HRS hijrah ditengarai hanyalah korban perbedaan pendapat yang terjadi sejak sebelum kemerdekaan NKRI yakni antara kubu tokoh Islam dengan kubu yang mengaku-ngaku muslim nasionalis namun kenyataannya condong kepada paham SPILIS yakni SEKULERISME, PLURALISME dan LIBERALISME.
Begitupula pada kenyataannya PERPOLITIKAN dan KEBIJAKAN di NKRI SANGAT TERKAIT dengan PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA DUA KUBU di TNI yakni kubu mereka yang mengaku sebagai ABRI “merah putih” yakni para perwira yang mengaku nasionalis namun pada kenyataannya adalah mereka yang condong kepada paham Sekulerisme.
Mereka menggelari “lawan” atau saingan mereka sebagai ABRI “hijau” yakni para perwira yang mau “mendengarkan” pendapat para ulama atau dekat dengan Islam dan Pesantren sebagaimana contoh kajian pada http://tirto.id/abri-merah-putih-vs-abri-hijau-sentimen-agama-di-tubuh-tentara-c1cl
***** awal kutipan *****
Menurut Salim Said, “[…] mereka yang disingkirkan Soeharto [pada era 1990-an] menyebut diri mereka ABRI Merah Putih dan menggelari lawannya, yakni mereka yang dipakai Soeharto, sebagai ABRI Hijau” (hlm. 154).
Menurut Kivlan, apa yang disebut ABRI Merah-Putih adalah “tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama.”
Sementara yang disebut ABRI Hijau adalah “tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kyai dan pemimpin ormas Islam” (hlm. 77).
Pendapat Kivlan diperkuat Fadli Zon dalam Politik Huru-Hara Mei 1998 (2004). Menurutnya, “Istilah ABRI Hijau ini dipakai untuk MENYUDUTKAN mereka yang dekat dengan kalangan Islam, BERARTI TIDAK MERAH PUTIH” (hlm. 21).
Di zaman Benny Moerdani begitu berkuasa, kelompok yang disebut ABRI Hijau ini dianggap terzalimi.
Mereka yang dianggap terzalimi itu di antaranya Mayor Jenderal Feisal Tanjung (yang lebih dari tiga tahun jadi Komandan Seskoad di Bandung) dan Mayor Jenderal Raden Hartono (yang jadi Panglima Brawijaya di Jawa Timur).
***** akhir kutipan ****
Mantan Pangab Benny Moerdani adalah salah satu contoh tokoh SEKULER dari kalangan TNI.
Dalam catatan Rachmawati Soekarnoputri yang dimuat di harian rakyat merdeka Rabu 31 Juli dan Kamis l Agustus 2002 sebenarnya Megawati telah mendapatkan informasi dari Beni Moerdani sebelum tragedi 27 juli 1996 terjadi. Lalu mengapa seolah-olah Megawati membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Rachmawati Soekarnoputripun bertanya kepada kakaknya, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani sehingga terlibat faksi faksi yang bertikai ditubuh TNI
***** awal kutipan *****
Bagi saya , kisah Mega dan Orde Baru bukan hal baru.Begitu juga soal hubungan antara Mega dengan bekas Pangab L.B. Moerdani dan faksi faksi yang bertikai ditubuh TNI, pun bukan hal baru.
Makanya, waktu mendengar bekas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan membongkar informasi yang diberikan Benny Moerdani kepada Mega sebelum terjadi tragedi 27 juli 1996 terjadi, saya cuma manggut manggut.Saya sudah memperkirakan itu yang akan terjadi.Mega cuma jadi alat dari pertikaian di tubuh TNI, khususnya Angkatan Darat.
Benny Moerdani mulai mendekati keluarga Bung Karno awal 1980-an. Suatu ketika, pertengahan 1980-an, dalam sebuah acara keluarga Bung Karno di Bandung , Benny Moerdani datang. Katanya dia mau mengenal lebih jauh dan berteman dengan anak anak Bung Karno.Kami persilahkan saja. Tapi saat itu saya sudah waspada. Pasti ada apa apanya nanti.
Waktu itu Benny Moerdani mulai pecah kongsi dengan Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.
Dalam acara keluarga itu, saya sempat ngomong ngomong dengan dia.Kelihatamnya Benny Moerdani memang sedang sakit hati dengan Soeharto. Dia dicopot dari posisi Pangab dan tidak dipakai Soeharto lagi. Ibarat wayang, oleh sang dalang Benny Moerdani dimasukin kotak.
Ia mengakui, dirinya menyimpan obsesi untuk menjadi orang kedua di republik ini. Tapi dia kecewa ambisi itu bagai menggantang asap. Menurutnya dia tidak mungkin tampil sebagai wakil presiden. Sebab dia beragama non muslim.Dan memang walau pun Benny Moerdani menggosok gosok namanya, tahun 1988 Soeharto memilih Soedharmono yang dikenal sebagai arsitek sekretariat negara dan orang top di Golkar, menjadi wakil presiden.
Saya sampai dipanggil ketek sama Soeharto. Waktu mau dicopot pun, saya tidak diberi tahu sebelumnya. Saya diberi tahu akan dicopot dari posisi Pangab cuma satu hari sebelumnya, begitu dia mengeluh.
Dulu, akhir 1970-an, kami, anak anak Bung Karno membuat kesepakatan bersama. Dikenal dengan konsensus keluarga Bung Karno. Isinya, kami tidak akan terjun ke dunia politik. Kami tidak mau anak dan keturunan Bung Karno dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk kepentingan mereka Kami tidak mau dijebak
Tapi sejak bergaul dengan Benny Moerdani, Mega mulai terlihat hendak keluar dari consensus keluarga. Dan akhirnya Mega memang keluar. Dia bergabung dengan PDI. Memang tidak tiba tiba . Sebelumnya Mega, juga suaminya Taufik Kiemas, aktrif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).
Nah, Mas Guntur sebagai anak tertua, yang tadinya saya harap bisa mencegah langkah Mega itu, ternyata memilih untuk diam saja. Bahkan cenderung untuk mendukung. Saat itu saya mulai was-was. Langkah Mega mendekati faksi Moerdani dalam tubuh Orde Baru akan merugikan, tidak cuma keluarga Bung Karno , tapi juga seluruh Bangsa ini. Saat itu saya membaca, mereka tengah mempersiapkan tampilnya seorang anak Bung Karno untuk memenangkan ambisi politik mereka.
Dijadikan alat LB Moerdani, kok bangga
Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, Bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan, untuk apa jadi pemimpin boneka.
Orang orang PDI yang dekat dengan Benny Murdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho, pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.
Tapi Mega tidak begitu, tidak seperti saya. Dia menuruti permintaan itu dan dan senang pula. Ajakan itu diartikannya sebagai dukungan dan kepercayaan dari orang banyak, kaum Marhaen, kepada dirinya untuk memimpin PDI. Padahal motivasi di balik ajakan ajakan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspirasi kaum Marhaen.
Nah, pintu yang dipakai kelompok ini untuk mendekati Mega adalah Taufik Kiemas, suaminya. Taufik memang dekat dengan kelompok itu. Hari ini pun, desas desus soal kedekatan Taufik Kiemas dengan kelompok Benny Murdani beredar luas.
Di awal 1990-an , Mega semakin larut kejebak dalam skenario pembusukan itu. Tahun 1993, dalam kongres luar biasa (KLB) PDI, di Surabaya, dia mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum PDI.
Beberapa saat kemudian , dalam Munas PDI di Jakarta, deklarasi itu dikukuhkan. Benny Moerdani mengerakahkan orang orangnya untuk memback up Mega dalam suksesi di tubuh PDI itu. Beberapa orang yang terlibat mengamankan Mega dalam fase itu sekarrang ini mendapat posisi enak di kabinet.
Di tahun 1993 pula saya sebelum KLB Surabaya , saya sempat bertemu dengan Mega. Saksi pertemuan itu Panda Nababan. Saya tanya Mega, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani. Tapi dia tidak menjawab sepatah katapun pertanyaan itu.
Saya katakan lagi kepadanya, untuk melawan Orde Baru kita harus melihat lihat siapa kawan yang bisa digandeng. Dan orang macam Benny Moerdani tidak bisa dijadikan kawan abadi, Suatu saat mereka akan balik menyerang. Jangan mau terjebak dalam pertarungan antara Benny Moerdani dan Soeharto. Saya tanya lagi Mega, mengapa kamu mau menari di atas gendang orang orang lain. Mengapa kamu mau diperalat.
***** akhir kutipan *****
Kalau ingin mendalami bagaimana PERPOLITIKAN dan KEBIJAKAN di NKRI SANGAT TERKAIT dengan PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA DUA KUBU di TNI silahkan baca buku berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi – Serangkaian Kesaksian” karya Salim Said seorang peneliti peran politik tentara, berprofesi sebagai wartawan yang mewawancarai langsung para petinggi TNI.
Contohnya dapat dibeli seharga Rp 55ribu pada http://www.tokopedia.com/terasbuku/salim-said-dari-gestapu-ke-reformasi
Pada hal 312, Salim Said menuliskan bahwa “Komando Jihad” yang DICIPTAKAN dan DIHANCURKAN adalah salah satu cara Ali Murtopo “meneror” kekuatan politik Islam, terutama menjelang Pemilihan Umum 1971.
Pada masa awal kekuasaan setelah membereskan PKI, target Soeharto berikutnya adalah “membereskan” kekuatan Islam politik.
Salim Said menyampaikan bahwa yang mula-mula menjadi operator melaksanakan kebijakan anti-Islam Soeharto adalah Ali Murtopo namun pada masa tuanya sikap Soeharto memang terlihat berangsur berubah terhadap Islam.
Pada hal 315, Salim Said menyampaikan
***** awal kutipan *****
”Perubahan keber-agama-an yang terjadi pada Soeharto kemungkinan besar bisa juga dimengerti jika melihatnya dari segi latar belakangnya yang abangan itu.
Tapi dari titik pandang politik, yang saya duga ikut mendorong perubahaan itu adalah keberhasilan Soeharto melumpuhkan kekuatan Islam politik. Artinya kekuatan Islam politik bukan ancaman lagi bagi kekuasaan sang Presiden.
Masih dari sudut politik, perubahan itu juga kemungkinan muncul dari kecemasan terhadap berbaliknya kekuatan-kekuatan yang dulu dipelihara dan dimanfaatkan Soeharto- antara lain menggunakan Murtopo dan Moerdani – untuk memojokkan kekuatan Islam politik.
Menarik untuk diingat bahwa pada awal tahun sembilan puluhan, kekuatan-kekuatan yang pada awalnya merupakan pendukung penting Soeharto, terutama dalam menghadapi Islam, secara perlahan mulai “berbalik gagang” bersamaan dengan berubahnya sikap Soeharto terhadap Murtopo dan Benny. Gejala perubahaan politik ini semakin mencolok setelah ICMI terbentuk.
***** akhir kutipan ******
Salim Said kemudian menuliskan,
Nama Benny, Edi Sudrajat, dan Try Sutrisno disebut-sebut sebagai dekat dengan kekuasaan anti-ICMI (baca:anti-Soeharto) tersebut.
Harry Tjan menampik kedekatan Benny kepada aktivis-aktivis yang kritis terhadap Soeharto itu. “Benny tidak berani melawan Soeharto”, kata Harry.
Moerdani memang tidak berani secara frontal melawan Soeharto, juga ketika masih menduduki posisi penting. Kendati demikian, sebagai pengagum Jendral Sudirman, sebagai seorang patriot, Moerdani juga tidak bisa tinggal diam ketika Soeharto sudah dipandangnya sebagai telah membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dengan sikap itulah saya duga, Moerdani bersedia hadir dalam sebuah diskusi terbatas Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI) di rumah Fahmi Idris pada suatu malam pada paruh pertama 1991
Dalam pertemuan itu, Salim Said menuliskan bahwa
***** awal kutipan *****
Benny Moerdani mengusulkan mengenai “gerakan massa” sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, “Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang-orang Cina dan kemudian gereja.” Cara lebih aman, kata Firdaus, “Kuasai MPR. Lewat MPR, Soeharto bisa dengan lebih aman diturunkan.”
Pertemuan di rumah Fahmi itu bocor dan dilaporkan kepada Soeharto. Sebuah sumber menyebutkan laporan mencapai Presiden lewat Azwar Anas. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. Atas dasar laporan itulah, Soeharto dan para pembantunya, termasuk Tutut, putrinya, mempersiapkan daftar calon sebagai antisipasi terhadap daftar calon anggota MPR dari pimpinan Golkar yang dicurigai Soeharto dan orang sekelilingnya sebagai kemungkinan telah berada di bawah pengaruh Moerdani
Map yang berisi daftar calon yang disampaikan Ketua Umum Golkar, Wahono dan Sekjennya, Rahmat Witoelar, diterima Soeharto untuk seterusnya dimasukkan ke laci meja kerjanya di kediaman jalan Cendana. Dan dari laci itu dikeluarkan map yang berisi daftar yang telah disusun atas petunjuk Bapak Presiden. “Pakai ini saja”, kata Soeharto kepada Wahono. Daftar itulah yang kemudian menghasilkan anggota DPR dan MPR yang waktu itu dikenal sebagai “ijo royo-royo”
***** akhir kutipan ****
Jadi pada awalnya Soeharto alergi atau anti-Islam dan pada akhirnya berubah menjadi bersahabat dengan syariat Islam dan kemudian pula pada tahun 1991, Soeharto sekeluarga melaksanakan ibadah haji.
Salim Said menuliskan pada halaman 319
***** awal kutipan *****
Terhadap kepergian Soeharto ke Tanah Suci itu, Benny cemas. “Wah, kalau Bapak Serius, bakal repot kita.” katanya.
Soeharto ternyata kemudian memang tidak main-main ke Makkah. Selain menyempurnakan namanya menjadi Haji Mohammad Soeharto, sikap politiknya terhadap Islam juga terlihat semakin simpatik.
Apa pun alasan dan motifnya, Benny dan sejumlah jenderal tidak bisa mengerti, apalagi menerima perubahan sikap dan kebijakan Soeharto tersebut.
Raja intel itu bersama sejumlah golongan anti-Soeharto akhirnya melanjutkan crusading mereka terhadap kebijakan baru Bapak Presiden terhadap Islam, terutama terhadap ICMI. Akibatnya, Benny akhirnya yang menerima tuduhan sebagai anti-Islam.
Sehubungan dengan ketegangan hubungan antara Soeharto dan mantan panglima ABRI itu, menarik untuk memperhatikan satu dari sejumlah cerita dalam memoar Jusuf Wanandi mengenai Moerdani dan Soeharto.
Menurut Jusuf Wanandi, Benny menuliskan nama-nama Pangdam yang dinilainya “hijau” itu dan menyerahkannya kepada Soeharto. Soeharto mengirimkan daftar nama tersebut kepada Wiranto, Panglima Abri di bawah Presiden B.J. Habibie.
Wiranto menurut Wanandi, memerlukan waktu hanya sebulan untuk melengserkan lima Pangdam yang ada dalam daftar Moerdani tersebut.
Selain soal pelengseran para Pangdam yang dianggap “hijau” berdasarkan informasi Moerdani. Jusuf Wanandi juga mencatat kontak Wiranto lainnya dengan Benny. Menurut petinggi CSIS tersebut, beberapa saat setelah dilantik sebagao KSAD pada juni 1997, Wiranto menemui Moerdani untuk minta bantuan. Respons Benny,
“Jangan berilusi. Orang tua itu tidak senang pada saya, tidak percaya kepada saya. Jadi kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu”
****** akhir kutipan *****
Salim Said sempat berjumpa dengan Jenderal Wiranto, di Studio Metro TV pada 22 Oktober 2012 dan menuliskan
****** awal kutipan *****
“Tidak benar semua cerita itu,” komentar Wiranto mengenai apa yang ditulis Jusuf Wanandi mengenai hubungannya dengan Benny. Kata Wiranto selanjutnya.
“Demi Allah, sayat tidak pernah berhubungan dengan Pak Benny secara pribadi. Saya jumpa hanya pada acara-acara resmi. Dan tidak ada lima Panglima Kodam yang saya ganti waktu itu. Dalam soal ABRI “Hijau” dan “Merah Putih” saya memang selalu kena fitnah.”
Pada mulanya barangkali Benny memang hanya menjalankan kebijakan Soeharto. Tapi mengingat sikap dan latar belakangnya yang secara prinsipil dari awal memang kurang bersahabat kepada Islam, maka masyarakat Islam Indonesia akhirnya cenderung melupakan bahwa Soeharto-lah sebenarya yang mula-mula menggariskan kebijakan sikap keras terhadap Islam.
Benny dan Ali Murtopo hanya menafsirkan serta melaksanakannya. Tentu menurut penafsiran dan selera masing-masing kedua tokoh intel tersebut.
****** akhir kutipan ******
Jadi dapat kita ketahui bahwa pada waktu itu ada istilah ABRI “Hijau” yang diisi perwira yang dekat dengan Islam dan pesantren dan ABRI “Merah Putih” yang diisi perwira nasionalis yang condong kepada paham Sekularisme.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan Balasan