Dua cara menundukkan AKAL kepada NAQLI
Sunnah Rasulullah dalam mendalami ilmu agama adalah melalui 2 cara dengan skala prioritas yakni,
Prioritas pertama, AKAL tunduk pada NAQLI (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah) yang dijelaskan dan disampaikan (qola) Akaabir yakni para ulama yang sanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/11/24/ilmu-agama-dari-akaabir/
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : البركة مع أكابرهم
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah bersabda “Barakah itu bersama Akaabir”
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Oleh karenanya para ulama Salaf (terdahulu) justru berpegang pada sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Prioritas kedua, setelah tidak ditemukan Qola Akaabir maka AKAL tunduk kepada ILMU yang terkait bahasa Arab untuk memahami NAQLI (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah) .
Sedangkan orang-orang yang menisbatkan sebagai Salafi (baca Wahabi) yakni mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) namun hidup di zaman now atau zaman khalaf (kemudian) mengatakan bahwa AKAL mereka tunduk kepada NAQLI (Kitabullah dan sunnah Rasulullah) sebagaimana tulisan mereka https://almanhaj.or.id/46-pokok-pokok-manhaj-salaf-mendahulukan-syara-atas-akal.html
Bahkan jika mengingkari NAQLI (Kitabullah dan sunnah Rasulullah) dan perkataan ulama terdahulu sebagaimana yang DIPAHAMI oleh mereka maka dianggap atau dituduh kafir.
Contohnya mereka mengatakan bahwa “barangsiapa yang mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri (MENGIKUTI PEMAHAMAN MEREKA) maka ia telah kafir.
Contohnya mereka sering menyampaikan perkataan seperti,
“Al istiwaa itu diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)
Pengertian “diketahui (ma’luum)” itu sesuai dengan METODE PEMAHAMAN mereka yakni mereka MEMAKSA ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah DIMAKNAI selalu dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi (materi/fisikal) seperti menetapkan arah atas (jihah) atau tempat bagi Allah.
Jadi pada kenyataannya bagi mereka, ada kaif (sifat makhluk) bagi istawa Allah yakni arah atas (jihah) atau tempat bagi Allah.
Padahal para ulama terdahulu seperti Imam Malik mengingatkan bahwa dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah berpegang pada prinsip
كيف غير معقول
Mengitsbatkan kaif (sifat makhluk) bagi Allâh, itu tidak masuk akal
Sedangkan Imam Asy’ari dalam Al Ibanah dengan istilah
بلا كيف
Tanpa kaif (sifat makhluk) bagi Allah.
Ada pula mereka yang mengingkari tempat bagi Allah karena mereka mengatakan bahwa tempat itu masih alam sedangkan Allah itu di luar alam sehingga mereka hanya menetapkan arah atas (jihah) secara hissi (materi /fisikal) yakni di atas Arasy ada “bukan tempat” atau ada yang mengatakan Al Makan Al ‘Adami (tempat ketiadaan) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/02/14/ada-bukan-tempat/
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/02/27/dimudahkan-melihat-allah/
Begitupula ketika mereka mengutip NAQLI (Kitabullah dan Sunnah) maupun perkatan ulama terdahulu TIMBUL PERSELISIHAN karena
1. Mereka TERJEMAHKAN dan MEMAKNAI ISTAWA artinya BERADA.
2. Mereka TERJEMAHKAN dan MEMAKNAI atau MENAKWILKAN ISTAWA dengan ISTAQARRA artinya BERADA MENETAP TINGGI
3. Mereka TERJEMAHKAN dan MEMAKNAI “فوق” , “fawqo” yang arti sebenarnya “di atas” DISISIPKAN kata “BERADA” menjadi (BERADA) “di atas”
4. Mereka TERJEMAHKAN dan MEMAKNAI “fiis sama” yang arti sebenarnya “di langit” DISISIPKAN kata BERADA dan ATAS menjadi (BERADA) di (ATAS) langit
Contoh tulisan mereka pada https://muslim.or.id/56-sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html
Padahal pengertian makna “Al istiwaa itu diketahui” adalah sesuai ILMU yang terkait bahasa Arab untuk memahami NAQLI
Jadi pada kenyataannya AKAL mereka tidak tunduk kepada NAQLI (Kitabullah dan sunnah Rasulullah) yakni AKAL tunduk kepada ILMU yang terkait bahasa Arab untuk memahami NAQLI
Rasulullah bersabda, “ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Bukhari 98)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Jadi untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal MAKNA DZAHIR saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi AYAT-AYAT MUTASYABIHAT yakni AYAT-AYAT YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA terkait sifat Allah yang ditetapkanNya.
Beliau berkata, “Sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Begitupula Al-Imam al-Hafizh Suyuthi bahwa jika tidak memungkinkan dipahami dengan makna dzahir dialihkan ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh AKAL sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2.Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan Balasan