Mereka menuduh kami tidak suka kepada ahli (membaca) hadits mereka
Berikut kutipan dialog sebagaimana gambar di atas dari kolom komentar tulisan kami yang “mengkritisi” Tabligh Akbar untuk mengenang ahli (membaca) hadits mereka, Albani http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10156107562639846&set=a.10150360084379846.370072.667484845&type=3
**** awal kutipan ****
Si fulan : “ Itu karena Pak Zon Jonggol gak suka ama Syaikh Albani “
Zon Jonggol : Mas Fulan, kalau kami umat Islam tidak mau mengenang ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani dengan ikut tabligh tersebut, apakah dianggap gak suka ama Beliau?
Bagaimanakah dengan mereka yang tidak mau mengenang Rasulullah dengan Maulid Nabi, apakah mereka anda anggap tidak suka sama Rasulullah?
Si fulan : Hhhhhmmmm itu bukan Maulid Pak Zon Jonggol
**** akhir kutipan ****
Dengan mereka mengatakan “itu bukan Maulid” menunjukkan adanya perbedaan hukum perkara antara
Perbuatan atau amalan mereka mengenang ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani dengan tabligh akbar
dengan
Perbuatan atau amalan umat Islam mengenang Rasulullah dengan Maulid Nabi
Padahal kedua perkara tersebut hukum perkaranya adalah sama yakni hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Maulid Nabi untuk mengenang Rasulullah hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah
Begitupula tabligh akbar untuk mengenang ahli (membaca) hadits mereka hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan untuk mengisi acara tabligh akbar tersebut tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Contohnya akan menjadi haram atau berdosa kalau diisi dengan dakwah mengkafirkan umat Islam
Tabligh akbar itu adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenang ahli (membaca) hadits mereka.
Begitupula peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal, mengenang dan meneladani Rasulullah.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat atau berfatwa bahwa peringatan Maulid Nabi hukumnya mubah (boleh) sedangkan pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Jadi berdasarkan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahirannya menjadi salah satu dalil bagi umat Islam untuk membolehkan memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan.
Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah Ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Alm KH Ali Mustafa Yakub , Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sebelumnya, menyampaikan bahwa peringatan Maulid Nabi termasuk wilayah muamalah, “selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja”. Beliau mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang.
Kami prihatin melihat mereka menuduh kami tidak suka atau membenci ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani
Begitupula berulang kali mereka menuduh kami membenci para pengikut firqah Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat.
Kami telah sampaikan berulang kali pula bahwa kami bukanlah membenci mereka karena pada hakikatnya mereka lahir ke dunia, mendapatkan “peran” di dunia seperti itu, dan mereka hadir dalam diskusi adalah kehendak Allah Ta’ala semata dan menjadi cobaan bagi kita umat Islam pada umumnya.
Oleh karenanya hadapilah mereka dengan sikap dan perbuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.
Untuk itulah kami berupaya untuk tidak membalas celaan mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)
Sebaiknya janganlah kita terpancing berakhlak buruk juga seperti dengan membalas celaan mereka, merendahkan atau memperolok-olok mereka karena ketidak tahuan atau kesalahpahaman mereka.
Imam Syafi’i ra menyatakan bahwa “orang yang berakhlak buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Dia hitam, dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka yang hitam itu menjadi dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita terpancing“.
Bahasa tulisan maupun lisan, ibarat teko hanya akan mengeluarkan isi yang ada. Kalau di dalamnya air bersih maka yang keluar bersih dan sebaliknya kalau di dalamnya air kotor maka yang keluar adalah kotoran.
Tugas kita hanyalah menyampaikan penjelasan maupun fatwa dari para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat, sedangkan hidayah adalah kehendak Allah Ta’ala semata
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21).
Kami bukanlah membenci orang atau ahli (membaca) hadits mereka Al Albani namun yang kami benci atau ingkari adalah kesalahpahamannya.
Contohnya ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani yang menamakan kitabnya “Sifat Sholat Nabi” namun ironisnya belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan bukti pernyataannya
“Saya katakan kepada mereka yang bertawassul dengan wali dan orang sholeh bahwa saya tidak segan sama sekali menamakan dan menghukum mereka sebagai SESAT dari KEBENARAN, tidak ada masalah untuk menghukum mereka sebagai SESAT dari KEBENARAN dan ini selaras dengan penghukuman Allah atas Nabi Muhammad sebagai SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu”
Mereka terjerumus menyakiti dan mencela Rasulullah SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu akibat mereka secara otodidak (shahafi), membaca, menterjemahkan dan memahami selalu dengan makna dzahir sehingga salah memahami firman Allah Ta’ala , “wa wajadaka dhollan fa hada” (QS Adh Dhuha [93] : 7) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat/
Mereka melarang (mengharamkan) berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan orang-orang sholeh atau para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat. Padahal setiap hari umat Islam bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/12/28/awali-dengan-bertawassul/
Rasulullah memang telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan timbul fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Mereka berpendapat atau berfatwa namun menguasai bahasa Arab sebatas artinya dan berbekal makna dzahir saja sehingga orang-orang yang taqlid mengikuti pendapat atau fatwa mereka maka akan ikut dihempaskan ke neraka jahannam.
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra, Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا
Khudzaifah Ibnul Yaman ra bertanya
يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau menetapkan fatwa maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
http//.tulisantakbermaknablog.com
Assalamualaikum wr wb. Kisah syith dan kabil dalam kitab anoch. Awal mula perkenalan musik (suara lain yg indah dan merdu) Syith adalah hadiah. Anak yg telah di hadiakan kepada Adam untuk menggantikan Habil. Dikisahkan bahwa kepergian Habil membakar duka luka yg teramat dalam terhadap Adam. Karena sejatinya Habil telah dijanjikan akan memegang tali kepemimpinan kaumnya ketika Adam meninggal. Tetapi tuhan berkata lain, dia lebh memilih Habil pergi dari kehidupan manusia. Sehingga membuat Adam berduka dan menangisi kepergian anak kesayangannya itu. Ada kabil yg juga bersaudara dengan habil, namun oleh kabil kepada habil adalah musuh yg akhirnya menyebabkan keterpihannya habil dari keluarganya dan alam tempat ia tinggal. Dikisahkan pula sebab kepergian Habil karena ada perselisihan dan percekokan yg membuat kabil tega membunuh saudaranya (Habil). Menurut beberapa sumber bahwa awal mula terjadingnya kemungkaran dan kefasikan adalah karena kabil. Dari kepergiannya itulah Adam diberitakan akan menerima anugerah dari Tuhan, bahwa akan datang seorang anak yg keperawakannya sama epweti Habil. Ya, dialah syith (hadiah) dari tuhan untuk Adam, yg kemudia juga sebagai peqaris tahta kepemimpinan kaumnya waktu itu.dari sumbwr sumber yg diliput bahwa bukan sja keperawakan namun adalah tingkah laku dan sifatnyapun adalah Habil. Maka bergembiralah Adam ketika diberitaka bahwa Anaknya (syith) ini adalah pebgganti dari habil serta pewarisan semua yg ada pada habil juga ada pada syith. Dialah sebagai sang penghibur ayahnya(Adam) dan juga sebagai pemegang estafet kepemimpinan menggantikan ayanhya (Adam). Ketika adam menibggal dan baiat kepemimpinan siserahkan kepada syith. Maka, cemburulah kabil. Se jak saat itulah kabil pergi dengan kaumnya meninggalkan syith juga dengan kaumnya. Bertahun tahun lamanya berkelana melewati lembah, gunung, sungai dan juga bertambahnya popularitas kaumnya dan begitu juga denga syith. Namun dalam kisah yang diceritakan sebelumnya bahwa ada perbedaan keturunan diantara kedua kaum ini (syith dan kabil). Syith dan kaumnya dianugerahi keperawakan pada laki laki yg begitw memikat hati lawan jenis, dan kabil dan kaumnya di anugerahi keelokan dan penyejukan hati lawan jenis. Artinya amugerah yg duberikan syith dan kaumnya itu adalah laki laki yg ganteng sedang anugerah yg diberikan pada kabil adalah para wanita wanita yg cantik. Dan juga perbedaan yg palung menonjol dan menentukan kemajuan suatu kaum dari segi peradabannya. Dalam kisah yang lain dikatakan bahwa kabil dan para kaumnya adalah kelompok kaum yang begitu maju dan peradabannya begtu cerdas. Mereka kaum kabil begitu cerdas dalam mengelola kehidupan dan menciptakan hal hal yg baru yg belum pernah ada sebelumnya. Ciptaan ciptaan itu berupa suara suara yang merdu. Suling gendang adalah ciptaan yg baru oleh kaum kabil. Disisi lain syith dan para kaumnya hidup dalam kesederhaan yg begtu mapan. Sehingga pada suatu hari sifat iri hati merasuki kaum kaum syith. Mereka ( kaum kaum syith) iri hati terhadap kaum kaum kabil dimulau dari wanita wanita yg bgtw cantik dan peradaban yg maju maka timbul niat untuk mencoba hal hal demikian untuk bergabung dengan kaum kabil. Karena pada kaum syith kehidupannya tdak bekembang dan ditambah lagi wanita wanita yg jelek. Di kaum kabil dikisahkan pada malam malam yg telah ditentukan (skrng malam minggu) adalah malam dimana pesta dilakukan dan kebebasan hak hiduppun dibiarkan namun menjerumus dalam limangan dosa. Berita kedengkian oleh kaum syith didengar oleh nabi syith. Nqmun sikap kwteguhan dan kesabarannya yg telah diwariskan oleh ayahnya dan saudaranya, ia (syith) tdk terpengaruh oleh rayuan rayuan wanita dan hiburan hiburan. Ia tetap menjalankan wasiat ayahnya yang diwariskan kepada, ia tetap menyembah dan berada dijalan kebenaran. Iya juga menjalankan syariat syariat yg telah diajarkan kepadanya sehingga syith dan para pengikutnya dan keturunanya twtap selalu dijaga dan diridhohi olwh Allah azza wajala. Amin…….
Mohon kiritik dan saranya Pada tanggal 25 Jan 2018 01.08, “Mutiara Zuhud – Letakkan dunia