Kitab pegangan mazhab Syafi’i
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Dalam maktabah-maktabah, kemungkinan besar buku-buku madzab fiqh Syafi’i ini menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut.
Banyaknya buku-buku ini, adalah berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi’iyyah. Juga karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain ditulis dengan saling mengacu pada kitab sebelumnya, sehingga berkaitan dan bersambung.
Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah.
Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, Imam Nawawi (w 676 H) meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari menjadi an-Nahj.
Imam ar-Rafi’i juga mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, dan asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan al-’Aziz.
Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna.
Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir.
Imam Suyuthi (w 911 H) meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai.
Imam al-Qazuwaini meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah ini).
Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad. Al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.
Tampak kesinambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Hal ini juga menjadikan cara penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi’i menjadi hampir sama. Misal, pembagian bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.
Berikut adalah urutan sejarah kitab-kitab madzhab Syafi’i. Dari sejarah perkembangan madzhab Syafi’i, kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i dicoba dibagi ke dalam tujuh kelompok.
Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:
1. Karya-karya Imam Syafi’i
2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama
3. Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua
4. Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
5. Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
6. Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
7. Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan
Berikut ini penjelasannya,
1. Karya-karya Imam Syafi’i .
Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:
1. Kitab al-Umm
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5. Kitab Jima’il ‘Ilm
6. Kitab Bayan Faraidhillah
7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8. Kitab Ibthalil Istihsan
9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10. Kitab Siyaril Auzai.
Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah ditahkik (diberi catatan kaki) dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan.
Buku ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Menurut penulis asli artikel ini, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya.
Untuk mengetahui dalil-dalil di dalam kitab al-Umm ini, ada kitab, yakni Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Kadang-kadang dalam kitab al-Umm sendiri tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung ke hukumnya. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan.
.
2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi’i
Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H).
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi.
Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini diketengahkan karya-karya keduanya.
A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i
1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut.
2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.
3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang.
Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.
Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.
B. Karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:
1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.
Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli.
2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku Minhajut Thalibin di atas.
3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih.
Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.
Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba melengkapinya, namun juga keburu meninggal. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja. Beberapa ulama lain yang melengkapi buku al-Majmu’ ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.
Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya dalam menetapkan sebuah persoalan lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit.
Ada yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli.
Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i (al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara pendapat-pendapat tersebut.
Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Berikut penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:
1. Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi’i .
2. Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jaded, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.
3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru, lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir.
Namun, apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih sendiri oleh Imam Syafi’i .
4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi’i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .
.
3. Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua
Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H).
Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Berikut adalah karya kedua imam dimaksud,
1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj.
Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis lebih bagus dan lebih lengkap.
2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj.
Buku ini juga merupakan syarah dari buku Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly.
Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H).
Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.
Apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, maka acuan diambil dari karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Kemudian setelahnya adalah kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah.
Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli, ada perbedaan prioritas antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj.
Menurut ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.
Sedangkan menurut ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini.
Kedua kitab di atas dipandang telah mencukupi sebagai pegangan dalam madzab syafi’i. Ada dua alasan penting:
1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa.
Salah satunya adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51).
2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi.
Namun tentu saja tetap lebih baik jika mengkaji pula kitab-kitab Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
.
4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)
Buku-buku yang membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan.
Kelebihan kitab ini adalah adanya perbandingan dengan madzab-madzab lain. Berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi’i,
a. Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang.
Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga pendapat ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Buku ini pertama kali dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.
b. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Telah dibahas.
c. Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.
.
5. Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema tertentu
Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas tema-tema tertentu dan terbatas.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi’i yang membahas tema-tema tertentu.
1) Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah.
Buku ini dikarang oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H).
Buku ini merupakan buku madzhab Syafi’i paling popular yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah).
Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan fai, jizyah, kharaj dan lainnya.
2) Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam.
Buku ini sering disingkat dengan nama al-Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H).
Buku ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.
3) Adabul Qadha.
Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi (w 642 H).
Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal.
4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id.
Buku ini ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam bermadzhab Syafi’i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah Riyad, tahun 1420 H.
6. Buku-buku Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya
Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf.
Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan setelah generasi kedua.
Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:
1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.
2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.
Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.
3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.
5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.
6. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-Muhalla ‘Alal Minhaj.
Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami.
Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997.
Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:
1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal.
Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.
2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir.
Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.
3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H).
Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.
4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H). Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.
.
7. Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.
Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan penulis kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.
Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang sejenisnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:
1) Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj.
Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H). Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.
2) Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i .
buku ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.
3) Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah.
Buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma’had-ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran kecil.
4) Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib.
Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil.
.
Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah
Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain.
Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah dimaksud adalah:
1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi’i (qaul qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi’i yyah saja.
5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-gharib.
8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if atau al-fasid.
10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.
11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .
Tulisan di atas berumber dari: http://fplaskar.blogspot.com/2013/10/kitab-pegangan-mazhab-syafii.html
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab? Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******
Oleh karenanya janganlah ”kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sebagaimana firqah-firqah seperti
1. Firqah Wahabi yang menamakannya sebagai Salafi yakni mereka yang memahami dan berfatwa bersandarkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/18/hadits-itu-menyesatkan/
2. Firqah Islam Liberal, kaum yang menyatakan bahwa pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menyesuaikan dengan perkembangan zaman mengikuti paham liberal alias pemahaman dengan semangat kebebasan tidak mengikuti metode pemahaman dan istinbath yang telah dibakukan dan dicontohkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana contoh informasi dari http://tamamblog-sayang.blogspot.com/2013/10/islam-liberal-dalam-kajian-islam.html
Orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri selain dapat menjadi seperti firqah wahabi maupun firqah Islam liberal, dapat pula menjadi atheis sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menafsirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Bahkan ada mantan ustadz dari kalangan ormas Muhammadiyah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sehingga murtad sebagaimana pengakuannya yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=GTs92joC8jk
Pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sehingga dia berkesimpulan bahwa ajaran Islam menghalalkan perang sebagaimana pemahaman Amrozi dkk dengan peristiwa bom Bali yang juga memahami secara dzahir terhadap firman Allah seperti
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)
Bahkan pemahaman berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir terhadap Al Qur’an dan Hadits dipergunakan sebagai pembenaran ajaran non muslim sebagaimana yang dipublikasikan pada http://sahabatkebenaran.wordpress.com/
Marilah kita kembali menegakkan Islam Nusantara yakni ajaran Islam yang dibawa ke Nusantara oleh para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang berawal dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Jadi Islam Nusantara adalah ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan Imam Ahmad Al Muhajir bermazhab Syafi’i dibawa oleh para wali Songo ke Nusantara.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
****** akhir kutipan ******
Contoh silsilah para Wali Songo pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg
Cara memasyarakatkan dan menegakkan kembali Islam Nusantara adalah bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail, cara pemahaman dan istinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits mengikuti cara pemahaman dan istinbat Imam Mazhab yang empat kalau di negara kita mengikuti Mazhab Syafi’i sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/pegangan-mazhab-syafii/
Islam Nusantara mensyaratkan untuk dapat memahami dan istinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Salah satu kenyataan yang perlu diwaspadai adalah umat Islam yang terpengaruh dan mengikuti kelompok yang menamakan kelompok mereka sebagai Majelis Tafsir Al Qur’an namun mereka belum memenuhi syarat minimal penguasaan ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih dan lain lain
Pada kenyataannya umat Islam berselisih karena berbeda pendapat bahkan sampai saling membunuh (bunuh membunuh) sehingga umat Islam hancur dari dalam adalah diakibatkan orang-orang yang merasa benar sehingga merasa pasti masuk surga padahal mereka mengikuti ulama di balik perpustakaan alias ulama dari kalangan otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/14/ahli-membaca-hadits/
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Negara kita sebaiknya mencontoh negara tetangga Malaysia dalam upaya mencegah kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/06/kekacauan-karena-otodidak/
Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia membenarkan apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu untuk menghindari kacau balau di dalam negeri, dan Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia sepakat memutuskan aliran Wahabi tidak sesuai untuk diamalkan di Malaysia sebagaimana kabar yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor Husin menyampaikan
****** awal kutipan *****
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.
****** akhir kutipan *******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor
Tinggalkan Balasan