Imam Asy’ari dituduh bertaubat dua kali
Setelah lebih dari 350 tahun Ibnu Taimiyyah wafat, pola pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir diangkat kembali oleh ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal sebagai Wahabisme.
Pemahaman Wahabisme terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah satunya karena Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf sebagaimana kutipan fatwanya dari http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi.
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Orang-orang yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh hanya dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh dan sekaligus fitnah terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Contoh mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah adalah mereka yang mengatakan sunnah Rasulullah menempelkan mata kaki ketika sholat berjamaa’ah akibat salah memahami hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/24/menempelkan-mata-kaki/
Contoh lainnya mereka yang memfitnah atau dusta atas nama Rasulullah seolah-olah melarang umatnya istighfar lebih dari tiga kali ketika dzikir setelah shalat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/25/lebih-dari-tiga-kali/
Hal lain yang membuat orang awam terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat adalah syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran.
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase terakhir adalah Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah ?
Contoh jawabannya dapat ditemukan pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias Ahlussunnah wal Jama`ah.
Salah satu contoh pemalsuan kitab Al Ibanah adalah menghilangkan kalimat
بلا كيف ولا استقرار
( lihat gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/contoh-perbedaan-al-ibanah.jpg )
Contoh-contoh perbedaan kitab Al Ibanah lainnya dapat diketahui pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/
Jika konsep “bila kaif” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah dari suatu tempat (keadaan) ke tempat (keadaan) yang lain pasti ternafi dari Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ.
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
1. Cara yang dipergunakan oleh Salafush Sholeh yakni
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak membagaimanakan yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Berikut contoh cara memahami takwil ijmali dan tafsili,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.
Jelaslah bahwa klaim para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah bahwa Salafush Sholeh menetapkan seluruh sifat-sifat Allah dengan “TANPA TAKWIL” adalah sebuah fitnah karena pada kenyataannya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil (memalingkan makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni takwil secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari hadits terhadap ayat tersebut.
Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain.
Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.
Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ,
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan dalam kitab karyanya; al Fatawa, hlm. 523:
“هذا لا يقوله مسلم مؤمن”,
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk” maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/menentang-takwil.jpg
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani, “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”
Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala sesuatu akan binasa kecuali Dia”
Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”ويبقى وجه ربك”; artinya ”ويبقى ربك”; ”Dan Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di atas, firman-Nya: ”يريدون وجهه”; para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”يريدونه”; ”Mereka bertujuan ikhlas karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ”كل شىء هالك إلا وجهه”; artinya ”إلا هو”; ”Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.
Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau makna kiasan).
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya.
Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56) tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan) urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan (melalaikan) perintahNya dan laranganNya.
Contoh lainnya salah satu ulama panutan bagi para pengikut Wahabisme membuat tulisan berdasarkan pemahamannya terhadap hadits shahih yang dibacanya dan oleh karena pemahamannya keliru sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Silahkan periksa tulisan salah satu ulama panutan mereka yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap dalil yang mereka baca.
Dengan mereka mengatakan bahwa pemahaman atau aqidah yang mereka sampaikan adalah pemahaman atau aqidah para Sahabat (Salafush Sholeh) maka termasuk fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Di sisi yang lain ada yang mengatakan bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf.
Begitupula ulama panutan mereka lainnya, Khalid Basalamah yang ditolak dakwahnya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/07/dakwah-mereka-ditolak/
Beliau yang pernah berfatwa bahwa panggilan Sayyidina adalah merendahkan Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/11/menyangkal-fatwa/
Berikut dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Begitupula dalam kutipan catatan kaki (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang kemudian menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah karena mereka selalu berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut.
Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Begitupula syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jism-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat durhaka kepada Allah sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya akibat mereka tidak mau mengikuti aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/19/pencatut-istilah-aswaja/
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzimenjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Jadi pada kenyataannya aqidah pengikut paham Wahabisme mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sehingga tanpa disadari mereka meneladani Ibnu Taimiyyah dan sekaligus meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/19/salah-ulama-panutan/
Sebelum wafat, Ibnu Taimiyyah masih sempat bertaubat di depan Qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang paling faqih di suatu negara dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan mazhab yang empat.
Semoga Allah Ta”ala menerima taubat beliau.
Begitupula dengan Adz Dzahabi masih sempat bertaubat dan menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada gurunya sendiri yakni Ibn Taimiyah yang ketika itu belum bertaubat. Hal ini sekaligus sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum bahwa ulama panutan mereka, Albani dijuluki sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Begitupula ulama panutan mereka lainnya, Muhammad bin Abdul Wahhab, pada awalnya berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) meneladani dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga disebut “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa Albani , “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maupun Muhammad bin Abdul Wahhab , “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” meneruskan kebid’ahan dan meneladani Ibnu Taimiyyah. seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
42. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr alMu’azhzham – Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj
Dan lain lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan Balasan