Pengertian NKRI itu KHILAFAH harga mati
Tidak perlu mengusir mereka (yang mengusung/mempropagandakan KHILAFAH) dari NKRI namun “perangilah” yakni luruskan saja pemahaman mereka terhadap pengertian KHILAFAH.
Pengertian NKRI itu KHILAFAH “harga mati” adalah PERSATUAN Jama’ah minal muslimin dan orang-orang kafir yang ikhlas mengikatkan diri dan tunduk kepada DEMOKRASI PANCASILA, “kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN yakni orang-orang yang berkompetensi dalam memahami hukum Tuhan.
HIKMAT berasal dari kata hikmah atau “al-hakim” atau “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa) dan umaro (penguasa) mentaati nasehat dari “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Dahulu negeri kita ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”.
Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat.
Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Salah satu solusi mempersatukan umat Islam khususnya di Palestina maupun umat Islam pada umumnya adalah sebagaimana yang diusulkan oleh mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah yakni,
dengan menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari perwakilan para fuqaha (ahli fiqih) dari setiap negara.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah PEPERANGAN adalah JIHAD (mujahidin) atau JAHAT (teroris) sehingga dapat diketahui apakah MATI SYAHID atau MATI SANGIT adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) yakni para fuqaha (ahli fiqih) di negara setempat karena ulama di luar negara tidak terbebas dari fitnah.
PEPERANGAN zaman sekarang tidak lagi MEREPRESENTASIKAN Jama’atul Muslimin namun PEPERANGAN sekelompok kaum muslimin dalam batas negara (Jama’ah minal muslimin) dan bahkan ada PEPERANGAN yang ditimbulkan oleh KELOMPOK PENYAMUN.
Sejak Rasulullah menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, umat Islam bersatu (berjama’ah) dan terikat dalam KESATUAN AQIDAH (AQIDAH STATE) yang disebut dengan Jama’atul Muslimin.
Jama’atul Muslimin yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang dibai’at oleh seluruh kaum muslimin BERAKHIR ketika keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 SEHINGGA umat Islam terpecah belah dalam KESATUAN BATAS NEGARA (NATION STATE).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Jadi Jama’atul Muslimin yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang dibai’at oleh seluruh kaum muslimin SUDAH BERAKHIR !!!
Pada zaman sekarang adalah Jama’ah minal muslimin yakni kelompok-kelompok kaum muslimin dalam batas negara (NATION STATE) yang dipimpin oleh pemimpin negaranya masing-masing.
Hukum ketaatannya serupa dengan ketaatan kepada Jama’ah minal muslimin seperti ketaatan kepada ormas (organisasi kemasyarakatan) yang dipimpin oleh ketua ormasnya.
Jadi hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya terhadap imam atau khalifah dari JAMA’ATUL MUSLIMIN tidak berlaku lagi pada JAMA’AH MINAL MUSLIMIN seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Para ahli fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi dari umat Islam.
Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para penguasa negeri di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.
Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi di dalam pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.
Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.
Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.
Kesimpulannya pada saat kondisi yang ada pada masa sekarang adalah JAMA’AH MINAL MUSLIMIN atau kaum muslim dalam kesatuan negara (nation state) maka ketaatan kepada ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha atau pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ketaatan kepada pemimpin kelompok atau ormas maupun para umara atau penguasa negeri.
PERDEBATAN dan PERSELISIHAN di antara umat Islam dan bahkan mereka yang MERASA BERJIHAD meneriakkan “Allahu Akbar” dan saling bunuh membunuh dalam PEPERANGAN yang ditimbulkan oleh KELOMPOK PENYAMUN adalah karena masing-masing mengeluarkan fatwa atau pendapat dengan memahami atau “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi pada umumnya karena METODE PEMAHAMAN selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Padahal Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Contohnya pelaku bom bunuh diri yang mengaku muslim adalah orang-orang yang mempunyai keyakinan atau prinsip bahwa POKOKNYA jika TIDAK SESUAI dengan apa yang mereka baca, terjemahkan dan pahami dari kitab Al Qur’an dan Hadits maupun kitab atau perkataan (pendapat) ulama terdahulu secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri maka mereka menyalahkan, menganggap sesat dan bahkan mengkafirkan sehingga menghalalkan darah umat Islam.
Oknum muslim (mereka mengaku muslim) yang terjerumus RADIKALISME adalah mereka yang mempergunakan cara-cara kekerasan (ekstrim/radikal) seperti mentahdzir dengan celaan dan tuduhan syubhat, bid’ah, sesat, bahkan kafir terhadap siapapun yang tidak sepemahaman/sependapat dengan mereka.
Begitupula pada kenyataanya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka “MENGEMBALIKAN” kepada Allah dan Rasulullah atau memahami Al Qur’an dan Hadits secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka KEMBALIKANLAH kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslimin ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).
Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Jadi Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Jadi jelaslah rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Pada hakikatnya kerusakan di sebuah negeri seperti merajalela zina, narkoba, persekusi atau main hakim sendiri di tengah masyarakat adalah akibat penguasa negeri belum menjadi pemimpin penegak hukum (chief of law enforcement).
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin penegak keadilan (chief of law enforcement). di dalam pemerintahannya.
Penguasa-penguasa yang zalim (tidak adil) dipecat dan digantikan dengan orang yang lebih layak untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Salah seorang gubernur menulis surat kepada Beliau, “Wahai amirul mukminin, negeri kami ini telah rusak, alangkah baiknya jika tuan memberi jalan untuk memulihkan negeri kami”.
Khalifah Umar menjawab surat itu dengan berkata, “Apabila engkau membaca suratku ini hendaklah engkau memagari negerimu dengan keadilan dan bersihkanlah jalan-jalannya dari kezaliman. Sesungguhnya itulah pemulihannya”
Penguasa negeri tidak boleh membiarkan ketidakadilan terjadi selama masa pemerintahannya.
Contohnya jika rakyat sudah seringkali menggaungkan ketidakadilan yang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari karena hukum tidak lagi dipergunakan untuk mengatur supaya kehidupan menjadi tertib dan teratur.
Rakyat merasakan ketidakadilan terjadi karena rakyat melihat hukum disalahgunakan untuk memenjarakan rakyat, hukum digunakan sebagai alat untuk mengunci mulut-mulut rakyat yang kritis terhadap pemerintahannya.
Rakyat merasakan ketidakadilan terjadi karena rakyat melihat hukum disalahgunakan untuk MENEKAN dan MERANGKUL.
Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin (penguasa) yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).
Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (pemimpin/penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung KEZALIMAN (KETIDAK ADILAN) mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Pengertian ZALIM (Arab: ظلم, Dzholim) adalah meletakkan sesuatu (perkara) bukan pada tempatnya.
Lawan kata ZALIM adalah ADIL yakni meletakkan sesuatu (perkara) pada tempatnya, proporsional, berada ditengah-tengah, tidak berat sebelah, jujur, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya.
Contohnya menghargai yang baik maupun menghukum yang jahat sesuai haknya, menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggarannya.
Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu atau kepentingan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa ; 135)
Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap kemungkaran penguasa (umaro) yakni kezaliman atau ketidakadilan penguasa (umaro).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran akan mengakibatkan kerusakan atau azab.
Kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat atau munkar itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Bagi yang ingin mengganti PENGUASA NEGERI yang dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar