Pelarangan Maulid Nabi dengan penyalahgunaan kaidah fiqih
Dalam beberapa tulisan telah berulang kali disampaikan bahwa agar tidak menyesal di akhirat kelak, sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari orang-orang korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah atau orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Mereka kurang memperhatikan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/01/diskusi-hang-fm-batam/
Jika dalam menggali hukum sendiri (beristinbat) dari Al Qur’an dan As Sunah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Dalam tulisan sebelumnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/03/pencetus-maulid-nabi/ telah dijelaskan pelarangan Maulid Nabi menggunakan perkataan manusia “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” dan kesalahpahaman mereka dalam memahami hadits “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Contoh lainnya ada dari mereka yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah dholalah dan setiap kesesatan akan masuk neraka. Sehingga bagi mereka, kaum muslim yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi , kelak akan merasakan siksa neraka.
Alasan mereka bahwa ibadah Maulid Nabi tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah dan tidak pula dicontohkan oleh para Sahabat. Sekaligus mereka mengingatkan dengan kaidah fiqih yang berbunyi “Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil yang memerintahkannya)”.
Mereka mengingatkan bahwa sifat dari ibadah yang tauqif (menunggu sampai adanya dalil). Oleh karenanya terhadap peringatan Maulid Nabi ,mereka bertanya “mana dalilnya”. Salah satu contoh rujukan pendapat mereka tersebut termuat dalam tulisan pada http://rumaysho.com/ilmu-ushul/hukum-asal-ibadah-haram-sampai-ada-dalil-3119
Dari tulisan-tulisan mereka semakin tampak jelas bahwa mereka merasa lebih pintar dari para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Walaupun dalam tulisan mereka mengutip perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak memiliki hak karena mereka tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Mereka merasa lebih pintar dari para ulama kita yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia yang tidak pernah mengeluarkan fatwa pelarangan peringatan Maulid Nabi.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Mereka merasa lebih pintar dari para mufti di berbagai negara yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Contohnya fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah , DR Ali Jum’ah menjelaskan tentang hukum bolehnya menyambut hari-hari bersejarah dalam Islam termasuklah menyambut hari kelahiran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMindFatawa.aspx?ID=74&LangID=1
Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D. Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-, berpegang teguh kepada metode Al-Azhar.
Sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif.
Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis.
Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa semua amalan atau perbuatan kaum muslim adalah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Amalan atau perbuatan kaum muslim tidaklah sebatas apa yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya namun kaum muslim boleh melakukan amalan atau perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Seluruh amalan atau perbuatan kaum muslim yang merupakan ibadah diklasifikasikan kedalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Ibadah mahdhah = KA + SS , Karena Allah + Sesuai Syariat
Ibadah ghairu mahdhah = BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya
2. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang. Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
4. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
Jadi kaidah fiqih yang mereka sampaikan berlaku pada ibadah mahdhah yakni ibadah yang bersifat tauqif yakni ibadah yang sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau perubahan apapun.
Berbeda dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang hukum asalnya mubah (boleh) sampai ada dalil yang melarangnya.
Apakah yang dimaksud dengan ibadah mahdhah atau ibadah yang bersifat tauqif ?
Tauqifi dalam sifat ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal . Dalam sifatnya maka tidak boleh untuk menambah dan mengurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya. Oleh karena itu yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ atau harus berdasarkan dalil yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh RasulNya
Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi maka tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
Tauqifi dalam macamnya ibadah
Ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at artinya termasuk dari jenis ibadah yang disyariatkan. maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyariatkan, seperti menyembah matahari
Tauqifi dalam tempat ibadah.
maka ini juga harus masyru’. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. seperti jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji. atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut riwayat yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan perkataan Imam Malik tersebut
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?” Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”. Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?” Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?” Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?” Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Imam Malik dalam perkataan di atas tentang bid’ah dalam Islam menukil firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Mari kita coba perhatikan contoh bagaimana para ahli tafsir menafsirkan firman Allah tersebut
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh) Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)
Mereka yang mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya maka mereka telah mefitnah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya karena semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya
Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa
LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala.
Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram.
Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula kaidah yang serupa berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah, kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Janganlah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Salah satu perbuatan menyekutukan Allah pada akhir zaman adalah bertasyabuh dengan kaum Nasrani yang ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarrnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/04/musyrik-akhir-zaman/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/26/tukang-bidah/
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Oleh karenanya jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh Lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah Lil wasail hukmul maqoshid
Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda.
Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Contoh lain dari kaidah Lil wasail hukmul maqoshid
Anda menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) hukum asalnya mubah, mau menguasai atau tidak menguasainya terserah anda.
Namun anda ingin menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah maka menguasai ilmu tata bahasa Arab adalah wajib.
Oleh karenanya Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab dalam memelihara syariat termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih lainnya “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Setiap kebiasaan yang baik atau setiap kebaikan yang dilakukan atas kesadaran sendiri bukan karena diperintahkanNya atau diwajibkanNya adalah ibadah ghairu mahdhah
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman bin Karamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari ‘Atho` dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amalan kebaikan) maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala.(HR Muslim 1674)
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Berikut kebiasaan-kebiasaan Salafush Sholeh walaupun tidak dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun bukan perkara terlarang karena kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging dhab (mirip biawak) itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melarang lebiasaan para Sahabat untuk memakan daging dhab (mirip biawak) karena memang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla
Para Sahabat ada yang mempunyai kebiasaan membaca surah al Ikhlas sehingga Sahabat yang lain mempertanyakan kebiasaan yang tidak dicontohkan tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Begitupula kaum muslim melaksanakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan bukanlah perkara terlarang walaupun Rasulullah tidak mencontohkan melakukannnya berkesinambungan setiap malam dan meninggalkannya pada beberapa malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Sehingga kita dapat memahami apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab bahwa melaksanakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan adalah “Alangkah bagusnya bid’ah ini!”
وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” (atau diterjemahkan juga sebagai “sebaik-baik bid’ah adalah ini” ) (HR Bukhari)
Umar bin Khattab mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam.
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan berfungsi sebagai syiar Islam
Begitupula dengan peringatan Maulid Nabi walaupun Rasulullah mencontohkan memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa hari senin namun kaum muslim boleh memperingatinya dengan kegiatan-kegiatan yang lainnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah.
Al-Imam Abu Syamah menuturkan,
قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين
“merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah,
قد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى والحاصل أن البدعة الحسنة متفق على ندبها، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك، أي بدعة حسنة
“walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah,
فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على من في قلبه مرض وإعياء داء
“maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Pendapat Al-Imam Ma’aruf Al-Kharkhiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 200 H), Beliau dikenal alim, zuhud dan terkenal dikalangan fukaha’ sebagai fakih. Beliau mengungkap peringatan Maulid Nabi yang terjadi dimasa beliau, keistimewaan serta balasan bagi orang yang memperingati Maulid Nabi,
قال معروف الكرخي قدس الله سره: من هيأ لاجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الاولى من النبيين، وكان في أعلى عليين
“Al-Imam Ma’aruf Al-Kurkhiy Qaddasallahu sirrah, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari qiyamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Agung Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i Rahimahullah (wafat 204 H). Beliau menuturkan bahwa peringatan Maulid Nabi dilakukan dengan berjamaah dan disediakan makanan sebagai rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, serta beliau juga menuturkan keutamaan orang yang memperingatinya,
قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”. Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)
Pendapat Al-‘Arif Billah Al-Imam As-Sirriy As-Saqathiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 257 H). Termasuk generasi salafush shaleh yaitu generasi tabiut tabi’in, seorang yang sangat berpendirian teguh, wara, sangat alim dan ahli ilmu tauhid. Beliau mengungkapkan keutamaan memperingati Maulid Nabi karena kecintaan kepada Rasulullah dan kelak akan bersama dengan Rasulullah,
وقال السري السقطي: من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول. وقد قال عليه السلام: من أحبني كان معي في الجنة
“Imam As-Sirry As-Saqathiy berkata, barangsiapa yang menyediakan tempat untuk dibacakan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم), maka sungguh dia menghendaki “Raudhah (taman)” dari taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu melainkan karena cintanya kepada Rasul. Dan Sungguh Rasul (صلى الله عليه وسلم) bersabda : “barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku didalam surga”. Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon
Pendapat Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah, beliau menuturkan tentang keutamaan Maulid Nabi sebagai berikut,
قال ابن الجوزي رحمه الله تعالى من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام
“Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah berkata, diantara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi” kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy.
Pendapat Al-Imam Junaid Al-Baghdadiy Rahimahullah (wafat 297 H), masih termasuk generasi shalafuh shaleh. Beliau menuturkan beruntungnya keimanan seseorang yang menghadiri Maulid Nabi,
قال الجنيدي البغدادي رحمه الله: من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالايمان
“Imam Junaid al-Baghdadiy rahimahullah berkata, barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya (Rasulullah), maka dia beruntung dengan keimanannya” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Kesimpulannya bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Kesimpulannyai bid’ah hasanah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Ass.. Bos…. Seluruh amalan yang dilakukan oleh Nabi SAW itu kan banyak sekali… Jadi kenapa kita susah-susah ibadah yang tidak ada contohnya… kelihatannya kok repot bener yah….
yah kaya contohnya upacara kematian yaitu tahlilan , khaul… untuk keperluan itu kan kita harus mengeluarkan biaya banyak…
Jadi gimana boss.. gak usah repot2 lah…
yang ada contohnya aja udah banyak….
Kok kelihatannya Anda itu lebih pinter yah dari orang-orang Islam terdahulu… kaya contohnya SAHABAT NABI…
Jadi gimana nih… orang yang sok pinter….
APA ADANYA AJA BUNG…….
Mas Abnas Irsal, bagi umat Islam seluruh perbuatan adalah ibadah kepada Allah
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Senyummu dihadapan saudaramu adalah ibadah, menyingkirkan batu dari jalan adalah ibadah
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua itu termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya ataupun adat
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Silahkan baca uraian selengkapnya dalam tulisan yang terbaru pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/02/memfitnah-rasulullah/
jawaban antum ini ga jelas !!! antum ini pengen dibilang sok pinter tapi nyatanya maaf……. itu akhi abnas irsal bilang ibadah2 yg dicontohkan rasullullah,,(,Mas Abnas Irsal, bagi umat Islam seluruh perbuatan adalah ibadah kepada Allah) ini tulisan antum,,ibadah yg mana ????bathil pernyataan antum ini ,,ngawur dan ga berdasar yg jelas,,ASBUN ANTUM !!!yang disebut ibadah didalam islam adalah semua perbuatan yg dicontohkan oleh RASULLULLAH SHALLAAHUALAIHI WASSALAM,,dan dilakukan dengan Ikhlas krn mengharap Ridho ALLAH SWT,,itu baru yg disebut IBADAH !!!bukan ibadah bikinan2 dan modif2 antum sendiri..Dan Allah Berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31) ,,,aku dalam firman ALLAH ini adalah RASULLULLAH,, IBADAH PAKE ATURAN MAS ZUHUD!!! BUKAN SA KAREP MU DEWE,,ANTUM AJA KERJA HARUS IKUT ATURAN BOS ANTUM!!! APALAGI DALAM BERIBADAH!!! BENER2 ASBUN ANTUM!!!
Silahkan baca uraian terbaru pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/02/memfitnah-rasulullah/
Dalam tulisan tersebut selain diuraikan tentang ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, juga diingatkan bahwa pada hakikatnya mereka yang mengatakan Rasulullah bersabda bahwa semua bid’ah itu sesat, secara tidak langsung telah memfitnah Rasulullah karena Rasulullah bersabda dalam bahasa Arab sehingga memahaminya tidak cukup dengan arti bahasa dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Jadi jika seseorang berpendapat atau berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits atau berfatwa tanpa menguasai ilmu-ilmu di atas maka dia akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
mas zuhud,,yg berfatwa kan antum,,antum bilang kalo semua perbuatan muslim adalah ibadah kepada ALLAH?? ana tanya yg antum sebut muslim itu yang mana???dasar dan tolok ukurnya apa??dalilnya mana??jgn antum berfatwa tanpa ilmu mas zuhud!!!fatwa antum itu dzahir tuh,,krn ga jelas dasarnya dan tolok ukurnya,!!krn jaman sekarang banyak umat muslim yang datang ke kubur kubur wali minta dan menangis disana,,ada juga umat muslim yg larung kepala kerbau kelaut,,bahkan ada umat muslim yg mengkramatkan kerbau dgn sebutan kyai dll dan masih bnyak lg yg lainnya.apakah ini termasuk perbuatan ibadah menurut antum??.ini jelas2 tdk ada tuntunannya dari RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM,, yg membawa risalah agama islam ini adalah NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM MAS ZUHUD!!!JADI JELAS TOLOK UKURNYA harus berdasarkan AL QURAN dan HADIST SHAHIH RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM,,YG DHAIF/MAUDU ga bisa di pake hujjah/dalil mas zuhud,,makanya kalo berfatwa harus jelas mas zuhud!!jgn secara dzahir antum aja,,bahaya tuh antum,,krn nanti di kuburan ana/antum akan ditanya salah satunya tentang 1 orang,,dialah RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM..
Mas Korry tampaknya anda enggan membaca tulisan yang sudah kami sampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/02/memfitnah-rasulullah/
Dalam tulisan tersebut sudah disampaikan bahwa bagi umat Islam sikap atau perbuatan seorang hamba Allah adalah ibadah kepada Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Senyummu dihadapan saudaramu adalah ibadah, menyingkirkan batu dari jalan adalah ibadah
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua itu termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya ataupun adat
Sedangkan kebiasaan orang-orang yang suka mencela, menyalahkan atau bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka jelas bukan bentuk ibadah kepada Allah melainkan memperturutkan hawa nafsu mereka semata.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“..Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.(QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”(QS An’Aam [6]:56)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan budaya atau adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Prinsip ibadah mahdhah adalah harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah perkara terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Sedangkan prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah ada yang dicontohkan oleh Rasulullah namun tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
Jadi kesimpulannya bahwa perkara baru (bid’ah) atau muhdats dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan, budaya atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Tulisan selengkapnya silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/02/memfitnah-rasulullah/
makanya kalo berfatwa hati2 mas zuhud jangan ASBUN!!!harus ilmu !!!semua perbuatan yg bisa disebut ibadah adalah yg sesuai dengan Tuntunan AL quran dan AS SUNNAH(yg sudah di contohkan oleh RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM berdasarkan hadist yg SHAHIH) itu baru bisa disebut ibadah!!makanya sekali lagi kalo berfatwa jangan ASBUN antum!! antum jangan buat2 kesimpulan sendiri tanpa ilmu mas zuhud,,,sebelum Rasullullah WAfat agama islam ini sudah sempurna,,ga perlu tambahan2 cara2 ibadah baru!!! bahkan para sahabat pun tidak mencontohkan,,adakah riwayat imam 4 mahzab yg membolehkan memperingati maulid???semua tata cara beribadah /beragama untuk mendekatkan diri ke pada ALLAH SUDAH SEMPURNA DICONTOHKAN DAN DISAMPAIKAN KE PADA UMAT MUSLIM INI OLEH RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM,,ga perlu tambahan2 ibadah baru lagi??krn yg sunah pun sudah padat dan banyak yg ditinggalkan…yg pertama memperingati maulid adalah orang SYIAH di mesir pd thn 230hijriyah krn mau mencontoh kaum nasrani,,kita ini ga lebih pintar dari RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM jadi ga perlu bikin2 ibadah baru yg di tidak di contohkan,,apakah antum mau bilang bahwa RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM belum sempurna membuat tata cara ibadah hingga antum tambah2in sendiri cara2 ibadah baru??inilah hal2 yg disebut FITNAH mas zuhud,,agama islam ini bersih putih dan tidak bercampur dgn noda kesyirikan sebelum Rasullullah wafat..Pertanyaannya kenapa RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM bersabda kalo setiap hal2 baru dlm ibadah yg tidak dicontohkan akan tertolak???? TUJUANNYA agar UMAT MUSLIM INI TETAP BERSATU ,,UTUH DAN TIDAK TERSESAT DARI SIROTOL MUSTAQIM,,,krn kalo tidak dibendung dgn SABDA beliau,,mungkin akan muncul ribuan model2 ibadah2 baru yg ga jelas juntrungnya dari mana dan pada akhirnya agama islam inI jadi rusak !!antum liat kaum nasoroh adakah cara ibadah mereka sesuai nabi isa???nyanyi2 rame teriak2??? nabi isa ibadahnya sholat,,ruku dan sujud ,,bukan nyanyi2 pake gitar dan teriak2!! ALLLAHUL MUSTA’AN,,Wallahu A’lam Bishawab.
Syukron Mas Zuhud. Penjelesan antum sudah Cukup Jelas Bagi saya,
Untuk mas korry Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada anda ada beberapa pertanyaan dari saya tentang Ucapan Anda di atas.
Pertanyaan pertama “Apakah Anda Pernah Belajar kaidah Ushul Fiqh, Nahu Sorof dan Ilmu Balaghoh ? ”
pertanyaan kedua “Anda Tau dari mana Imam 4 Mazhab tidak pernah mengajarkan Maulid ? Apakah Anda Sudah mempelajari Kitab2 karangan Imam 4 Mazhab tersebut ? ”
Syukron.
mas rayen anda tidak perlu mengukur ilmu saya,,krn saya tidak berilmu apa2,,,tapi yg jelas saya berusah semaksimal mungkin menjalankan agama ini sesuai perintah ALLAH yg di WAJIBKAN dan SUNNAH amalan yg sudah dicontohkan oleh RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,,yg MUBAH ,,MAKRUH sy berusaha tinggalkan,,penjelasan ALQURAN sudah sangat mudah di amalkan krn tinggal mencontoh(ittiba) yg dijalankan RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,,krn ALLAH sendiri yg menjelaskan tinggal mencontoh dan mengikuti RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,,FIRMAN ALLAH “Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21),ISLAM ini AGAMA mudah dan jangan di persulit ,,RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM adalah implementasi dari AL QURAN,,bahasa sabda RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,sangat mudah di mengerti dan di fahami,,tinggal di CONTOH!!
silahkan antum cari dan pelajari sendiri,,adakah imam 4 mazhab mengadakan/menyuruh “maulidan,,tahlilan,,barzanzi cari dari sumber yg benar mas jangan dari sumber ‘web sesat begini” web ini isinya banyak FITNAH dan SUBHAT,,pd dasarnya yg bikin web ini MAAF cuma TUKANG COPY2 PASTE ,,kita ga tau yg bkin web ini muslim apa bukan??krn tulisan2nya campur aduk,,banyak mencela para ulama tanpa bertabayun,,muslim yg baik adalah muslim yg berakhlak mulia,,bukan muslim yg menebar kebencian dan fitnah yg tak berdasar..sekali lagi saya tidak merasa paling benar mas rayen,,tapi saya cuma berusaha mengikuti apa yg sudah di contohkan RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,, ibarat urusan dunia mas rayen mau beli tanah/rumah,,mas rayen pasti akan teliti dan periksa apakah shahih surat2nya !! apalagi urusan akhirat mas,,kita harus bener2 teliti dan ikut sesuai contoh,,sebab kalo tidak sesuai yg di contohkan,,bagaimana jika di akhirat RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM berlepas diri bahwa amalan yg kita kerjakan bukan bersumber dari yg di contohkan beliau,,,makanya RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM bersabda Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari),,,,Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan tiap bid’ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim).. JELASKAN PERINGATAN DARI RASULLULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALAM,,,
10 FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I YANG YANG SERING DIINGKARI
Ramai yang mengaku bermazhab Syafi’e dan mengakui mengikuti serta mempraktikkan Islam berdasarkan istinbat hukum oleh Imam Asy-Syafi’i. Namun, hakikatnya, ramai yang keliru kerana banyak fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i yang tidak kita ketahui malah kita mengabaikannya. Padahal semua fatwa-fatwa itu adalah sangat penting dan berkaitan sekitar isu aqidah dan persoalan i’tiqad. Dengan itu, sama-sama lah kita teliti semula beberapa fatwa-fatwa beliau tersebut dan sama-sama kita muhasabah diri.
Fatwa-fatwa ini hanyalah sebahagian kecil dari sejumlah fatwa atau pendapat imam asy-Syafi’i sahaja. Ianya diambil daripada buku/kitab berjudul “Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah”, karya/susunan Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-’Aqil. Mari sama-sama kita teliti:
1 – MERATAKAN KUBURAN
Imam asy-Syafi’e rahimahullah menyatakan: “Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dan selainnya dan tidak mengambil padanya dan tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dan lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah”. (Syarah Muslim 2/666, Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/257)
2 – HUKUM MEMBANGUNKAN BANGUNAN/BINAAN DI KUBURAN
“Saya suka bila (kuburan) tidak dibuat binaan dan bangunan, karena itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar didirikan sebarang binaan. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahawa Rasulullah s.a.w. telah melarang kuburan dibinakan binaan atau ditembok. Saya sendiri melihat sebahagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm 1/277. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)
3 – HUKUM MEMBINA MASJID DI TEMPAT YANG ADA KUBUR
“Saya melarang dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261)
4 – PERSOALAN FITNAH KUBUR
“Sesungguhnya Azab kubur itu benar dan pertanyaan malaikat terhadap ahli kubur adalah benar.” (al-I’tiqad karya Imam al-Baihaqiy. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/420)
5 – PERSOALAN HISAB, SYURGA, DAN NERAKA
“Hari kebangkitan adalah benar, hisab adalah benar, syurga dan neraka serta selainnya yang sudah dijelaskan dalam sunnah-sunnah (hadis-hadis), lalu ada pada lisan-lisan para ulama dan pengikut mereka di negara-negara muslimin adalah benar.” (Manaqib asy-Syafi’i, karya Imam al-Baihaqiy, 1/415. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/426)
6 – BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN NAMA ALLAH
“Semua orang yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka saya melarangnya dan mengkhuwatirkan pelakunya, sehingga sumpahnya itu adalah kemaksiatan. Saya juga membenci bersumpah dengan nama Allah dalam semua keadaan, kecuali hal itu adalah ketaatan kepada Allah, seperti berbai’at untuk berjihad dan yang serupa dengannya.” (al-Umm 7/61. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/271)
7 – PERNYATAAN TENTANG SYAFA’AT
“Beliau (Rasulullah s.a.w.) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dan ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (ar-Risalah 12-13. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)
Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:
“Semalam saya mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “…Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada keizinan-Nya….” (Surah Yunus, 1O: 3). Dan dalam kitabullah, hal ini banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Surah al-Baqarah, 2: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)
8 – PENDIRIAN BERKENAAN ASMA’ WA SIFAT ALLAH
Imam Syafi’e rahimahullah menjelaskan melalui riwayat yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib radiallahu ‘anhu:
“Bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagaimana sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan KakiNya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba’ah Abi Hanifah wa Malik wa Syafi’e wa Ahmad, m/s. 46- 47, Cetakan pertama, 1412 -1992M. Darul ‘Asimah Saudi Arabia)
Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan:
“Dan Allah Ta’ala di atas ‘Arasy-Nya (Dan ‘Arasy-Nya) di langit”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba’ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 40)
Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan lagi:
“Kita menetapkan sifat-sifat (mengithbatkan sifat-sifat Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Quran dan yang warid tentangNya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentangNya kerana dinafikan oleh diriNya sendiri sebagaimana firmanNya (Tiada sesuatu yang semisal denganNya)”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba’ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 42)
Imam Syafi’e telah menjelaskan juga tentang turun naiknya Allah Subhanahu wa-Ta’ala:
“Sesungguhnya Dia turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba’ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 47)
Justru itu mas Korry , untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau anda berpendapat dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah atau berfatwa namun belum menguasai ilmu-ilmu tersebut maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Mas Korry kalau memahami Al Qur’an dan As Sunnah sebaiknya janganlah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Jadi melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya termasuk bid’ah dalam urusan agama dan merupakan contoh perkara baru (bid’ah atau muhdats) yang sayyiah (buruk)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) yang berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Kesimpulannya karena mereka yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Ada pula dari pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang oleh karena mereka gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka terjerumus melarang yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya yakni contohnya dengan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” yang mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Ayat tersebut justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan
Hukum dalam Islam yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan adalah hukum taklifi yang lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Penjelasan dalam bentuk video tentang bid’ah bukan hukum dalam Islam dapat disaksikan pada http://www.youtube.com/watch?v=ft_lPw-gRXg
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan as Sunnah sehingga melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah.
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya yakni mengharamkan atau melarang hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram.
Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
justru itu juga antum ini kalo merasa udah PINTAR!! jgn suka menebar fitnah di medsos!!!krn tidak layak dan tidak terbukti secara ilmiah tulisan2 antum ini,,lebih baik antum bertabayun thdp ulama2 yg antum fitnah!! antum ini kan LAKI2 bukan maaf maaf sekali bukan seperti BENCONG yg teriak2 di belakang tanpa berani berdiskusi secara langsung thd fitnah yg antum lontarkan!! berapa bnyak ustadj2 yg antum fitnah,,bahkan ulama besar yg sudah meninggal pun antum fitnah!!! keji mulut antum ini ,,,bukan mulut seorang muslim yg patut di contoh!! kalo emang antum ini MUSLIM!!yg perlu antum tau,, ‘wahabi khawarij adalah wahabi yg sudah mati pada thn 197h yg bernama Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al- Abadhi,.inilah wahabi yg mengharamkan darah sunni,, Inilah Wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan menghalalkan darah sunni,,yang di fatwakan oleh imam Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.beliau wafat pd thn 478.
..sedangkan syeikh muhammad bin abdul wahab yg antum tuduh sebagai wahabi lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H Dakwah yang dibawa oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-,maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul.Syubhat wahabi yang tersebar dinegeri-negeri Islam pd masa ini dipropagandakan oleh musuh- musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin..makanya baca sejarah dr sumber yg benar!!! krn fitnah yg antum tebarkan adalah fitnah kepanjangan tangan dari kaum kafir nasoroh,,bahkan Pendiri bangsa ini IR SOEKARNO sangat mendukung dan bangga dengan dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab ((buku yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” jilid pertama, cetakan kedua,tahun 1963. pada halaman 390,)..BACA !!! bahkan buya hamka,,pangeran diponegoro dan tuanku imam bonjol sangat mendukung dakwah wahabi yg antum fitnah !!!BACA (antum cari tau sendiri biar tambah PINTER),,biar bersih hati antum dari fitnah keji wahabi!!! tapi sebaiknya memang ga usahlah antum berdiskusi dgn ustadj khalid/ ustadj yajid,,,krn maaf maaf sekali lg,,ilmu sejarah aja antum ini BERANTAAKAN,,dan sekali lagi antum ini cuma TUKANG COPY2 PASTE DOANG,,alias TONG KOSONG NYARINNGG ASBUN NYA…MAAF..
Kl mau bersekspresi atau membuat kreasi baru dalam agama, silakan cari agama lain.
jangan membuat dali-dalil sendiri sebagai pembenaran ajaran2 baru kalian.
untuk apa Allah Swt berfirman “Islam sudah sempurna” jika kalian malah menambah2kan ajaran baru didalamnya.
jangan durhaka kepada Allah SWT.
Bagi umat Islam boleh berkreasi dalam ibadah ghairu mahdhah.
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Prinsip ibadah mahdhah adalah harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah perkara terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Sedangkan prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah ada yang dicontohkan oleh Rasulullah namun tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
koreksi tuh kutipan antum bener2 ASBUN ASLI !!! ulama mana???jangan main catut nama ulama ga jelas!! sebutin ulamanya???GHAIR MAHDAH itu artinya perkara NON IBADAH !!!yg berhubungan dengan masalah ke duniawian,,,jangan main campur aduk antum ini!!! dan jangan main kesimpulan sendiri!!belajar lagi antum yg bener !! MAHDHAH adalah perkara ibadah MURNI!!! GHAIR MAHDHAH adalah perkara NON IBADAH!!!,,,mana hadistnya RASULLULLAH SHALLLAHU ALAIHI WASALAM mengajarkan ibadah boleh berkreasi semau DENGKULMU!!! sekali lagi bener2 ASBUN ANTUM!!!
Apa Definisi Ibadah Mahdhah dan Ghaira Mahdhah? Banyak Yang Salah Memahami Istilah Ini
Dua Kaidah Penting Terkait Amal
Perbuatan manusia, secara umum, bisa kita bagi menjadi dua kategori:
Pertama: Ibadah mahdhah, alias “murni ibadah”. Inilah perbuatan yang dilakukan manusia dengan motivasi pokok: mendapatkan manfaat di akhirat, misalnya: salat, puasa ramadan, dan lain-lain.
Kedua: Ibadah ghair mahdhah atau “perkara non-ibadah”. Inilah segala hal yang dilakukan oleh manusia dengan motivasi pokok: mendapatkan manfaat duniawi, misalnya: jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.
Masing-masing dari dua jenis tindakan manusia ini memiliki kaidah mendasar yang perlu diketahui oleh setiap muslim.
Untuk ibadah mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan. Sehingga, siapa saja yang mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
Landasan kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Bunda Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)
Hadits ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, tidak semua perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita menjalankannya dengan penuh semangat. Akan tetapi, jika ternyata ibadah semacam itu tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya–dengan penuh kelapangan dada–kita tinggalkan hal tersebut, meski hal tersebut adalah peninggalan leluhur yang sangat kita hormati atau pendapat kiai yang sangat kita kagumi.
Sebaliknya, dalam masalah non-ibadah, pada dasarnya, semua yang dilakukan manusia itu boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang melarangnya.
Sehingga, siapa saja yang melarang kita untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori non-ibadah maka kita menuntut dia untuk mendatangkan bukti bahwa ajaran Islam memang melarang untuk melakukannya.
Landasan kaidah ini adalah firman Allah,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah yang menciptakan, untuk kalian semua, segala sesuatu yang ada di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah:29)
Jika Allah menciptakan semua yang ada di muka bumi ini untuk kita, maka pada dasarnya, kita (manusia) diperbolehkan untuk mengolah semua hal yang ada di muka bumi untuk kepentingan kita, kecuali pengolahan yang dilarang oleh Allah sendiri.
Tidak ada satu pun permasalahan muamalah yang keluar dari kaidah ini–yaitu, dari hukum mubah berubah menjadi haram–kecuali karena ada hal terlarang di dalamnya, yang intinya adalah adanya pihak yang terzalimi, misalnya: karena di dalamnya terdapat praktik riba, adanya penipuan, dan adanya gharar (gambling) karena terdapat hal-hal yang tidak transparan. Pokok ketiga hal ini adalah: adanya pihak-pihak yang terzalimi.
Intinya, perkara muamalah yang diharamkan itu dilarang karena beberapa sebab. Sebab paling utama yang menyebabkan haramnya sebuah transaksi di bidang muamalah ada tiga:
1. Riba, dengan berbagai bentuknya.
2. Gharar.
3. Penipuan.
oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.PI.
Artikel http://www.PengusahaMuslim.com
Mas Agus Rahmat, namanya saja “Ibadah ghairu mahdhah” koq didefinisikan sebagai “perkara non ibadah” ?
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
Jadi kesimpulannya bahwa perkara baru (bid’ah) atau muhdats dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Perayaan Maulid Nabi Adalah Produk Syi’ah
Seluruh ulama sepakat bahwa maulid Nabi tidak pernah diperingati pada masa Nabi shallallahu `alaihi wasallam hidup dan tidak juga pada masa khulafaur rasyidin.
Lalu kapan dimulainya peringatan maulid Nabi dan siapa yang pertama kali mengadakannya?
Al Maqrizy (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya “Al khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Dinasti Fathimiyah mulai menguasai mesir pada tahun 362 H dengan raja pertamanya Al Muiz lidznillah, di awal tahun menaklukkan Mesir dia membuat enam perayaan hari lahir sekaligus; hari lahir ( maulid ) Nabi, hari lahir Ali bin Abi Thalib, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husein dan hari lahir raja yang berkuasa.
Kemudian pada tahun 487 H pada masa pemerintahan Al Afdhal peringatan enam hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati, raja ini meninggal pada tahun 515 H.
Pada tahun 515 H dilantik Raja yang baru bergelar Al amir liahkamillah, dia menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut, begitulah seterusnya peringatan maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam yang jatuh pada bulan Rabiul awal diperingati dari tahun ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas hampir ke seluruh dunia.
Hakikat Dinasti Fathimiyah
Abu Syamah (ahli hadist dan tarikh wafat th 665 H) menjelaskan dalam bukunya “Raudhatain” bahwa raja pertama dinasti ini berasal dari Maroko dia bernama Said, setelah menaklukkan Mesir dia mengganti namanya menjadi Ubaidillah serta mengaku berasal dari keturunan Ali dan Fatimah dan pada akhirnya dia memakai gelar Al Mahdi. Akan tetapi para ahli nasab menjelaskan bahwa sesungguhnya dia berasal dari keturunan Al Qaddah beragama Majusi, pendapat lain menjelaskan bahwa dia adalah anak seorang Yahudi yang bekerja sebagai pandai besi di Syam.
Dinasti ini menganut paham Syi’ah Bathiniyah; diantara kesesatannya adalah bahwa para pengikutnya meyakini Al Mahdi sebagai tuhan pencipta dan pemberi rezeki, setelah Al Mahdi mati anaknya yang menjadi raja selalu mengumandangkan kutukan terhadap Aisyah istri Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam di pasar-pasar.
Kesesatan dinasti ini tidak dibiarkan begitu saja, maka banyak ulama yang hidup di masa itu menjelaskan kepada umat akan diantaranya Al Ghazali menulis buku yang berjudul “Fadhaih bathiniyyah (borok aqidah Bathiniyyah)” dalam buku tersebut dalam bab ke delapan beliau menghukumi penganutnya telah kafir , murtad serta keluar dari agama islam.
Dinasti Fathimiyah sendiri diruntuhkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi,oleh karena itu Syi’ah menyimpan dendam kepada Shalahuddin dan sampai sekarang berambisi mengembalikan kejayaan dinasti Fathimiyah di Mesir.
Hukum Perayaan Maulid Nabi
Sebenarnya, dengan mengetahui asal muasal perayaan maulid yang dibuat oleh sebuah kelompok sesat tidak perlu lagi dijelaskan tentang hukumnya. Karena saya yakin bahwa seorang muslim yang taat pasti tidak akan mau ikut merayakan perhelatan sesat ini.
Akan tetapi mengingat bahwa sebagian orang masih ragu akan kesesatan perayaan ini maka dipandang perlu menjelaskan beberapa dalil ( argumen ) yang menyatakan haram hukumnya merayakan hari maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
Diantara dalilnya:
1.Allah taala berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al Maidah: 3 ).
Ayat di atas menjelaskan bahwa agama islam telah sempurna tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang dibuat setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam wafat berarti menetang ayat ini dan menganggap agama belum sempurna masih perlu ditambah. Sungguh peringatan maulid bertentangan dengan ayat di atas.
2.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam :
“Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan”. (HR. Abu Daud dan Tarmizi).
Peringatan maulid Nabi tidak pernah dicontohkan Nabi, berarti itu adalah bi’dah, dan setiap bi’dah adalah sesat, berarti maulid peringatan Nabi adalah perbuatan sesat.
3.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Barang siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).
Tradisi peringatan hari lahir Nabi Muhammad meniru tradisi kaum Nasrani merayakan hari kelahiran Al Masih (disebut dengan hari natal) , maka orang yang melakukan peringatan hari kelahiran Nabi tidak ubahnya seperti kaum Nasrani -wal ‘iyazubillah-.
4.Orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang tidak pernah diajarkan Nabi sesungguhnya dia telah menuduh Nabi telah berkhianat dan tidak menyampaikan seluruh risalah yang diembannya.
Imam Malik berkata,” orang yang membuat suatu bidah dan dia menganggapnya adalah suatu perbuatan baik, pada hakikatnya dia telah menuduh Nabi berkhianat tidak menyampaikan risalah.
Setelah membaca artikel ini, berdoalah kepada Allah agar diberi hidayah untuk bisa menerima kebenaran dan diberi kekuatan untuk dapat mengamalkannya dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukannya seperti firman Allah:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Q.S. Al An’aam: 116 ).
Dikutip dari: Al Ihtifal bil Maulidi An Nabawi Abra At Tarikh karya Nashir Muhammad Al Hanin.
Sumber: https://aslibumiayu.net/7956-yang-pertama-kali-mengadakan-maulid-adalah-orang-syiah.html
Mas Agus Rahmat kalau anda mengatakan peringatan Maulid Nabi adalah produk Syiah maka itu sama saja anda menyenangkan hati para pengikut firqah Syiah
Kalau boleh kami menyarankan sebaiknya janganlah anda mengambil pendapat dari situs aslibumiayu karena mereka adalah para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
Salah satu tulisan yang menjelaskan tentang kesalahpahaman mereka terhadap firman Allah (QS. Al-An’am [6] : 116) dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/01/merasa-ghuroba/
KEMUNGKARAN ACARA MAULID YANG DIINGKARI OLEH PENDIRI NU KIYAI MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI RAHIMAHULLAH
Tidak diragukan lagi bahwa melaksanakan perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak dikenal oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Tholib tidak pernah merayakannya, bahkan tidak seorang sahabatpun.
Padahal kecintaan mereka kepada Nabi sangatlah besar…mereka rela mengorbankan harta bahkan nyawa mereka demi menunjukkan cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula tidak diragukan lagi bahwasanya para imam 4 madzhab (Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam As-Syafi’i, dan Al-Imam Ahmad) juga sama sekali tidak diriwayatkan bahwa mereka pernah sekalipun melakukan perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karenanya sungguh aneh jika kemudian di zaman sekarang ini ada yang berani menyatakan bahwa maulid Nabi adalah sunnah, bahkan sunnah mu’akkadah??!! (Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh sufi Habib Ali Al-Jufri, ia berkata, “Maulid adalah sunnah mu’akkadah, kita tidak mengatakan mubah (boleh) bahkan sunnah mu’akkadah, silahkan lihat di
YouTube Video Preview
Tentu hal ini menunjukkan kejahilan Habib Al-Jufri, karena sunnah mu’akkadah menurut ahli fikih adalah : sunnah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditekankan oleh Nabi serta dikerjakan oleh Nabi secara kontinyu, seperti sholat witir dan sholat sunnah dua raka’at sebelum sholat subuh. Jangankan merayakan maulid berulang-ulang, sekali saja tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pernyataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah sunnah mu’akkadah melazimkan kelaziman-kelaziman yang buruk, diantaranya :
Pertama : Perayaan maulid Nabi termasuk dari bagian agama yang dengan bagian tersebut maka Allah menyempurnakan agamaNya. Jika ternyata perayaan maulid Nabi baru muncul ratusan tahun setelah wafatnya Nabi, menunjukkan bahwa kesempurnaan agama baru sempurna ratusan tahun setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kedua : Berarti Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan para tabi’in dan juga para imam 4 madzhab semuanya telah meninggalkan sunnah mu’akkadah yang sangat penting ini !!!, padahal mereka begitu terkenal sangat bersemangat dalam beribadah !!?
Ketiga : Hal ini juga melazimkan bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan amalan sunnah mu’akkadah dan juga telah meraih pahala yang terluputkan oleh Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab.
(silahkan baca kembali “DIALOG ASWAJA – SYIAH vs WAHABI tentang BID’AH HASANAH“)
Diantara perkara yang menunjukkan bid’ahnya perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ternyata banyak kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dalam perayaan maulid.
Karenanya tatkala ada sebagian ulama yang membolehkan perayaan maulid maka mereka menyebutkan cara perayaan yang benar, dan mereka mengingkari tata cara perayaan yang berisi banyak kemungkaran.
Diantara para ulama yang mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di perayaan maulid adalah Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullah pendiri N.U. Bahkan beliau rahimahullah telah menulis sebuah risalah yang berjudul
التَّنْبِيْهَاتُ الْوَاجِبَاتُ لِمَنْ يَصْنَعُ الْمَوْلِدَ بِالْمُنْكَرَاتِ
(Peringatan-peringatan yang wajib terhadap orang-orang yang merayakan maulid Nabi dengan kemungkaran)
Meskipun Kiyai Muhammad Hasyim al-Asy’ari membolehkan merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi beliau meletakkan aturan-aturan dalam perayan maulid tersebut.
Beliau sungguh terkejut tatkala melihat orang-orang yang merayakan maulid Nabi telah melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan tersebut, sehingga mendorong beliau untuk menulis risalah ini sebagai bentuk bernahi mungkar.
Beliau berkata di awal risalah beliau ini :
“Pada senin malam tanggal 25 Robi’ul awwal 1355 Hijriyah, sungguh aku telah melihat sebagian dari kalangan para penuntut ilmu di sebagian pondok telah melakukan perkumpulan dengan nama “Perayaan Maulid”.
Mereka telah menghadirkan alat-alat musik lalu mereka membaca sedikit dari Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang datang tentang awal sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang terjadi tatkala maulid (kelahiran) Nabi, demikian juga sejarah beliau yang penuh keberkahan setelah itu.
Setelah itu merekapun mulai melakukan kemungkaran-kemungkaran seperti saling berkelahi dan saling mendorong yang mereka namakan dengan “Pencak silat” atau “Box”, dan memukul-mukul rebana.
Semua itu mereka lakukan dihadapan para wanita ajnabiah (bukan mahram mereka-pen) yang dekat posisinya dengan mereka sambil menonton mereka.
Dan juga musik dan sandiwara cara kuno, dan juga permainan yang mirip dengan judi, serta bercampurnya (ikhtilatnya) para lelaki dan wanita.
Juga nari-nari dan tenggelam dalam permainan dan tertawa, suara yang keras dan teriakan-teriakan di dalam mesjid dan sekitarnya. Maka akupun melarang mereka dan mengingkari perbuatan kemungkaran-kemungkaran tersebut, lalu mereka pun buyar dan pergi”
Setelah itu Kiyai Muhammad Hasyim berkata :
“Dan tatkala perkaranya sebagaimana yang aku sifatkan dan aku takut perbuatan yang menghinakan ini akan tersebar di banyak tempat, sehingga menjerumuskan orang-orang awam kepada kemaksiatan yang bermacam-macam, dan bisa jadi mengantarkan mereka kepada keluar dari agama Islam, maka aku menulis peringatan-peringatan ini sebagai bentuk nasehat untuk agama dan memberi pengarahan kepada kaum mulsimin. Aku berharap agar Allah menjadikan amalanku ini murni ikhlas untuk wajahNya yang mulia, sesungguhnya Ia adalah pemilik karunia yang besar” (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 10)
Tata Cara Perayaan Maulid :
Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullah menyebutkan tentang tata cara perayaan maulid yang dianjurkan. Beliau berkata ;
“Dari perkataan para ulama… bahwasanya maulid yang dianjurkan oleh para ulama adalah berkumpulnya orang-orang dan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat khabar-khabar yang menjelaskan tentang permulaan sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi tatkala Nabi dalam kandungan dan kelahirannya, demikian juga setelahnya berupa sejarah/siroh beliau yang penuh keberkahan. Setelah itu diletakkan makanan lalu mereka memakannya lalu buyar. Jika mereka menambahkan dengan memukul rebana sambil memperhatikan kesopanan dan adab maka tidak mengapa” (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 10-11)
Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan Maulid yang disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari
Diantara kemungkaran-kemungkaran tersebut adalah :
Pertama : Bercampurnya (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan
Kedua : Diadakannya “strik” (semacam sandiwara cara kuno, wallahu a’lam, meskipun hingga saat ini penulis masih belum paham betul akan makna strik, jika ada diantara pembaca yang faham tolong memberi infonya kepada penulis)
Ketiga : Alat-alat musik, seperti seruling dan yang lainnya. Hanyalah yang dibolehkan adalah rebana
Keempat : Mubadzir dalam mengeluarkan harta untuk perkara yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. (Lihat At-Tanbiihaat Al-Waajibaat 38-39)
Kelima : Joget atau tarian-tarian
Keenam : Nyanyian
Ketujuh : Keasikan bermain sehingga lupa dengan hari kebangkitan. (Lihat At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 21)
Kedelapan : Jika tidak terjadi ikhtilat dan para wanita berkumpul sendirian maka ada kemungkaran-kemungkaran juga yang mereka lakukan seperti : Mengangkat suara keras-keras dalam mengucapkan selamat dan juga bergoyang-goyang dalam bernasyid, serta membaca al-Qur’an dan dzikir dengan cara membaca yang keluar dari syariat dan cara yang wajar. (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 22)
Demikianlah beberapa kemungkaran yang disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya tersebut.
Setelah itu beliau mengingatkan akan beberapa perkara:
Pertama : Merayakan maulid dengan cara melakukan kemungkaran-kemungkaran di atas merupakan bentuk tidak beradab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan merupakan bentuk perendahan dan menyakiti beliau. Orang-orang yang merayakan melakukan hal ini telah terjerumus dalam dosa yang besar yang dekat dengan kekufuran dan dikhawatirkan mereka terken suul khootimah (kematian yang buruk).
Kalau mereka melakukan kemungkaran tersebut dengan niat merendahkan Nabi dan menghinanya maka tidak diragukan lagi akan kekufurannya. (Lihat At-Tanbiihaat al-Waajibaat hal 44-45)
Kedua : Karenanya tidak boleh merayakan maulid yang mengantarkan kepada kemaksiatan. Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari berkata :
فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ وَجَبَ تَرْكُهُ وَحَرُمَ فِعْلُهُ
“Ketahuilah bahwasanya perayaan maulid jika mengantarkan kepada kemaksiatan yang jelas/kuat seperti kemungkaran-kemungkaran maka wajib untuk ditinggalkan dan haram perayaan tersebut” (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 19)
Ketiga : Bahkan tidak boleh membantu terselenggarakannya perayaan maulid yang modelnya seperti ini.
Kiyai Muhammad Hasyi Asy’ari berkata :
وَإِنَّمَا كَانَ إِعْطَاءُ الْمَالِ لِأَجْلِهِ حَرَامًا لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ، وَمَنْ أَعَانَ عَلَى مَعْصِيَةٍ كَانَ شَرِيْكاً فِيْهَا، وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ التّفَرَجُّ ُعَلَيْهِ وَالْحُضُوْرُ فِيْهِ لِأَنَّ الْقَاعِدَةَ : أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ حَرَامًا يَحْرُمُ التَّفَرُّجُ عَلَيْهِ وَالْحُضُوْرُ فِيْهِ
“Mengeluarkan uang untuk perayaan maulid (yang bercampur kemungkaran-kemungkaran) menjadi haram dikarenakan hal ini merupakan bentuk membantu pelaksanaan maksiat. Dan barang siapa yang membantu terselenggaranya kemaksiatan maka ia ikut serta di dalamnya. Demikian juga haram untuk menyaksikan dan hadir dalam acara tersebut, karena kaidah menyatakan : “Setiap yang haram maka haram pula menyaksikan dan hadir di dalamnya” (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 39)
Keempat : Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari juga menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perayaan maulid dengan melakukan kemungkaran-kemungkaran maka ia sedang bermuhaajaroh (menampakan terang-terangan) dengan kemaksiatan. (lihat At-Tanbiihaat hal 39-40)
Kelima : Beliau juga menyatakan bahwa orang yang melakukan maulid model demikian telah memiliki sifat orang munafiq. Beliau berkata ;
وَمِنْهَا أَنَّهُ اتِّصَافٌ بِصِفَةِ النِّفَاقِ وَهِيَ إِظْهَارُ خِلاَفِ مَا فِي الْبَاطِنِ إِذْ ظَاهِرُ حَالِهِ أَنَّهُ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ مَحَبَّةً وَتَكْرِيْمًا لِلرَّسُوْلِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَباَطِنُهُ أَنَّهُ يَجْمَعُ بِهِ الْمَلَاهِي وَيَرْتَكِبُ الْمَعَاصِي
“Diantara kerusakan-kerusakan maulid model ini adalah pelakunya bersifat dengan sifat kemunafikan, yaitu memperlihatkan apa yang berbeda dengan di dalam hati. Karena lahiriahnya ia melaksanakan maulid karena mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi batinnya ia mengumpulkan perkara-perkara yang melalaikan dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan” (At-Tanbiihaat hal 40)
Keenam : Wajib bagi seorang alim untuk mengingkari para penuntut ilmu yang melakukan kemungkaran-kemungkaran tersebut. Karena jika didiamkan maka orang awam akan menyangka bahwa cara merayakan maulid dengan kemungkaran-kemungkaran tersebut adalah merupakan bagian dari syari’at. Padahal perkaranya adalah sebaliknya, justru mengantarkan pada penyia-nyiaan syari’at dan meninggalkannya. (lihat At-Tanbiihaat al-Waajibaat hal 40-41).
Penutup :
Para pembaca yang budiman, meskipun penulis memandang akan bid’ahnya maulid akan tetapi taruhlah jika penulis mengalah dan menyatakan bahwa perayaan maulid dianjurkan (sebagaimana pendapat kiyai pendiri NU) maka marilah kita melihat kenyataan yang ada…
sungguh terlalu banyak perayaan maulid di negeri kita yang bercampur di dalamnya kemungkaran-kemungkaran yang telah diperingatkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari, seperti musik-musikan, nyanyian, ikhtilat lelaki dan wanita, mubadzir dalam makanan dan hias-hiasan.
Lagu kasidahan yang disenandungkan oleh suaru biduan wanita disertai musik diputar bahkan di dalam mesjid??!!.
Jika Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari mengingkari wanita mengangkat suaranya dalam rangka untuk mengucapkan selamat…
bahkan dalam hal membaca al-Quran dengan cara yang tidak wajar, maka bagaimana lagi jika suara merdu biduan wanita lagi nyanyi kasidahan??!!
Belum lagi kemungkaran-kemungkaran yang lebih besar yang tidak disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy’ari seperti
– Banyak pelaku maksiat (baik yang tidak pernah sholat, koruptor, bahkan pemabuk dan pezina, para artis tukang umbar aurat) begitu antusias untuk ikut andil dalam melaksanakan perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menyangka bahwa perayaan inilah sarana yang benar untuk menyalurkan dan mengungkapkan kecintaaan mereka terhadap Nabi.
Akan tetapi jika mereka diajak untuk melaksanakan sunnah Nabi yang sesungguhnya maka mereka akan lari sejauh-jauhnya. Ini merupakan salah satu dampak negatif dari perayaan maulid Nabi, karena sebagian orang menjadi tidak semangat bahkan menjauh dari sunnah yang sesungguhnya karena bersandar kepada perayaan-perayaan seperti ini yang dianggap sunnah.
– Sebagian mereka meyakini bahwa ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut hadir dalam acara maulid mereka
– Sebagian mereka mensenandungkan bait-bait sya’ir puji-pujian terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah sebagian dari sya’ir-sya’ir tersebut ada yang mengandung makna berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana qosidah Burdah karya Al-Bushiri. Diantaranya perkataan Al-Bushiri:
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدَّنُيْاَ وَضَرَّتَها وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat)
Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah. Karena hanya Allahlah yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz, pengucap syair ini telah mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata (lihat kembali “Berlebih-lebihan Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hingga Mengangkat Beliau pada Derajat Ketuhanan“)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 04-05-1434 H / 16 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
http://www.firanda.com
Sumber: https://aslibumiayu.net/6500-pendiri-nu-pun-mengingkari-maulid-nabi-apakah-anda-sudah-tahu-jangan-ketinggalan-membaca-ulasannya.html
Mas Agus Rahmat pada intinya KH Hasyim Asyhari tidak pernah melarang (mengharamkan) peringatan Maulid Nabi namun beliau sekedar mengingatkan janganlah mengisi peringatan Maulid Nabi dengan perbuatan yang melanggar laranganNya
Ironisnya para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melarang (mengharamkan) peringatan Maulid Nabi namun mereka membolehkan memperingati atau mengenang ulama panutan mereka seperti ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab,
Bahkan mereka memperingatinya dalam waktu sepekan dengan judul kegiatan “pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab”
Mereka melarang memperingati Maulid Nabi dengan alasan salah satunya adalah bahwa Maulid Nabi dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
Sedangkan pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah sebagaimana yang tercantum dalam Majmu Fatwa al Aqidah dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin dan termuat dalam gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/12/mengenang-ulama-mereka.jpg
Jadi dapat kita simpulkan bahwa “pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab” dilaksanakan oleh mereka bukan suatu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah artinya tujuan mereka mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah untuk menjauhkan diri dari Allah.
Begitupula mereka daripada memperingati Maulid Nabi, mereka lebih suka memperingati ( mengenang ) ulama panutan lainnya seperti al-Albani sebagaimana yang termuat dalam buku edisi bahasa Indonesia berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary dan diterbitkan oleh At-Tibyan – Solo.
Buku tersebut memuat syair-syair untuk mengenang dan memuji Al Albani sebagaimana yang dapat didownload pada
http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Dalam buku tersebut memuat bab khusus yakni Bab VII dengan judul “Syair-syair duka cita melepas kepergian Syaikh Al-Albani” dimulai dari halaman 138.
Pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” dengan kalimat
“Ibnu Taimiyyah tidak memiliki generasi pengganti yang lebih bernyawa, daripada Syaikh As-Sunnah Al-Albani orangnya”
Pujian yang perlu dipertanyakan, salah satunya pada halaman 155, yang berjudul “Selamat jalan Al-Albany” yang ditulis oleh Dziyab Abdul Kariem yakni
“Dengan karuniamu langitpun dipenuhi dengan keindahan selalu, bahkan ketukan penamu bisa menjadi senandung di malam gelap gulita. Masing-masing boleh saja menerima derita dengan terpana, namun orang yang penyabar selalu jauh dari kaum yang semena-mena. Mereka mendengki sang Imam sehingga bersikap memusuhinya, namun beliau mendekati mereka dengan petunjuk meski mereka menjauhinya”
“karuniamu”, “penamu” , [mu] dalam kalimat syair tersebut kembali kepada siapa?
Bahkan mereka yang melarang makna majaz dalam sholawat Nariyah, justru pada halaman 158 menuliskan, “Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Syaikh kami sang Ulama, yang menyebabkan bintang-bintang, bulan dan matahari bersujud karenanya”
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap syair atau kalimat yang artinya, “yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/
Contoh lainnya dalam haul Al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim yang diadakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin, seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:
“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”
Jadi kesimpulannya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia.
terimakasih atas penjelasannya ustad
peringatan maulid emang produk syiah mas zuhud,,,antum sebaiknya mempelajari sejarah dari sumber yg benar dan murni ajaran islam,,,antum belajar agama pake iman dan hikmah mas zuhud!!!jangan pake hawa nafsu!!yang paling cinta sama RASULLULLAH siapa ?? PARA SAHABAT !!! kalo emang ada ajaran yg baik tentunya SAHABATLAH yg dulu akan memulai,,mempelajari AL QURAN DAN HADIST jangan juga pake HAWA NAFSU!! krn kalo pake hawa nafsu bisa RUSAK AGAMA INI!!! BLOG ANTUM INI ISINYA FITNAH DAN SUBHAT SEMUA!!!coba antum liat sendiri ga ada yg respect sama blog antum ini,,sdikit saja yg mungkin yg kurang faham !! masyarakat muslim dah banyak yg sadar dan kembali kepada kemurnian agama ini,,krn sejatinya AGAMA ISLAM INI DATANGNYA DARI ALLAH MELALUI RASULLULLAH,,jadi sumber ibadahpun harus bener2 MURNI dari RASULLULLAH,,,bukan BIKIN2NAN MANUSIA ATAUPUN TRADISI MAUPUN BUDAYA,meyakini ruh RASULLULLAH datang pada acara maulidan adalah PERKARA BATHIL membaca barzanzi adalah GHULUW thd RASULLULLAH,,kasian masyarakat muslim yg ga mengerti artinya,..ana kasian sama antum ini,,fikiran antum ini dah ROSAK krn banyak menebar FITNAH dan SUBHAT!! ILMU SEJARAH ANTUM JUGA ROSAK!! TANGGUNG JAWAB antum di AKHIRAT krn sudah bnyak MEMFITNAH ULAMA tanpa bertabayun…!!! BERAT !!!
Mas Agus Rahmat sebaiknya anda janganlah menyenangkan hati firqah Syiah
Kalau dikatakan peringatan Maulid Nabi adalah produk Syiah maka tidak ada masalah selama bentuk peringatannya tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya
Ironisnya para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melarang (mengharamkan) peringatan Maulid Nabi namun mereka membolehkan memperingati atau mengenang ulama panutan mereka seperti ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab,
Bahkan mereka memperingatinya dalam waktu sepekan dengan judul kegiatan “pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab”
Mereka melarang memperingati Maulid Nabi dengan alasan salah satunya adalah bahwa Maulid Nabi dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
Sedangkan pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah sebagaimana yang tercantum dalam Majmu Fatwa al Aqidah dari Muhammad bin Shalih al Utsaimin dan termuat dalam gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/12/mengenang-ulama-mereka.jpg
Jadi dapat kita simpulkan bahwa “pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab” dilaksanakan oleh mereka bukan suatu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah artinya tujuan mereka mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah untuk menjauhkan diri dari Allah.
Begitupula mereka daripada memperingati Maulid Nabi, mereka lebih suka memperingati ( mengenang ) ulama panutan lainnya seperti al-Albani sebagaimana yang termuat dalam buku edisi bahasa Indonesia berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary dan diterbitkan oleh At-Tibyan – Solo.
Buku tersebut memuat syair-syair untuk mengenang dan memuji Al Albani sebagaimana yang dapat didownload pada
http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Dalam buku tersebut memuat bab khusus yakni Bab VII dengan judul “Syair-syair duka cita melepas kepergian Syaikh Al-Albani” dimulai dari halaman 138.
Pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” dengan kalimat
“Ibnu Taimiyyah tidak memiliki generasi pengganti yang lebih bernyawa, daripada Syaikh As-Sunnah Al-Albani orangnya”
Pujian yang perlu dipertanyakan, salah satunya pada halaman 155, yang berjudul “Selamat jalan Al-Albany” yang ditulis oleh Dziyab Abdul Kariem yakni
“Dengan karuniamu langitpun dipenuhi dengan keindahan selalu, bahkan ketukan penamu bisa menjadi senandung di malam gelap gulita. Masing-masing boleh saja menerima derita dengan terpana, namun orang yang penyabar selalu jauh dari kaum yang semena-mena. Mereka mendengki sang Imam sehingga bersikap memusuhinya, namun beliau mendekati mereka dengan petunjuk meski mereka menjauhinya”
“karuniamu”, “penamu” , [mu] dalam kalimat syair tersebut kembali kepada siapa?
Bahkan mereka yang melarang makna majaz dalam sholawat Nariyah, justru pada halaman 158 menuliskan, “Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Syaikh kami sang Ulama, yang menyebabkan bintang-bintang, bulan dan matahari bersujud karenanya”
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap syair atau kalimat yang artinya, “yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/
Contoh lainnya dalam haul Al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim yang diadakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin, seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:
“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”
Jadi kesimpulannya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia.
Subhanalloh ,,,… Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza.lanjutkan ADMIN….
semoga selalu dilindungi Alloh
diberi kesehatan
dilapangkan Rejekinya
dimudahkan urusan dunia dan akhiratnya
Aminnnn
10 Keanehan Para Pro-Maulid
By
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
–
January 26, 2013
1309
Tulisan berikut sengaja disusun oleh Rumaysho.com untuk menunjukkan kekeliruan pembelaan terhadap acara maulid Nabi yang selama ini tersebar di tengah kaum muslimin. Ditambah pula, tulisan ini menjawab beberapa syubhat (kerancuan) yang disuarakan oleh para pendukung maulid.
Berikut keanehan para pendukung maulid, 3 di antaranya yang kami sebutkan kali ini:
1- Katanya mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun beribadah tanpa perintah Nabi.
Kita selaku umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 164). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan mencintai Rasul lebih diutamakan dari mencintai diri sendiri sebagaimana firman Allah Ta’ala,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).
Padahal kata para ulama mencintai Nabi adalah dengan menghidupkan sunnahnya yang diperintahkan. Kata Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram,
إحياء سنته حقيقة حبه
“Menghidupkan ajaran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah hakekat mencintai beliau.” (Khutbah Jum’at di Masjidil Haram, 13 Rabi’ul Awwal 1434 H)
Sedangkan perayaan maulid tidak ada dalil perintah untuk menghidupkannya, lantas mereka mengikuti ajaran Nabi siapa? Apakah mereka punya Nabi selain Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-? Atau Imam, Kyai, Ustadz mereka memiliki ajaran selevel Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?[1]
2- Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.
Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?
Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
3- Pendukung maulid berkata bahwa maulid adalah bid’ah hasanah karena menganggap bid’ah itu ada dua, yaitu ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid’ah sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.
Padahal ulama Syafi’i seperti Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah mengategorikan beberapa bid’ah yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai bid’ah yang tercela. Ibnu ‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah, yaitu hadits nomor 5 dari ‘Aisyah tentang bid’ah, beliau berkata, “Di antara perbuatan bid’ah tersebut adalah shalat Raghaib[2] dan shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga membaca surat Al An’am pada raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang awam menyangka bahwa surat Al An’am turun sekaligus pada malam tersebut, begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات
“Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah.
Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid’ah menjadi lima,
فَمِنْ الْوَاجِبَة : نَظْم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَة وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة : تَصْنِيف كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر ذَلِكَ . وَمِنْ الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة وَغَيْر ذَلِكَ . وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ
“Di antara bid’ah yang wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid’ah yang sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid’ah yang mubah adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 155).
Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,
كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,
هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق
“Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara umum bid’ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid’ah sebagai ‘segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya’.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 154)
Di tempat lain, beliau menerangkan mengenai hadits setiap bid’ah adalah sesat,
وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة
“Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid’ah yang tercela” (Syarh Shahih Muslim, 7: 104).
Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya bisa termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi pula termasuk bid’ah sayyi’ah. Yang termasuk bid’ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan termasuk bid’ah sayyi’ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam bid’ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah.
Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah pernah berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.)
Lihatlah apa yang dimaksud bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela) menurut versi Imam Syafi’i -semoga Allah merahmati beliau-. Yang tercela atau termasuk bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur’an, As Sunnah, atsar dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk bid’ah sayyi’ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an, membukukan hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan termasuk bid’ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah.
Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah, di mana beliau rahimahullah berkata “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101-103)
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan maulid Nabi. Apakah ada faktor pendorong untuk mengekspresikan cinta nabi saat itu dengan maulid? Tentu ada. Apakah ada faktor penghalang? Tidak ada, artinya para sahabat ketika itu bisa melaksanakannya. Sehingga jika hal tersebut dilakukan oleh orang sesudahnya, maka itu bukan maslahat, tetapi termasuk bid’ah. Para ulama telah berkata mengenai suatu amalan yang tidak pernah diajarkan sebelumnya oleh para sahabat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Sebagaimana perkataan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Ahqof ayat 11.
4- Mengaku bermadzhab Syafi’i, namun anehnya tidak pernah menunjukkan secara tegas kalau Imam Syafi’i memperingati maulid Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Yang ada adalah Imam Syafi’i memerintahkan kita untuk mentaati dan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walau hal itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Dalam kitab Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata,
وما سن رسول الله فيما ليس لله فيه حكم فبحكم الله سنة
“Apa yang disunnahkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak ada hukumnya dalam Al Qur’an, maka ajaran beliau pun berdasarkan hukum Allah sudah menjadi ajaran bagi kita” (Ar Risalah, hal. 151).
Jika Imam Syafi’i saja memerintahkan untuk mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas ia tidak mungkin berbuat suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan para sahabatnya. Imam Syafi’i itu dipuji karena kecerdasannya. Sebagaimana perkataan berikut,
قال أبو عبيد: ما رأيت أحدا أعقل من الشافعي، وكذا قال يونس بن عبدالاعلى، حتى إنه قال: لو جمعت أمة لوسعهم عقله
“Abu ‘Ubaid berkata: Aku tidaklah pernah melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Syafi’i. Begitu pula disebutkan oleh Yunus bin ‘Abdul A’la, sampai-sampai ia berkata, “Jika umat itu dikumpulkan, maka tentu masih hebat kecerdasan Imam Syafi’i” (Siyar A’lamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi, 10: 15).
Adapun perkataan Imam Syafi’i yang dinukil sebagai berikut,
من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin.”
Yang menukil perkataan di atas tidak menyebutkan sumber rujukannya atau merujuk ke kitab induk Imam Syafi’i.[1] Karena yang kami temukan adalah perkataan tersebut dinisbatkan pada Al Imam Al Yafi Al Yumna sebagaimana dinukil dari kitab Roudhotuth Tholibin,
وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم.
“Al Imam Al Yafi Al Yumna berkata: Barangsiapa berkumpul untuk acara Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan berjama’ah dan menyediakan makanan dan tempat, juga berlaku baik, niscaya karena sebab ini, Allah akan bangkitkan di hari kiamat bersama para shiddiqin, syuhada dan para shalihin, dan akan berada di surga yang penuh kenikmatan.” (Roudhotuth Tholibin, 3: 415). Kalau mau menukil perkataan Imam Syafi’i secara langsung, buktikanlah perkataan beliau dari kitab beliau, bukan dari kitab turunan hasil karya ulama lainnya. Kami sangat menanti jawaban jika ada yang bisa menukil tentang anjuran perayaan Maulid dari kitab Imam Syafi’i Al Umm atau dari kitab Ar Risalah.
Taruhlah kalau Imam Syafi’i mengadakan maulid Nabi, apa itu langsung jadi dalil? Dari mana ini dikatakan jadi dalil? Karena perkataan Imam jika menyelisihi ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mana yang mesti didahulukan? Sedangkan para sahabat saja tidak pernah mengekspresikan cinta mereka dengan maulid Nabi, padahal mereka adalah orang yang dekat dengan Nabi. Lantas bagaimana lagi dengan orang di bawah sahabat?
Imam Syafi’i sendiri berkata,
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 35)
Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab Ar Risalah dengan membawakan ayat berikut terlebih dahulu,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). Kata Imam Syafi’i, maksud ulil amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu setelah itu beliau berkata,
فأموا أن يطيعوا أولى الأمر الذين أمرهم رسول الله , لا طاعة مطلقا بل طاعة مستثناة,فيما لهم وعليهم فقال: فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ يعني إن اختلفتم في شيء
“Orang beriman diperintahkan untuk mentaati ulil amri (para ulama) namun ketaatan tersebut ketika sejalan dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketataan pada para ulama bukanlah ketaatan secara mutlak, namun ketaatan jika sejalan dengan perintah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jadi yang diikuti adalah kebaikan mereka, bukan yang keliru. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kalian berselisih dalam suatu pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah …” Maksud ayat ini adalah ketika kalian berselisih dalam (segala) sesuatu. (Ar Risalah, hal. 145-146).
Pernyataan Imam Syafi’i di atas berarti bahwa perkataan seorang ulama, kyai, ustadz, atau seorang imam bisa diikuti jika sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika menyelisihi, maka jelas tidak boleh diikuti.
Taruhlah jika benar perkataan Imam Syafi’i, itu keliru karena menyelisihi dalil. Kekeliruan seorang ulama tidaklah boleh diikuti. Sulaiman At Taimi mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.” (Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah)
Kami pun masih belum percaya kalau Imam Syafi’i benar-benar menganjurkan perayaan maulid karena beliau adalah orang yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i sendiri berkata,
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Tarikh Dimasyq, 51: 389)
5- Maulid dilakukan dengan membaca shalawat dan shiroh Rasul. Anehnya, kenapa cuma mau setahun dilakukan? Bahkan setiap daerah punya tata cara sendiri untuk merayakan maulid Nabi. Ada yang sampai membuat festival selama sebulan dan saling berkunjung satu dan lainnya. Ada pula dengan memperbanyak sedekah. Padahal tidak ada dalil yang mengkhususkan ibadah semacam ini pada bulan Rabi’ul Awwal.
Sebagian berdalil untuk mendukung maulid dengan ayat,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56). Kalau dilihat secara tekstual, tidak ada nyambungnya antara perintah merayakan maulid dan ayat ini. Bukti tidak nyambungnya, kita bandingkan dengan perkataan pakar tafsir tentang ayat tersebut.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksud ayat adalah: Allah Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan mulia hamba dan Nabi-Nya (yaitu Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-) di kedudukan tinggi nan mulia. Allah memuji Nabi-Nya di hadapan para malaikat yang didekatkan. Para malaikat pun bershalawat padanya. Kemudian Allah perintahkan pada makhluk di muka bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam pada beliau supaya menunjukkan berbagai pujian untuk beliau baik dari makhluk di langit (di atas), maupun di muka bumi (di bawah).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 11: 210)
Namun mereka membuat alasan bahwa karena dalam acara maulid terdapat ritual shalawatan.
Sanggahannya, emangnya shalawat cuma bisa diterapkan pada maulid Nabi? Mana dalilnya? Kita diperintahkan shalawat itu setiap saat. Jika dikhususkan pada waktu tertentu, tanpa ada dalil, itu jelas mengada-ada.
Ini beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan bershalawat setiap saat, bukan hanya saat mauludan.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ « رَبِّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ »
“Biasanya, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: rabbighfirli dzunubi waftahli abwaaba rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. Tirmidzi, 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Begitu pula sama halnya dengan keluar masjid, ada dalil tentang hal tersebut.
Ketika tasyahud, kita pun diperintahkan untuk bershalawat sebagaimana disebutkan dalam hadits,
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يَدْعُو فِى صَلاَتِهِ لَمْ يُمَجِّدِ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلَ هَذَا ». ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ ».
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata, ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya, ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud no. 1481. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika disebut nama Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja kita diperintahkan bershalawat,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546, ia berkata hadits tersebut hasan shahih gharib).
Demikian halnya sehabis mendengar adzan,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384)
Ketika dzikir pagi, kita juga diperintahkan bershalawat 10 kali,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْرًا وَحِيْنَ يُمْسِي عَشْرًا أَدْركَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali di pagi dan petang hari, maka ia akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Thobroni melalui dua isnad, keduanya jayyid. Lihat Majma’ Az Zawaid 10: 120 dan Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 273, no. 656). Bukan hanya dzikir pagi, dzikir petang pun demikian sebagaimana tertera dalam hadits ini.
Bahkan setiap ingin memanjatkan do’a kita pun memanjatkan shalawat terlebih dahulu. Dalilnya adalah dalil shalawat saat tasyahud karena di awalnya diawali dengan memuji Allah terlebih dahulu.
Di hari Jum’at pun demikian, seorang muslim diperintahkan memperbanyak shalawat. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1673).
Jadi kalau mengatakan bahwa orang yang tidak merayakan maulid dituduh pelit bershalawat, maka itu keliru. Justru yang dilakukan pro-maulid pada setiap maulid saja, menunjukkan kekeliruannya. Atau mungkin ia lakukan pada setiap pekan saat acara shalawatan versi dia, ini juga menunjukkan pelitnya. Karena setiap muslim dalam sehari saja bisa bershalawat lebih dari sepuluh kali.
Yang para ulama contohkan, mereka itu mengkaji hadits-hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di dalamnya berisi shiroh beliau. Setiap hari mereka rajin mengkaji hadits dari kitab shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan yang empat dan juga kitab musnad. Jadi baca siroh Nabi kita yang mulia bukan hanya setahun sekali, bukan hanya saat perayaan mauludan di Rabi’ul Awwal.
Kalau ritual untuk merayakannya berbeda-beda, tidak ada standar, maka bagaimana mungkin suatu ibadah dalam Islam bisa dikata seperti ini? Padahal dalam shalat dan puasa saja kita sudah diajarkan tata caranya, begitu pula dalam ibadah tahunan seperti ibadah haji. Seharusnya dalam moment penting seperti maulid, juga harus ada petunjuk bagaimana merayakannya. Karena ajaran Islam itu sudah diterangkan dengan terang benderang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِى إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa” (HR. Ibnu Majah no. 43 dan Ahmad 4: 126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Bagaimana mencari petunjuk untuk merayakannya, perayaannya pun tidak ada dalilnya. Karena Islam hanya mengenal dua hari raya besar yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
6- Di antara yang menjadi keanehan dalam perayaan maulid Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam penetapan tanggal perayaan Maulid Nabi. Hal tersebut masih terdapat perselisihan. Tanggal 12 Rabi’ul Awwal ternyata lebih dikata tepat sebagai tanggal kematian beliau, bukan hari lahirnya.
Merayakan maulid pada tanggal yang sebenarnya diperselisihkan oleh para ulama. Buktinya ada kaum muslimin yang merayakan maulid pada tanggal 10 Rabiul Awwal. Mayoritas lainnya merayakan pada tanggal 12.
Hari kelahiran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah hari Senin. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Sedangkan tahun kelahirannya adalah pada tahun Gajah. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad berkata,
لا خلاف أنه ولد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجوف مكّة ، وأن مولده كان عامَ الفيل .
“Tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Dan kelahirannya adalah di tahun gajah.”
Sedangkan mengenai tanggal dan bulan lahirnya Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal ini masih diperselisihkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Dan yang masyhur menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada yang mengatakan, beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal. Dan inilah yang dinilai lebih tepat.
Jika kita meneliti lebih jauh, ternyata yang pas dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal adalah hari kematian Nabi ¬-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Meski mengenai kapan beliau meninggal pun masih diperselisihkan tanggalnya. Namun jumhur ulama, beliau meninggal dunia pada tanggal 12 dari bulan Rabi’ul Awwal, dan inilah yang dinilai lebih tepat.[1] Jika demikian, yang mau diperingati pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal apakah kematian beliau?! Wallahul musta’an.
Perselisihan di atas juga menunjukkan bahwa perayaan mauludan tidaklah begitu urgent, karena seandainya itu ingin diperingati, maka seharusnya ada konsensus para ulama yang menetapkan tanggal pasti perayaannya biar umat tidak berselisih sebagaimana jelas untuk Idul Fithri tanggal 1 Syawal dan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah.
7- Sahabat dan Istri Nabi tentu orang-orang yang lebih mencintai Nabi, apalagi mereka bertemu dan berjumpa dengan beliau secara langsung. Namun tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan kalau mereka tadi mengagungkan dan mencintai nabi dengan merayakan maulid.
Ada yang berujar: Sahabat dan istri Nabi merayakan Maulid Nabi dengan jalan banyak membaca shalawat kepada beliau dan mengamalkan ajaran yang beliau bawa.
Sanggahan: Apa memang para sahabat dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuk merayakan Ultah Nabi? Siapa yang bilang seperti ini? Mana bukti dalil dan sejarahnya. Mereka memang bershalawat apalagi pada waktu yang diperintahkan seperti telah dijelaskan di atas. Kalau mengajarkan amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu benar, namun itu bukan dalam rangka berpapasan dengan Mauludan. Namun karena ingin menjalankan perintah,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Jadi amalkan perintah dan petunjuk Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, itu hakikat cinta sebenarnya.
8- Berdalil bahwa ia merayakan maulid dalam rangka cinta nabi, namun ketika ditanya malah beralasan karena maulid dilakukan oleh kyai atau ustadznya. Itu mah tandanya cinta kyai dan ustadz, bukan cinta Nabi.
Jika mereka berdalil bahwa semua kyai dan ustadz di negeri kita turut melaksanakan maulid, maka jawabannya:
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah selalu memberi taufik padamu-, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116)
9- Di tanah kelahiran Nabi tidak merayakan maulid, namun anehnya negeri yang jauh dari tempat tersebut malah merayakannya.
Jika Maulid Nabi memang amalan baik atau termasuk sunnah, maka tentu dari negeri Saudi dimulainya perayaan tersebut. Namun yang ada perayaan tersebut sebenarnya perayaan orang Syi’ah, merekalah yang mempeloporinya pertama kali.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Dan dinasti Fatimiyyun sendiri sebenarnya bukan muslim. Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” Ibnu Taimiyah sampai mengatakan dalam Majmu’ Fatawa-nya, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”
10- Cuma bisa mencap bahwa orang yang melarang peringatan Maulid adalah Wahabi karena tidak punya alasan lainnya.
Ada yang berkomentar: Iya, saat ini Makkah dan Madinah dikuasai faham wahabi yg memang tidak mau mengadakan Maulid Nabi yg baik ini, kaum wahabi di sana lebih suka mengadakan Maulid muhammad bin abdul wahhab an-najdi selama seminggu penuh, juga adanya haul Utsaimin tokoh yg mereka agung-agung kan.
Yang tahu keadaan Saudi adalah yang tinggal di Saudi. Orang di negeri kita yang asal menuduh, tanpa ajukan bukti, maka pernyataan di atas hanya HOAX (alias: bualan). Karena yang ada adalah bukan Maulid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab namun pengadaan seminar dan pameran buku. Juga, yang ada hanyalah tugu yang menunjukkan bahwa di situ adalah markaz Dakwah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan bukan tugu peringatan, apalagi sampai mengatakan Wahabi merayakan haul Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Ini justru fitnah yang menunjukkan kebencian mereka terhadap dakwah tauhid di tanah Arab. Dan yang jelas mereka memang sudah benci terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab karena sejak dari pesantren, mereka sudah didoktrin Wahabi itu sesat. Padahal yang didakwahkan Syaikh Ibnu Wahab adalah dakwah untuk kembali kepada akidah Islam dan kembali kepada ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Prinsip beliau adalah berpegang teguh pada dalil. Silakan lihat ulasan beliau dalam berbagai karyanya di antaranya dalam Kitab Tauhid, Qowa’idul Arba’ dan lainnya, tidak pernah beliau berkata kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan hadits.
Hanya Allah yang memberi taufik dan membuka hati untuk menerima kebenaran.
Riyadh-KSA, 14 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.rumaysho.com
Baca pula: Kumpulan Artikel Seputar Maulid Nabi.
________________________________________
[1] Kalau mau menghidupkan ajaran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah lakukan amalan sunnah beliau yang ada dalilnya. Seperti keterangan Syaikh Muktar Asy Syinqithi -semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan- dalam muhadhoroh di Masjid Nabawi (12/3/1434 H) bahwa Maulid Nabi yang ada dalilnya adalah dengan menjelaskan puasa Senin, karena bertepatan dengan hari lahir beliau.
Memang benar apa yang beliau katakan bahwa puasa Senin bertepatan dengan hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Catatan: Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan.
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
[2] Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Raghaib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Ath Thurthusi mengatakan, ”Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Justru perkara larangan harus berdalilkan Al Qur’an dan Hadits
Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
10 Keanehan Para Pro-Maulid
By
Muhammad Abduh Tuasikal
Tulisan berikut sengaja disusun oleh Rumaysho.com untuk menunjukkan kekeliruan pembelaan terhadap acara maulid Nabi yang selama ini tersebar di tengah kaum muslimin. Ditambah pula, tulisan ini menjawab beberapa syubhat (kerancuan) yang disuarakan oleh para pendukung maulid.
Berikut keanehan para pendukung maulid, 3 di antaranya yang kami sebutkan kali ini:
1- Katanya mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun beribadah tanpa perintah Nabi.
Kita selaku umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 164). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan mencintai Rasul lebih diutamakan dari mencintai diri sendiri sebagaimana firman Allah Ta’ala,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).
Padahal kata para ulama mencintai Nabi adalah dengan menghidupkan sunnahnya yang diperintahkan. Kata Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram,
إحياء سنته حقيقة حبه
“Menghidupkan ajaran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah hakekat mencintai beliau.” (Khutbah Jum’at di Masjidil Haram, 13 Rabi’ul Awwal 1434 H)
Sedangkan perayaan maulid tidak ada dalil perintah untuk menghidupkannya, lantas mereka mengikuti ajaran Nabi siapa? Apakah mereka punya Nabi selain Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-? Atau Imam, Kyai, Ustadz mereka memiliki ajaran selevel Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?[1]
2- Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.
Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?
Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
3- Pendukung maulid berkata bahwa maulid adalah bid’ah hasanah karena menganggap bid’ah itu ada dua, yaitu ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid’ah sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.
Padahal ulama Syafi’i seperti Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah mengategorikan beberapa bid’ah yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai bid’ah yang tercela. Ibnu ‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah, yaitu hadits nomor 5 dari ‘Aisyah tentang bid’ah, beliau berkata, “Di antara perbuatan bid’ah tersebut adalah shalat Raghaib[2] dan shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga membaca surat Al An’am pada raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang awam menyangka bahwa surat Al An’am turun sekaligus pada malam tersebut, begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات
“Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah.
Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid’ah menjadi lima,
فَمِنْ الْوَاجِبَة : نَظْم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَة وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة : تَصْنِيف كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر ذَلِكَ . وَمِنْ الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة وَغَيْر ذَلِكَ . وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ
“Di antara bid’ah yang wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid’ah yang sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid’ah yang mubah adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 155).
Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,
كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,
هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق
“Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara umum bid’ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid’ah sebagai ‘segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya’.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 154)
Di tempat lain, beliau menerangkan mengenai hadits setiap bid’ah adalah sesat,
وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة
“Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid’ah yang tercela” (Syarh Shahih Muslim, 7: 104).
Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya bisa termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi pula termasuk bid’ah sayyi’ah. Yang termasuk bid’ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan termasuk bid’ah sayyi’ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam bid’ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah.
Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah pernah berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.)
Lihatlah apa yang dimaksud bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela) menurut versi Imam Syafi’i -semoga Allah merahmati beliau-. Yang tercela atau termasuk bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur’an, As Sunnah, atsar dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk bid’ah sayyi’ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an, membukukan hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan termasuk bid’ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah.
Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah, di mana beliau rahimahullah berkata “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101-103)
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan maulid Nabi. Apakah ada faktor pendorong untuk mengekspresikan cinta nabi saat itu dengan maulid? Tentu ada. Apakah ada faktor penghalang? Tidak ada, artinya para sahabat ketika itu bisa melaksanakannya. Sehingga jika hal tersebut dilakukan oleh orang sesudahnya, maka itu bukan maslahat, tetapi termasuk bid’ah. Para ulama telah berkata mengenai suatu amalan yang tidak pernah diajarkan sebelumnya oleh para sahabat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Sebagaimana perkataan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Ahqof ayat 11.
4- Mengaku bermadzhab Syafi’i, namun anehnya tidak pernah menunjukkan secara tegas kalau Imam Syafi’i memperingati maulid Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Yang ada adalah Imam Syafi’i memerintahkan kita untuk mentaati dan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walau hal itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Dalam kitab Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata,
وما سن رسول الله فيما ليس لله فيه حكم فبحكم الله سنة
“Apa yang disunnahkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak ada hukumnya dalam Al Qur’an, maka ajaran beliau pun berdasarkan hukum Allah sudah menjadi ajaran bagi kita” (Ar Risalah, hal. 151).
Jika Imam Syafi’i saja memerintahkan untuk mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas ia tidak mungkin berbuat suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan para sahabatnya. Imam Syafi’i itu dipuji karena kecerdasannya. Sebagaimana perkataan berikut,
قال أبو عبيد: ما رأيت أحدا أعقل من الشافعي، وكذا قال يونس بن عبدالاعلى، حتى إنه قال: لو جمعت أمة لوسعهم عقله
“Abu ‘Ubaid berkata: Aku tidaklah pernah melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Syafi’i. Begitu pula disebutkan oleh Yunus bin ‘Abdul A’la, sampai-sampai ia berkata, “Jika umat itu dikumpulkan, maka tentu masih hebat kecerdasan Imam Syafi’i” (Siyar A’lamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi, 10: 15).
Adapun perkataan Imam Syafi’i yang dinukil sebagai berikut,
من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin.”
Yang menukil perkataan di atas tidak menyebutkan sumber rujukannya atau merujuk ke kitab induk Imam Syafi’i.[1] Karena yang kami temukan adalah perkataan tersebut dinisbatkan pada Al Imam Al Yafi Al Yumna sebagaimana dinukil dari kitab Roudhotuth Tholibin,
وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم.
“Al Imam Al Yafi Al Yumna berkata: Barangsiapa berkumpul untuk acara Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan berjama’ah dan menyediakan makanan dan tempat, juga berlaku baik, niscaya karena sebab ini, Allah akan bangkitkan di hari kiamat bersama para shiddiqin, syuhada dan para shalihin, dan akan berada di surga yang penuh kenikmatan.” (Roudhotuth Tholibin, 3: 415). Kalau mau menukil perkataan Imam Syafi’i secara langsung, buktikanlah perkataan beliau dari kitab beliau, bukan dari kitab turunan hasil karya ulama lainnya. Kami sangat menanti jawaban jika ada yang bisa menukil tentang anjuran perayaan Maulid dari kitab Imam Syafi’i Al Umm atau dari kitab Ar Risalah.
Taruhlah kalau Imam Syafi’i mengadakan maulid Nabi, apa itu langsung jadi dalil? Dari mana ini dikatakan jadi dalil? Karena perkataan Imam jika menyelisihi ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mana yang mesti didahulukan? Sedangkan para sahabat saja tidak pernah mengekspresikan cinta mereka dengan maulid Nabi, padahal mereka adalah orang yang dekat dengan Nabi. Lantas bagaimana lagi dengan orang di bawah sahabat?
Imam Syafi’i sendiri berkata,
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 35)
Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab Ar Risalah dengan membawakan ayat berikut terlebih dahulu,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). Kata Imam Syafi’i, maksud ulil amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu setelah itu beliau berkata,
فأموا أن يطيعوا أولى الأمر الذين أمرهم رسول الله , لا طاعة مطلقا بل طاعة مستثناة,فيما لهم وعليهم فقال: فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ يعني إن اختلفتم في شيء
“Orang beriman diperintahkan untuk mentaati ulil amri (para ulama) namun ketaatan tersebut ketika sejalan dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketataan pada para ulama bukanlah ketaatan secara mutlak, namun ketaatan jika sejalan dengan perintah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jadi yang diikuti adalah kebaikan mereka, bukan yang keliru. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kalian berselisih dalam suatu pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah …” Maksud ayat ini adalah ketika kalian berselisih dalam (segala) sesuatu. (Ar Risalah, hal. 145-146).
Pernyataan Imam Syafi’i di atas berarti bahwa perkataan seorang ulama, kyai, ustadz, atau seorang imam bisa diikuti jika sejalan dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika menyelisihi, maka jelas tidak boleh diikuti.
Taruhlah jika benar perkataan Imam Syafi’i, itu keliru karena menyelisihi dalil. Kekeliruan seorang ulama tidaklah boleh diikuti. Sulaiman At Taimi mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.” (Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah)
Kami pun masih belum percaya kalau Imam Syafi’i benar-benar menganjurkan perayaan maulid karena beliau adalah orang yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i sendiri berkata,
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Tarikh Dimasyq, 51: 389)
5- Maulid dilakukan dengan membaca shalawat dan shiroh Rasul. Anehnya, kenapa cuma mau setahun dilakukan? Bahkan setiap daerah punya tata cara sendiri untuk merayakan maulid Nabi. Ada yang sampai membuat festival selama sebulan dan saling berkunjung satu dan lainnya. Ada pula dengan memperbanyak sedekah. Padahal tidak ada dalil yang mengkhususkan ibadah semacam ini pada bulan Rabi’ul Awwal.
Sebagian berdalil untuk mendukung maulid dengan ayat,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56). Kalau dilihat secara tekstual, tidak ada nyambungnya antara perintah merayakan maulid dan ayat ini. Bukti tidak nyambungnya, kita bandingkan dengan perkataan pakar tafsir tentang ayat tersebut.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksud ayat adalah: Allah Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan mulia hamba dan Nabi-Nya (yaitu Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-) di kedudukan tinggi nan mulia. Allah memuji Nabi-Nya di hadapan para malaikat yang didekatkan. Para malaikat pun bershalawat padanya. Kemudian Allah perintahkan pada makhluk di muka bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam pada beliau supaya menunjukkan berbagai pujian untuk beliau baik dari makhluk di langit (di atas), maupun di muka bumi (di bawah).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 11: 210)
Namun mereka membuat alasan bahwa karena dalam acara maulid terdapat ritual shalawatan.
Sanggahannya, emangnya shalawat cuma bisa diterapkan pada maulid Nabi? Mana dalilnya? Kita diperintahkan shalawat itu setiap saat. Jika dikhususkan pada waktu tertentu, tanpa ada dalil, itu jelas mengada-ada.
Ini beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan bershalawat setiap saat, bukan hanya saat mauludan.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ « رَبِّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ »
“Biasanya, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: rabbighfirli dzunubi waftahli abwaaba rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. Tirmidzi, 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Begitu pula sama halnya dengan keluar masjid, ada dalil tentang hal tersebut.
Ketika tasyahud, kita pun diperintahkan untuk bershalawat sebagaimana disebutkan dalam hadits,
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يَدْعُو فِى صَلاَتِهِ لَمْ يُمَجِّدِ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلَ هَذَا ». ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ ».
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata, ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya, ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud no. 1481. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika disebut nama Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja kita diperintahkan bershalawat,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546, ia berkata hadits tersebut hasan shahih gharib).
Demikian halnya sehabis mendengar adzan,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384)
Ketika dzikir pagi, kita juga diperintahkan bershalawat 10 kali,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْرًا وَحِيْنَ يُمْسِي عَشْرًا أَدْركَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali di pagi dan petang hari, maka ia akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Thobroni melalui dua isnad, keduanya jayyid. Lihat Majma’ Az Zawaid 10: 120 dan Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 273, no. 656). Bukan hanya dzikir pagi, dzikir petang pun demikian sebagaimana tertera dalam hadits ini.
Bahkan setiap ingin memanjatkan do’a kita pun memanjatkan shalawat terlebih dahulu. Dalilnya adalah dalil shalawat saat tasyahud karena di awalnya diawali dengan memuji Allah terlebih dahulu.
Di hari Jum’at pun demikian, seorang muslim diperintahkan memperbanyak shalawat. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1673).
Jadi kalau mengatakan bahwa orang yang tidak merayakan maulid dituduh pelit bershalawat, maka itu keliru. Justru yang dilakukan pro-maulid pada setiap maulid saja, menunjukkan kekeliruannya. Atau mungkin ia lakukan pada setiap pekan saat acara shalawatan versi dia, ini juga menunjukkan pelitnya. Karena setiap muslim dalam sehari saja bisa bershalawat lebih dari sepuluh kali.
Yang para ulama contohkan, mereka itu mengkaji hadits-hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di dalamnya berisi shiroh beliau. Setiap hari mereka rajin mengkaji hadits dari kitab shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan yang empat dan juga kitab musnad. Jadi baca siroh Nabi kita yang mulia bukan hanya setahun sekali, bukan hanya saat perayaan mauludan di Rabi’ul Awwal.
Kalau ritual untuk merayakannya berbeda-beda, tidak ada standar, maka bagaimana mungkin suatu ibadah dalam Islam bisa dikata seperti ini? Padahal dalam shalat dan puasa saja kita sudah diajarkan tata caranya, begitu pula dalam ibadah tahunan seperti ibadah haji. Seharusnya dalam moment penting seperti maulid, juga harus ada petunjuk bagaimana merayakannya. Karena ajaran Islam itu sudah diterangkan dengan terang benderang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِى إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa” (HR. Ibnu Majah no. 43 dan Ahmad 4: 126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Bagaimana mencari petunjuk untuk merayakannya, perayaannya pun tidak ada dalilnya. Karena Islam hanya mengenal dua hari raya besar yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
6- Di antara yang menjadi keanehan dalam perayaan maulid Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam penetapan tanggal perayaan Maulid Nabi. Hal tersebut masih terdapat perselisihan. Tanggal 12 Rabi’ul Awwal ternyata lebih dikata tepat sebagai tanggal kematian beliau, bukan hari lahirnya.
Merayakan maulid pada tanggal yang sebenarnya diperselisihkan oleh para ulama. Buktinya ada kaum muslimin yang merayakan maulid pada tanggal 10 Rabiul Awwal. Mayoritas lainnya merayakan pada tanggal 12.
Hari kelahiran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah hari Senin. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Sedangkan tahun kelahirannya adalah pada tahun Gajah. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad berkata,
لا خلاف أنه ولد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجوف مكّة ، وأن مولده كان عامَ الفيل .
“Tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Dan kelahirannya adalah di tahun gajah.”
Sedangkan mengenai tanggal dan bulan lahirnya Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal ini masih diperselisihkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Dan yang masyhur menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada yang mengatakan, beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal. Dan inilah yang dinilai lebih tepat.
Jika kita meneliti lebih jauh, ternyata yang pas dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal adalah hari kematian Nabi ¬-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Meski mengenai kapan beliau meninggal pun masih diperselisihkan tanggalnya. Namun jumhur ulama, beliau meninggal dunia pada tanggal 12 dari bulan Rabi’ul Awwal, dan inilah yang dinilai lebih tepat.[1] Jika demikian, yang mau diperingati pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal apakah kematian beliau?! Wallahul musta’an.
Perselisihan di atas juga menunjukkan bahwa perayaan mauludan tidaklah begitu urgent, karena seandainya itu ingin diperingati, maka seharusnya ada konsensus para ulama yang menetapkan tanggal pasti perayaannya biar umat tidak berselisih sebagaimana jelas untuk Idul Fithri tanggal 1 Syawal dan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah.
7- Sahabat dan Istri Nabi tentu orang-orang yang lebih mencintai Nabi, apalagi mereka bertemu dan berjumpa dengan beliau secara langsung. Namun tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan kalau mereka tadi mengagungkan dan mencintai nabi dengan merayakan maulid.
Ada yang berujar: Sahabat dan istri Nabi merayakan Maulid Nabi dengan jalan banyak membaca shalawat kepada beliau dan mengamalkan ajaran yang beliau bawa.
Sanggahan: Apa memang para sahabat dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuk merayakan Ultah Nabi? Siapa yang bilang seperti ini? Mana bukti dalil dan sejarahnya. Mereka memang bershalawat apalagi pada waktu yang diperintahkan seperti telah dijelaskan di atas. Kalau mengajarkan amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu benar, namun itu bukan dalam rangka berpapasan dengan Mauludan. Namun karena ingin menjalankan perintah,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Jadi amalkan perintah dan petunjuk Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, itu hakikat cinta sebenarnya.
8- Berdalil bahwa ia merayakan maulid dalam rangka cinta nabi, namun ketika ditanya malah beralasan karena maulid dilakukan oleh kyai atau ustadznya. Itu mah tandanya cinta kyai dan ustadz, bukan cinta Nabi.
Jika mereka berdalil bahwa semua kyai dan ustadz di negeri kita turut melaksanakan maulid, maka jawabannya:
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah selalu memberi taufik padamu-, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2: 89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116)
9- Di tanah kelahiran Nabi tidak merayakan maulid, namun anehnya negeri yang jauh dari tempat tersebut malah merayakannya.
Jika Maulid Nabi memang amalan baik atau termasuk sunnah, maka tentu dari negeri Saudi dimulainya perayaan tersebut. Namun yang ada perayaan tersebut sebenarnya perayaan orang Syi’ah, merekalah yang mempeloporinya pertama kali.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Dan dinasti Fatimiyyun sendiri sebenarnya bukan muslim. Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” Ibnu Taimiyah sampai mengatakan dalam Majmu’ Fatawa-nya, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”
10- Cuma bisa mencap bahwa orang yang melarang peringatan Maulid adalah Wahabi karena tidak punya alasan lainnya.
Ada yang berkomentar: Iya, saat ini Makkah dan Madinah dikuasai faham wahabi yg memang tidak mau mengadakan Maulid Nabi yg baik ini, kaum wahabi di sana lebih suka mengadakan Maulid muhammad bin abdul wahhab an-najdi selama seminggu penuh, juga adanya haul Utsaimin tokoh yg mereka agung-agung kan.
Yang tahu keadaan Saudi adalah yang tinggal di Saudi. Orang di negeri kita yang asal menuduh, tanpa ajukan bukti, maka pernyataan di atas hanya HOAX (alias: bualan). Karena yang ada adalah bukan Maulid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab namun pengadaan seminar dan pameran buku. Juga, yang ada hanyalah tugu yang menunjukkan bahwa di situ adalah markaz Dakwah Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan bukan tugu peringatan, apalagi sampai mengatakan Wahabi merayakan haul Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Ini justru fitnah yang menunjukkan kebencian mereka terhadap dakwah tauhid di tanah Arab. Dan yang jelas mereka memang sudah benci terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab karena sejak dari pesantren, mereka sudah didoktrin Wahabi itu sesat. Padahal yang didakwahkan Syaikh Ibnu Wahab adalah dakwah untuk kembali kepada akidah Islam dan kembali kepada ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Prinsip beliau adalah berpegang teguh pada dalil. Silakan lihat ulasan beliau dalam berbagai karyanya di antaranya dalam Kitab Tauhid, Qowa’idul Arba’ dan lainnya, tidak pernah beliau berkata kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan hadits.
Hanya Allah yang memberi taufik dan membuka hati untuk menerima kebenaran.
Riyadh-KSA, 14 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
http://www.rumaysho.com
Baca pula: Kumpulan Artikel Seputar Maulid Nabi.
________________________________________
[1] Kalau mau menghidupkan ajaran Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah lakukan amalan sunnah beliau yang ada dalilnya. Seperti keterangan Syaikh Muktar Asy Syinqithi -semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan- dalam muhadhoroh di Masjid Nabawi (12/3/1434 H) bahwa Maulid Nabi yang ada dalilnya adalah dengan menjelaskan puasa Senin, karena bertepatan dengan hari lahir beliau.
Memang benar apa yang beliau katakan bahwa puasa Senin bertepatan dengan hari lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Catatan: Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan.
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
[2] Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Raghaib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Raghaib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Ath Thurthusi mengatakan, ”Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Justru larangan itu harus berdasarkan dalil Al Qur’an dan Hadits
Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)