Ya Allah aku mohon seratus
Dalam sebuah status atau tulisan di jejaring atau media sosial Facebook tertulis
***** awal kutipan *****
Orang-orang yang hanya fokus dilingkaran syariat (perkara ISLAM) memang butuh BERDO’A sebanyak-banyaknya, NAMUN bagi yang menempuh hakikat makrifat (perkara IMAN dan IHSAN) mungkin gak butuh lagi berdo’a karena dalam “pandangan” mereka Allah lebih tau apa yang terbaik buat mereka, meski begitu mereka akan terus berusaha merendah dan semakin berusaha mengagungkan-Nya (Dzikrullah) dan BERHARAP selalu diberikan RIDHO kasih sayang-Nya di manapun diri ini berada.
***** akhir kutipan *****
Cara memahami “UNGKAPAN” di atas adalah dengan membedakan antara BERDOA dengan BERDZIKIR.
Para kekasih Allah (wali Allah) adalah orang-orang yang senantiasa BERDZIKIR (mengingat Allah) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.
Allah Ta’ala memerintahkan MENELADANI Rasulullah
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia BANYAK MENYEBUT Allah”. (QS Al-Ahzab [33] : 21)
Rasulullah walaupun kedua matanya tidur namun selalu dalam keadaan berdzikir.
Dari Aisyah radhiyallahu anha sesunggunya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
“Kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur.” (HR. Bukhari 3304 atau Fathul Bari 3569)
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda, Allah Ta’ala berfirnan, “jika dia (kekasih Allah / wali Allah) meminta (berdoa) maka pasti Ku-beri” (HR Bukhari 6021 atau versi Fathul Bari 6502)
NAMUN para kekasih Allah (wali) Allah, mereka malu meminta kepada Allah dan mereka mencukupkan dirinya kepada pengaturan Allah Azza wa Jalla.
Contoh berdoa, “Ya Allah aku mohon SERATUS” timbul karena belum mencapai IHSAN yakni belum dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah).
Syaikh Ibnu Atho’illah as Sakandari (W. 709H) dalam kitabnya berjudul Al Tanwir fi Isqath Al Tadbir (“Mengapa Harus Berserah”) menceritakan bahwa orang yang belum dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah) adalah seperti orang yang ikut “mengatur” bersama Allah.
***** awal kutipan *****
Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari. Karena menyayangi anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa diketahui sang anak.
Anak itu tidak bisa melihat ayahnya karena malam yang teramat gelap. Ia meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya.
Seperti itulah orang mengatur untuk dirinya. Ia melakukannya karena berada dalam kegelapan – terputus dari Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah. Andaikata bulan tauhid atau mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat Tuhan begitu dekat, sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup dengan pengaturan Allah.
***** akhir kutipan *****
Syekh Nawawi al Bantani (W 1314 H) dalam kitab Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja menjelaskan ada lima tingkatan Iman.
***** awal kutipan *****
Pertama, Iman TAQLID yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah keimanannya. Tetapi berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil apabila orang tersebut mampu untuk menemukannya.
Kedua, Iman ILMI yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut ILMU YAQIN.
Menurut Syekh Nawawi Al Bantani, orang yang memiliki keimanan tingkat pertama dan kedua termasuk orang yang masih TERHALANG JAUH dari Allah Ta’ala.
Ketiga, Iman IRFAN yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu Allah tidak hilang dari hati sekedip mata pun karena rasa takut kepada-Nya selalu ada di hati. Sehingga SEOLAH-OLAH orang yang memiliki tingkatan keimanan ini MELIHAT Allah di maqom MUROQOBAH atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut dengan AINUL YAQIN.
Keempat, Iman HAQ yaitu MELIHAT Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah). Tingkatan keimanan ini seperti yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Tingkat keimanan ini berada di maqom MUSYAHADAH dan disebut dengan HAQ Al-YAQIIN. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang yang TERHALANG JAUH dari SELAIN Allah.
Kelima, Iman HAKIKAT yaitu SIRNA BERSAMA Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini HANYA MELIHAT Allah seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.
***** akhir kutipan *****
Syekh Ihsan Jampes (W 1952 M) dalam kitabnya Siraj al-Talibin syarh atas kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali (W 1111 M) menjelaskan bahwa pengertian WAHDAH Al WUJUD atau WAHDATUL WUJUD bukanlah dalam pengertian HULUL (Tuhan menyatu dengan makhluk) atau ITTIHAD (makhluk menyatu dengan Tuhan) NAMUN para wali Allah yang berhadapan dan menyaksikan Allah dengan hati mereka menyampaikan bahwa mereka tidak menyaksikan selain Allah Ta’ala itu wujud.
Para ulama Allah menyebutnya maqom Musyahadah artinya ruang kesaksian. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan syahadat namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada tuhan selain Allah” atau dengan kata lain “Selain Allah Ta’ala itu tiada” .
Sultannya para Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitabnya Sirrul Asrar menjelaskan bahwa para kekasih Allah (Wali Allah), mereka fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kediriannya serta sesuai dengan kehendak-Nya Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya”.
Begitupula Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320 H/ 820-935 M) ketika menjelaskan tentang maqamat al-walayah (derajat kedekatan para kekasih Allah atau Wali Allah) menyampaikan bahwa para wali Allah yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun telah sempurna tingkat kewalian mereka.
Hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya) sehingga seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah,
Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah Ta’ala dengan al-awliya (para wali / kekasih Allah); menurut Al-Hakim al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih Allah); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih Allah) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘
ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa.
Sedangkan bagi al-awliya (para wali atau kekasih Allah) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Sedangkan ulama su’ (ulama yang buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak.
Syaikh Ibnu Atho’illah as Sakandari (W. 709H) berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa melihat Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashiroh)
Salah satu CIRI KHAS firqah MUJASSIMAH yakni orang-orang yang “MENJAUHKAN” Allah Ta’ala dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah atau tempat bagi Allah SESUAI dengan NUBUAT Rasulullah bahwa kelak bermunculan orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala KARENA mereka terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN sehingga mereka belum dapat melihat Allah (makrifatullah) dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah bersabda,
مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً
Barangsiapa yang bertambah ilmunya NAMUN tidak bertambah atau tidak memperoleh hidayah, maka ia semakin jauh dari Allah Ta’ala.
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Kesombongan adalah MENOLAK KEBENARAN dan meremehkan manusia” (HR. Muslim 131 atau Syarh Shahih Muslim 91)
Salah satu penyebab firqah MUJASSIMAH terjerumus DURHAKA (‘Aashin) kepada Allah karena mereka “menjauhkan” Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan arah maupun tempat di atas Arsy adalah AKIBAT mereka memaknai BA’IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas
Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,
بائن من خلقه.
dan artinya adalah “Dibedakan dari ciptaan-Nya”
Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH pada hak Allah Ta’ala yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA’IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).
Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.
Sedangkan Allah Ta’ala dengan Arsy-Nya maupun dengan seluruh makhluk-Nya DEKAT tidak bersentuh dan JAUH tidak berjarak.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“. (Al Baqarah [2]:186).
Imam Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) atau yang dikenal dengan Imam Al Qusyairi dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
***** awal kutipan *****
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
***** akhir kutipan *****
Dalam percakapan Rasulullah dengan Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih mengabarkan tentang TIGA POKOK dalam agama Islam yakni
- Perkara ISLAM yang diuraikan dalam ilmu fiqih
- Perkara IMAN yang diuraikan dalam ilmu akidah atau ushuluddin
- Perkara IHSAN yang diuraikan dalam ilmu tasawuf (akhlak atau tazkiyatun nafs) yakni memperjalankan diri agar wushul ilaallah atau sampai kepada Allah dan menyaksikan Allah (makrifatullah) dengan hati (ain bashirah) sesuai yang dikendaki-Nya sehingga menjadi KEKASIH Allah atau WALI Allah.
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11 atau Syarh Shahih Muslim 10)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Ta’ala
Allah Ta’ala dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari.
Begitupula Buya Hamka dalam ceramahnya berjudul “Kewajiban Kaum Muslimin Kepada Negara” dihadapan Majelis Pengajian Padi (Pengajian Da’wah Islam) tanggal 26 Juni 1969 yang anggotanya mayoritas para perwira tinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republika Indonesia atau TNI) mengatakan dalam ilmu Tasawuf yakni ilmu terkait perkara IHSAN atau AKHLAK disebut tiga huruf atau kata yakni
***** awal kutipan *****
Pertama takhalli, ini bahasa Arab. Huruf “kha” ada titik di muka, “Takhalli”. Kalau “kha” itu titiknya dihilangkan bacaannya menjadi “Tahalli”. Kalau titik itu sudah hilang, lama-lama titik itu tumbuh lagi di bawah: “Tajalli” Jadilah, “Takhalli”, “Tahalli”, Tajalli”.
Apa artinya Takhalli ?. Bebaskan dirimu, bersihkan jiwamu dari sifat tercela. Takhalli: Hapuskan, hilangkan, jadi hapus itu titik. Kalau titik itu betul-betul sudah hapus yang terletak diujung sanubarinya yaitu perangai-perangai (perilaku) yang tercela nanti bacaannya Tahalli.
Tahalli: Engkau berhias, engkau jadi bagus karena yang buruk tak ada lagi. Engkau siang malam mendidik dirimu untuk itu. Kalau nanti sudah menjadi itu apa jadinya, titik itu tumbuh kembali, tetapi di bawah, lafaznya “Tajalli”: Kelihatan Allah dalam hati. Bukan di mata, tetapi terasa di hati bahwa Dia ada.
***** akhir kutipan *****
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendaki-Nya seperti Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) ketika mereka di dunia dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA KAIFA yakni TANPA sifat-sifat JISIM (sifat makhluk atau benda) seperti arah (jihah), jarak maupun tempat.
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata;
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Nabi Muhammad (shallallahu alaihi wasallam) melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya (HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203).
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali karamallahu wajhah menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Penduduk surga kelak akan melihat Allah adalah karena mereka tidak berdosa.
Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat melihat Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihu wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa maka akan ada satu noda hitam di hatinya, jika ia bertobat dan berlepas dari dosanya maka hatinya akan menjadi bersih, namun jika dosanya bertambah maka noda hitam tersebut akan semakin bertambah hingga menutupi hatinya, itulah noda yang disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an, “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya dosa yang mereka perbuat itu menutupi hati mereka.” (QS Al-Muthaffifin [83] : 14) (Musnad Ahmad 7611)
Jadi setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22] : 46)
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya hidayah oleh KEGELAPAN sesat.
Ahli maksiat tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taqwa oleh KEGELAPAN alpa.
Ahli Ibadahpun boleh terjadi tidak dapat memandang Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh KEGELAPAN memandang ibadahnya.
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DINISBAHKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****
Jadi 11 – 12 atau BEDA TIPIS antara firqah MUJASSIMAH yakni orang yang meyakini dan mengkhayalkan yang disembahnya berJISIM dengan orang yang menyembah BERHALA.
Letak perbedaannya adalah jikalau kaum musyrikin berhala dibuatkan sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala dikhayalkan.
Contohnya ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131)
Begitupula KAIDAH KELIRU yang dibuat oleh ulama rujukan mereka, Ibnu Abdil Barr (W. 463 H) ketika membahas tentang Allah, Beliau berkata dalam at-Tamhid:
وقد قال المسلمون وكلُّ ذي عقلٍ: إنه لا يُعقَلُ كائنٌ لا في مكانٍ منا، وما ليس في مكانٍ، فهو عدمٌ
“Kaum muslimin dan setiap orang berakal berkata: Sesungguhnya TIDAK dapat DINALAR adanya SESUATU yang TAK BERTEMPAT dari perspektif kita. Dan, apa yang TAK BERTEMPAT maka ia TIDAK ADA.”
Jikalau mereka mengatakan bahwa SESUATU yang TAK BERTEMPAT itu TIDAK ADA maka sama artinya mereka mengatakan bahwa dulu SEBELUM ADA tempat asalnya Allah TIDAK ADA juga.
Begitupula JIKA mereka meyakini SESUATU yang tidak berarah atau tidak bertempat itu TIDAK ADA maka menunjukkan KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy.
Jadi pada kenyataannya LISAN firqah MUJASSIMAH mengatakan menyembah Allah namun KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy
Rasulullah telah menjelaskan bahwa melihat wajah Allah maknanya adalah melihat Rabb kalian semudah melihat bulan purnama namun BUKAN di suatu ARAH sehingga tidak saling berdesak-desakan melihat-Nya
Telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Qais dari Jarir bin ‘Abdullah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti (semudah) kalian melihat bulan purnama ini
لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
Kalian tidak ada kesulitan melihatnya – tidak saling berdesak-desakan melihatnya (HR Bukhari 521 atau Fathul Bari 554)
Jumhur ulama telah sepakat bahwa yang DISERUPAKAN bukanlah seperti melihat bulan yang dliputi arah, jarak, ruang maupun tempat NAMUN yang DISERUPAKAN adalah KEMUDAHAN penduduk surga kelak melihat Allah sebagaimana qarinah (petunjuk) dalam sabda Rasulullah di atas yakni SEMUDAH melihat bulan purnama atau matan (redaksi) hadits lainnya SEMUDAH melihat matahari ketika tidak ada awan yang menutupinya.
Contoh Al Imam Al Hafizh an Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan TIDAK pula ADA KESULITAN padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan purnama ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. YANG DISERUPAKAN disini adalah cara melihatnya (tidak ada kesulitan atau KEMUDAHAN melihat-Nya), bukan Allah diserupakan dengan bulan (dliputi arah dan ruang atau tempat maupun jarak) (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)
Begitupula Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan:
قَولُهُ (تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ) المرادُ تَشْبِيهُ الرُّؤيةِ بِالرُّؤْيَةِ فِي الوُضُوحِ وَزَوَالِ الشَّكِ ورَفْعِ الْمَشَقَّةِ والاختِلافِ
“Sabda Nabi “kalian melihatnya demikian juga” maksudnya adalah PENYERUPAAN antara proses melihat (Allah) dengan proses melihat (matahari/bulan) dalam hal KEJELASANNYA dan TIDAK ADANYA keragu-raguan, TIDAK ADA KESULITAN dan TIDAK ADA perbedaan pendapat.
وقالَ البيهقيُّ سَمِعْتُ الشيخَ أبَا الطَّيِّبِ الصُعْلُوكيَّ يَقُولُ ’’لا تَضامُّونَ’’ بِتَشديدِ الميمِ يُريدُ لا تَجْتَمِعُونَ لِرُؤْيَتِهِ فِي جِهَةٍ ولا يَنْضَمُّ بَعْضُكُمْ إلَى بَعْضٍ فَإِنَّهُ –أَيِ اللهَ- لا يُرَى في جِهَة”
Imam al-Baihaqi berkata: Aku mendengar Syaikh Abu Thayyib as-Sha’luki berkata: “La tudlammuna” maksudnya kalian TAK PERLU berkumpul dan BERDESAKAN satu sama lain dalam satu arah untuk melihatnya. Sesungguhnya Allah TAK DILIHAT DALAM SATU ARAH tertentu”.
Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa kelak penduduk surga melihat Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, tempat, ukuran maupun berbatas dengan makhluk.
Berikut kutipan contoh penjelasan Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H) salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi dalam kitab al-Washiyah mengatakan
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق.
“Perjumpaan Allah dengan penduduk surga itu BILA KAIFA (TANPA KAIFA yakni tanpa sifat makhluk / benda), TANPA PENYERUPAAN (tasybih) DAN TANPA ARAH (jihah) adalah benar”.
Imam Abu Hanifah menjelaskan lebih lanjut,
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ
Dan kelak orang-orang mukmin di surga kelak akan melihat Allah Ta’ala dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa ukuran atau batasan (kammiyyah),
وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة
serta TANPA adanya JARAK antara Allah Ta’ala dan ciptaan-Nya yakni orang-orang mukmin tersebut. (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Para ulama menjelaskan bahwa kelak penduduk surga melihat Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda karena KAIFIYAH itu bagi yang mempunyai bentuk fisik seperti contoh kaifiyah (bagaimana) putihnya, apakah seputih salju atau seputih tulang.
Contohnya Imam Abu Jakfar al-Maturidi dalam kitab at-Tauhid menjelaskan
awal kutipan ‘
إن رؤية الله في الآخرة واجبة سمعًا بلا كيف
“Sesungguhnya melihat Allah di akhirat itu pasti terjadi berdasar dalil naqli dengan BILA KAIFA (TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat benda/makhluk).
فإن قيل كيف يُرى
Apabila ditanya, bagaimana Dia dilihat?
قيل بلا كيف إذ الكيفية تكون لذي صورة
Maka dijawab: BILA KAIFA (TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat benda / makhluk) KARENA Al Kaifiyah itu bagi yang mempunyai bentuk fisik.
بل يُرى بلا وصفِ قيامٍ وقعودٍ واتكاءٍ وتعلقٍ واتصالٍ وانفصالٍ ومقابلةٍ ومدابرةٍ وقصيرٍ وطويلٍ ونورٍ وظلمة وساكنٍ متحركٍ وُمماسٍ .
Tetapi Dia dilihat tanpa sifat berdiri, duduk, berpegangan, bergelantungan, bersambung, berpisah, berhadapan, membelakangi, pendek, panjang, CAHAYA, kegelapan, diam, bergerak dan menyentuh.
akhir kutipan
Begitupula kelak penduduk surga melihat Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda seperti tanpa arah maupun tempat, TANPA adanya JARAK, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri SEHINGGA penduduk surga melihat Allah TANPA saling BERDESAKAN satu sama lainnya KARENA kelak penduduk surga melihat Allah BUKAN dengan mata kepala JASMANI namun dengan mata kepala DIRI SEJATI dan jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala
Sultannya Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitab Sirrul Asrar (rahasia di balik rahasia) menyampaikan bahwa kelak penduduk surga meliihat Allah BUKAN dengan mata kepala JASMANI namun dengan mata kepala DIRI SEJATI yang bersama Allah dan menyaksikan Allah karena badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala dan Beliau menamakan DIRI SEJATI dengan sebutan “Thiflul Ma’ani” (bayi ma’nawi atau jabang sukma).
طفل المعاني ، لأنه من المعنويات القدسية
Dinamakan demikian karena ia lahir dari sukma yang suci (al ma’nawiyyah al qudsiyah)
Berikut kutipan penjelasan Beliau.
***** awal kutipan *****
والشابعة أن إطلاقه على سبيل المجاز باعتبار تعلقه بالبدن ، وتمثيله بصورة البشر بناء على أن إطلاقه عليه لأجل ملاحته لا لأجل استصغاره
Penggunaan nama Thiflul Ma’ani (untuk Ruh Kudsi) ini sifatnya majasi (metafora) ditinjau hubungan eratnya (ruh qudsi). Adapun ia ditamsilkan dengan rupa bayi lantaran keindahannya, bukan berarti Roh Qudsi kecil secara fisik seperti anak bayi.
وبالنظر إلى بداية حاله ، وهو الإنسان الحقيقي ، لأن له أنسية مع الله تعالى .
Dan ditinjau dari awal adanya, Ruh Qudsi ini adalah hakikat manusia (manusia sejati atau DIRI SEJATI) karena dia memiliki keintiman (unsiyyah) berhubungan langsung dengan Allah Ta’ala.
فالجسم والجسماني ليس محرما له لقوله صلى الله عليه وسلم
Sedangkan badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta’ala berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
لي مع الله وقت لا يسع فيه ملك مقرب ولا نبي ، مرسل
“Aku memiliki waktu bersama Allah, dimana Malaikat terdekat dan Nabi yang diutus pun TIDAK MEMILIKI kesempatan itu”
والمراد من النبي المرسل بشرية النبي
Yang dimaksud “Nabi yang diutus” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah dimensi basyariyahnya (kemanusiaannya) dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
ومن الملك المقرب روحانيته التي خلقت من نور الجبروت ، كما أن الملك من نور الجبروت فلا يدخل في نور اللاهوت
Adapun yang dimaksud “Malaikat terdekat” (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah ruh ruhani dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diciptakan dari cahaya Jabarut sebagaimana malaikat juga diciptakan dari cahaya Jabarut sehingga “Malaikat terdekat” tidak dapat masuk ke dalam cahaya lahut.
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، “
Rasulullah shallallahi alaihi wasallam bersabda,
أن لله جنة لا فيها خور ولا قصور ولا جنان ولا عسل ولا لبن ، بل نظر إلى وجه الله تعالى
“ADA satu surga milik Allah Ta’ala yang di dalamnya TIDAK ADA bidadari dan istana, TIDAK ADA madu dan susu. Nikmat (yang dianugerahkan) di dalam surga tersebut hanya satu yaitu melihat Allah Ta’ala.
كما قال الله تعالى وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة
Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS Al Qiyamah [75] : 22-23)
وكما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر
Dan juga dijelaskan dalam sabda Rasullah shallallahu alaihi wasallam, Kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana (mudahnya) melihat bulan pada malam bulan purnama” (HR Bukhari)
ولو دخل الملك والجسمانية في هذه العالم لاخترقا كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، لو كشفت سبحاث وجهي جلالي لاخترق كل ما مد بصري
Jika malaikat dan jasmani yakni segala sesuatu selain Ruh Qudsi masuk di Alam Lahut maka pasti akan terbakar sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi, “Jika kesucian Dzat-Ku yakni sifat Jalal-Ku disingkap maka semuanya, sejauh mata-Ku memandang, pastilah terbakar (HR Muslim)
وكما قال جبرائيل عليه السلام ، ” لو دنوتُ لاخترقت
Sebagaimana juga yang diungkapkan Jibril alaihissalam, “Jika aku mendekat pasti aku terbakar”
***** akhir kutipan *****
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 96).
Jadi amal kebaikan yang berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) yakni semula lenyap dari sisi kita berubah menjadi TAJALLI yakni menjadi kekal di sisi Allah adalah amal kebaikan yang “melahirkan” DIRI SEJATI atau dalam bahasa Sunda disebut JASAD MURNI dan dalam bahasa Jawa disebut INGSUN SEJATI atau PANCER yang wujudnya seperti diri kita, seperti di cermin tetapi PANCER DIRI itu selalu muda tidak pernah tua, dan selalu bercahaya, anggun mempesona maka di surga itu tidak ada yang tua, semuanya muda.
Bentuk DIRI SEJATI yang terbentuk bagi manusia yang sempurna (Insan Kamil) adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik yakni mereka yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan sehingga mencapai muslim yang IHSAN atau muslim yang berakhlakul karimah
Imam Malik berkata: “Bentuk ruh manusia yang sholeh itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya yang terbaik.”
Imam Al Ghazali berkata jiwa (al-Nafs) merupakan substansi (jauhar) dari ruhani.
Dalam hal kerja ruh atau jiwa (al-Nafs) ini, Imam Al Ghazali membaginya ke dalam dua macam arti yakni pertama, dalam arti materiil (ruh hewani), dan kedua, dalam arti imateriil (ruh insani).
Dalam arti pertama adalah organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui dan dalam arti kedua, jiwa adalah nafs natiqah, dengan daya praktik dan teori.
Hubungan kedua macam jiwa (al-Nafs) ini dapat diketahui dengan ilham (ilmu mukasyaf), yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya.
Oleh karenanya kita kenal ungkapan “bangunlah jiwanya (an nafs) bangunlah badannya (jasad)”
Para ulama Allah yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari
alam nasut (alam mulk / alam jasad)
alam malakut (alam mitsal)
alam jabarut (alam ruh)
alam lahut
Alam lahut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut
Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allah dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada. Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allah) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.
Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.
Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita.
Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad. Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).
Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Allah adalah yang paling rendah.
Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad.
Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.
Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.
Sedangkan penghuni alam mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa dimengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)
Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat bentuk DIRI SEJATI dirinya sendiri atau orang lain.
Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah Ta’ala (al-mawahib al-rabbaniyyah).
Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Kabah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shadiq radhiyallahu anhu, ulama besar dari keturunan cucu Rasulullah menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk DIRI SEJATI mereka.
Seperti tubuh, DIRI SEJATI mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa DIRI SEJATI jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. DIRI SEJATI dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Dalam teori akhlak dari Hujjatul Islam Imam Al Ghazali bahwa orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai bentuk DIRI SEJATI yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk memperindah bentuk DIRI SEJATI, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita.
Kita dapat simpulkan dari doa ketika bercermin. “Allahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar