Sebuah kesalahpahaman yang terjadi selama ini dan berlarut-larut adalah kesalahpahaman tentang bid’ah. Kesalahpahaman inilah yang membuat segelintir muslim menghujat saaudara muslimnya sendiri dengan hujatan sebagai “ahlul bid’ah”. Kesalahpahaman yang membuat mereka berlepas diri dan memutuskan tali silaturahmi dengan mereka yang telah jelas-jelas bersyahadat alias saudara muslim sendiri. Salah satu ciri-ciri mereka adalah setiap datang bulan Rabiul awal tidak lagi bergembira menyambutnya atau mereka tidak mau memperingati bulan kelahiran Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Definisi bid’ah yang berlaku sejak Nabi Adam a.s sampai sekarang dan sampai akhir zaman adalah
Perkara baru diluar apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Perkara yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya adalah perkara yang wajib dijalani dan wajib dijauhi atau perkara syariat (syarat) atau disebut sebagai “urusan kami” atau disebut dengan agama atau disebut amal ketaatan
Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran, ganjaran baik (pahala) maupun ganjaran buruk (dosa).
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Orang yang menjalankan amal ketaatan atau “bukti cinta” adalah disebut orang beriman (mukmin)
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron [3]:31 )
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )
“dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal [8]:1 )
Amal ketaatan adalah apa yang ditetapkanNya yakni perkara kewajiban, batas/larangan dan pengharaman
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Bagian akhir hadits di atas menyampaikan bahwa “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya” serta telah sempurna atau telah selesai segala perkara yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau telah selesai segala perkara yang wajib dijalankan manusia dan wajib dijauhi manusia ketika Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” ( QS Al Maaidah [5]:3 )
Secara umum bid’ah atau perkara baru atau perkara diluar apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya ada dua kategori yakni bid’ah dlolalah dan bid’ah hasanah (mahmudah)
Bid’ah dlolalah adalah perkara baru yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Bid’ah hasanah adalah perkara baru yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Bahkan al- Imam Nawawi membaginya dalam 5 status hukum.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Contoh sederhana bid’ah hasanah (mahmudah) adalah peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi adalah perbuatan yang tidak diwajibkanNya namun tidak bertentangan dengan apa yang telah diwajibkanNya maka termasuk amal kebaikan
Amal kebaikan adalah segala perkara diluar apa yang telah diwajibkanNya yang tidak bertentangan dengan apa yang telah diwajibkanNya
Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika dilakukan dapat pahala dan tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Orang yang beriman (mukmin) dan menjalankan amal kebaikan atau mereka yang mengungkapkan cintanya kepada Allah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya adalah disebut muhsin / muhsinin, muslim yang ihsan atau muslim yang baik atau sholihin.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)
“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40 )
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az Zumar [39]:22)
Muslim yang beriman (mukmin) dan berbuat amal kebaikan (muhsin/muhsinin) atau sholihin adalah mereka yang termasuk manusia disisiNya. Mereka yang telah dikarunia ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka yang terbukti tetap istiqomah pada jalan yang lurus
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa amal kebaikan (amal sholeh) sangat luas sekali.
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim 1674) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=13&ayatno=50&action=display&option=com_muslim
Al-Qur’an dan Hadits pada hakikatnya memuat amal ketaatan atau ketetapan yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla yakni ketetapan berupa kewajiban dan larangan (batas/larangan dan pengharaman).
Dalam Al-Qur’an dan Hadits memang disebutkan beberapa contoh amal kebaikan (amal sholeh) namun tidak seluruh amal kebaikan (amal sholeh) yang akan dikerjakan manusia sejak Nabi Adam a.s sampai kiamat nanti diuraikan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Kalau diuraikan seluruhnya akan membutuhkan lembaran Al-Qur’an maupun Hadits yang luar biasa banyaknya.
Amal kebaikan tidak harus atau tidak selalu terkait dengan apakah telah dicontohkan/dilakukan atau tidak dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah atau Salafush Sholeh. Amal kebaikan sejak Nabi Adam a.s sampai akhir zaman tetap perkara baik selama tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau tidak bertentangan dengan amal ketaatan.
Kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) tidak berlandaskan Al Qur’an dan Hadits. Kesalahpahaman kaidah ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
Segala amal kebaikan atau amal sholeh atau amalan sunnah adalah yang dimaksud dengan dzikrullah.
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Amal kebaikan adalah segala sikap dan perbuatan yang dilakukan bukan di wajibkanNya namun atas kesadaran sendiri karena Allah ta’ala semata atau karena mengingat Allah atau wujud dari kecintaan hamba kepada Allah ta’ala dan Allah ta’ala pun mencintai hambaNya maka jadilah kekasih Allah atau wali Allah dengan berbagai tingkat kedekatan atau tingkat kewalian sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Tujuan amal kebaikan adalah untuk mendekatkan diri kita atau memperjalankan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/perjalankanlah-diri-kita/
Dalam sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal ketaatan), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan (amalan sunnah), maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya. (HR Muslim 6021) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=61&ayatno=89&action=display&option=com_bukhari
Boleh jadi mereka yang membenci peringatan Maulid Nabi atau mereka yang men-syirik-kan sholawat nariyah, sholawat badar, qashidah burdah, maulid barzanji adalah mereka yang terkena ghazwul fikri atau terkena upaya adu domba yang dilakukan oleh orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/11/puritan-radikalisme/
Firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82)
Untuk itulah kaum Yahudi dan orang-orang musyrik yakni kaum Zionis Yahudi terus melakukan upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) agar umat muslim pada umumnya tidak memperjalankan dirinya untuk sampai (wushul) kepada Allah ta’ala atau tidak tahu bagaimana yang dimaksud mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Kaum Zionis Yahudi sangat takut kepada umat Islam yang jika berdoa kepada Allah ta’ala dan pasti dikabulkanNya. Inilah adalah hakikat dari doa adalah senjata kaum mukmin.
Namun yang harus kita ingat bahwa kita tetap harus berlaku adil kepada mereka atau kepada kaum non muslim atau kaum kafir. Pada hakikatnya mereka menjadi seperti itu adalah kehendak Allah Azza wa Jalla juga. Perlakukan dengan baik sebagaimana perlakuan kita kepada ciptaanNya yang lain selama mereka berlaku baik kepada kita.
Islam mengajarkan damai dan berbuat baik bukan hanya terhadap manusia, akan tetapi sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah dalam hadist Nabi shallallahu alaihi wasallam telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk neraka karena telah menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur masuk sorga karena telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?.
Rahmat Islam rupanya benar-benar lil ‘alamin (bagi semesta alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup, semua memperoleh rahmat Islam.
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan, ada seorang lelaki yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Rasulullah bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu.”
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah melihat seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau marah dan menegur orang tsb., “Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai)
Allah Azza wa Jalla akan memasukan muslim yang beriman (mukmin) dan beramal kebaikan / beramal sholeh (muhsin/muhsinin/sholihin) kedalam jannah dan Allah Azza wa Jalla mengibaratkan orang-orang kafir bagaikan binatang dan memasukkan mereka kedalam jahannam.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mu’min dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS Muhammad [47]:12 )
Masihkan kita menjadikan “binatang” sebagai “teman kepercayaan”, sebagai pelindung, sebagai penasehat atau bahkan sebagai pemimpin dunia ?
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Definisinya bisa dimengerti, tapi mohon dicontohkan secara konkrit (5 contoh saja) apa saja amalan yang bisa kita nyatakan sbg bid’ah.
Syukran. Smga makin memperkuat ukhuwah ummat
Kita sangat prihatin melihat kondisi sebagian besar umat Islam yang sampai saat ini belum juga kunjung bisa bersatu, belum mampu memprioritaskan langkah-langkah menuju Ukhuwwah Islamiyah. Padahal langkah pertama Rasulullah saw pasca Hijrah sebelum langkah-langkah yang lain dilakukan adalah “Mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar”. Nah setelah Ukhuwwah Umat Islam bisa terbangun, maka barulah langkah-langkah yang lain dilanjutkan. Sementara kita sampai saat ini masih juga meributkan masalah-masalah yang furu’iyah, seperti mempermasalahkan kegiatan Maulid Nabi saw , Isra’ Mi’raj, dzikir bersama dsb.
Apakah kegiatan-kegiatan tersebut masuk kategori “Bid’ah” atau “Sunnah” ?
Untuk menentukan hukum terhadap aktifitas keagamaan, apakah aktifitas tersebut masuk ranah bid’ah atau sunnah, maka diperlukan ilmu yang luas lagi ekstra hati-hati dan jangan latah. Sebab predikat bid’ah itu masalah yang besar dan jangan main-main, biasanya dalil yang dipergunakan oleh kelompok yang latah menghakimi aktifitas keagamaan seseorang itu sebagai amalan bid’ah adalah :
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ : قَالَ النَّبِىُّ : مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لًَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ = متفق عليه =
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (dien) kami yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak” = H.R. Bukhari Muslim =
Kemudian istilah “ مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا “ ditafsirkan dengan hadits shahih lainnya, yang berbunyi :
” كُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ”
“Setiap (amalan keagamaan) yang baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka”.
Nah logikanya begini ;
Yang pertama, jika kita ingin menentukan hukum bahwa sesuatu yang baru (dalam aktifitas keagamaan) itu sebagai bid’ah, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui tentang sesuatu yang lama (Ilmu Sunnah Rasulullah saw) secara sempurna”.
Pertanyaannya sekarang adalah : Apakah kita sudah cukup menguasai ilmu tersebut ?
Sebagai ilustrasi, kita sepakat bahwa perawi hadits sebagai penjaga Ilmu Sunnah yang paling terkenal adalah Imam Bukhari, baru diikuti oleh imam-imam yang lain. Beliau telah menghafal tidak kurang dari 120.000 hadits shahih, dan 300.000 hadits dla’if. Sementara itu Hadits Bukhari yang sampai kepada kita sekarang hanya 2000 hadits lebih sedikit artinya banyak sekali ilmu yang hilang, itu saja baru sebagian yang kita pelajari dan pahami. Kalau seandainya Hadits Bukhari yang tertinggal sekarang kita kuasai, itu belum mencapai 1 % dari ilmu beliau. Oleh karena itu kami tegaskan : “Jangan gegabah mencap suatu amalan keagamaan itu sebagai amalan bid’ah, sebab kalau tidak benar cap tersebut, maka tukang cap itulah yang menjadi Ahli Bid’ah”.
Yang kedua, Ranah bid’ah seperti yang dimaksud beberapa hadits shahih tersebut harus ditentukan terlebih dulu barulah kita bisa milah-milah mana itu amalan yang sunnah dan mana itu amalan yang bid’ah, sehingga tidak rancu dan meresahkan umat. Kalau dipukul rata, aktifitas keagamaan yang baru “Muhdatsin” yang tidak terjadi zaman Rasulullah saw itu dikategorikan sebagai bid’ah, maka kita akan temukan beratus amalan bid’ah yang sekarang ini sedang kita kerjakan. Pencetakan Mushaf Alquran, kegiatan pembelajaran TPQ, Tarawih berjama’ah selama bulan suci Ramadhan dll. itu bid’ah semua, dan akan kita temukan beratus bid’ah kalau kita data semuanya. Dan kami yakin pemahaman seperti ini, kita semua yang masih punya akal sehat tidak akan menyetujuinya.
Mari kita coba pahami hadits shahih dibawah ini :
قَالَ النَّبِىُّ : مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً َحَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بٍِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ. وَ مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهٍِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ. = رواه مسلم =
“Barang siapa yang mengadakan dalam Islam kebiasaan (tradisi) yang baik, maka baginya akan mendapat pahalanya dan pahala yang mengamalkannya (mengikutinya) sesudahnya tampa kurang sedikitpun dari pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengadakan dalam Islam kebiasaan (tradisi) yang jelek, maka ada dosanya yang dia tanggung dan dosa-dosa orang yang mengerjakan kebiasaan jelek itu sesudahnya tampa berkurang sedikitpun dari dosa-dosa mereka” = H.R. Muslim =
Kalau kita belajar bahasa Arab dan Balaghahnya, maka kalimat “ مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً َحَسَنَةً “ = Barang siapa yang mengadakan dalam Islam kebiasaan ( tradisi ) yang baik = itu adalah suatu tradisi keagamaan (sunnah) yang belum dan tidak dilakukan oleh yang mengatakannya yaitu Rasulullah , akan tetapi ada anjuran yang melandasi kegiatan tersebut, seperti ;
• Pencetakan Mushaf Alquran, karena banyaknya perintah untuk belajar dan menjaga kelestarian ilmunya.
• Kegiatan Pembelajaran TPQ, karena adanya hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan bebas dari buta huruf, seperti banyak disabdakan Nabi saw.
• Tarawih berjama’ah selama bulan Ramadhan, ini adalah tradisi yang baik (sunnah hasanah) yang disponsori oleh Khalifah kedua kita yaitu Umar bin Khaththab ra.
• Begitu juga peringatan-peringatan keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad saw, menurut pendapat kami kegiatan tersebut bukanlah bid’ah dholalah, bahkan sunnah hasanah seperti yang pernah dilakukan oleh Panglima Perang Sabil Sholahuddin al-Ayyubi untuk membangkitkan semangat juang umat Islam pada masanya.
Lantas ranah yang kalau seandainya ada tambahan yang baru (muhdatsin) atau pengurangan bisa dikategorikan bid’ah yang dholalah itu yang mana ?
Untuk memahami sabda Nabi “ مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا “ = Barang siapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (dien) kami = Maka kita harus tahu Ushuluddin (pokok bangunan ajaran Islam), dalam hadits shahih dijelaskan :
قَالَ النَّبِىُّ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ , شَهَادَةِ أَلاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِتَاءِ الزَّكَاةِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَ اْلحَجِّ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً = رواه مسلم =
“Agama Islam itu dibangun diatas lima pokok : Kesaksian bahwa tiada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah (syahadatain), mendiriukan shalat, mengeluarkan zakat, shiam di bulan Ramadhan dan haji bagi mampu untuk mengadakan perjalanan”. = H.R. Muslim =
Jadi yang menjadi ranah (wilayah) yang tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditambah dan dikurangi, dan kalau seandainya dilakukan akan terkena hukum bid’ah dholalah, adalah wilayah ushul Islam ini yang biasa kita kenal dengan sebutan Rukun Islam. Dengan kata lain wilayah yang tidak boleh diperbaharui adalah wilayah Ibadah Mahdhah (ibadah khusus), yang sudah jelas syarat dan rukunnya.
Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi renungan kita bersama, demi tercapainya Ukhuwwah Islamiyah yang senantiasa kita dambakan .…. Amien !
Silahkan baca tulisan terkait pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/03/03/ulama-sebagai-tuhan/