Tuhan mereka serupa dengan makhluk mempunyai arah dan tempat
Salah satu keironisan mereka ternyata tidak sesuai antara pengakuan mereka dengan kenyataan.
Mereka mengakui bahwa Allah Ta’ala tidak serupa dengan makhluk dari sisi apapun namun kenyataannya mereka menyamakan atau menyerupakan Tuhan mereka dengan makhluk (tasybih) yakni sama-sama mempunyai arah dan tempat.
Jadi pada kenyataannya mereka terjerumus mengikuti guru-guru besar atau imam kaum musyabbihah atau mujassimah yakni orang-orang yang semula bermazhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak berkeyakinan atau tidak beri’tiqod sebagaimana mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang aqidah mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut Mazhab Hambali, apakah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal seperti aqidah mereka ?
مطلب في عقيدة الإمام أحمد رضي الله عنه وأرضاه وسئل رضي الله عنه ونفعنا به : في عقائد الحنابلة ما لا يخفى على شريف علمكم ، هل عقيدة الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه كعقائدهم ؟
Beliau menjawab:
***** awal kutipan ******
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
وقد بين الحافظ الحجة القدوة الإمام أبو الفرج ابن الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء وبهتان ، وأن نصوصه صريحة في بطلان ذلك وتنزيه الله تعالى عنه ، فاعلم ذلك فإنه مهم .
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
**** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami di atas bahwa yang membersihkan segala tuduhan buruk atau fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hambal adalah ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaff at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula bermazhab dengan Imam Ahmad namun kemudian menjadi imam (guru besar) kaum atau firqah mujassimah (musyabbihah) akibat pemahahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Ketiga imam atau guru besar kaum musyabbihah atau mujasimah adalah
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarang buku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybih yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Tauhid fi’il artinya pengesaan Tuhan dalam perbuatan.
Oleh karenanya supaya sifat melihat atau mendengar Allah Ta’ala tidak diserupakan dengan makhluk maka disebut dengan Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Hal yang terlarang adalah mensifatkan Dzatnya seperti mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mereka
memiliki dua mata untuk melihat,
memiliki dua telinga untuk mendengar,
memiliki dua kaki yang satu di kursi dan yang satu di neraka jahanam,
memiliki dua tangan untuk menciptakan atau bahkan ada yang berkata bahwa kedua tangan Tuhan mereka adalah kanan, memiliki wajah, memiliki pinggang dan lain lainnya
Karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Jadi mereka yang mengaku mengikuti manhaj (mazhab) Salaf atau kadang mengaku-ngaku sebagai ahlus sunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Mereka terjerumus mengikuti kaum musyabbihah atau mujassimah akibat pemahamam mereka selalu dengan makna dzahir dan menolak makna majaz (makna kiasan).
Para ulama membolehkan menakwilkan dengan makna majaz (makna kiasan atau makna metaforis) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).
Semua bahasa di dunia ini pasti mengakui keberadaan makna majaz (makna kiasan)
Jadi ironis mereka melarang atau mengharamkan takwil dengan makna majaz (makan kiasan)
Sedangkan Rasulullah justru mendoakan Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil dan tentu Rasulullah tidak mendoakan hal terlarang atau yang diharamkan.
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil” maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar