Janganlah menyempal keluar dari mayoritas kaum muslim
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan ada yang berujung menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/09/menghalalkan-darah-muslim/
Wajarlah orang-orang yang mengikuti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim menyalahkan para ulama terdahulu karena Dzul Khuwaishirah yang sombong dan merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)
Mereka yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-orang yang asing.
Mereka salah memahami hadits seperti,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba atau “orang-orang yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingkan diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetaka) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu mengisyaratkan seperti bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah! Apakah kami akan binasa, sedangkan di kalangan kami masih ada orang-orang yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waspadalah dengan orang-orang yang salah paham atau bahkan menyalahgunakan firman Allah (QS Al An’aam [6]:116) untuk menghasut umat Islam agar menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Dalam memahami Al Qur’an tidak cukup dengan ayat sepotong-potong atau satu ayat saja tanpa memperhatikan kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan ayat lain pada surah yang lain, kaitannya dengan hadits, asbabun nuzul, gaya bahasa (uslub), kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan dll. Contohnya dalam membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca / potong saja.
Rasulullah telah menubuatkan bahwa kelak akan timbul perselisihan di antara umat Islam karena oleh bangsa Arab sendiri.
Khudzaifah Ibnul Yaman bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lantas Allah membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan lagi?
Nabi menjawab ‘Tentu’.
Saya bertanya ‘Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi?
‘Tentu’ Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan.
Saya bertanya ‘Apa yang anda maksud kotoran, kekurangan dan perselisihan itu?
Nabi menjawab ‘Yaitu sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya.
Saya bertanya ‘Adakah setelah kebaikan itu ada keburukan?
Nabi menjawab ‘O iya,,,,, ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu.
Aku bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Rasulullah telah menyampaikan ciri-ciri mereka yang menyebabkan perselisihan di antara umat Islam yakni “mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita”.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yang mengakibatkan timbul perselisihan di antara umat Islam adalah berasal dari ulama bangsa Arab sendiri yakni orang-orang berbahasa Arab yang memahami dan berfatwa berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah namun berkemampuan berbahasa Arab terbatas, hanya dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Jadi walaupun bangsa Arab , bahasa ibunya adalah bahasa Arab namun kalau tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Dari riwayat di atas, Rasulullah telah mengingatkan bahwa ketika masa bermunculan penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yakni menyeru untuk menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) maka hendaklah selalu bersama jama’ah muslimin dan imamnya, hindarilah seluruh firqah-firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kita gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggut.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Sedangkan firqah Wahabi adalah orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemaahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/07/paham-sebelum-bertobat/
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih
Berikut kutipan informasi dari situs resmi mereka seperti pada https://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah dengan ajaran Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad dan istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits yang melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam Mujtahid Mutlak
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani adalah seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sehingga kaum muslim mengajukan permohonan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/post/read/39479/komite-hijaz
***** awal kutipan *****
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.
Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
***** akhir kutipan *****
Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Mereka terhasut meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan potongan perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka terhasut dengan potongan perkataan Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Mereka terhasut dengan pendapat yang mengatakan ,”Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim (pandai) dari mereka
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Pada kenyataannya sudah sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai mujtahid mutlak bersumber dari hadits yang terbukukan dalam kitab-kitab hadits karena jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Bagi yang ingin menggali sendiri hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah maka harus memenuhi syarat dan kompetensi sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami
***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh para Sahabatnya.
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat semata-mata mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallahu anhum memerlukan :
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal
***** akhir kutipan ******
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Ada pula mereka yang terhasut meninggalkan Imam Mazhab yang empat dan lebih memilih mengikuti orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Istilah manhaj (mazhab) salaf dibuat oleh kalangan otodidak sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/07/istilah-mazhab-salaf/
Sebagai dimaklumi, bahwa arti “salaf” adalah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk.
Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga orang Yahudi, Nasrani. Singkatnya, di zaman dulu itu ada orang yang shaleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa Minang) atau talih (tidak sholeh).
Oleh karenanya kita dianjurkan memperbanyak bergaul dengan orang shaleh dan mengurangi bergaul dengan orang talih.
Kalau kita dianjurkan mengikuti mazhab atau manhaj Salaf, dengan arti mazhab atau manhaj orang yang terdahulu, maka itu berarti kita dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga mengikuti orang yang jelek-jelek.
Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits.
Apakah yang dinamakan zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti.
Pada intinya tidak ada nubuat Rasulullah yang menyebutkan batas atau pembagian waktu Salaf dan Khalaf.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim juga termasuk salaf karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/05/termasuk-salaf/
Jangan sampai mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni orang-orang yang gigih mengikuti sunnah Rasulullah namun ternyata amal ibadah tidak diterima Allah
Apa yang menyebabkan amal ibadah tidak diterima ?
1. Amal ibadah tidak diterima karena tidak mengenal Tuhan yang disembah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/09/ibadah-tidak-diterima/
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
2. Amal ibadah tidak diterima karena suka menampakkan “bekas” amalnya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/15/fitnah-dzul-khuwaishirah/
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian ialah syirik kecil”. Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?” Jawab Beliau, “Riya’”. (H.R. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Dari Abu Sa’id dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami, sementara kami saling mengingatkan tentang Al Masih Ad Dajjal, maka beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajjal ?” Abu Sa’id berkata, “Kami menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan shalat dan membaguskan shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya.” (Hadits Hasan. Sunan Ibni Majah 4204)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tami suka menampakkan “bekas’ amalnya karena salah memahami firman Allah seperti yang artinya
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Tafsir Ibnu Katsir mengatakan: dalam menafsirkan “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka” Ibnu Abbas mengatakan perilaku yang baik. Mujahid dan lainnya mengatakan khusyu’ dan tawadhu’. (Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Juz. VII, Hal. 337)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya : Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
3. Amal ibadah tidak diterima karena diperangi Allah
Seseorang dapat diperangi Allah, contohnya karena salah memahami hadits “janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid” sehingga mereka benci atau memusuhi para wali Allah yang kuburannya di dalam atau di sisi masjid sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku telah mengumumkan peperangan terhadapnya.” (HR. Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a.).
4. Amal ibadah tidak diterima karena dilaknat Allah
Seseorang dapat dilaknat Allah, contohnya karena salah memahami hadits “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka (HR Muslim)
Dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=4FIZCE3Tmx8 pada menit ke 37:20 , salah seorang ulama panutan mereka, Khalid Basalamah ketika menjawab pertanyaan “apakah Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk orang kafir ?”
Beliau menjawab “Ya, Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggal dalam keadaan menyembah berhala”
Prof, DR Ali Jum’ah, mantan mufti agung Mesir, ulama yang sholeh dan telah dikenal dan diakui kompetensinya dalam ilmu agama sehingga menjadi seorang mufti agung.
Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D. Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-, berpegang teguh kepada metode Al-Azhar.
Beliau penuh ke-istiqomah-an dan kesabaran mempertahankan manhaj (metode) Al Azhar yakni manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-Azhar Asy-Syarif adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Salah satu kitab karya Prof DR Ali Jum’ah berjudul “Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammiqadlayahum” sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Khatulistiwa Press (http://www.khatulistiwapress.com) dengan judul Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ yang berisikan jawaban ilmiah terhadap pemahaman dan cara dakwah kaum “salafi-wahabi”.
Dalam buku Menjawab Dakwah Kaum “salafi” pada Bab 12 mulai halaman 173 sampai dengan halaman 184 telah diuraikan tentang kesalahpahaman mereka dalam memahami al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka mengklaim kedua orang tua Rasulullah sebagai ahli neraka di hari kiamat.
Orang Arab yang dijelaskan dalam ilmu tata bahasa Arab bahwa ketika menyebut kata ayah, dapat pula yang dimaksud adalah paman.
Contohnya firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan ? sesungguhnya aku meihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata “(QS Al An’am [6]:74)
Para ahli tafsir atau mufassirin telah menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan “Abiihi” (bapaknya) ialah “pamannya” karena ayahnya Nabi Ibrahim alaihisalam sebenarnya bernama Tarih atau Tarikh.
Telah berkata sebagian ulama: “Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin ‘Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan”. (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka.
Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seseorang berkata: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka’, maka berdirilah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan marah, kemudian berkata yang artinya: “Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah”
Kesimpulannya, amal ibadah tidak diterima dapat disebabkan karena berpendapat atau berfatwa tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar