Sudah lebih 40 tahun Buya Hamka jadi Muballigh namun jarang memberikan tuntunan sopan santun
Berikut kutipan penuturan Buya Hamka dari buku berjudul “Saya kembali ke ru’yah”
**** awal kutipan ****
Pada Hari Raya Idul-Fithri 1398 H, terjadilah dengan nyata perselisihan pendapat diantara hisab Sa’adoeddin Jambek dengan Hisab Majlis Tarjih Muhammadiyah ini.
Sedangkan Sa’adoeddin Jambek pun adalah orang Muhammadiyah juga. Bahkan Ketua dari Majlis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah.
Oleh karena saya sendiri adalah Imam dari Mesjid Agung dan sdr. Sa’adoeddinpun ahli-hisab Al-Azhar pula, dengan sendirinya Mesjid Agung berhari-raya hari Kamis, padahal Muhammadiyah berhari raya kemarinnya, hari Rabu
Pada waktu itulah bertubi-tubi pukulan, ejekan, hinaaan dan tuduhan kepada diri saya sendiri, karena tidak setia lagi “menurut organisasi” Muhammadiyah.
Sdr. H. Abubakar Aceh dalam satu malam Halal bil halal Muhammadiyah di Jl. Limau dihadapan beratus-ratus anggota Muhammadiyah, ‘Aisyiyah menyatakan bahwa Hamka telah mulai menjilat pemerintah, sebab ingin diberi tiket kapal terbang untuk dikirim lagi keluar negeri. Karena menjilat pemerintah, Hamka telah mengkhianati keputusan Tarjih dan telah turut NU.
Syukurlah tidak sepatah kata juapun saya membalas, yang menurut laporan kawan-kawan, sudah sangal keterlaluan, sampai mengenai pribadi.
Syukur saya dapat menahan diri, karena sdr. Abubakar Aceh adalah sahabat sejak lama, sejak saya mulai menginjakkan kaki ke bumi Jakarta ini.
Sayapun mengenalnya dari dekat, sampaipun saya tahu penyakit darah tingginya yang dideritanya bertahun-tahun. Sehingga kalau sedang darahnya naik, atau penyakitnya kambuh, bercarut memaki-makipun dia- mau.” Malah bisa keluar “tai-kucing”.
Beberapa hari saja sesudah dia menumpahkan isi perut di halal bi-halal itu, secara kebetulan bertemu kami di Toko Baku Tamaddun, dikantor Direksinya, sdr. Amelz. Saya datang bersama mendiang isteri saya. Baru saja saya masuk, sahabatku H. Abubakar Aceh segera tegak dari tempat duduknya memeluk aku, langsung mencium tanganku dan lututku juga!
Dia meminta maaf atas mulutnya yang terlanjur itu dihadapan istriku dan dihadapan sdr. Amelz. Dan saya beri maaf.
Tampil pula Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jakarta-Raya, Overste H. Amiruddin Siregar, berbulan-bulan mengadakan kampanye dalam rapat-rapat Muhammadiyah bahwa orang-orang yang telah khianat kepada keputusan tarjih dan telah melanggar organisasi Muhammadiyah, berpuasa dan berbuka tidak lagi menurut hisab, tidaklah berhak lagi buat. duduk dalam Pusat Pimpinan Muhammadiyah.
Syukur pula tidak sepatahpun saya menangkis serangan-serangan saudara Amiruddin Siregar, yang sampai dari Banten-pun orang-orang Muhammadiyah menyampaikan laporan betapa hebat serangannya kepada saya.
Saya ingat, bahwa orang yang sedang marah, kadang-kadang terlepas kendali dirinya. Apatalah lagi sdr. Siregar jauh atau dekat, adalah murid saya. Sayapun turut membesarkannya!
Saya tidak menjawab walau sepatah segala “serangannya” kepada saya. Dan setelah berlalu beberapa waktu Siregar telah bertemu kembali sebagai biasa.
Muballigh yang sedang tenar namanya, Drs. Mahmuddin Sudinpun dalam tabligh-tablighnya ikut serta menghantam saya, mengatakan bahwa saya telah kembali kolot. Menurut muballigh kita itu rukyah hanya berlaku dalam masyarakat onta, bangsa yang masih buta huruf, masih ummi. Rukyah tidak cocok lagi dengan zaman.
Dan serangan itu beliau lakukan juga ke masjid Agung Al-Azhar sendiri, yang saya jadi imam dan pemimpinnya. Tidak berkenan beliau menemui saya untuk menanyakan apa sebab saya begitu saja merobah haluan. Memanglah saya telah “kolot” karena masih merasa patut beliau datang bertanya kepada saya sendiri, sebab usia saya sebaya dengan ayahnya, mematutkan saya didatangi.
Disamping itu saya terima juga beberapa pucuk surat kaleng : Ada yang menanyakan berapa saya dapat hadiah dari Menteri Agama. Dan saya terima juga telepon mengata-ngatai, dan sebelum saya sempat menjawab, telepon sudah diletakkan dengan keras!
Semuanyapun tidak saya sesali. Bahkan yang saya sesali ialah diri saya sendiri. Sebab sudah lebih 40 tahun saya jadi Muballigh Muhammadiyah, yang banyak saya ajarkan kepada kader-kader saya hanyalah ilmu khilafiyah, jarang saya memberikan tuntunan sopan santun!
***** akhir kutipan *****
PADA INTINYA ilmu hisab untuk MEMPERKUAT SUNNAH Rukyah BUKAN untuk MENINGGALKAN SUNNAH Rukyah.
Contohnya jika MENURUT ilmu hisab hilal BELUM memungkinkan untuk terlihat maka KESAKSIAN perukyat yang mengatakan melihat hilal DAPAT DITOLAK.
Jadi pada hakikatnya jikalau ada teknologi baru apapun untuk melihat hilal maka teknologi baru tersebut untuk mensimulasikan SUNNAH RUKYAH seperti CONTOHNYA meng-augmented reality-kan SUNNAH RUKYAH yakni pengamatan mata pada suatu posisi di muka bumi ini untuk melihat hilal.
Para Sahabat MENJELASKAN bahwa yang dimaksud Rasulullah memerintahkan HITUNGLAH adalah JIKA hilal terhalang oleh awan maka HITUNGLAH menjadi TIGA PULUH hari
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Jika (hilal) tertutup dari pandangan kalian maka HITUNGLAH menjadi TIGA PULUH HARI.” (HR Muslim 1811 atau Syarh Shahih Muslim 1081)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/muslim/1811
Jadi sebaiknya TINGGALKANLAH metode hisab wujudul hilal KARENA wujudul hilal NAMUN belum imkan rukyah yakni belum mungkin dapat dilhat dengan mata SAMA ARTINYA hilal terhalang oleh awan
Begitupula buya Hamka TIDAK MELARANG metode hisab NAMUN Beliau MENDUKUNG metode hisab Sa’adoeddin Jambek karena LEBIH DEKAT kepada SUNNAH Rasulullah.
Ahli hisab Sa’adoeddin Jambek MENEGASKAN bahwa jika MENURUT ilmu hisab bulan itu belum imkan rukyah artinya belum mungkin dapat dilhat dengan mata maka TAATILAH perintah Rasulullah HITUNGLAH menjadi tiga puluh hari
Dalam Konferensi Islam Dunia di Kuala Lumpur dari tanggal 21 sampai dengan 27 April 1969, Buya Hamka ikut menyepakati ilmu hisab untuk MEMPERKUAT SUNNAH Rukyah, BUKAN untuk MENGINGKARI atau MENINGGALKAN SUNNAH Rukyah
Dalam konferensi tersebut mayoritas delegasi dunia itu berpegang kepada SUNNAH Rukyah, kecuali dua orang: Buya Hamka dari Indonesia dan seorang lainnya dari negara Iran.
Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Saya kembali ke ru’yah” menegaskan bahwa,
***** awal kutipan *****
“dia (hisab) dapat mempermudah rukyah. Karena rukyahlah yang asli diterima Nabi, dan rukyah inilah pegangan Jumhur Ulama Islam, dari zaman Nabi shallallahu alaihi salam sampai kepada zaman sekarang, sebagaimana saya saksikan di Konferensi Islam Kuala Lumpur”
Saya menjadi penganut pendapat Sa’adoeddin Jambek itu dengan penuh pengertian, karena sejak Konferensi Islam di Kuala Lumpur saya telah mendapat keterangan – keterangan dari ulama- ulama lain dan turut menyetujui bahwa HISAB dapat dijadikan ALAT PEMBANTU yang baik sekali untuk melaksanakan PERINTAH Nabi agar memulai dan menutup puasa dengan rukyah.
Saya bersyukur sekali (dalam konferensi Islam) dengan berhadapan, secara Ukhuwwah – Islamiyah saya dengarkan pendapat pemuka Islam, dari Mazhab Sunny di negeri lain, dalam menghadapi zaman modern ini.
Ulama Pakistan berkata: “Nabi telah meninggalkan satu agama yang mudah dilakukan, rata untuk ulama dan sarjana dan orang awam, mulai puasa dan berbuka dengan rukyah, semua orang bisa rukyah kalau mau. Mengapa kita persukar dengan mengalihkannya kepada hisab? Kurangkah yakin kita kepada apa yang diajarkan Nabi?
Ulama Aljazair berkata: “Boleh kita pakai alat-alat modern untuk menguatkan ibadat kita. Boleh kita pakai ilmu hisab untuk MEMPERKUAT rukyah, BUKAN untuk MEMBELANGKANGI rukyah.
Kesimpulan yang didapat waktu itu ialah TIDAK ADA kecenderungan untuk MENINGGALKAN sunnah Nabi,
Rukyah lebih dapat MEMPERSATUKAN Dunia Islam, daripada jika memakai hisab.
Hisab boleh dipakai untuk MELANCARKAN kita melakukan rukyah
Dan sejak pulang dari Kuala Lumpur itu pula dapatlah saya mengoreksi kembali apa yang selama ini saya perjuangkan.
Saya lebih senang kalau seluruh Ummat Islam Indonesia bersamaan permulaan puasanya dan bersamaan pula penutupnya, sehingga sama Hari Raya dalam satu hari. Dan ini hanya akan tercapai kalau orang KEMBALI kepada SUNNAH, yaitu puasa dan berbuka dengan rukyah. Dan payahlah akan dapat orang diajak bersatu semuanya mari puasa menurut hisab, tinggalkan rukyah.
Sebab apabila kesadaran kepada sunnah itu bertambah berkembang dalam negeri ini, hati orang akan lebih mantap beribadat jika pemerintah yang berkuasa memerintahkan mengadakan rukyah tiap tahun, sebagaimana yang telah dipelopori oleh pemimpin Muhammadiyah sendiri, KH. Faqih Usman ketika beliau menjadi Menteri Agama (1950).
Di Kuala Lumpur telah diperbincangkan kemungkinan persamaan memulai puasa dan menutupnya berdasarkan rukyah, buat seluruh negeri-negeri Islam yang sama mathla’ nya.
Segala alat modern akan dipakai untuk memudahkan terlaksananya cita-cita itu.
Apatah lagi alat-alat telekomunikasi zaman sekarang telah lebih maju. Dan itu sudah tentu diantara pemerintah dengan pemerintah. Di Indonesia tentu akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
Maka timbullah pertanyaan : “Apakah kalangan Muhammadiyah atau Persis, atau Al-Irsyad dan berbagai pengikutnya akan mau menuruti aliran yang baru itu ? Yaitu KEMBALI kepada SUNNAH, supaya persatuan Ibadat Dunia Islam dapat tercapai ?
***** akhir kutipan *****
Buya Hamka yang memasuki Muhammadiyyah sejak usia 17 tahun (1925) berpendapat bahwa ormas Muhammadiyah telah “berubah” yakni dahulu pelopor kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dan membuka pintu ijtihad NAMUN kemudian menjadi yang diistilahkan oleh buya Hamka TERIKAT “TAQLID yang DIORGANISIR” (dalam Majelis Tarjih).
Oleh karenanya setelah Buya Hamka pertimbangkan masak-masak maka ketika akan Mu’tamar Muhammadiyah di Makassar (1971) Beliau berkirim surat kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa Beliau tidak bersedia lagi dicalonkan menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Buya Hamka mengatakan, “Permintaan saya dikabulkan, dan secara ‘bijaksana’ saya ditetapkan juga sebagai Penasehat”
Buya Hamka berpendapat ormas Muhammadiyah dengan majelis tarjihnya dapat hanyut terjerumus menjadi sekte atau firqah dalam Islam dan mengibaratkannya seperti Kaum Kristen Sekte Zeven Adventis tidak mau ikut Pemilu yang telah diputuskan pemerintah karena Hari Pemilu itu jatuh pada hari Sabtu!
***** awal kutipan *****
Tidakkah nanti mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan selama ini, yaitu barang sebulan terlebih dahulu sebelum puasa, telah membuat maklumat dalam surat-surat kabar bahwa ijtima’ Ramadhan tanggal sekian, Syawwal tanggal sekian, sebab itu tanggal sekian mulai puasa, tanggal sekian penutupnya. “Karena begitulah menurut organisasi” orang mesti sami’na wa atha’na !”
Sehingga dengan demikian usaha MENYATUKAN permulaan dan penutupan puasa menurut sunnah, baik untuk seluruh Indonesia atau untuk seluruh dunia Islam TIDAK perlu diperdulikan, DEMI menjaga KEWIBAWAAN Majlis Tarjih dan lain-lain.
Sehingga dengan tidak disadari, gerakan agama yang mendakwakan dirinya penganut Mazhab Salaf, hanyut kedalam suasana Sektarisme meng-arah-arah Kaum Kristen Sekte Zeven Adventis di Indonesia, yang tidak mau turut dalam Pemilihan Umum tahun yang lalu, karena Hari Pemilihan Umum itu jatuh pada hari Sabtu!
***** akhir kutipan *****
Beberapa kesimpulan buya Hamka
***** awal kutipan *****
- Jika kita ingin hendak mempersatukan ibadat puasa Kaum Muslimin Indonesia, pada memulai dan menutupnya, lebih mudahlah persatuan itu dicapai dengan memakai rukyat atau istikmaal. Dan kesatuan ini dipimpin oleh SULTHAN (pemerintah), sebagai yang selalu berlaku dalam Dunia Islam sejak zaman Rasulullah saw. Di Indonesia ialah Kementrian Agama Republik Indonesia.
- Mulai dan menutup puasa berdasarkan rukyah telah dipelopori oleh seorang pemimpin Muhammadiyah yang besar, Almarhurn KH. Faqih Usman seketika Beliau menjadi Menteri Agama (Kabinet Halim, 1950).
- Gagasan hendak mempersatukan permulaan dan penutupan puasa yang dicetuskan di Konferensi Islam di Kuala Lumpur, dan diteruskan oleh Arrabithatul ‘Alamil Islamy di Makkah, sampai dipersoalkan pula oleh Al-MajlisuI Islami Al-A’la lisy syu-unil Islamiyah di Mesir dan majalahnya yang terkenal “Mimbarul Islam”, adalah satu gagasan yang patut menjadi perhatian. Kalau perlu, sangguplah hendaknya kita MELEPASKAN TRADISI, kalau akan hanya MEMBAWA kita PULANG kepada SUNNAH Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
- Dan biarkanlah soal KEMBALI kepada Hadits Rosul shallallahu alaihi wasallam (Ru’yah dan Istikmaal) ini menjadi semata-mata soal ibadat, TIDAK disangkut pautkan dengan POLITIK; pro atau kontra pemerintah yang tengah berkuasa, atau menteri yang tengah memerintah. Dan tidak pula dijadikan alat politik untuk “unjuk kuasa” atau “unjuk pengaruh”. Sehingga suasana kita beribadat puasa dan berhari raya dihadapi dengan rasa thuma’nina (tenteram).
akhir kutipan
Buku Buya Hamka “Saya kembali ke ru’yah” dapat dibaca pada https://drive.google.com/file/d/1ERgDNJ2n__mYo0F1KU1LGMeot0LCh651/view
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar