Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Asma’ was Shifaat’

Akibat pembagian tauhid jadi tiga

 

Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili mengatakan

Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.

(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.

Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.

Dasar pembagian tauhid inilah yang menjadi dasar pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dalam memahami tauhid. Hal ini dapat kita ketahui dari tulisan, Qawaidul Arba’ yang disyarahkan oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf

Pada halaman 23 terjemahan Syarah Qawaidul Arba’ tertulis, “Ketahuilah bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah -shallallahu‟alaihi wa sallam- –mereka itu mengakui tauhid rububiyyah, sementara pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyyah tidak dapat memasukkan mereka ke dalam Islam, sehingga tidak haram harta-harta serta darah mereka

Berdasarkan prasangka buruk  ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun para pengikutnya terhadap kaum muslim pada umumnya bahwa mereka baru bertauhid Rububiyah dan tidak memenuhi tauhid uluhiyah serta mereka memahami firman Allah -: وَقَاتِلُوهُمْ   “Dan perangilah mereka”  (QS Al Baqarah [2]:193)  secara dzahir sehingga mereka dapat membunuh kaum muslim.

Sama halnya ekstrimisme atau radikalisme para pelaku teroris, bom bunuh diri, dikarenakan mereka memaknai Al Qur’an dan Hadits secara dzahir seperti

Firman Allah ta’ala yang artinya

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS Al Anfaal [8]:15)

Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah”  (QS Al Baqarah [2]:191)

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)

Mereka tidak memperhatikan asbabun nuzul maupun kaitannya dengan ayat-ayat lain dan hadits-hadits terkait yang menjelaskannya.

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dan Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari Al A’masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang keluar dari agamanya dan meninggalkan jama’ah”  (HR Muslim 3175)

Kita harus pahami penegasan bahwa murtad yang ”meninggalkan jamaah” atau mereka yang berbalik menjadi lawan kaum muslim. Pada zaman Rasulullah, ketika peperangan kaum muslim menghadapi kaum kafir, ketika seseorang keluar dari agama Islam, umumnya langsung bergabung dengan kaum kafir dan memerangi kaum muslim. Sedangkan orang yang murtad pada keadaan tidak memerangi kita, hanya status jiwanya saja yang berubah dari ”haram darahnya” menjadi ”halal darahnya”.

Status “halal darahnya”  kaum non muslim atau orang-orang murtad, maknanya adalah ketika terpaksa membunuh mereka atau tidak ada jalan lain selain membunuh mereka atau adanya kemungkinan bahaya terbunuh bagi diri kita maka pembunuhan itu tidaklah berdosa.

Pada dasarnya setiap manusia tidak boleh dibunuh kecuali dengan alasan-alasan syar’i sebagaimana firmanNya yang artinya “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)“ (QS Al An’aam [6]:151)

Demikianlah bahayanya pemahaman Al Qur’an dan Hadits secara dzahir atau pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja”

Apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun para pengikutnya bahwa kaum muslim pada umumnya menyembah para Nabi, para Wali Allah, para Syuhada, para Malaikat dan orang-orang shaleh adalah ketidak pahaman mereka dengan apa yang dimaksud dengan bertawassul.

Bahkan mereka memberikan julukan kepada kaum muslim yang melakukan ziarah kubur dan bertawassul dengan julukan kuburiyyun (penyembah kubur),  lihat terjemahan Syarah Qawaidul Arba’ halaman 28.

Hal ini mengingatkan kita kepada kisah suku Aus dan Khajraj. Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling menyayangi.

Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani Bu’ats.  Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada nabi shallallahu alaihi wa salam. Kemudian beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda: “Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan Ali Imron ayat 103 yang artinya, ‘Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk

Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.

 

Wassalam

 

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

 

Read Full Post »

« Newer Posts