Mereka bukan menegakkan kalimat tauhid namun menegakkan tuduhan syirik
Pada akhir zaman ini timbul pertanyaan ironis yakni mengapa mereka mengaku muslim namun membunuhi umat Islam
Rasulullah memang telah menubuatkan bahwa kelak akan muncul fitnah dari Timur yakni fitnah dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Rasulullah telah bersabda bahwa miqat Qarnul Manazil, tempat yang berbukit, sekitar 90 km di sebelah Timur Makkah adalah tempat miqat bagi penduduk Najed dan bagi mereka yang datang dari arah Timur lainnya.
Penduduk Iraq dan Iran miqat di Dzat Irq, sesuai dengan arah negeri Iraq sebelah Timur Laut.
Sedangkan penduduk Yaman miqat di Yalamlam, sesuai dengan arah negeri Yaman sebelah Tenggara.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad dari ‘Amru dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Yaman di Yalamlam dan bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan ‘umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiyah) dari (rumah mereka) di Makkah. (HR Bukhari 1431)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Sedangkan qarnul manazil artinya tempat tanduk.
Lalu mengapa ada orang-orang yang mengatakan bahwa fitnah dari Timur adalah dari Iraq sedangkan negeri Iraq berada sebelah Timur Laut.
Kesalahpahaman itu terjadi karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti,
Aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar berkata: Wahai penduduk Iraq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar, aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: Sesungguhnya fitnah itu muncul disini -ia menunjukkan tangannya ke arah timur- dari arah terbitnya dua tanduk setan. (HR Muslim)
Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu mengatakan “fitnah itu muncul di sini” hanyalah menyampaikan dengan mengulang apa yang dikatakan oleh ayahnya Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu yang menyampaikan dengan mengulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kata “di sini” bukan menunjukkan di mana Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu berada.
“Penduduk Iraq” yang dinasehati oleh Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu adalah kaum Haruriyyah yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim
Dan Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ia berkata, saya mendengar Yahya bin Sa’id berkata, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah dan Atha` bin Yasar bahwa keduanya mendatangi Abu Sa’id Al Khudri dan bertanya tentang Al Haruriyyah, “Apakah Anda pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya?” Abu Sa’id menjawab, “Saya tidak tahu, siapakah sebenarnya Al Haruriyyah itu. Tetapi, saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Akan keluar dari umat ini -dan beliau tidak mengatakan- darinya suatu kaum, yang mereka akan meremehkan shalat kalian. kemudian mereka membaca Al Qur`an, namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam, sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya, hingga sang pemanah pun melihat ujung dari anak panah itu, apakah memuncratkan darah.’” (HR Muslim 1764)
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah dari Mush’ab bin Sa’ad dia berkata; Aku bertanya kepada Bapakku mengenai firman Allah; Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? apakah mereka orang Harury? Bapakku menjawab; bukan, mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Adapun orang-orang Yahudi, mereka telah mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Nashrani mereka telah mengingkari surga. Mereka mengatakan; didalamnya tidak ada makanan dan minuman. Adapun Haruriy mereka adalah orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh… dan Sa’ad menamakan mereka sebagai orang-orang yang fasik. (HR Bukhari 4359)
Di kemudian hari, kampung Haruri yang terletak dekat Kufah, Iraq. dipergunakan pula oleh orang-orang yang yang memisahkan diri dari khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim yang telah ada di kampung itu. Komandan mereka yang memisahkan diri dari khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Syabats bin Rib’i At Tamimi
Semasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang belum terjadi fitnah dikarenakan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah. Sebab, saat para Sahabat ingin memerangi mereka, oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dicegah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tahu di belakangnya ada teman-teman mereka yang sifatnya sama. Sangat mungkin saat temannya dianiaya, mereka akan mengobarkan perang melawan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Sahabatnya.
Padahal, mereka bukan orang “kafir” karena shalat, shaum, dan ritual ibadah mereka boleh dikatakan di atas rata-rata orang kebanyakan.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang akan merusak Islam dari dalam karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilih menjauhkan mereka dari Madinah. Dan mereka memilih tinggal di suatu kampung bernama Haruri yang terletak dekat Kufah, Iraq. Oleh sebab itu pula, mereka sering juga disebut kaum Haruriyyah,
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah.
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang suka mencela, menyalahkan, menganggap sesat umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Sebaik-baiknya orang yang wafat karena dibunuh adalah orang-orang yang dibunuh oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij
Sedangkan seburuk-buruknya orang yang wafat karena terbunuh adalah anjing-anjing neraka yakni terbunuhnya para pembunuh dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij
Dari Abi Ghalib rahimahullah berkata: “Abu Umamah radiyallahu ‘anhu melihat kepala-kepala manusia (kaum khawarij) ditancapkan ditangga masjid Damaskus. Maka Abu Umamah radiyallahu ‘anhu berkata: Mereka adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruk orang yang terbunuh di kolong langit, dan sebaik-baik orang yang dibunuh adalah orang yang mereka bunuh, kemudian membaca ayat (pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berserih, dan ada pula muka yang hitam buram) QS Ali Imran [3]:106, Aku berkata kepada Abu Umamah radiyallahu ‘anhu. Apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam? Beliau berkata, tidaklah saya mendengar kecuali sekali, dua kali tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali maka saya tidak mungkin mengabarkan hadits ini kepada kalian”. (Shahih Tirmidzi:3199).
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim)
Jadi mereka bukanlah menegakkan kalimat tauhid namun mereka menegakkan tuduhan syirik
Mereka bukanlah dakwah tauhid tapi dakwah tuduh syirik sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/11/18/dakwah-tuduh-syirik/
Rasulullah membela umat Islam dari serangan tuduhan kafir yang dilancarkan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim dengan kalimat ingkaran
“Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
Jadi Rasulullah sudah tahu bahwa dibalik tuduhan kafir dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, sebenarnya adalah kekuasaan dan harta sebagaimana diungkapkan dengan kalimat,
“namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.”
“Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim memang lebih menyukai harta daripada ilmu dari Rasulullah sehingga ilmu dari Rasulullah lebih banyak diserap oleh penduduk Yaman (ahlul Yaman) atau yang kita kenal sekarang dengan Hadramaut Yaman
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Shakhrah dari Shafwan bin Muhriz Al Mazini dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma dia berkata; Sekelompok orang dari Bani Tamim datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: ‘Terimahlah kabar gembira wahai Bani Tamim.’ Mereka menjawab; ‘Anda telah memberikan kabar gembira kepada kami, oleh karena itu berikanlah sesuatu (harta) kepada kami.’ Maka muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah, tidak lama kemudian serombongan dari penduduk Yaman datang kepada beliau, maka beliau bersabda: Terimalah kabar gembira, karena Bani Tamim tidak mau menerimanya! Mereka berkata; Ya Rasulallah, kami telah menerimanya. (HR Bukhari 4017)
Telah bercerita kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats telah bercerita kepada kami bapakku telah bercerita kepada kami Al A’masy telah bercerita kepada kami Jami bin Syaddad dari Shafwan bin Muhriz bahwa dia bercerita kepadanya dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan untaku aku ikat di depan pintu. Kemudian datang rombongan dari Bani Tamim maka Beliau berkata: Terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim. Mereka berkata:; Tuan telah memberikan kabar gembira kepada kami maka itu berilah kami (sesuatu harta) . Mereka mengatakannya dua kali. Kemudian datang orang-orang dari penduduk Yaman menemui Beliau, lalu Beliau berkata: Terimalah kabar gembira, wahai penduduk Yaman, jika Bani Tamim tidak mau menerimanya. Mereka berkata; Kami siap menerimanya, wahai Rasulullah. (HR Bukhari 2953)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mempergunakan sifat orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang lebih menyukai harta tersebut untuk membujuk mereka agar menerima Islam.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka”
Berikut riwayat selengkapnya
Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, kenapa pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku?
Abu Sa’id berkata; Setelah orang itu berlalu, maka seorang sahabat (Khalid bin Al Walid) meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuh orang itu.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti ORANG-ORANG YANG PANDAI MEMBACA AL QUR’AN TETAPI TIDAK SAMPAI MELEWATI KERONGKONGAN MEREKA, bahkan MEREKA MEMBUNUH ORANG-ORANG ISLAM, DAN MEMBIARKAN PARA PENYEMBAH BERHALA; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah di atas yang artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dan berkesimpulan atau menuduh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
Penyembah berhala yang terkenal adalah kaum Yahudi atau yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum pengikut syaitan sehingga mereka dimurkai Allah kecuali bagi mereka yang mau bersyahadat
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102)
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Mereka bukan sekedar membiarkan namun bahkan ada yang bekerjasama atau bersekutu dengan para penyembah berhala, kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka menjadikannya teman kepercayaan, penasehat, pemimpin dan pelindung.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Jadi kalau bani Tamim pada umumnya kelak memerangi Dajjal sedangkan pengecualiannya adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim justru mereka kelak mendatangi Dajjal
Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Orang-orang jahat dari Madinah yang mendatangi Dajjal adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka bersekutu dengan kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi dan menemui Dajjal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij dengan ungkapan majaz (kiasan atau metaforis), “anak muda” atau “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik.
Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah).
Maksudnya mereka suka berdalil dengan Al Qur‘an dan Hadits tapi itu semua dipergunakan untuk menyalahkan atau menuduh (menganggap) sesat atau bahkan mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka atau orang-orang yang tidak mau mengikuti Al Qur’an dan Hadits yang dibaca dan dipahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A‘masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata: Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur‘an dan Hadits) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah telah menetapkan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij telah murtad (keluar dari Islam) “bagaikan anak panah meluncur dari busurnya”
Oleh karenanya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk Sahabat Nabi karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka kelak akan diusir dari telaga Rasulullah karena mereka telah ditetapkan murtad, pelaku dosa besar yakni bid’ah dalam urusan agama dan membunuh umat Islam
Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya Rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar. (HR Bukhari 6097).
Dalam riwayat di atas jelas bahwa Rasulullah bersabda “ya Rabbi, mereka sahabatku” artinya mereka bertemu Rasulullah namun mereka tidak mengikuti Rasulullah melainkan mereka mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka suka mencela, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka melakukan dosa besar, menghalalkan darah atau membunuhnya.
Selain dosa besar mereka menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, dosa besar orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah mereka tidak menepati janjinya “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya” yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’aa dan RasulNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/23/tidak-menepati-janjinya/
Rasulullah telah bersabda bahwa kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah melarang atau mengharamkan hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Rasulullah memang telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan timbul fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Mereka berpendapat atau berfatwa namun menguasai bahasa Arab sebatas artinya dan berbekal makna dzahir saja sehingga mereka akan menghempaskan anda ke neraka jahannam
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra, Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا
Khudzaifah Ibnul Yaman ra bertanya
يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau menetapkan fatwa maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij mengajak orang awam untuk menyempal keluar dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dengan mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Mereka membeli atau memiliki kitab Al Qur’an lalu membaca tafsir atau menterjemahkan dan memahaminya secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Pokok permasalahannya mereka selalu berpegang pada nash (dalil) secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka terjerumus mengajak orang awam untuk menyempal keluar dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) akibat salah satunya salah memahami firman Allah Ta’ala yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti yang artinya,
“Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah” (QS. Al-An’am [6] : 116)
Berikut kutipan terjemahan dari tafsir Jalalain
(Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi) yakni orang-orang kafir (niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah) yaitu agama-Nya (sama sekali) (mereka tidak akan mau mengikuti kecuali hanya pada prasangka belaka) dalam perdebatan mereka denganmu tentang masalah bangkai, yaitu di kala mereka berkata, “Apa yang telah dibunuh oleh Allah lebih berhak untuk kamu makan daripada apa yang kamu bunuh sendiri.” (dan sama sekali) tidak lain (mereka hanyalah berdusta) di dalam hal tersebut. (Tafsir Al-Jalalain, (QS Al-An’am [6] :116)
Jadi mereka salah memahami “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” yang dimaksud sebenarnya adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhatikan ayat-ayat lainnya pada surat tersebut.
Begitu pula mereka mengajak menyempal keluar karena menganggap mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) “mengikuti nenek moyang” akibat mereka memahami secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sehingga salah memahami firman Allah Ta’ala yang diturunkan bagi orang kafir yang artinya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al Baqarah [2]: 170)
Mereka salah memahami “nenek moyang kami” yang dimaksud sebenarnya adalah orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh a.s
Dalam memahami Al Qur’an tidak cukup dengan ayat sepotong-potong atau satu ayat saja tanpa memperhatikan kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan ayat lain pada surah yang lain, kaitannya dengan hadits, asbabun nuzul, gaya bahasa (uslub), kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan dll. Contohnya dalam membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca / potong saja.
Rasulullah telah mengingatkan bahwa ketika masa bermunculan penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yakni menyeru untuk menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) maka hendaklah selalu bersama jama’ah muslimin dan imamnya, hindarilah seluruh firqah-firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kita gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggut.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan yang menyempal keluar contohnya adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim
Sedangkan pada masa kemudian (khalaf) atau masa sekarang, mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/21/perbedaan-adalah-rahmat/
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Para ulama Salaf (terdahulu) justru berpegang pada sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Pada kenyataannya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka mengembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (As Sunnah) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Bagi umat Islam, jika berbeda pendapat maka kembalikanlah kepada Allah Ta’ala (Al Qur’an) dan RasulNya (Hadits) dengan mengikuti “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Selengkapnya piagam Madinah pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/03/piagam-madinah.pdf
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.
Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Begitupula terhadap umaro (penguasa negeri) yang mengaku muslimpun namun tidak mentaati para fuqaha atau kebijakan umaro (penguasa negeri) menurut pendapat para fuqaha, ada yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka wajib kita ingkari dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Terimakasih atas semua artikel/pencerahannya, jazakallah ahsanal jaza’
On Nov 29, 2017 08:27, “Mutiara Zuhud – Letakkan dunia pada tanganmu dan akhir