Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Aktivis’

bahaya liberal

 

Waspada aktivis liberal dibelakang kubu Jokowi-JK

Hal yang perlu diwaspadai oleh umat Islam bukan saja firqah syiah dibalik kubu Jokowi-JK namun firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni firqah SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) atau disingkat firqah (kaum) Liberal

Perjuangan reformasi di Indonesia pada kenyataannya ada dua kubu.

Ditengarai kubu orang-orang yang menginginkan Megawati menjadi presiden ketika negeri kita dipimpin oleh Gus Dur adalah kubu orang-orang yang menginginkan Jokowi menjadi presiden pada saat ini.

Pada waktu itu Amin Rais dkk ditengarai terhasut kubu orang-orang yang menginginkan Megawati sebagai Presiden sehingga “melengserkan” Gus Dur

Pada saat sekarang tampaknya Amin Rais menyadari bahwa arah reformasi yang berjalan sekarang tidak sesuai dengan visi dan misi maupun platform partai politik PAN yang didirikannya sehingga memutuskan untuk mendukung kubu Prabowo karena adanya kesesuaian dengan visi dan misi Gerindra.

Sehingga terlihatlah tokoh reformasi “kubu lain” yang menolaknya seperti Goenawan Mohamad sebagaimana berita pada http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/15/goenawan-muhammad-mundur-dari-pan

“Latar berlakang” perjuangan reformasi kubu Goenawan Muhammad dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/05/goenawan-muhammad-background.pdf

Tulisan tersebut ditulis berdasarkan buku yang berjudul, “Kekerasan Budaya Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013 lalu yang mengungkapkan bahwa Goenawan Muhammad dibiayai lembaga filantropi mulai : Ford Fondation, Rockefeller Fondation, Asia Fondation Open Society Institue, USAID juga tokoh Yahudi George Soros.

Berikut kutipannya

***** awak kutipan *******
Goenawan Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto (1994) menempatkan diri sebagai pelawan orde baru yang handal. Dengan lenyapnya Tempo GM membangun Komunitas Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan Islam Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus agen imperialis Barat.

Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat penghancuran Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000 USD/tahun.

Pendek kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang teras USAID, berhasil menguras dananya sebesar 100.000 -200.000 USD, sehingga menempatkan KUK sebagai agen Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.

Yang sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam mainstream, kehadiran KUK di bawah GM, misalnya Radio FM 68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah tanahnya seperti Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk GM ini cenderung menghantam aspirasi Islam.

Kini terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini tidak aneh, GM sejatinya seorang komprador sejati, yang diakuinya sendiri, dia memang dibiayai serenceng lembaga filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation dan Japan Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.

Memang Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana peranan GM saat rezim Soeharto jatuh di mana Soros ikut memainkan peranan menghancurkan ekonomi Indonesia. Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution terlihat menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah sejatinya yang memainkan peranan terpenting dalam reformasi Mei 1998 itu.

Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung berlawanan arus dengan Islam. Tatkala umat Islam makin bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah dan mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan kelompoknya menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang dituduhnya melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah, mengancam kebhinekaan, sekaligus menyebar kebencecian, kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat.
******* akhir kutipan ******

Dari “latar belakang” tersebut kita dapat simpulkan bahwa kubu Goenawan Muhammad adalah pejuang reformasi yang membawa misi pihak asing untuk menegakkan hak asasi manusia dengan semangat kebebasan (liberalisme. pluralisme, sekularisme) termasuk kebebasan memahami Al Qur’an dan AS Sunnah dengan semangat kebebasan (liberalisme)

Sebelumnya sejumlah aktivis Liberal seperti Zuhairi Misrawi dan Hamid Basyaib bergabung ke lembaga underbow PDIP Baitul Muslimin Indonesia (BMI) sebagaimana berita pada http://news.detik.com/read/2011/10/14/203542/1744557/10/

***** awal kutipan *****
Sejumlah tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) bergabung ke Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), organisasi keagamaan sayap PDI Perjuangan. Mereka antara lain, Idham Cholied, Hamid Basyaib dan Zuhairi Misrawi.

Idham, yang sebelumnya menjabat sekjen Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) ini mengatakan, alasannya bergabung ke PDI Perjuangan karena secara kultural basis pemilih partai itu dan NU sama.

Sementara itu, Hamid Basyaib dikenal sebagai pemimpin perusahaan konsultan politik, mantan wartawan dan pemikir Islam Liberal. Zuhairi dikenal sebagai direktur Moderate Muslim Society.
****** akhir kutipan ******

Kini dedengkot liberal lainnya, Siti Musdah Mulia, akhirnya merapat juga ke lingkaran PDIP dengan menjadi Direktur Megawati Institute. sebagaimana yang diberitakan pada http://nasional.kompas.com/read/2013/10/09/1228038/Musdah.Mulia.Jadi.Direktur.Megawati.Institute

**** awal kutipan ****
“Hasil rapat Pleno DPP kemarin, atas kesediaan Ibu Musdah, kami kukuhkan Ibu Musdah sebagai Direktur Megawati Institute,” kata Tjahjo.

Tjahjo mengatakan, Megawati Institute di bawah kepemimpinan Musdah diharapkan terus membumikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Seperti diketahui, Musdah adalah aktivis perempuan, dosen, peneliti, penulis di bidang keagamaan di Indonesia. Ia aktif dalam isu-isu demokrasi, HAM, pluralisme, perempuan, dan civil society.
****** akhir kutipan *****

Musdah Mulia adalah professor yang menghalalkan homoseksual sebagaimana yang diberitakan pada http://insistnet.com/prof-uin-jakarta-halalkan-homoseksual/

****** awal kutipan ******
Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.

Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam.
****** akhir kutipan *****

Peniliti Insist, Adian Husaini mengatakan perjuangan reformasi mereka adalah mengatasnamakan hak asasi manusia dengan semangat kebebasan (liberalism) sehingga kebablasan sebagaimana yang dimuat dalam tulisan pada http://adianhusaini.com/index.php/daftar-artikel/10-15-tahun-reformasi-indonesia?catid_doc=10&page=1

****** awal kutipan *****

Lingkaran Setan

Reformasi telah bergulir, dan telah menyeret Indonesia ke pusaran “Lingkaran setan” liberalisme dalam berbagai bidang. Kondisi seperti ini sangat pelik. Kebebasan informasi telah mengubah pola pikir dan perilaku banyak warga bangsa, khususnya anak-anak muda-remaja kearah pola hidup hedonis yang serba permisif dan menjadikan para selebritis sebagai idola kehidupan. Dunia politik pun terimbas. Partai-partai politik seperti berlomba merangkul para artis terkenal, untuk meraih suara dari masyarakat.

Ketika digulirkan, jargon reformasi menumbuhkan banyak harapan di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagaimana biasa dalam setiap peristiwa tumbangnya suatu rezim, muncul suatu euphoria dan semangat melawan segala sesuatu yang berbau rezim lama. Apapun yang berbau rezim sebelumnya seolah-olah salah. Rezim lama menjadi momok. Siapa pun jika dicitrakan sebagai bagian dari rezim lama, akan menghadapi suatu proses deligitimasi sosial politik yang sulit dikendalikan.

Seperti diektahui pada era akhir dekade 1980-an, rezim Orde Baru mengubah pendekatannya kepada umat Islam dari pola antagonistik menjadi pola akomodatif yang ditandai dengan penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi Islam ke dalam sistem dan kehidupan kenegaraan. Sebagai contoh adalah dicabutnya larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum, didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), didirikannya Bank Muamalat Indonesia, juga disahkannya sejumlah Undang-Undang yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh kelompok non-Islam dan sekuler: seperti UU Peradilan Agama (No. 7 tahun 1989), UU Pendidikan Nasional (No. 2 tahun 1989), UU Perbankan (No.7 tahun 1992) yang mengakomodasi Bank Syariah, dan sebagainya.

Terlepas dari motif politiknya, politik akomodatif rezim Orde Baru merupakan hal yang positif dan disambut oleh kalangan Islam, yang selama dua dekade sebelumnya menjadi obyek deislamisasi dan sekulerisasi rezim Orde Baru. Sayangnya rezim Orde Baru gagal memperbaiki dirinya dalam soal kebobrokan demokrasi dan ketidakadilan ekonomi. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah menjadi kanker ganas yang sulit disembuhkan. Pondasi ekonomi negara yang rapuh akhirnya tidak mampu menahan serangan badai krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis itulah yang kemudian semakin merajalela dan berujung pada tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tentu saja tumbangnya Soeharto disambut dengan suka cita saat itu. Kehidupan politik semakin bergairah. Sistem politik Orde Baru yang serba tertutup, monolitik dan sentralistik digugat habis-habisan. Era reformasi dan demokratisasi dicanangkan dan terus digelindingkan. Berbagai jenis paham pemikiran bebas berkeliaran di benak publik. Penguasaan akses-akses informasi yang sangat kuat di tangan non-muslim dan kaum sekular menyebabkan semakin maraknya paham-paham sekuler-liberal di tengah masyarakat. Pada era seperti inilah, berbagai benih paham sesat dengan leluasa dan tanpa banyak rintangan tersebar dan bersemi di tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Salah satu paham yang sangat marak menyebar di Indonesia di era reformasi adalah paham liberalisme di kalangan umat Islam, yang dikenal sebagai paham “Islam liberal”. Paham ini telah sangat meresahkan umat Islam Indonesia, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham SEKULARISME, PLURALISME, DAN LIBERALISME – yang kemudian dikenal dengan singkatan paham “Sipilis”. Cakupan paham ini sangat luas, meliputi liberalisasi di bidang aqidah, al-Quran, dan syariat Islam.

Kebebasan Kebablasan

Di era reformasi, isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin ramai digunakan untuk menyuarakan berbagai jenis kebebasan. Sayangnya, isu HAM ini seringkali digunakan untuk menjadi dasar penyebaran paham sesat dan penetapan peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, tahun 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendukung dicabutnya Undang-undang (UU) No 1/PNPS/1965, sebab UU tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18 tentang Kebebasan Beragama.

Padahal, UU No 1/PNPS/1965 mengatur tentang penodaan agama di Indonesia. Menurut UU ini, sesiapa saja yang melakukan penafsiran atas ajaran agama yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok suatu agama yang diakui di Indonesia (enam agama: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu), maka dinyatakan telah melakan pidana (jinayat) dan dapat dipenjara selama lima tahun.

Jika UU No. 1/PNPS/1965 itu dicabut, maka berbagai aliran sesat mendapatkan peluang yang makin besar untuk berkembang di Indonesia. Kita berharap, para aktivis HAM bersedia meletakkan al-Quran lebih tinggi ketimbang kitab Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga tidak meletakkan prinsip kebebasan tanpa batas, sampai melanggar ajaran Islam. Alhamdulillah, gugatan kaum liberal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga UU No 1/PNPS/1965 tetap berlaku.

Meskipun gagal dalam mendukung pembatalan UU No 1/PNPS/1965, Komnas HAM masih melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip HAM sekuler, misalnya dalam memperjuangkan hak tiap warga negara untuk melakukan praktik perkawinan sejenis (homoseks dan lebisn) dan melakukan perkawinan beda agama. Komnas HAM telah secara terbuka mendukung praktik nikah beda agama (NBA). Tahun 2005, bekerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komnas HAM menerbitkan sebuah buku berjudul: Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (editor: Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso). Tahun 2010, buku ini diterbitkan lagi untuk edisi kedua.

“Bagi ICRP, pernikahan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dirintangi oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun, sepanjang di dalamnya tidak ada unsur pemaksaan, eksploitasi, dan diskriminasi,” tulis Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Ketua Umum ICRP.

Komnas HAM meminta Kementerian Agama untuk mengimplementasikan penghapusan praktik segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan. Komnas HAM juga meminta agar Kompilasi Hukum Islam (KHI) No. 1 tahun 1991 dirumuskan ulang, sehingga dapat mengakomodasi pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.

Atas nama HAM, Komnas HAM juga memberikan dukungan terhadap gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT). Tahun 2006, pakar HAM internasional yang berkumpul di Yogyakarta menghasilkan “Piagam Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung pelaksanaan hak-hak kaum LGBT.

Walhasil, menjelang 15 tahun perjalanan reformasi, kita kaum Muslim Indonesia, patut merenungkan dengan serius dan mengevaluasi apa yang telah dan sedang terjadi. Salah satu pelajaran penting: tidak sepatutnya kita dipatuk ular pada lobang yang sama. Seyogyanya tokoh-tokoh Muslim menentukan sendiri tujuan, sasaran, konsep, dan agenda-agenda perubahan, sesuai dengan amanah risalah Nabi Muhammad SAW. Tidaklah patut kaum Muslim terjebak lagi ke dalam agenda yang seolah-olah menjanjikan kebebasan dan kemajuan, padahal jelas-jelas merusak masyarakat dan mengadu domba sesama Muslim.

Jargon-jargon reformasi yang digulirkan kadang tampak indah. Tapi, makna “reformasi” itu sendiri tidaklah jelas acuannya. Bagi Muslim, reformasi – atau perubahan apa pun – akan sia-sia jika tidak berdasarkan pada konsep Tauhid dan bertujuan membentuk manusia dan masyarakat yang adil dan beradab. Umat Islam jangan sampai tertipu dengan jargon dan janji-janji “reformasi” yang ternyata membawa agenda liberalisasi di berbagai bidang.

Orang Muslim yang paham dan sadar akan agenda-agenda liberalisasi, pasti tidak rela menukar iman dan kedaulatan negaranya dengan kebebasan dan kenikmatan duniawi yang semu. Wallahu a’lam bish-shawab
***** akhir kutipan ****

Oleh karenanya melihat perjuangan reformasi mereka atas nama hak asasi manusia dengan semangat kebebasan (liberalisme) maka Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tahid Bandung KH Abdullah Gymnastiar dalam mendukung dan memilih calon presiden perlu mengingat kembali pada masa awal reformasi sebagaimana diberitakan pada http://nasional.inilah.com/read/detail/2101958/aa-gym-sambut-gembira-deklarasi-prabowo-hatta

Berikut kutipannya

****** awal kutipan *****
Menurut Aa Gym dirinya sudah mengenal Prabowo pada tahun 1990-an, saat Prabowo menyandang jabatan Danjen Kopassus.

Pada saat itu, ada seorang jenderal petinggi TNI yang amat disegani dan selalu menjadikan umat Islam sebagai target kebenciannya.

“Setahu saya, pada waktu itu hanya Prabowo yang terang-terangan membela umat Islam. Ini kenangan luar biasa saya tentang sosok Prabowo yang sulit dilupakan. Ia perwira militer yang tak rela melihat umat Islam dipinggirkan. Karena alasan ini, saya mendukung Prabowo,” ujarnya.
******* akhir kutipan ******

Aktivis 98 yang juga Ketua Umun PB HMI 1999-2001, Fakhrudin menyampaikan dalam berita pada http://nasional.inilah.com/read/detail/2098519/prabowo-berjasa-di-era-militer-anti-islam bahwa umat Islam Indonesia sejatinya berutang budi kepada Prabowo yang berjasa di era militer cenderung anti Islam

Berikut kutipan selengkapnya

****** awal kutipan ******
INILAHCOM, Jakarta – Aktivis 98 yang juga Ketua Umun PB HMI 1999-2001, Fakhrudin, mengatakan sebaiknya umat Islam tidak gampang terprovokasi gencarnya pemberitaan yang menyudutkan capres dari Gerindra, Prabowo Subianto. Bagaimanapun ada peran besar Prabowo saat militer Indonesia cenderung anti-Islam.

“Jangan gampang dikecoh,” kata Fakhrudin dalam pembicaraan telepon dengan Inilahcom. Menurut dia, umat Islam Indonesia sejatinya berutang budi kepada Prabowo. “Prabowo adalah prajurit yang secara terbuka berani berhadapan dengan faksi militer yang fasis dan anti Islam, di bawah mendiang Benny Moerdani.”

Prabowo-lah, kata Fakhrudin, yang berani mengambil risiko di saat kelompok Moerdani tengah kuat-kuatnya. “Dia tak rela umat Islam terus dikorbankan demi kepentingan politik mereka,” kata dia.

Berkenaan dengan penculikan sejumlah aktivis, Fakhrudin juga yakin segala sesuatu harus dilihat dalam kontek kekuasaan saat itu. “Ada dua faktor; pertama karena pesanan rezim yang berkuasa, kedua karena adanya pertarungan di elite militer. Jadi faksionalisasi di internal militer menjadi pemicu untuk saling mendiskeditkan sesama mereka.”

Keyakinan Fakhrudin bahwa isu HAM sudah jadi sekadar dagangan politik, karena waktu Megawati berkuasa, toh soal itu tak dimasalahkan. Ia menilai, mungkin karena Megawati pun tak lepas dari kedekatan dengan militer. Sayangnya, kata dia, Megawati lebih akomodatif kepada sayap militer yang anti-Islam. “Lihat figur-figur tentara yang di lingkaran Mega. Hampir sebagian besar loyalis Beny ada di sana. Ini menunjukkan bahwa PDIP kurang sensitif terhadap perasaan ummat Islam,” kata dia.

Menurutnya, kalau Megawati konsisten dengan penegakan HAM, kenapa dia tidak tampil untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM saat mendapat mandat dari rakyat. “Jangankan pelanggaran HAM, penculikan, kasus priuk, tragedi lampung, kejadian di Aceh dan lain lain, kasus 27 Juli saja dia tidak bisa selesaikan dengan tuntas.” [dsy]
******* akhir kutipan *******

Suara Islam Online dalam sebuah berita yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/05/melawan-pengkhianat-bangsa.pdf juga mengingatkan kembali apa yang dialami oleh umat Islam pada era 90 an

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****
Jiwa nasionalis relijius sebenarnya telah tertanam pada diri Prabowo Subianto, sekitar 20 tahun lalu. Tahun 1998, saat menjadi Danjen Kopassus, Prabowo dekat dengan kalangan tokoh-tokoh umat. Baik dengan tokoh MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, KISDI dan para pimpinan pesantren se-Indonesia. Mungkin karena terlalu dekatnya dengan tokoh-tokoh Islam saat itu, kalangan anti Islam menjadi tidak suka padanya. Ia akhirnya difitnah sebagai dalang penculikan dan kerusuhan Mei 1998 dan akhirnya menenangkan diri ke Yordania selama beberapa tahun lamanya.

Suara Islam memuat kembali sebagian laporan “Melawan Pengkhianat Bangsa’ di Majalah Media Dakwah, edisi Februari 1998. Berikut kutipan selengkapnya:

Sebuah peristiwa bersejarah digelar di Markas Komando Kopassus Cijantung, Jumat (23/1/1998) lalu. Suatu perhelatan akbar yang melibatkan ribuan kaum Muslimin dari berbagai kalangan. Suasana malam Ramadhan ke-24 di Markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur saat itu (23/1) tampaknya baru kali ini terjadi. Di markas besar pasukan elit tersebut, sekitar 7000 umat Islam dan prajurit Kopassus mengadakan buka puasa bersama, dilanjutkan dengan shalat Maghrib, shalat Isya dan tarawih berjamaah.

Hadir dalam acara tersebut antara lain Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Ketua MUI KH. Hasan Basri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Dr Anwar Haryono SH, Ketua BKSPPI KH Cholil Ridwan, Ketua Dewan Pimpinan KISDI KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Sekretaris Umum Muhammadiyah Dr Watik Pratiknya, Sekretaris Umum Dewan Dakwah Hussein Umar, Ir. AM Luthfie (Forum Ukhuwah Islamiyah), Pengurus PBNU Dr Said Agil Munawwar dan KH Ma’ruf Amin.

Hadir pula dari kalangan ABRI, Pangdam Tanjungpura Mayjen Muchdi Pr, Kasdam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kaskostrad Mayjen TNI Ismet Yuzairi, Mayjen TNI Cholid Ghozali dan lain-lain. Tak ketinggalan pula ulama-ulama terkemuka pesantren daerah di Jawa Barat seperti KH Asep Mausul (Tasikmalaya), KH Abdul Wahid Sahari (Pandeglang), KH Shihabudin (Kotabumi Lampung) dan lain-lain.

Dari kalangan wartawan hadir Wapemred Majalah Ummat M Syafii Anwar dan Redpel Media Indonesia Bambang Harymurti. Sekitar 40 wartawan juga hadir dalam acara tersebut. Dari kalangan intelektual dan DPR RI nampak Ketua SPSI Bomer Pasaribu, MSc, Dr Laode Kamaluddin, Dr Din Syamsuddin, Dr Jimly Ashiddiqie, Dr Didin Damanhuri dan lain-lain. Nampak pula Chairul Umam dan H Rhoma Irama mewakili kalangan seniman.

Pidato pertama disampaikan oleh KH Cholil Ridwan Ketua BKsPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia). Dalam pidato pembukanya, Cholil menyebut adanya pihak-pihak tertentu yang ingin mengacaukan bangsa Indonesia. Ia memperingatkan, mengacau bangsa Indonesia berarti mengganggu umat Islam yang merupakan mayoritasnya. “Kami peringatkan kepada mereka itu, jangan coba-coba mengganggu umat Islam,” ujar Cholil Ridwan yang malam itu mendatangkan ratusan wakil-wakil dari pondok pesantren yang dibawahinya. BKsPPI mengkoordinasi tidak kurang 1400 pondok pesantren se-Indonesia.

Cholil juga menyatakan rasa gembiranya pasukan elit Kopassus ini menerima ulama dan umat Islam dengan dada yang terbuka. “Ini adalah upaya dari para ulama-ulama untuk masuk dalam barak-barak militer,” tegas Cholil. Hal ini menurut Kholil adalah sebagai tindak lanjut dari pernyataan Jenderal (TNI) R Hartono dalam pertemuan BKSPP di Bogor tahun 1996. Hartono waktu itu menyatakan bahwa selain ABRI masuk pesantren-pesantren, maka ia mengharapkan pula para ulama segera masuk ke markas-markas ABRI. Pernyataan Cholil ini, disambut para hadirin dengan pekikan Allahu Akbar dan tepuk tangan.

Cholil Ridwan, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Husnayain di Pekayon, Jaktim, juga mengharapkan agar Kopassus dapat melatih para santri-santri untuk berjuang bersama-sama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di Indonesia.

“Jika memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir,” kata Cholil mengutip Alquran surat Al-Baqarah 191. Para hadirin yang kebanyakan para aktivis Islam memahami makna ayat ini ayat yang terkait erat dengan kondisi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini yang dimainkan oleh sekelompok pengusaha tertentu (non pribumi).

Setelah Cholil, ceramah dilanjutkan dengan sambutan dari tuan rumah Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto. Dalam pidatonya Prabowo menekankan adanya persatuan rakyat (umat Islam mayoritas 90 persen di Indonesia) dan ABRI untuk berjuang bersama-sama membangun negeri ini.

Pekikan Allahu Akbar dan tepuk tangan para hadirin pun menggema berulang-ulang ketika Mayjen Prabowo berpidato. Prabowo menyatakan siap menerima pengaduan dan laporan dari para ulama dan hadirin yang datang malam itu. “Saya berikan nomor telepon kantor saya, saya instruksikan kepada pasukan saya untuk membuka pintu, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, 31 hari sebulan, untuk menerima kedatangan bapak-bapak semua, ”tegas Prabowo.

Sambutan kemudian dilanjutkan oleh Ketua Pelaksana Harian KISDI HA Sumargono SE. Dalam pidato singkatnya Sumargono menyebut pertemuan Kopas-sus dengan tokoh-tokoh Islam itu sebagai kemajuan besar. “Dulu selama duapuluh tahun, tempat ini menjadi tempat yang paling angker bagi rakyat. Saya sendiri waktu itu ngeri lewat sini,” ujarnya disambut tawa hadirin.

Sumargono berharap wujud kemanunggalan ABRI Rakyat ini bisa diteladani oleh kesatuan-kesatuan ABRI yang lain. Sehingga keduanya tidak mudah diadudomba dan salah paham.

Sumargono menjelaskan bahwa kini kelompok-kelompok yang tersingkir dalam kekuasaan itu ingin menguasai panggung politik Indonesia ini kembali. Siapa kelompok itu? “Mereka adalah Benny Moerdani dan CSIS, ”ungkap Sumargono.

Seperti diketahui CSIS adalah organisasi yang di tahun 70 dan 80-an sangat berperan dalam menata kehidupan politik di Indonesia. Organisasi ini secara formal didirikan pada 1 September 1971, dengan disupport kuat oleh Ali Murtopo.

Menurut Dr George Aditjondro dalam tulisannya yang disebarkan lewat internet, CSIS ini mempunyai kebijakan anti Islam dan merupakan gerakan radikal. “Saya tahu bagaimana permainan Moerdani bersama orang-orang CSIS dalam mengeruk uang Timor Timur, setelah sebelumnya membantai secara kejam banyak penduduk bekas jajahan Portugis tersebut. Dengan uang yang terus mengalir (monopoli kopi yang dikelola oleh Robby Ketek dari Solo) itulah, mereka antara lain, bisa membiayai operasi-operasi politik Moerdani bersama CSIS,” tulis Aditjondro.

Kini CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dipimpin oleh bekas Menteri Pendidikan Daoed Joesoef (Presiden Direktur), Wakil Presdir dipegang oleh Harry Tjan Silalahi, Direktur Pelaksananya Hadi Soesastro (kini diganti Dr Marie Pangestu). Duduk di Dewan Komisaris (Supervisory Board) adalah Jusuf Wanandi, Soedjati Djiwandono dan Sofjan Wanandi alias Liem Bian Koen.

Sekretariat CSIS yang berada di Jl. Tanah Abang II, tiap hari selalu ramai dikunjungi generasi muda. Kebanyakan mereka adalah peneliti atau mahasiswa. Koran-koran, majalah-majalah, jurnal dan buku-buku berbahasa Indonesia atau asing cukup lengkap tersedia di sana. Jurnal Timur Tengah, Jurnal Palestina, Hasil Sensus terbaru dapat kita temukan di sana. Yang paling rapi dan banyak di-minati pengunjung adalah kliping-kliping korannya. Pengunjung pun kalau ingin pelayanan cepat, dapat memfotokopi sendiri, dokumen-dokumen, buku/jurnal yang diinginkan (beberapa mesin fotokopi tersedia khusus), tentu dengan biaya ganti fotokopi.

CSIS sendiri juga menerbitkan beberapa publikasi diantaranya: analisa CSIS, jurnal dua bulanan berbahasa Indonesia, The Indonesian Quarterly, dan Nawala CSIS, serta buletin bulanan CSIS. Selain itu juga menerbitkan dokumentasi kliping dengan topik-topik tertentu dan buku-buku. Kegiatan ilmiah ini mungkin hanyalah bungkus dari kegiatan CSIS yang utama.

Ini paling tidak terlihat dari fasilitas kamar yang disediakan untuk Benny Moerdani, Menurut Aditjondro, “Moerdani adalah seorang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang dengan tenang berkantor di CSIS (menggunakan kantor bekas Ali Murtopo).

Menurut Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin dalam keterangannya kepada pers di sela-sela acara Cijantung itu, Sofjan Wanandi salah seorang pimpinan teras CSIS akan dimintai keterangan sehubungan dengan kasus peledakan bom di rumah susun Johar, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Sementara Sofjan belum diperiksa, ia telah terburu ke luar negeri. Sumber yang dihubungi Media Dakwah (26/1) mengatakan bahwa Sofjan telah pergi ke Singapura dengan Benny Moerdani.

Data-data yang dihimpun Media Dakwah mengungkapkan bahwa Sofjan Wanandi alias Liem Bian Koen diduga mempunyai kaitan dengan gerakan PRD dan peledakan bom di Tanah Tinggi tersebut. Seperti dokumen yang berbentuk email yang ditemukan aparat keamanan di rumah korban peledakan itu. Dokumen yang dikirim oleh seorang yang berinisial Dewa itu antara lain berbunyi :

“Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Yusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.”

Tentang isi email ini, Hendardi kepada majalah Gatra edisi 31 Januari 1998 menolak keterkaitannya dengan masalah dokumen yang ditemukan di rumah gerombolan PRD. Sofjan tentu saja juga menolak keterkaitan dirinya dengan PRD sebagaimana yang disebut dalam email itu.

Nama Sofjan dan Yusuf Wanandi bukan hanya disebutkan dalam email, tapi juga dalam dokumen yang disita petugas keamanan tentang pertemuan orang-orang yang mengaku sebagai “kelompok pro demokrasi”. Pertemuan itu berlangsung malam hari di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 lalu.

Pertemuan itu, seperti tersebut dalam dokumen tadi, dihadiri oleh 19 aktivis, mewakili 9 organisasi yang mengklaim dirinya sebagai kelompok pro demokrasi. Menurut mereka situasi politik dan ekonomi Indonesia saat ini tak karuan. Untuk menanggulanginya adalah dengan revolusi. Untuk melakukan revolusi, kata mereka, diperlukan visi dan strategi antara senior dan yunior dalam merencanakan sebuah aktivitas. Generasi yunior adalah para pemuda yang intensif mengikuti pertemuan-pertemuan seperti di Leuwiliang itu. Sedangkan generasi senior terbagi dalam empat kekuatan:

Pertama, kekuatan ilmiah dan strategi yang diwakili sebuah lembaga terkenal (CSIS, red) di Jakarta. Kekuatan ini bertu-gas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.

Kedua, kekuatan militer yang diwakili oleh seorang purnawirawan ABRI yang dulu pernah amat berkuasa (Benny Moerdani red).

Ketiga, kekuatan massa yang pro Megawati Soekarnoputri.

Keempat, kekuatan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.

Ketika wartawan Gatra mengonfirmasikan semua isi dokumen ini ke Yusuf dan Sofjan, tentu saja mereka menolaknya. Tapi sumber terpercaya di Media Dakwah mengungkapkan bahwa dokumen ini sah dan bahkan dalam hari-hari terakhir ini, orang-orang grup CSIS melakukan pertemuan rutin di dalam negeri dan luar negeri seperti Vancouver, New York dan Perth, Australia. Kelompok CSIS dan ‘konco-konco’nya juga mencanangkan bulan Pebruari ini sebagai bulan berdarah!

Mungkin kelompok ini yang dimaksudkan Dr Amien Rais sebagai kelompok yang telah bermain ugal-ugalan dalam krisis di Indonesia akhir-akhir ini. “Inilah salah satu pelajaran yang harus kita petik, bahwa mereka itu ibarat makhluk Franskenstein yang setelah dibesarkan, kemudian mau menolong orang yang telah menolong dan memberikan fasilitas tanpa batas kepada mereka itu,” tegas Amien.

Menurut Amien, permainan politik kasar yang dimainkan sementara pihak di dalam maupun di luar negeri itu bermaksud menjatuhkan pemerintah. Bahkan kata sejawat Amien, Dr Afan Gaffar, “Saya menduga konspirasi beberapa kelompok itu hendak menjatuhkan Presiden Soeharto sebelum SU MPR 98.”

Setelah gagal melalui jalur politik, bidang ekonomi memang menjadi sasaran empuk untuk menggoyang pemerintah Orde Baru. Apa boleh buat, sistem perekonomian yang di setup oleh Mafia Berkeley (Trio RMS =Radius Prawiro, Adrianus Moy, JB Sumarlin) ini ternyata tak mampu membangun basis yang kokoh. Kebijakan pembangunan trickle down effect misalnya, ternyata mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang luar biasa lebar antara segelintir konglomerat dengan ratusan juta rakyat Indonesia yang lain.

Dibesarkan oleh pemerintah selama Repelita I (25 tahun). Para konglomerat yang kebanyakan non pribumi itu tumbuh meraksasa hingga menguasai sekitar 70% madu pembangunan. Di tangan merekalah nadi-nadi perekonomian bangsa ini berdenyut. “Kekuatan ekonomi itu merupakan segala-galanya sekarang ini, ”kata Amien Rais menggambarkan kekuatan yang mereka miliki.

Dalam keadaan krisis moneter, mereka yang juga perajin utang luar negeri itu ternyata justru menimbun kekayaan dollar di luar negeri senilai trilyunan rupiah (sekitar 80 milyar dolar). Sebelumnya, konglomerat Liem Sioe Liong sepertinya sudah membaca keadaan ketika ia memutuskan memindahkan mesin udang -PT Indofood Sukses Makmur- ke Singapura. Meskipun Mensesneg Moerdiono menyebutnya sebagai bentuk “nasionalisme baru’, banyak pengamat ekonomi yang menyebut langkah itu sebagai pe-larian modal (capital flight).

Krisis moneter yang dimainkan oleh sekelompok orang itu, mengambil alasan karena tidak ditunjuknya secara jelas nama Cawapres. Sejatinya mereka menginginkan calon-calon dari mereka dapat terealisir sehingga keinginan dan nafsu mereka terpenuhi.

Keterlibatan kelompok-kelompok tertentu di negeri ini dalam situasi moneter yang buruk akhir-akhir ini juga ditengarai oleh H Hussein Umar Sekum DDII- dalam ceramahnya yang disambut pekikan Allahu Akbar dan applaus tepuk tangan para peserta dan prajurit. “Perjuangan umat Islam sejak Diponegoro, Cik Ditiro, Pangeran Antasari, Tuanku Imam Bonjol dan tokoh-tokoh lain telah membuktikan bahwa umat Islam sangat mencintai negeri Indonesia ini. Umat Islam Indonesia tidak rela negeri ini dijajah oleh orang-orang luar atau orang luar (asing) yang punya kaki tangan di Indonesia, ”tegas Hussein dengan suara yang menggelegar.

Sambutan terakhir disampaikan oleh Ketua MUI KH Hasan Basri. Ketua MUI menyatakan bahwa haram hukumnya menimbun dolar dan bahan kebutuhan pokok, karena sangat merugikan masyarakat, dalam hal ini notabene umat Islam. Ia juga mensyukuri kemesraan ABRI rakyat yang tercermin dalam acara silaturrahim Cijantung ini, Itu, katanya, tak lepas dari sosok Prabowo. “Prabowo adalah tokoh masa kini dan tokoh masa depan,” ujar Hasan Basri, disambut tepuk tangan hadirin. Hasan Basri juga mewanti-wanti agar umat Islam dapat menjaga Prabowo.
****** akhir kutipan *******

Jadi jelaslah kubu perjuangan reformasi dengan mengatasnamakan hak asasi manusia dengan semangat kebebasan (liberalisme) berada pada kubu seperti Benny Moerdani, Sofyan Wanandi dan lain lain

Sebagaimana arsip berita pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/06/10/tanyalah-atasan-saya/ dalam catatan Rachmawati Soekarnoputri yang dimuat di harian rakyat merdeka Rabu 31 Juli dan Kamis l Agustus 2002 , beliau bertanya kepada Megawati, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani

***** awal kutipan *****
Bagi saya , kisah Mega dan Orde Baru bukan hal baru.Begitu juga soal hubungan antara Mega dengan bekas Pangab L.B. Moerdani dan faksi faksi yang bertikai ditubuh TNI, pun bukan hal baru.

Makanya, waktu mendengar bekas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan membongkar informasi yang diberikan Benny Moerdani kepada Mega sebelum terjadi tragedi 27 juli 1996 terjadi, saya cuma manggut manggut.Saya sudah memperkirakan itu yang akan terjadi.Mega cuma jadi alat dari pertikaian di tubuh TNI, khususnya Angkatan Darat.

Benny Moerdani mulai mendekati keluarga Bung Karno awal 1980-an. Suatu ketika, pertengahan 1980-an, dalam sebuah acara keluarga Bung Karno di Bandung , Benny Moerdani datang. Katanya dia mau mengenal lebih jauh dan berteman dengan anak anak Bung Karno.Kami persilahkan saja. Tapi saat itu saya sudah waspada. Pasti ada apa apanya nanti.

Waktu itu Benny Moerdani mulai pecah kongsi dengan Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.

Dalam acara keluarga itu, saya sempat ngomong ngomong dengan dia.Kelihatamnya Benny Moerdani memang sedang sakit hati dengan Soeharto. Dia dicopot dari posisi Pangab dan tidak dipakai Soeharto lagi. Ibarat wayang, oleh sang dalang Benny Moerdani dimasukin kotak.

Ia mengakui, dirinya menyimpan obsesi untuk menjadi orang kedua di republik ini. Tapi dia kecewa ambisi itu bagai menggantang asap. Menurutnya dia tidak mungkin tampil sebagai wakil presiden. Sebab dia beragama non muslim.Dan memang walau pun Benny Moerdani menggosok gosok namanya, tahun 1988 Soeharto memilih Soedharmono yang dikenal sebagai arsitek sekretariat negara dan orang top di Golkar, menjadi wakil presiden.

Saya sampai dipanggil ketek sama Soeharto. Waktu mau dicopot pun, saya tidak diberi tahu sebelumnya. Saya diberi tahu akan dicopot dari posisi Pangab cuma satu hari sebelumnya, begitu dia mengeluh.

Dulu, akhir 1970-an, kami, anak anak Bung Karno membuat kesepakatan bersama. Dikenal dengan konsensus keluarga Bung Karno. Isinya, kami tidak akan terjun ke dunia politik. Kami tidak mau anak dan keturunan Bung Karno dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk kepentingan mereka Kami tidak mau dijebak

Tapi sejak bergaul dengan Benny Moerdani, Mega mulai terlihat hendak keluar dari consensus keluarga. Dan akhirnya Mega memang keluar. Dia bergabung dengan PDI. Memang tidak tiba tiba . Sebelumnya Mega, juga suaminya Taufik Kiemas, aktrif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).

Nah, Mas Guntur sebagai anak tertua, yang tadinya saya harap bisa mencegah langkah Mega itu, ternyata memilih untuk diam saja. Bahkan cenderung untuk mendukung. Saat itu saya mulai was-was. Langkah Mega mendekati faksi Moerdani dalam tubuh Orde Baru akan merugikan, tidak cuma keluarga Bung Karno , tapi juga seluruh Bangsa ini. Saat itu saya membaca, mereka tengah mempersiapkan tampilnya seorang anak Bung Karno untuk memenangkan ambisi politik mereka.

Dijadikan alat LB Moerdani, kok bangga

Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, Bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan, untuk apa jadi pemimpin boneka.

Orang orang PDI yang dekat dengan Benny Murdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho, pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.

Tapi Mega tidak begitu, tidak seperti saya. Dia menuruti permintaan itu dan dan senang pula. Ajakan itu diartikannya sebagai dukungan dan kepercayaan dari orang banyak, kaum Marhaen, kepada dirinya untuk memimpin PDI. Padahal motivasi di balik ajakan ajakan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspirasi kaum Marhaen.

Nah, pintu yang dipakai kelompok ini untuk mendekati Mega adalah Taufik Kiemas, suaminya. Taufik memang dekat dengan kelompok itu. Hari ini pun, desas desus soal kedekatan Taufik Kiemas dengan kelompok Benny Murdani beredar luas.

Di awal 1990-an , Mega semakin larut kejebak dalam skenario pembusukan itu. Tahun 1993, dalam kongres luar biasa (KLB) PDI, di Surabaya, dia mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum PDI.

Beberapa saat kemudian , dalam Munas PDI di Jakarta, deklarasi itu dikukuhkan. Benny Moerdani mengerakahkan orang orangnya untuk memback up Mega dalam suksesi di tubuh PDI itu. Beberapa orang yang terlibat mengamankan Mega dalam fase itu sekarrang ini mendapat posisi enak di kabinet.

Di tahun 1993 pula saya sebelum KLB Surabaya , saya sempat bertemu dengan Mega. Saksi pertemuan itu Panda Nababan. Saya tanya Mega, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani. Tapi dia tidak menjawab sepatah katapun pertanyaan itu.

Saya katakan lagi kepadanya, untuk melawan Orde Baru kita harus melihat lihat siapa kawan yang bisa digandeng. Dan orang macam Benny Moerdani tidak bisa dijadikan kawan abadi, Suatu saat mereka akan balik menyerang. Jangan mau terjebak dalam pertarungan antara Benny Moerdani dan Soeharto. Saya tanya lagi Mega, mengapa kamu mau menari di atas gendang orang orang lain. Mengapa kamu mau diperalat.

Tiga jam saya bicara dengan Mega. Tapi tak satu patahpun dia menjawab pertanyaan saya. Saya kira dia sudah tidak peduli lagi dengan nasehat nasehat saya. Terakhir ya itu, saya dengar dia sudah mengantongi dukungan Benny Moerdani untuk memimpin PDI.

Anggota keluarga Bung Karno lainnya tetap bungkam ketika Mega jadi ketua umum PDI. Mereka tidak membaca situasi yang berkembang saat itu seperti saya. Mas Guntur juga diam. Alasannya semua anak Bung Karno sudah dewasa.

Tapi apakah menggadaikan dan menggunakan nama Bung Karno untuk kepentingan politik sesaat adalah sikap dewasa?

Saya yakin , Mega pun tidak akan menjawab pertanyaan itu.
***** akhir kutipan *****

Sebagaimana yang diberitakan pada http://news.detik.com/read/2006/10/04/130218/688872/10/ Mayjen (Purn) Kivlan Zein menjelaskan bahwa peristiwa jatuhnya Soeharto dan naiknya Habibie menjadi presiden, sebenarnya merupakan pertarungan antara kanan dan kiri.

“Yang kiri itu Kristen, yang kanan itu Islam. Ada yang mengatakan kiri itu nasionalis, yaitu kubu Benny Moerdani dan Pak Harto,” ujar Kivlan

“Para perwira muda ini berharap janganlah Orde Baru ini anti Islam, paling tidak netral. Maka berkumpullah para perwira yang eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Prabowo, walaupun dia sempat ikut KAPPI, ya ikut saya. Kemudian Adityawarman, kemudian Sjafrie Sjamsoeddin. Ini kita yang perwira mudalah, kita yang Akabri 70 ke atas. Kemudian ada Muchdi PR dan Syamsul Maarif. Semua perwira-wira muda itu,” jelas dia.

Berikut kutipan selanjutnya

***** awal kutipan *****
Beberapa saat kemudian di tahun 1984, Kivlan bertemu Prabowo di Malang. “Prabowo yang sakit hati dikeluarkan dari Den 81, ketemulah sama kita, saya, Sjafrie Sjamsoeddin, Ismet Huzairi, dan banyak yang lain, sampai terbentuklah grup 7 untuk melawan Benny Moerdani,” terang dia.

Gerakan penolakan terhadap gerakan Benny ini terus berjalan hingga pada tahun 1988. Bagaimana cara menyaingi grup Benny?

“Kita naikkanlah Pak Wiranto yang saat itu Asisten Operasi Timor Timur dan batalyon yang dipimpin Prabowo, serta Ismet Huzairi. Terus bagaimana caranya Prabowo bisa sukses? Kita kasih perlengkapan tempur, helikopter yang bagus, peralatan yang lengkap.

Pak Wiranto diusulkan sama Prabowo disusupkan sebagai ajudan Pak Harto. Okelah, kata saya. Jadilah dia (Wiranto) sebagai ajudan Soeharto,” kata dia.

Namun, Kivlan dan Prabowo cs kok melihat Wiranto semakin lama semakin dekat dengan Benny. Akhirnya, pihaknya mencari jenderal baru yang bisa mengimbangi Benny Moerdani. Dapatlah nama ZA Maulani, yang rencananya akan diusahakan sebagai KSAD terlebih dulu. Tapi, ZA Maulani tidak berani. “Lantas, kita carilah yang lain, ketemu nama Feisal Tanjung. Saya diminta Prabowo menemui Feisal Tanjung untuk menyampaikan pesannya. Saat itu, Feisal masih di Timor Timur. Setelah pesan Prabowo saya sampaikan, Feisal terkejut: masak letkol dan mayor menawarkan saya (jabatan panglima). Feisal yang saat itu Dan Seskoad yang telah dimasukkan kotak oleh grup Benny Moerdani, kita angkat,” terang Kivlan.

Pada bulan Januari 1989, Kivlan dkk berencana mempertemukan Feisal Tanjung dengan Habibie.

“7 Perwira naik pesawat terbang dari Halim sekitar 28 Januari 1989 untuk ketemu Habibie. Sunarto (angkatan 68), saya, Ismet Huzairi, Prabowo, Sjafrie Sjamsoeddin, Ampi Nur Kamal, Suaedy Marasabesy. 7 Perwira itu terbang ke IPTN Bandung malam-malam,” ujar dia.

Habibie yang saat itu masih menjabat sebagai Menristek menerima mereka. “Kita sampaikan kepada Pak Habibie bahwa Pak Harto ingin ada yang bisa mengimbangi Benny, dan Feisal Tanjung yang kita majukan. Kita mengatakan hal itu agar Feisal diangkat,” kata dia. Setelah itu, Kivlan dkk mempertemukan Habibie dan Feisal Tanjung dalam acara Seskoad tahun 1989. Tapi, setelah pertemuan itu hingga tahun 1992, tidak ada kabar dari Habibie kalau Feisal Tanjung punya peluang untuk diangkat sebagai Panglima TNI.

Akhirnya, Feisal Tanjung pun menanyakan hal itu kepada Habibie. “Nah, pada tahun 1991, muncullah peristiwa Dili. Kejadian ini merupakan kesempatan kita untuk mengajukan Feisal Tanjung sebagai Ketua Dewan Kehormatan (untuk memeriksa pelanggaran TNI itu). Bertemulah dengan Pak Harto. Di situ, Prabowo meminta agar Feisal ditunjuk sebagai ketua DK. Nah di DK itulah, dicopotlah Sintong Panjaitan sebagai Pangdam. Sakit hatinya Sintong Panjaitan,” ujar dia. Hingga 3 Juni 1992, tidak ada kabar bahwa Feisal Tanjung bisa naik menjadi panglima.

Tanggal 5 Juni 1992, kubu Kivlan menghadap Pak Harto saat acara peresmian Stasiun Gambir. “Saya dihubungi Pak Azwar Anas, disetujui bahwa Feisal Tanjung akan naik. Jam 09.00 dia dilantik menjadi letjen, dilantiklah dia jadi bintang 3. Kemudian, tanggal 11 Juni 1992, ketemulah dengan Habibie, naiklah dia jadi Kasum ABRI,” ujar dia.

Upaya untuk menaikkan Feisal Tanjung terus dilakukan. Saat Sidang Umum MPR tahun 1993, Feisal belum juga dilantik menjadi panglima. Saat itu, jabatan Panglima ABRI masih dirangkap oleh Jenderal Edi Sudradjat yang menjabat sebagai KSAD dan Menhankam. “Tapi, itulah pintarnya Pak Harto. Tanggal 15 Juni, diangkatlah Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI, dan jabatan KSAD diberikan kepada Wismoyo Arismunandar,” jelas dia. Setelah itu hubungan Feisal Tanjung dengan Habibie semakin dekat. Januari 1998, terjadilah pertemuan tokoh-tokoh masyarakat dengan Kopassus untuk menaikkan Habibie sebagai wakil presiden.

“Reaksi dari Singapura ribut, perwira yang tak senang yang berada di grup Benny juga ribut,” tutur dia. Dan akhirnya, tanggal 2 Maret 1998, dengan dukungan Fraksi ABRI dan Panglima ABRI, Habibie diangkat sebagai wakil presiden.

“Saya sampaikan di kantor Habibie tanggal 2 Maret 1998. Saya yang menjadi penghubung. Itulah kejadiannya mengapa dia menjadi wakil presiden. Dia menjadi wakil presiden, karena dirancang oleh perwira-perwira muda ini,” jelas mayjen purnawirawan mantan Kepala Staf Kostrad ini.

Dengan fakta ini, Kivlan mempertanyakan mengapa Habibie malah melupakan para perwira muda ini. “Kalau mau dicopot, copotlah. Jangan dibilang kudeta. Jadi, memang Habibie ini naiknya oleh perwira muda.

Pengangkatan Feisal Tanjung kita rancana untuk menghadang Benny, karena Benny sejak 1988 ingin jadi wapres, tapi terus kita gagalkan,” tegas dia.

Tentang Gerakan Benny Kivlan menceritakan bahwa pada tahun 1988, ada kabar Benny Moerdani ingin jadi presiden. Isu panas ini dibahas oleh Kivlan dan Prabowo cs di Restoran Rindu Alam, 12 Februari 1988. “Saya bilang, Wo (Prabowo-Red), kamu hadap Pak Harto, (minta) copot Benny jadi Pangab sebelum SU MPR tanggal 1 November 1988,” kata Kivlan kepada Prabowo saat itu.

“Wah bahaya, nanti dia kudeta,” ujar Prabowo. “Kalau dia kudeta, kita balas dengan kudeta. Saya pegang satu batalyon, si Ismet satu batalyon, Sjafrie satu batalyon, kau satu batalyon. Kalau dia kudeta, kita kontrakudeta. Kita rebut semua ini,” kata Kivlan saat itu.

Tidak berapa lama kemudian, terbuktilah semua ini. Isu keinginan Benny menjadi presiden didengar Soeharto. “Setelah pulang dari Yugoslavia, Pak Harto bilang biar menteri, biar jenderal, kalau dia inkonstitusional akan saya gebuk. Itu laporan saya, karena dia (Benny) mau melakukan kudeta. Tahun 1989, Benny pun diberhentikan,” ungkap dia. Kasus Benny ini, kata Kivlan, berlanjut saat Habibie naik menjadi wakil presiden.

“Habibie naik jadi wakil presiden, maka tidak senanglah Singapura. Dirancanglah bagaimana supaya Soeharto jatuh, Habibie ikut jatuh. Koalisi Nasional pimpinan Barnas, di belakangnya Benny Moerdani, di depan ada Ratna Sarumpaet. Itulah duduk soalnya mengapa terjadi kerusuhan,” kata dia.
***** akhir kutipan ******

Kivlan Zein di atas menyatakan bahwa “Singapura Link” yang merancang kejatuhan Suharto salah satunya karena ketidak-senangan terhadap Habibi menjadi wakil presiden dari kalangan cendekiawan Islam

“Singapura Link” yang merancang kejatuhan Suharto menjawab sebuah analisa yang mengatakan bahwa kejatuhan Suharto (semula “a good boy” Amerika) karena adanya kemungkinan jika kekuasaan Suharto “diperpanjang” maka akan terjadi kebangkitan Islam di Indonesia. Untuk itu Rakyat Indonesia harus “diusik” dengan sesuatu.

Amerika mulai “terusik” oleh kelakuan Suharto, diawali pada tahun 1992, gerakan Non Blok putuskan untuk mengirim utusan Palestina ke negara-negara Arab adalah untuk langsung terlibat dalam negosiasi-negosiasi yang mendukung usaha Palestina memperoleh haknya kembali yang mana keputusan yang diambil oleh Ketua GNB – Presiden Soeharto mendapat dukungan dari Menlu Palestina Farouk Kaddoomi seusai sidang Komite Palestina GNB di Bali yang dalam hal ini menurutnya keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan Non Blok kepada rakyat Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan berusaha membuat warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite Palestina GNB terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia, Zimbabwe, Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh Indonesia.

Para Futurolog memprediksikan pada abad ke-21 Islam akan bangkit mendunia yang diawali dari timur (Indonesia/Malaysia).

Oleh karena Soeharto (selaku kepala negara mayoritas muslim terbesar di dunia) merangkul Islam maka sesegera mungkin sebelum memasuki abad ke-21 rezim Orba harus diturunkan.

Langkah pertama yang diambil adalah menciptakan krisis moneter, lalu krisis ekonomi, lalu merembet pada krisis kepercayaan, lalu menggelombang menjadi krisis politik nasional yang mendesak untuk dilakukannya penjatuhan rezim dan reformasi total. Fakta krisis ini disetting dalam konteks kawasan, bukan semata Indonesia, sehingga tampak gelombang krisis ini bukan karena skenario tapi gelombang internasional yang bersifat natural.

Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar “Soeharto jatuh karena krisis ekonomi”. Mereka berpendapat “Soeharto jatuh karena IMF?”

Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.

Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.

Dalam wawancara “perpisahan” sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

“Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun,” ujarnya. Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat “bantuan” IMF. Sumber: http://www.antara.co.id/print/1210836368

“Singapura Link” tampaknya berkeinginan NKRI dipimpin oleh orang yang “baik” seperti SBY atau Jokowi namun kurang “kuat” untuk mewujudkan angan-angan kemakmuran rakyat Indonesia. Sehingga “Singapura link” menjadikan NKRI sebagai pasar dan investasi bagi kemakmuran mereka

Sebagaimana contoh berita pada http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/21/pengamat-kondisi-politik-penyebab-melemahnya-rupiah bahwa analisa pengamat pasar uang terhadap pelemahan rupiah terhadap dollar AS sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memerah karenanya adanya kondisi politik yang membuat keraguan para investor. Investor condong kepada Jokowi daripada ke Prabowo.

Mengapa partai-partai politik berbasis ormas Islam sekarang dapat bersatu padu mendukung visi misi dan program kerja pasangan Prabowo Hatta?

Padahal Jokowi sudah dicitrakan sebagai orang yang baik, sederhana bahkan dikenal sangat nurut, patuh dan taat kepada Megawati.

Begitupula sebelumnya bersatunya partai-partai berbasis ormas Islam dinafikan oleh beberapa pihak termasuk Muhaimin dari PKB sebagaimana diberitakan pada http://pemilu.metrotvnews.com/read/2014/04/17/232019/8203-muhaimin-koalisi-partai-islam-sulit-direalisasikan

Jawabannya tentulah adanya kepentingan yang sama yang mempersatukan mereka yang disimpulkan dalam gerakan yang diberi nama “selamatkan Indonesia” sebagaimana yang mereka uraikan pada http://selamatkanindonesia.com/

Oleh karena sistem pemilihan langsung maka misi “selamatkan Indonesia” harus dapat tersosialisaikan kepada seluruh rakyat pemilih dalam waktu relatif singkat sehingga dapat merebut hati dan meyakinkan rakyat pemilih.

“Rakyat harus dibimbing dan didampingi untuk benar-benar bisa memilih dengan rasional. Jangan sampai angan yang begitu besar saat SBY muncul akan terulang kepada Jokowi, itu yang harus disadari rakyat Indonesia” ujar pengamat Politik dari LIPI, Siti Zuhro pada http://poskotanews.com/2014/03/18/rakyat-indonesia-terjebak-pencitraan-jokowi/

Kalau upaya sosialisasi “selamatkan Indonesia” gagal maka akan terpilih “petugas partai” memimpin negeri dengan membawa aspirasi dan kepentingan partai

Wassalam

 

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Note: Tulisan dalam bentuk pdf file jika ingin menyebarluaskan dapat diunduh (download) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/06/waspada-aktivis-liberal.pdf

Read Full Post »

Older Posts »