Kata BID’AH dan SUNNAH dapat berarti sama
Contohnya dalam hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Asbabul wurud dari hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH adalah adanya seorang Sahabat yang memelopori atau mencontohkan atau meneladankan bersedekah sesuatu yang dibungkus dengan daun.
Jarir (Jarir bin ‘Abdul Hamid) berkata; ‘Tak lama kemudian seorang Sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang Sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang Sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Arti kata SUNNAH dalam hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH bukanlah SUNNAH Rasulullah karena tidak ada SUNNAH Rasulullah yang SAYYIAH (BURUK)
Kata SUNNAH dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa artinya adalah “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.
Pengertian SUNNAH ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak.
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan dinamai SUNNAH, walaupun tidak baik.
Begitupula kata BID’AH atau MUHDATS itu artinya PERKARA BARU atau CONTOH BARU, bisa BAIK (HASANAH) dan bisa pula BURUK (SAYYIAH)
Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yakni KEBIASAAN yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU tersebut bisa BAIK (HASANAH) dan bisa pula BURUK (SAYYIAH)
Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH.
Artinya CONTOH (TELADAN) atau PERKARA BARU (BID’AH atau MUHDATS) atau KEBIASAAN BARU yang BAIK.
Yakni CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yang TIDAK MENYALAHI laranganNya atau TIDAK BERTENTANGAN dengan Al Qur’an dan Hadits.
Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH.
Artinya CONTOH (TELADAN) atau PERKARA BARU (BID’AH atau MUHDATS) atau KEBIASAAN BARU yang BURUK
Yakni CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yang MENYALAHI laranganNya atau BERTENTANGAN dengan Al Qur’an dan Hadits
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i“
Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID’AH SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH (MUSTAQBAHAH)” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Begitupula dalam Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala.
Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia berkata:
البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي
Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadhan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Dari penjelasan Abu Nuaim di atas dapat kita ketahui bahwa Imam Syafi’i menetapkan adanya bid’ah hasanah (baik) atau bid’ah mahmudah (terpuji) salah satunya berpegang pada perkataan Umar bin Khattab.
Jadi kalau ada ulama dari zaman NOW atau zaman kemudian (khalaf) yang membaca, menterjemahkan dan memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan ulama terdahulu secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya lalu berpendapat atau berfatwa tidak ada BID’AH HASANAH maka pendapat atau fatwanya harus dibuang jauh karena kompetensi ulama zaman NOW sangat jauh di bawah kompetensi Imam Mujtahid zaman dahulu seperti Imam Syafi’i.
Pendapat bahwa perkataan Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab adalah salah satu landasan bid’ah hasanah DITENTANG oleh mereka dari ZAMAN NOW yang sombong dan merasa lebih pandai daripada Imam Syafi’i dan Imam Mujtahid lainnya.
Mereka mengatakan bahwa sholat taraweh adalah sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan atau berdalilkan riwayat berikut,
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya siapa diantara kamu yang hidup (berumur panjang), maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk“. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)
Pengertian mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin dalam riwayat di atas bukanlah dalam pengertian mengikuti syariat yang telah ditetapkan oleh Khulafaur Rasyidin namun dalam pengertian mengikuti SUNNAH dalam arti mengikuti CONTOH Khulafaur Rasyidin dalam mentaati dan menjalani apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya karena syariat telah sempurna sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Pada kenyataannya orang-orang yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH pada umumnya justru akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni mereka mengganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/04/04/contoh-bidah-urusan-agama/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID’AH) dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).
Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.
Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi).
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah
Begitupula kelirulah dan termasuk menentang Khalifah Umar kalau mengatakan bahwa sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam sepanjang bulan Ramadhan adalah sunnah Khulafaur Rasyidin karena Khalifah Umar mengatakannya,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” , setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam pada malam berikutnya
Dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.
Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)
Begitupula Ka’ab bin Malik menegaskan bahwa, “Ini sebelumnya tidak ada”
Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu, akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar.
Begitupula keliru pula kalau mengatakan bahwa Khalifah Umar menghidupkan kembali sunnah Rasulullah karena Rasulullah tidak pernah “mensunnahkan” atau memerintahkan para Sahabat untuk berjamaah dengan Beliau namun kemauan para Sahabat sendiri.
Khalifah Umar mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Begitupula shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah bid’ah yang baik karena bermanfaat yakni berfungsi sebagai syiar Islam.
Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai “menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah Ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah contoh bid’ah hasanah atau kebiasaan yang baik dan termasuk dalam ibadah ghairu mahdhah.
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH, salah satunya akibat mereka belum dapat membedakan antara IBADAH MAHDHAH dan IBADAH GHAIRU MAHDAH.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni IBADAH MAHDHAH dan IBADAH GHAIRU MAHDAH
Prinsip IBADAH MAHDHAH diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.
Sedangkan prinsip IBADAH GHAIRU MAHDHAH diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah
Dalam IBADAH MAHDHAH berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim (HUKUM ASAL IBADAH ITU HARAM) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari Al Qur’an maupun Hadits, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/03/13/asal-ibadah-itu-haram/
Jadi pertanyaan MANA DALILNYA atau IBADAH ITU ADALAH TAUQIFIYAH (tidak ada tempat bagi akal, rasio atau logika atau terima apa adanya) atau ibadah yang harus ada dalilnya HANYALAH dalam perkara IBADAH MAHDHAH bukan ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“
Contoh PERTAMA, seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Kebiasaannya membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz adalah SUNNAH HASANAH (bid’ah hasanah) atau contoh (teladan) atau perkara baru (muhdats atau bid’ah) atau kebiasaan baru yang baik yakni contoh atau kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Sedangkan kegiatan membaca Al Qur’an 1 Juz hukumnya sunnah (mandub), berpahala.
Contoh KEDUA, mereka ada yang mempunyai kebiasaan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya adalah mubah (boleh) sehingga tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Namun hukum asal berubah dari mubah menjadi haram kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Kebiasaan membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya mubah (boleh) sedangkan kebiasaan gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka hukumnya haram, berdosa
Contoh PERTAMA, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi sunnah (mandub) berpahala sedangkan contoh KEDUA, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi haram, berdosa.
Contoh yang lain amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena melanggar larangan Rasulullah.
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Ibadah Ghairu Mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik termasuk kebiasaan dzikir, sholawat, ratib dll.
Mereka bertanya di manakah contoh referensi yang berpendapat bahwa dzikir, shalawat, baca Al Qur’an dll adalah termasuk ibadah ghairu mahdah.
Silahkan baca contohnya di Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshori atau Fathul Mu’in karya al-Malabari
Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus.
Umat Islam boleh mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah selama syair atau matan (redaksi) sholawat tersebut tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contohnya Imam Asy-Syafi’i menyusun dan merutinkan kebiasaan sholawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mana sholawat itu belum pernah disusun oleh ulama-ulama sebelumnya dan termuat dalam kitab Beliau yang berjudul Ar-Risalah yaitu:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ
(Artinya: ”Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Nabi Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu.”)
Atau
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَ بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تَنْبَغِي الصَّلاَةُ عَلَيْهِ.
Artinya: ”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang tidak bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana shalawat yang Engkau perintahkan kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana Engkau suka agar dibacakan shalawat atasnya, dan limpahkanlah pula shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana selayaknya ucapan shalawat atasnya.”
Begitupula umat Islam dapat berdzikir kapan pun di manapun dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an yang tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.
Azas ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Contohnya, sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan para Sahabat membaca surat al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah yang boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya
Berikut riwayat selengkapnya,
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH mengatakan bahwa kebiasaan para Sahabat dalam sholatnya membaca surat Al-Ikhlas walaupun tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah namun diketahui, ditetapkan dan dibenarkan oleh Rasulullah yang disebut dengan sunnah taqririyah sehingga menjadi bagian dari agama dan boleh kita ikuti.
Diamnya Rasulullah atau Rasulullah membolehkan atas kebiasaan yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah karena BID’AH atau perkara baru (muhdats) atau kebiasaan baru para Sahabat tersebut memang ditetapkan oleh Rasulullah bukan perkara terlarang.
Begitupula bukan perkara terlarang bagi umat Islam mempunyai kebiasaan dalam sholatnya membaca surat selain surat Al Ikhlas walaupun kebiasaan tersebut diamalkan tanpa sepengetahuan Rasulullah.
Jadi dengan kata lain, sunnah taqririyah adalah bid’ah para Sahabat yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai BID’AH atau perkara baru (muhdats) yang tidak terlarang sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/12/23/bidah-tidak-terlarang/
BID’AH atau perkara baru (muhdats) atau kebiasaan baru atau kebiasan yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah tersebut diperbolehkan oleh Rasulullah karena pada bagian yang memang tidak terlarang untuk berbeda.
Contoh mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mereka mengingkari BID’AH HASANAH berakibat mereka terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah yakni mereka melarang (mengharamkan) SEMUA BID’AH dalam sholat tanpa pengecualian.
Contohnya mereka melarang (mengharamkan) kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat berdalilkan sabda Rasulullah yang artinya “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Padahal menurut para fuqaha (ahli fiqih) memang dalam sholat ada bagian yang diperbolehkan BID’AH atau ada bagian yang boleh berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Contohnya Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud dalam Sunannya. Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah;
…أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).
Begitupula salah seorang Sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik)
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) berdalilkan dua riwayat tersebut berpendapat atau menetapkan bahwa kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat bukanlah perkara terlarang karena tidaklah merusak tasyahud dan bahkan hukumnya sunnah (mandub) atau berpahala karena padanya ada sopan santun.
Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,
نعم ! لا يضر زيادة هيم فى عليك ولا يا نداء قبل ايها ولا وحده لا شريك له بعد اشهد ان لا اله الا الله, لورودها فى رواية كما قاله شيخنا ولا زيادة عبده مع رسوله ولا زيادة سيدنا قبل محمد. هنا وفى الصلاة عليه الاتية بل هو افضل لان فيه مع سلوك الادب امتثال الامر قليوبى
Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah “asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”, begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167)
Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.” (Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157)
Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya. (Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86)
Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan: “Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.” (Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181)
Berikut contoh lain bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Sahabat Nabi, Bilal radhiyallahuanhu sehingga Rasulullah mempertanyakannya karena tidak mencontohkannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
Mereka yang mengingkari bid’ah hasanah berpendapat bahwa kebiasaan Bilal ra tersebut bukanlah menunjukkan adanya bid’ah hasanah karena kebiasaan Bilal ra sholat sunnah dua raka’at setelah wudhu adalah sholat sunnah mutlak.
Hal yang dipertanyakan oleh Rasulullah adalah sesuatu yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah.
Rasulullah tentu tidak perlu mempertanyakan kebiasaan sholat sunnah dua raka’atnya Bilal ra namun yang dipertanyakan oleh Rasulullah dan diungkapkan oleh Rasulullah dengan ungkapan “derap sandalnya terdengar di dalam surga” adalah kebiasaannya menjaga wudhu baik itu pada waktu malam ataupun siang hari artinya setiap batal wudhunya maka Bilal ra segera berwudhu kembali.
Ironisnya mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH itu, mereka merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Salafush Sholeh.
Namun ketika mereka menghadapi BID’AH (MUHDATS) atau PERKARA BARU yakni perkara yang mereka TIDAK TEMUKAN HADITS-nya atau perkara yang mereka TIDAK TEMUKAN SUNNAH Rasulullah langsung mereka MEM-VONISnya atau menetapkannya sebagai perkara TERLARANG dan sebaliknya mereka menganggap apa yang telah disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah semuanya adalah sebuah KEWAJIBAN.
Padahal Salafush Sholeh tidaklah seperti mereka.
Contohnya Sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika akan diutus oleh Rasulullah ke Yaman untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, Rasulullah bertanya
فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله ولا فيِ كتِابِ الله ؟
Bagaimana jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah ?
Sahabat Muadz menjawab
أجْتهِدُ رأْيِ ولا آلو فضرب
Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya dan tidak akan berlebih-lebihan
Rasulullah memujinya dengan sabdanya, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram adalah Muadz bin Jabal”
Jadi para Sahabat atau Salafush Sholeh dalam menghadapi BID’AH (MUHDATS) atau PERKARA BARU atau PERKARA yang TIDAK DIJUMPAI SUNNAH Rasulullah tidak langsung MEM-VONISnya atau menetapkannya sebagai perkara TERLARANG namun menimbangnya dengan berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukumnya) mengikuti hukum dalam Islam yang kita kenal dengan HUKUM TAKLIFI yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Jadi pada kenyataannya mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH terjerumus mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun mereka belum paham dengan hukum dalam Islam yakni hukum taklifi sehingga mereka menganggap apa yang telah disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah semuanya adalah sebuah KEWAJIBAN dan sebaliknya apa yang tidak pernah disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah semuanya adalah PERKARA TERLARANG sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/01/12/belum-paham-taklifi/
Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH
Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘AMM.
Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil
Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.
Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.
Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” di-takhsis munfasil (terpisah) dengan hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH
Contohnya Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH adalah hadits yang mentakhsis munfasil (terpisah) dari hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
******* awal kutipan *******
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik (SUNNAH HASANAH) dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk (SUNNAH SAYYIAH) dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.
Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi (yang artinya)
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.
Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.
****** akhir kutipan ******
Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi
Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan:
***** awal kutipan *****
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan (bertentangan) dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya yakni
“Barang siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Shahih Muslim hadits no.1017)
dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
***** akhir kutipan *****
Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 menjelaskan
****** awal kutipan *******
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru (BID’AH) itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau berkata: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid’ah tersebut adakalanya):
1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2. Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
****** akhir kutipan *****
Selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan (Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Golongan atau firqah mujassimah (musyabbihah) adalah orang-orang yang memahami Tauhid Asma wa Sifat atau memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka terjerumus DURHAKA kepada Allah karena mereka men-jisim-kan Allah atau mereka mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya
Contohnya mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah tangan dan keduanya adalah kanan.
Ada pula mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang ditempatkan di Kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/04/15/hanya-makna-dzahir/
Rasulullah memang telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan timbul fitnah dan perselisihan dari orang-orang Arab sendiri yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Mereka berpendapat atau berfatwa namun menguasai bahasa Arab sebatas artinya dan berbekal makna dzahir saja sehingga orang-orang yang taqlid mengikuti pendapat atau fatwa mereka maka akan ikut dihempaskan ke neraka jahannam.
Dari Khudzaifah Ibnul Yaman ra, Rasulullah bersabda mereka adalah penyeru menuju pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan menghempaskan orang-orang itu ke dalamnya
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا
Khudzaifah Ibnul Yaman ra bertanya
يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ
“Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama JAMA’AH muslimin dan imam mereka!
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ
Saya bertanya; kalau tidak ada JAMA’AH muslimin dan imam bagaimana?
قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari 7084)
Dalam riwayat di atas, Rasulullah menjelaskan ciri-ciri orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah “Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita”.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Samalah dengan bangsa kita , seberapa banyak orang yang menguasai tata bahasa dan sastra Indonesia?
Jadi walaupun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, bahasa ibunya adalah bahasa Arab namun tidak mendalami dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab kemudian mereka menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits, lalu menyatakan pendapat atau menetapkan fatwa maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar