People Power ibarat pisau dapat digunakan untuk menegakkan keadilan
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani berpendapat bahwa “bukan hanya unsur makar, people power juga bisa ujaran kebencian” sebagaimana yang diberitakan pada http://www.wartaekonomi.co.id/read226900/bukan-cuma-makar-people-power-bisa-kena-pasal-ujaran-kebencian.html
Sebaiknya janganlah mengikuti orang-orang yang selalu melihat dari sisi negatif terhadap istilah People Power sehingga mereka menjerat (menghukumi) Rakyat dengan menyalahgunakan pasal perbuatan makar dan bahkan ada pula yang menjerat (menghukumi) Rakyat dengan menyalahgunakan pasal ujaran kebencian.
People Power ibarat pisau dapat digunakan untuk hal yang positif maupun negatif.
NKRI adalah buah atau hasil dari People Power yang digunakan untuk Gerakan Kedaulatan Rakyat melawan penjajah sehingga Indonesia merdeka.
Ingatlah TNI adalah rakyat yang men-spesialisasikan diri untuk pertahanan dan keamanan NKRI dan menamakan kumpulannya dengan istilah Badan Keamanan Rakyat – > Tentara Keamanan Rakyat – > Tentara Republik Indonesia – > Tentara Nasional Indonesia (1947) – > Angkatan Perang RI Serikat (1949) – > Angkatan Perang RI (1950) – > Angkatan Bersenjata RI (1962) penyatuan TNI dan Polri – > Pemisahan TNI dan Polri (1999)
Jadi dibolehkan People Power untuk hal yang positif seperti Gerakan Kedaulatan Rakyat untuk Menuntut dan Menegakkan Keadilan terhadap para pelaku KEJAHATAN PEMILU.
Salah satu alasan penolakan terhadap KPU adalah karena KPU merekapitulasi atau menghitung hasil perolehan suara dari Pemilu yang dipenuhi dengan KEJAHATAN-KEJAHATAN PEMILU.
Rekapitulasi manual perolehan suara berjenjang dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat Nasional yang dilakukan oleh KPU adalah PRODUK HILIR atau RESULTAN dari proses Pemilu yang dipenuhi dengan KEJAHATAN-KEJAHATAN PEMILU.
Alasan lainnya adalah karena pada kenyataannya tidak ada penegakkan hukum terhadap para pelaku KEJAHATAN PEMILU.
Contohnya Bawaslu hanya menetapkan pemungutan suara ulang terhadap kasus “TERCOBLOSNYA” surat suara di Selangor sebagaimana yang diberitakan pada http://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-masih-tunggu-hasil-psu-kuala-lumpur.
Bawaslu tidak memerintahkan aparat penegak hukum untuk melakukan penegakkan hukum dan mengadili para pelaku KEJAHATAN PEMILU.
Sehingga boleh saja timbul Gerakan Kedaulatan Rakyat untuk Menuntut dan Menegakkan Keadilan seperti contohnya mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penegakkan hukum dan mengadili para pelaku KEJAHATAN PEMILU pada TPS-TPS yang oleh Bawaslu telah ditetapkan pemungutan suara ulang.
Rakyat tentu boleh menuntut dan mendesak aparat penegak hukum untuk menelusuri dan mengungkapkan siapakah DALANG yang menyuruh para pelaku KEJAHATAN PEMILU karena tentu ada permufakatan jahat (samenspanning atau conspiracy / konspirasi) antara para pelaku KEJAHATAN Pemilu dengan SANG DALANG atau OTAK KEJAHATAN PEMILU.
H Agus Solachul A’am Wahib, Ketua Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin (BKSN). Cucu pendiri NU, almaghfurlah KH A Wahab Chasbullah menjelaskan bahwa Gerakan Kedaulatan Rakyat untuk menegakkan kebenaran dan kejujuran bukanlah makar.
“Saya minta kepada petinggi-petinggi GP Ansor dan Banser tidak menggunakan institusi untuk menghadapi gerakan kedaulatan rakyat. Apalagi menyebutnya makar. GP Ansor jangan bergaya seperti polisi. Tugas kalian menjaga ulama,” jelas Gus A’am Wahib kepada duta.co, Jumat (17/5/2019).
Menurut Gus A’am, mempertahankan kedaulatan rakyat adalah wajib. Jika tidak, bangsa ini akan menjadi bar bar dengan pemimpin otoriter. Ujungnya, bangsa ini akan terus berkelahi sepanjang pemilu
Masih menurut Gus A’am, rakyat sekarang sadar, betapa bahaya alam demokrasi Indonesia ke depan. Jutaan rakyat akan turun gunung, mereka ini juga warga NU kultural, mereka tidak ikhlas melihat perampokan demokrasi yang berlangsung secara brutal sebagaimana yang diberitakan pada http://duta.co/gp-ansor-diminta-minggir-cucu-mbah-wahab-gus-aam-jutaan-nahdliyin-kawal-kedaulatan-rakyat/
Rakyat WAJIB membenci KEJAHATAN PEMILU sebagaimana yang diingatkan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, KH Hasan Abdullah Sahal bahwa “BENCI pada MAKSIAT hukumnya WAJIB” sebagaimana yang diberitakan pada http://pwmu.co/85487/01/15/kh-hasan-abdullah-sahal-indonesia-perlu-diselamatkan/
***** awal kutipan *****
Sekarang, ujarnya, dunia ini sudah ambeien. Umat ini banyak yang ambeien, karena harta, tahta, wanita, senjata, berita, onta, dan ta ta lainnya.
“Katanya tidak boleh ada ujaran kebencian, saya ketawa itu, orang kok tidak boleh benci, saya benci dengan orang yang kotor, benci dengan orang yang tidak pernah mandi, benci dengan orang yang tidak shalat.
Ketika saya tidak boleh benci apa-apa kan susah. Menurut saya, menyampaikan ujar-ujaran kebencian (terhadap) kemusyrikan, korupsi, kekafiran itu wajib hukumnya,” katanya.
Menurut Kiai Sahal, orang kafir jangan dibunuh, jangan dimarahi, jangan dibenci namun kekafirannya yang dibenci.
Dari zaman nabi sampai sekarang, orang kafir tetap ada. Sampai kiamat orang kafir dan musyrik tetap ada. Kalau tidak begitu, tidak ada dakwah Islamiyah,” ujarnya.
***** akhir kutipan *****
Janganlah membiarkan atau tidak peduli dengan KEJAHATAN-KEJAHATAN PEMILU 2019 karena akan turut berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran yakni membiarkan kejahatan-kejahatan Pemilu 2019.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran yakni membiarkan kejahatan-kejahatan Pemilu 2019 akan mengakibatkan kerusakan atau azab.
Kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat atau munkar itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Bagi rakyat yang menginginkan #2019gantipresiden karena PENGUASA NEGERI dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin (penguasa) yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).
Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (pemimpin/penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung KEZALIMAN (KETIDAK ADILAN) mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Pengertian ZALIM (Arab: ظلم, Dzholim) adalah meletakkan sesuatu (perkara) bukan pada tempatnya.
Lawan kata ZALIM adalah ADIL yakni meletakkan sesuatu (perkara) pada tempatnya, proporsional, berada ditengah-tengah, tidak berat sebelah, jujur, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya.
Contohnya menghargai yang baik maupun menghukum yang jahat sesuai haknya, menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggarannya.
Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu atau kepentingan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa ; 135)
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Penguasa yang zalim adalah salah satu akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih), para ulama yang faqih (berkompetensi) dalam memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana sabda Rasulullah yang disampaikan oleh asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, yaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka.
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka.
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Oleh karenanya siapapun presiden yang terpilih harus mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam Pakta Integritas sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/04/17/siapapun-presiden-terpilih/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar