Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘perwujudan demokrasu Pancasila’


Pengertian OPOSISI bukan berarti SELALU BERBEDA

Namun BERBEDALAH atau INGKARILAH jika kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])

Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan penguasa negeri (umaro).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Begitupula Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan muncul para penguasa negeri (Umaro) berdusta dan berbuat zalim (tidak adil) dan barangsiapa tidak mengingkari dan bahkan membenarkan kedustaaan mereka dan mendukung kezaliman (ketidak adilan) mereka maka mereka tidak akan mendatangi telaga Rasulullah.

Nubuat berasal dari bahasa Arab, “Nurbuwwah” yang berarti “cahaya kenabian”.

Pengertian nubuat adalah pesan dari Allah Ta’ala yakni pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa akan datang maupun lampau yang diwahyukan kepada para Nabi atau diilhamkan (diajarkan) Allah Ta’ala kepada para kekasih (wali Allah).

Berikut riwayat selengkapnya

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ يُونُسَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ أَوْ عَنْ غَيْرِهِ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا سَتَكُونُ أُمَرَاءُ يَكْذِبُونَ وَيَظْلِمُونَ فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنَّا وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

Telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Yunus dari Humaid bin Hilal atau dari yang lainnya, dari Rib’i bin Hirasy dari Hudzaifah bin Al Yaman dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan muncul pemimpin-pemimpin (penguasa) berdusta dan berbuat zalim, barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka dia tidak termasuk golongan kami dan aku tidak termasuk golongan mereka serta tidak akan mendatangi telagaku, dan barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta akan mendatangi telagaku.” (Musnad Ahmad 22174, Sunan Tirmidzi 558 dan An-Nasa’i)

Haditsnya bisa dibaca secara daring (online) pada http://hadits.in/ahmad/22174

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata zalim adalah tidak adil dan arti kata kezaliman adalah ketidakadilan sebagaimana yang dapat dibaca secara daring (online) pada https://kbbi.web.id/zalim

Pengertian ZALIM (Arab: ظلم, Dzholim) adalah meletakkan sesuatu (perkara) bukan pada tempatnya.

Lawan kata ZALIM adalah ADIL yakni meletakkan sesuatu (perkara) pada tempatnya, proporsional, berada ditengah-tengah, tidak berat sebelah, jujur, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya.

Contohnya menghargai yang baik maupun menghukum yang jahat sesuai haknya, menghukum yang jahat sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.

Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu atau kepentingan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa ; 135)

Jadi KEZALIMAN artinya KETIDAKADILAN.

Oleh karenanya bencilah terhadap kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan

Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).

Jadi membiarkan kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan akan mengakibatkan kerusakan atau azab.

Kerusakan atau azab yang terjadi tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.

Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:

Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).

Rasulullah melarang “mendatangi pintu penguasa” maknanya dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna dibalik yang tertulis (tersurat) atau makna yang tersirat yakni, larangan untuk “MEMBENARKAN” tindakan atau kebijakan penguasa negeri (UMARO) yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Diriwayatkan dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah pintu-pintu penguasa, karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan‘,

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “barangsiapa mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah” ( HR Abu Dawud [2859]).

Jadi larangan “mendatangi pintu penguasa” janganlah dipahami dengan makna dzahir yakni larangan bertamu, bersilaturahmi, memenuhi undangan penguasa negeri (UMARO) atau bekerjasama dengan penguasa negeri (UMARO) untuk mengatasi permasalahan di masyarakat.

Oleh karenanya para ulama sebaiknya “menjaga jarak” dengan penguasa negeri (UMARO) supaya bisa BEBAS dan INDEPENDEN memberikan nasehat, arahan atau pendapat agar KEBIJAKAN penguasa (umaro) tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Contohnya kita tidak boleh berdiam diri menyaksikan rakyat berunjuk rasa (berdemo) mengkritisi kezaliman atau ketidakadilan yang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari karena hukum tidak lagi dipergunakan untuk mengatur supaya kehidupan menjadi tertib dan teratur.

Rakyat merasakan kezaliman atau ketidakadilan terjadi karena rakyat melihat hukum disalahgunakan untuk MENEKAN dan MERANGKUL.

Rakyat merasakan kezaliman atau ketidakadilan terjadi karena rakyat melihat hukum disalahgunakan untuk memenjarakan rakyat, hukum digunakan sebagai alat untuk mengunci mulut-mulut rakyat yang kritis terhadap kebijakan penguasa negeri (Umaro).

Begitupula tentu boleh dan hak kita untuk MEMBENCI, MENGKRITISI atau MENGINGKARI kebijakan penguasa negeri (Umaro) seperti kebijakan terkait dengan ormas FPI namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan sesuai sunnah Rasulullah di awal tulisan ini.

Di mana letaknya ormas FPI bertentangan dengan konstitusi sedangkan NKRI menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka maknanya NKRI berasaskan ayat Tuhan di atas ayat Konstitusi.

Jadi jika ayat konstitusi melanggar atau bertentangan dengan ayat Tuhan maka wajib ayat konstitusi tersebut diamandemen dan diperbaiki, direvisi, diganti, diluruskan agar senafas dan senyawa dengan ayat Tuhan yang merupakan wahyu ilahi.

Oleh karenanya kalau PENGUASA NEGERI (PRESIDEN) ini menjalankan DEMOKRASI yang TIDAK SESUAI dengan SILA PERTAMA PANCASILA atau TIDAK SESUAI dengan AYAT TUHAN atau TIDAK SESUAI dengan Al Qur’an dan Hadits maka tugas LEMBAGA LEGISLATIF untuk menegurnya atau kalau perlu mengimpeach atau memakzulkannya.

Bagi yang ingin mengganti SISTEM PEMERINTAHAN yang Islami ataupun mengganti PENGUASA NEGERI yang dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)

Ormas FPI dianggap kontroversial atau bahkan dianggap radikal karena pendekatan yang dilakukan kerap dianggap anarkis dan dekat dengan kekerasan ADALAH akibat penguasa negeri (Umaro) membiarkan kemungkaran.

Pada hakikatnya kerusakan di sebuah negeri seperti merajalela zina, narkoba, persekusi atau main hakim sendiri di tengah masyarakat adalah akibat penguasa negeri belum menjadi pemimpin penegak keadilan.

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin penegak keadilan di dalam pemerintahannya.

Penguasa-penguasa yang zalim (tidak adil) dipecat dan digantikan dengan orang yang lebih layak untuk memperbaiki keadaan masyarakat.

Salah seorang gubernur menulis surat kepada Beliau, “Wahai amirul mukminin, negeri kami ini telah rusak, alangkah baiknya jika tuan memberi jalan untuk memulihkan negeri kami”.

Khalifah Umar menjawab surat itu dengan berkata, “Apabila engkau membaca suratku ini hendaklah engkau memagari negerimu dengan keadilan dan bersihkanlah jalan-jalannya dari kezaliman. Sesungguhnya itulah pemulihannya”

Penguasa negeri tidak boleh membiarkan kezaliman atau ketidakadilan terjadi selama masa pemerintahannya.

Perjuangan HRS dengan ormas FPI dikenal sebagai penegakan “amar ma’ruf nahi munkar” atau “menegakkan yang benar dan melarang yang salah.”

Ormas FPI dideklarasikan di halaman Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, 25 Robi’uts Tsani 1419 Hijriyyah atau 17 Agustus 1998.

Sejak massa awal pembentukannnya, Wiranto, yang kala itu menjabat Panglima ABRI, juga melibatkan ormas FPI dalam operasi pengamanan Sidang Istimewa MPR di bawah payung PAM Swakarsa.

Ormas FPI juga jadi ormas yang seringkali terdepan mengulurkan tangan kepada korban bencana.

Pada kenyataannya, pihak yang “terganggu” dengan perjuangan HRS dan ormas FPI adalah jaringan bisnis minuman keras, prostitusi, judi dan narkoba.

Contohnya perangnya ormas FPI sejak berdirinya adalah perang melawan miras dan menang secara konstitusi lewat keputusan MA berdasarkan judicial review terhadap Kepres Nomor 3 Tahun 1997 sebagaimana contoh berita pada https://www.suara.com/news/2020/11/12/192659/soal-ruu-larangan-minol-fpi-sejak-berdiri-kami-sudah-perang-lawan-miras?page=all

***** awal kutipan *****
“Pemerintah dengan tidak gentleman menerbitkan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yang isinya sama persis dengan Keppres sebelumnya,” kata Slamet.
***** akhir kutipan *****

Jadi penguasa “mengakalinya” dengan mengganti istilah miras menjadi minol sebagaimana yang disampaikan oleh HRS dalam video pada https://youtu.be/eAMHKuycbjI

Jihad perang pada masa sekarang bukanlah jihad perang menyebarluaskan agama Islam karena penyebarluasan agama Islam bisa dilakukan tanpa berlumuran darah seperti melalui jejaring atau media sosial.

Jihad perang yang tersisa hanyalah terhadap para penjajah seperti di Palestina sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60] : 8)

Jadi jihad perang pada masa sekarang adalah jihad perang untuk “memerangi” alias mengendalikan hawa nafsu untuk mentaati (hukum-hukum) Allah.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda , “Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.”

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu“

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati (hukum-hukum) Allah”

Jihadnya HRS dan ormas FPI adalah jihad untuk mentaati (hukum-hukum) Allah yakni ayat Tuhan di atas ayat Konstitusi sebagai perwujudan NKRI berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jadi laskar-laskar FPI yang TERBUNUH sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (QS At Taubah [9] : 111) ketika berjihad untuk mentaati (hukum-hukum) Allah yakni ayat Tuhan di atas ayat Konstitusi sebagai perwujudan NKRI berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa termasuk para SYUHADA karena mereka diakui oleh Allah Ta’ala sebagai orang – orang MUKMIN sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (QS At Taubah [9] : 112) yakni orang-orang yang menjalankan ibadah sholat, zakat, puasa, haji dan MENYURUH berbuat MA’RUF dan MENCEGAH berbuat MUNKAR dan yang MEMELIHARA hukum-hukum Allah yakni ayat Tuhan di atas ayat Konstitusi.

Tafsir Jalalain (QS At Taubah [9] : 111-112) dapat dibaca secara daring (online) pada https://ibnothman.com/quran/surat-at-taubah-dengan-terjemahan-dan-tafsir/12

Jadi tidak ada yang salah bermimpi bertemu dengan Rasulullah karena memang para Syuhada berkumpul dengan Rasulullah sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

Jadi para Syuhada termasuk orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah Ta’ala yakni di alam barzakh, di alam penantian yang jauh lebih lama dari alam dunia, mereka tetap hidup dan menjadi penduduk langit sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya,

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Pada peristiwa mi’raj , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dipertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah menjadi penduduk langit.

Rasulullah bersabda “Maka Allah pun mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya. Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan shalat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah (HR Muslim 251)

Siapapun presidennya atau penguasa negerinya (umaro) menurut pendapat para ulama kita terdahulu yang mayoritas dari ormas Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah yang dimaksud dengan “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) NAMUN DITETAPKAN sebagai Waliyul Amri Dharuri Bissyaukah (pemegang kekuasaan negara darurat) atau Imam Dharuri (Imam yang DARURAT).

Contohnya bertindak sebagai WALI HAKIM (meskipun pelaksanaannya didelegasikan kepada penghulu) adalah dalam keadaan darurat guna memperoleh pengesahan perkawinan yang diselenggarakan dari sudut pandang fiqih sebagaimana penjelasan pada https://www.nu.or.id/post/read/95826/penjelasan-kh-wahab-chasbullah-soal-waliyyul-amri-dharuri-bissyaukah

Penetapan tersebut terkait dengan pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.

Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.

Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.

Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”

Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.

Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.

Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.

Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.

Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).

Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)

Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.

Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.

Jadi bagi yang ingin tinggal di NKRI wajib mengikuti apa yang telah DISEPAKATI dan DITETAPKAN oleh para ulama kita terdahulu yang ikut berjuang memerdekakan dan mendirikan NKRI bahwa DEMOKRASI di NKRI adalah DEMOKRASI PANCASILA bukan DEMOKRASI LIBERAL dan SEKULER sebagaimana asal muasal demokrasi dicetuskan

Prof. R.M. Sukamto Notonagoro menjelaskan pengertian DEMOKRASI PANCASILA adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

NKRI didirikan atas kesepakatan bersama dan salah satu kesepakatannya adalah NKRI berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya NKRI adalah NEGARA TAUHID.

NKRI BUKAN NEGARA KOMUNIS atau ATHEIS yang anti Tuhan. BUKAN JUGA NEGARA LIBERAL yang anti agama dan BUKAN PULA NEGARA SEKULER yang anti syariat

NKRI melindungi semua agama dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh bangsa Indonesia tanpa paksaan.

Jadi muslim yang PANCASILAIS sejati adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya bagi umat Islam segala perilaku dan perbuatannya harus merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.

DAHULU pada zaman JAMA’ATUL MUSLIMIN yakni umat Islam bersatu (berjama’ah) dan terikat dalam KESATUAN AQIDAH (AQIDAH STATE) dan dipimpin oleh seorang KHALIFAH yang dibaiat oleh seluruh kaum muslimin.

Sedangkan pada zaman NOW (sekarang) adalah JAMA’AH MINAL MUSLIMIN yakni umat Islam terpecah belah dalam KESATUAN BATAS NEGARA (NATION STATE) dengan penguasa negerinya masing-masing.

Sehingga KETAATAN kepada “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni PARA FUQAHA (ahli fiqih), para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah LEBIH DIDAHULUKAN atau LEBIH TINGGI KEDUDUKAN dibandingkan KETAATAN KEPADA kepada para pemimpin kelompok atau ormas maupun para UMARA atau PENGUASA NEGERI (PENGUASA batas NEGARA) dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Begitupula pada hakikatnya mengedepankan atau mengutamakan taat kepada pemimpin organisasi transnasional (lintas negara) seperti Ikhwanul Muslimin maupun Hizbut Tahrir BERTENTANGAN dengan perintah Allah untuk MENTAATI firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan MENGIKUTI dan MENTAATI “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59)

KHILAFAH pada zaman Rasulullah sebagaimana yang termuat dalam Piagam Madinah ADALAH,

PERSATUAN Jama’atul Muslimin dengan orang-orang kafir yang IKHLAS MENGIKATKAN DIRI dan TUNDUK kepada kepemimpinan Rasulullah.

Sedangkan KHILAFAH pada zaman NOW sebagaimana yang dicetuskan oleh para ulama terdahulu kita yang ikut memperjuangkan kemerdekaan dan mendirikan NKRI ADALAH,

KHILAFAH berdasarkan DEMOKRASI PANCASILA yakni PERSATUAN Jama’ah minal muslimin dan orang-orang kafir yang ikhlas mengikatkan diri dan tunduk kepada DEMOKRASI PANCASILA yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN” artinya Kerakyatan yang dipimpin oleh orang-orang yang berkompetensi dalam memahami hukum Tuhan.

HIKMAT berasal dari kata hikmah atau “al-hakim” atau “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka KEMBALIKANLAH kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa [4]:59)

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para fuqaha (ahli fiqih) yakni para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.

Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah para fuqaha (ahli fiqih) yakni para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.

KHILAFAH pada zaman Rasulullah dimana Rasulullah adalah sosok ULAMA dan UMARO sekaligus.

Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Namun kita harus menerima kenyataan bahwa dalam perkembangannya semakin ke sini sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin (penguasa) negara atau UMARO yang benar-benar paham terhadap Islam.

Dari sini, mulailah terpisah antara ULAMA dan UMARO (penguasa negeri).

Oleh karenanyalah pada zaman now (sekarang) , pemimpin atau penguasa negeri (UMARO) seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara.

Jadi seharusnya pemimpin atau penguasa negeri (UMARO) di bawah nasehat (arahan) dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam).

SEHINGGA warga negara MENTAATI UMARO (penguasa negeri) yang menjalankan pemerintahannya dalam bimbingan para fuqaha (ahli fiqih).

Sedangkan di NKRI adalah para fuqaha (ahli fiqih) yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Fuqaha (ahli fiqih) di luar setempat atau di luar “di antara kamu” atau di luar wilayah (negara) sebaiknya menghindari FITNAH yang disebabkan karena tidak mengetahui duduk PERMASALAHAN (Masail) sebenarnya sehingga TIDAK BERHAK melakukan PEMBAHASAN (Bahtsul) berdalilkan Al Qur’an dan Hadits.

Pada hakikatnya MUI berfungsi sebagai pewaris tugas-tugas Nabi (warasatul anbiya), sebagai pembimbing dan pelayan umat Islam (ri’ayat wa khaim al ummah), sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar, sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama, sebagai pemberi fatwa (ifta’ / mufti) kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.

MUI sebagai mufti atau pemberi fatwa, pada hakikatnya adalah wakil Rasulullah dalam menyampaikan ketentuan hukum agama.

Begitupula MUI dengan penandatangan (muwaqqi) mewakili Allah Ta’ala terhadap apa yang difatwakannya.

Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.

Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.

Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu

1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,

2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan

3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.

Brunei Darussalam termasuk contoh KHILAFAH ZAMAN NOW karena PENGUASA NEGERI (KHALIFAH) menjalankan pemerintahannya mengikuti atau mentaati nasehat dan arahan para fuqaha (ahli fiqih).

Sultan Hassanal Bolkiah dengan tegas mendeklarasikan bahwa Brunei sebagai sebuah negara “BUKAN SEKULER” sebagaimana yang termuat dalam teks proklamasi kemerdekaan Brunei Darussalam pada tanggal 1 Januari 1984 yang dibacakan oleh Sultan yakni,

“Negara Brunei Darussalam adalah dan dengan izin dan limpah kurnia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan untuk selama-lamanya kekal menjadi sebuah Melayu Islam Beraja yang merdeka, berdaulat, dan demokratik, bersendikan kepada ajaran-ajaran agama Islam menurut Ahlussunnah wal Jamaah.”

Begitupula negeri kita ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan para ulama yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”.

Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat.

Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.

Prof. H. Muhammad Yamin dalam bukunya “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia” ketika menjelaskan tentang keinginan dalam UUD untuk menjelmakan aspirasi rakyat dalam bentuk berupa badan perwakilan seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang dilontarkan pertama kali oleh Bung Karno) tertuang dalam prinsip keempat yakni Peri Kerakyatan yang terdiri dari,

**** awal kutipan ****
Permusyawaratan, dengan mengutip surat Assyura ayat 38 yang artinya:

“ Dan bagi orang-orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

Demikian juga prinsip musyawarah ini diterapkan sesudah zaman Nabi yang dasarnya ialah bersatu untuk bermufakat, menurut perpaduan adat dengan perintah agama.

Perwakilan: Dasar Adat yang mengharuskan perwakilan-perwakilan sebagai ikatan masyarakat di seluruh Indonesia. Perwakilan sebagai dasar abadi dari tata negara. Dan dilakukan oleh seluruh Murba dalam masyarakat yang kecil dan dengan perantaraan perwakilan dalam susunan negara.

Kebijaksanaan: Rationalisme; perubahan dalam adat dan masyarakat keinginan penyerahan; Rationalisme sebagai dinamik masyarakat.
****** akhir kutipan *****

Dalam konteks ini Muhammad Yamin menampakkan bahwa musyawarah yang dimaksudkan untuk Indonesia, ialah musyawarah yang bersumber dari hukum Islam dan Adat. Hal tersebut merupakan perpaduan konsepsi yang paling berpengaruh di Indonesia.

Hukum Islam dalam hal ini diilhami oleh Al Quran, sedangkan adat diilhami oleh kondisi bangsa Indonesia, yang hukum aslinya ialah hukum adat.

Jadi para ulama kita terdahulu yang ikut mendirikan NKRI menjadikan KHILAFAH sebagai dasar (rujukan) dalam menetapkan DEMOKRASI Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan / perwakilan” MENGIKUTI dan MERUJUK kepada KHILAFAH yang diterapkan oleh Khulafaur Rasyidin yakni sistem musyawarah dan mufakat melalui perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya dalam menetapkan khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah.

Setelah Rasulullah wafat, berkumpullah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna bermusyawarah siapa yang akan dibaiat (diakui) jadi Khalifah.

Orang Anshar menghendaki agar Khalifah itu dipilih dari golongan mereka, mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah. Kehendak orang Anshar ini tidak disetujui oleh orang Muhajirin. Maka terjadilah perdebatan diantara keduanya, dan hampir terjadi fitnah diantara keduanya.

Sayyidina Abu Bakar ra segera berdiri dan berpidato menyatakan dengan alasan yang kuat dan tepat, bahwa soal Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy, bahwa kaum Muhajirin telah lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama bersama bersama Rasulullah, dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin kemudian Anshar.

Khutbah Abu Bakar ini dikenal dengan Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini ummat Islam serta merta membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin Khattab, kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.

Adapun Abu Bakar Siddiq adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas pengalamannya dan amat besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan. Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang saudagar yang kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang jujur. Dialah yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai kepada hari wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam sembahyang ketika beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang dia lebih berhak dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.

Jadi jelaslah apa yang telah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin bahwa KHILAFAH adalah pemilihan berdasarkan permusyawaratan dan diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih atau dikenal sebagai Ahlul Halli wal Aqdi.

Oleh karenanya para ulama kita terdahulu yang ikut mendirikan NKRI merujuk kepada KHILAFAH dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” adalah memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu mufakat.

Namun dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya menjadi demokrasi kebablasan, sebebas-bebasnya dengan pemilihan langsung sehingga tidak ada bedanya antara pemilih yang jahat dengan pemilih yang baik, pemilih yang awam dengan pemilih yang berkompeten, semua satu suara dalam menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti Gubernur dan Bupati.

Dengan digantinya sistem demokrasi Pancasila berdasarkan permusyawaratan / perwakilan menjadi demokrasi kebablasan dengan pemilihan langsung maka timbul tuntutan calon pemimpin yang memiliki ELEKTABILITAS dan POPULARITAS yang tinggi BUKAN KAPABILITAS atau KOMPETENSI yang tinggi.

Sedangkan dengan demokrasi Pancasila berdasarkan permusyawaratan / perwakilan dapat diproses calon pemimpin berdasarkan KAPABILITAS atau KOMPETENSI yang tinggi berdasarkan masukkan wakil rakyat yang berkompeten maupun dari survey atau dari kalangan akademisi.

Bahaya lain mengganti demokrasi Pancasila menjadi demokrasi Liberal atau demokrasi kebablasan yakni mengganti sistem pemilihan yang semula berdasarkan demokrasi Pancasila sila ke 4 permusyawaratan / perwakilan menjadi pemilihan langsung, satu rakyat satu suara ADALAH adanya kemungkinan PIHAK ASING dengan kepentingannya MENGINTERVENSI dengan POLA PENCITRAAN dan PENGGIRINGAN OPINI melalui mass media sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/11/24/akibat-demokrasi-kebablasan/

POLA PENCITRAAN dalam arti negatif adalah KEPURA-PURAAN untuk memanipulasi persepsi publik terhadap dirinya untuk kepentingan popularitas atau elektabilitas.

Begitupula untuk kepentingan popularitas atau elektabilitas dengan penggiringan opini dan memanipulasi persepsi publik melalui mass media seperti melalui strategi politik PLAY VICTIM atau strategi politik menzalimi atau memfitnah diri sendiri adalah strategi politik menyakiti diri sendiri dan kemudian menyalahkan orang lain sebagai pelakunya.

Oleh karenanya sebaiknya janganlah BERDIAM DIRI atau hanya seperti penonton TERIAK-TERIAK dipinggir lapangan bagi yang ingin mengembalikan NKRI kepada Demokrasi Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” yakni memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu mufakat.

Kalau dahulu sistem permusyawaratan dan perwakilan gagal merepresentasikan suara rakyat karena lembaga legeslatif dikuasai oleh Golkar yang menjadi perpanjangan tangan dari lembaga eksekutif yakni Presiden

Hal itu dikarenakan tidak adanya batas masa jabatan Presiden sehingga mirip seperti “Power Tends To Corrupt” , dalam hal ini KORUPSI SUARA RAKYAT artinya lembaga legislatif tidak lagi mewakili (merepresentasikan) suara rakyat.

Jadi reformasi UUD 1945 bukanlah dengan merubah keputusan para pendahulu dan pendiri negara yakni pemilihan tidak langsung melalui permusyawaratan dan perwakilan menjadi pemlihan langsung namun cukuplah mereformasi masa jabatan Presiden untuk mencegah timbulnya “absolute power” dilingkungan lembaga eksekutif.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »