 1832 M adalah perang saudara dan sejak tahun 1833 M s/d 1838 M kaum adat bersatu padu dengan kaum Paderi melawan penjajah Belanda
Setahun kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan ke Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang laki-laki tua yang bercocok-tanam di sebidang tanah kecil.
Sebelum meninggal-dunia, Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “Akui hak para penghulu adat,” pesannya. “Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.
Wasiat singkat Imam Bonjol tersebut sarat dengan makna yang maksudnya adalah jangan main hakim sendiri taatilah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha karena merekalah yang mengetahui hukum-hukum Allah
Dikatakan oleh Beliau “akui hak para penghulu adat” karena penghulu adat yang benar di Minangkabau berpegang pada prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Kalau mau menggali hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah, dikatakan oleh Beliau maka awali dengan mengenal Allah (makrifatullah) seperti dengan mempelajari dua puluh sifat Allah
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)
Dari wasiat Imam Bonjol untuk mempelajari kembali “dua puluh sifat-sifat Allah” adalah pengakuan beliau bahwa “pembagian tauhid jadi tiga” telah menjadi faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme.
Begitupula ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Begitupula dalam acara debat terbuka terkait buku kontroversial “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” karya H Mahrus Ali di ruang Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
Gus A’ab, sapaan akrab KH Abdullah Syamsul Arifin dalam debat terbuka itu menyatakan, buku karya Mahrus Ali penuh dengan tuduhan yang tidak berdasar. Namun yang paling menyakitkan adalah tudingan kafir dan syirik kepada orang yang bertawassul dan beristigotsah.
Sementara itu Muammal Hamidy Lc –dalam pengantarnya—juga menuduh kalangan Nahdliyyin yang bertawassul (berdoa dengan perantaraan Nabi Muhamamad dan orang-orang shalih) sebagai “mukmin-musyrik”. Istilah “mukmin musyrik”, menurut beliau merupakan pemahaman pribadinya berdasarkan kenyataannya banyak orang mukmin yang masih percaya tahayyul seperti Nyai Roro Kidul dan semacamnya.
Gus A’ab mengatakan, istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan), dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingkan. “Lagi pula, apa hubungannya istigotsah dan amaliyah yang dilakukan warga Nahdliyyin dengan Nyai Roro Kidul,” ujarnya.
Selengkapnya http://www.nu.or.id/page.php/tfiles/File/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11867
Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat sehingga tidak terbagi atau tidak terpisah. Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman.
Sampai kapanpun, orang-orang kafir tidaklah dapat dikatakan bertauhid atau beriman.
Boleh jadi pembagian tauhid jadi tiga adalah pengakuan mereka bahwa kaum Yahudi ataupun kaum Nasrani adalah termasuk orang-orang beriman.
Hal ini telah dibantah dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/13/2010/10/27/orang-orang-beriman/ dan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/13/2011/01/21/agama-hanya-islam/
Istilah mukmin musyrik menerangkan adanya pemahaman bahwa ada mukmin yang mengimani tauhid rububiyyah namun belum bertauhid uluhiyah. Pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang timbul dari pembagian tauhid jadi tiga
Sehingga jika ada orang yang menuduh kaum muslim lainnya baru bertauhid Rububiyyah belum bertauhid Uluhiyah sama dengan mereka mengatakan kepada kaum muslim lainnya “Wahai kafir” sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/05/19/serupa-wahai-kafir/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Ada pula yang menyampaikan bahwa Buya Hamka berkata “Vonis sesat terhadap Wahabi direkayasa untuk gurita Kolonialisme”
Apa yang disampaikan oleh Buya Hamka terkait kolonialisme Belanda yang mempergunakan isu Wahabi tujuannya adalah untuk meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat.
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang dapat diketahui dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka Semesta, cetakan I Juli 2009 pada halaman 169
***** awal kutipan *****
“Amerika Serikat, jauh sebelum meletusnya perang Padri, 1821-1837 M, sudah mengadakan kontak dagang dengan Indonesia di Agam Sumatra Barat. Kedatangan Amerika serikat menimbulkan kelompok Wahabi kuat perekonomiannya. Namun, kolonial Belanda berusaha meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat, dengan menggunakan potensi kaum adat melawan Wahabi dalam Perang Padri yang berlangsung selama 17 tahun.”
Pada 1821 – 1837 M, pecah Perang Padri di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang melakukan pendekatan dengan masyarakat Sumatera Barat mempergunakan paham sekutunya yakni paham Wahabi.
***** akhir kutipan *****
Pada halaman 167 dalam buku berjudul “API SEJARAH” dapat kita ketahui bahwa gerakan Zionisme dalam gerakan politiknya ada dua langkah kerjasama yakni
***** awal kutipan *****
1. Di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kesultanan Turki
2. Di Arabia, bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud , sekte Wahhabi.
Kerajaan Protestan Anglikan, Inggris berhasil menumbangkan kerajaan Arabia dari kekuasaan Raja Husein ataupun putra Raja Ali, Ahlus sunnah wal Jama’ah yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina dan Syiria bekas wilayah kekuasaan kesultanan Turki. Klaim atas kedua wilayah tersebut menjadikan Raja Husein dan putranya Raja Ali, dimakzulkan. Kemudian, kedua raja tersebut minta suaka di Cyprus dan Irak.
Kelanjutan dari kerjasama tersebut, Kerajaan Protestan Anglikan Inggris mengakui Abdul Aziz bin Saudi (sekte Wahabi) sebagai raja Kerajaan Saudi Arabia yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria sebagai wilayah Saudi Arabia.
Keberhasilan kedua kerjasama ini, memungkinkan berdirinya negara Israel, sesudah perang dunia II, 1939-1945M, tepatnya 15 Mei 1948
Kaum Wahabi adalah kaum yang mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari Kabilah Banu Tamim dari Najdi, lahir 1115 H., wafat tahun 1206 H.
***** akhir kutipan *****
Kajian yang lain silahkan baca tulisan pada http://kabarislam.wordpress.com/2011/12/07/persahabatan-wahabi-dgn-inggris-dan-as-re-buya-hamka-vonis-sesat-terhadap-wahabi-direkayasa-untuk-gurita-kolonialisme/
Tinggalkan Balasan