Penegakan ayat suci di atas ayat konstitusi bukanlah makar dan tidak melanggar konsensus nasional
Siapapun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kelak terpilih dalam pilpres 2019, tetap ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi kaum muslim.
Kami prihatin dengan orang-orang yang mengaku muslim namun alergi atau anti syariat Islam bahkan menolak undang-undang atau peraturan-peraturan yang bernuansa Islam dan mengaitkannya dengan KHILAFAH
Bedakanlah antara KHILAFAH dengan SYARIAT ISLAM karena TANPA KHILAFAH tetap ada kewajiban menjalankan SYARIAT ISLAM bagi kaum muslim
Kaum muslim yang tinggal di negeri kaum kuffar pun mempunyai kewajiban menjalankan syariat Islam yakni menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Syariat Islam tidaklah melanggar konsensus nasional, tidaklah menganggu toleransi dan tidak mengganggu kehidupan non muslim sebagaimana yang kita lihat pada zaman Rasulullah.
Syariat Islam berasal dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala tentu lebih tahu tentang kebutuhan ciptaanNya (manusia).
Allah Ta’ala hanya mengharamkan atau melarang beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Dengan demikian wilayah haram atau yang dilarang dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal atau yang dibolehkan sangatlah luas.
Selain yang dilarangNya atau selain yang diharamkanNya, segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ada yang bertanya mengapa umat Islam memperjuangkan penegakkan syariat Islam yakni ayat suci di atas ayat konstitusi melalui paslon 02 ?
Pokok permasalahannya partai politik atau koalisi partai politik yang mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pada Pemilu 2014 yang diamanahkan oleh ayat konstitusi TIDAK MEMBERIKAN pilihan paslon yang lain yang menegaskan akan menegakkan syariat Islam.
Buktinya gerakan #2019GantiPresiden lahir sebelum penetapan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) 20 September 2018
Lalu mengapa tidak memperjuangkan syariat Islam melalui paslon 01 ?
Pertanyaannya adalah kalau memungkinkan memperjuangkan syariat Islam melalui paslon 01, mengapa sampai timbul gerakan #2019GantiPresiden ?
Mengapa Habib Rizieq yang memperjuangkan penegakkan ayat suci di NKRI sampai harus hijrah meninggalkan NKRI.
Habib Rizieq mengingatkan bahwa penegakkan ayat suci di NKRI BUKANLAH MAKAR dan TIDAKLAH MELANGGAR KONSENSUS NASIONAL namun merupakan kewajiban agama yang sekaligus merupakan amanat konstitusi NKRI baik landasan IDIIL Pancasila maupun landasan KONSTITUSIONIL UUD 1945.
Landasan IDIIL Pancasila, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan landasan KONSTITUSIONIL UUD 1945 baik di pembukaan maupun di batang tubuhnya, dalam pasal 29 ayat 1 bahwa dasar negara RI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan landasan IDIIL maupun landasan KONSTITUSIONIL bahwa rakyat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan beragama dan berbangsa serta bernegara wajib menjunjung tinggi hukum Tuhan Yang Maha Esa yaitu hukum Tuhan yang tertuang dalam ayat-ayat suci.
Habib Rizieq memperjuangkan ayat suci di atas ayat konstitusi melawan propaganda ayat konstitusi di atas ayat suci sebagaimana video pada http://www.youtube.com/watch?v=mJNOCbuhCK8
Dalam video yang disampaikan ketika acara reuni 212, Habib Rizieq mengingatkan bahwa umat Islam harus patuh pada konstitusi namun ayat konstitusi tersebut harus sejalan dengan ayat suci.
Berikut beberapa kutipan pernyataan Habib Rizieq dalam video tersebut
***** awal kutipan *****
Propaganda ayat konstitusi di atas ayat suci adalah propaganda busuk dari kalangan anti agama
Ayat suci adalah wahyu Ilahi yang Maha Tinggi dan wajib ditaati sehingga tidak boleh direvisi apalagi diganti.
Sedangkan konstitusi adalah produk akal insani yang wajib tunduk kepada ayat suci karena ayat suci merupakan wahyu Ilahi
Jadi selama ayat konstitusi seiring dan sejalan dengan ayat suci maka wajib kita patuhi namun jika ayat konstitusi melanggar dan bertentangan dengan ayat suci maka wajib ayat konstitusi tersebut diamandemen dan diperbaiki, direvisi, diganti, diluruskan agar senafas dan senyawa dengan ayat suci yang merupakan wahyu ilahi.
Ayat-ayat konstitusi yang dibuat wajib dikawal dan dijaga serta dirawat agar tidak bertentangan dengan ayat suci.
***** akhir kutipan *****
Contohnya pornografi atas nama kesenian atau atas nama kebudayaan, prostitusi atas nama ekonomi atau atas nama hak asasi manusia, LGBT atas nama hak asasi manusia dan lain lainnya adalah contoh penista agama karena sama saja dengan mengatakan bahwa ayat konstitusi di atas ayat suci.
Petinggi PDIP Megawati pernah mengatakan dengan bangga, “Kami satu-satunya partai yang dengan gagah berusaha agar RUU (pornografi) itu tidak diundangkan dan tidak diberlakukan,” sebagaimana yang diberitakan pada http://news.detik.com/read/2009/06/27/171232/1155093/700/mega-cerita-kegagahan-pdip-tolak-ruu-pornografi
“Sebagai bangsa yang pluralis, dengan keanekaragaman suku bangsa, agama dan etnis. Tidak mungkin hal itu diberlakukan,” tegas Mega.
Contoh lainnya yang terekam sejarah pada http://nasional.kompas.com/read/2008/10/30/13264812/akhirnya.ruu.pornografi.disahkan
****** awal kutipan *****
JAKARTA, KAMIS — Setelah melalui proses sidang yang panjang, Kamis (30/12) siang, akhirnya RUU Pornografi disahkan. RUU tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan walk out, yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P.
Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini.
Menurutnya, RUU ini nondiskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan agama. Substansi RUU juga dirasa tepat dan definisi dirasa sangat jelas. RUU ini untuk melindungi masyarakat dan sebagai tindak lanjut UU perlindungan anak dan penyiaran.
****** akhir kutipan ******
Jadi jelaslah bahwa Fraksi PPDI-P “sepemahaman” dengan Fraksi PDS
Contoh salah seorang menyampaikan alasan walk out Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS adalah seperti
***** awal kutipan *****
Penyeragaman budaya RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.
RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
Selain mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi.
Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di masyarakat.
***** akhir kutipan *****
Begitupula dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa, 14 Oktober 2014 bertema “FPI Menyerang Ahok Melawan” , Nusron Wahid menyatakan bahwa hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama sebagaimana yang diberitakan pada http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2014/10/15/31386/nusron-wahid-aswaja-terapan-dan-tongkat-nabi-musa.html
Melalui akun twitternya @Yusuf_Mansur, Ustadz Yusuf Mansyur menasehati Nusron Wahid agar tidak sombong, berlebihan dan melampaui batas.
Jgn sampe belagu lah, dg mengatakan, “Hukum konstitusi lebih tinggi dari Hukum Agama…”. Cari bahasa lain yg ga menyinggung ummat&Allah.
intinya sih, jgn ampe kelewatan ngomong. sehingga kesannya lbh tau dari Allah. pdhl bs jd kitanya yg blm nyampe. jgn sampe kesombongan.
— Yusuf Mansur (@Yusuf_Mansur) October 16, 2014
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang – Rembang KH. Muhammad Najih putra Tokoh Besar Dewan Mustasyar PBNU KH. Maimoen Zubair menyatakan bahwa pernyataan Ketum GP Anshor Nusron Wahid yang menjiplak ucapan Ahok bahwa Ayat Konstitusi di atas Ayat Suci mengandung KEKUFURAN.
Beliau menilai pernyataan tersebut sangat gegabah dan ngawur. “Pernyataan tersebut jelas mengandung kekufuran, karena tidak mengakui relevansi Al-Qur’an”. Tegasnya kepada wartawan, Kamis 16 Oktober 2014
Habib Rizieq mengingatkan bahwa negara Indonesia adalah negara berketuhanan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia adalah NEGARA TAUHID yang melindungi semua agama dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh bangsa Indonesia tanpa paksaan.
Negara Indonesia BUKAN NEGARA KOMUNIS atau ATHEIS yang anti Tuhan. BUKAN JUGA NEGARA LIBERAL yang anti agama dan BUKAN PULA NEGARA SEKULER yang anti syariat.
Ditengarai (diduga) orang-orang yang tidak menyukai perjuangan Habib Rizieq adalah orang-orang yang mengaku muslim namun mendukung paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme.
Oleh karenanya sepatutnya umat Islam membela, mengawal dan mendorong penguasa negeri untuk menegakkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang KESESATAN paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme.
Dalam fatwa MUI tersebut, DEFINISI SEKULARISME AGAMA adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
DEFINISI LIBERALISME AGAMA adalah mereka yang memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Hadits) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran mereka semata.
Sedangkan DEFINISI PLURALISME AGAMA adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Dalam fatwa MUI telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )
Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman).
Gus Dur adalah tokoh Islam terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran terhadap penganut agama lain namun bukan tokoh Islam yang membenarkan agama selain Islam
Syaiful Arif dalam diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11/2013) menyampaikan pendapatnya bahwa penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” dinilai kurang tepat
“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya”. kata Arif.
Jelaslah bahwa yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaannya yakni mengakui, menghormati, toleran, merangkul, membela keberagaman manusia dengan keyakinannya (pluralis) bukan memperjuangkan membenarkan agama selain Islam atau memperjuangkan membenarkan pemahaman firqah Ahmadiyah dan firqah-firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Jadi kesimpulannya seorang PANCASILAIS sejati adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya bagi umat Islam segala perilaku dan perbuatannya harus merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.
Contohnya kami prihatin melihat kenyataan dalam menuju pilpres 2019 bermunculan diksi-diksi atau julukan-julukan atau panggilan-panggilan yang buruk seperti “cebong” ataupun “kampret” yang menunjukan kehidupan berpolitik yang tidak Pancasilais atau politik yang tidak “memandang” Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi kehidupan berpolitik yang tidak Pancasilais adalah politik yang tidak melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) alias politik yang TIDAK IHSAN.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah adalah yang selalu memandang (melihat) Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau minimal selalu yakin diawasi oleh Allah Ta’ala sehingga setiap akan bersikap atau berbuat selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Ustadz Abdul Somad mengingatkan bahwa agama dan politik merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan sebagaimana yang diberitakan pada http://aceh.tribunnews.com/2018/07/05/uas-agama-dan-politik-tak-bisa-dipisahkan
Salah satu akibat jika politik dipisahkan dengan agama adalah akan timbullah politik yang TIDAK IHSAN, politik yang tidak memiliki akhlak atau politik yang tidak mengikuti etika dan norma yang telah disepakati dalam Pancasila yakni politik yang tidak “memandang” (melihat) Allah dengan hatinya.
Seorang yang Pancasilais sebaiknya “memandang” atau mempertimbangkan Ketuhanan Yang Maha Esa yakni mempertimbangkan Al Qur’an dan Hadits.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran (julukan-julukan) yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al Hujurat [49] :11)
Hikmah dari firman Allah Ta’ala tersebut yang artinya “janganlah suka mencela dirimu sendiri” bahwa mencela dengan panggilan atau julukkan yang buruk pada yang lain pada hakikatnya adalah “mencela dirimu sendiri” karena ketika “menyakiti” tubuh yang lain maka tubuh yang lain merasakannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kamu melihat kaum mukminin dalam hal sayang menyayangi, cinta mencintai, dan kasih mengasihi, bagaikan satu tubuh. jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit), maka anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5552, Muslim: 4685, dan Ahmad: 17648. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara….” ( Qs. Al-Hujjarat [49]:10 )
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Bagi umat Islam, jika berbeda pendapat maka kembalikanlah kepada Allah Ta’ala (Al Qur’an) dan RasulNya (Hadits) dengan mengikuti “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha (ahli fiqih).
Pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah JIHAD (mujahidin) atau JAHAT (teroris) sehingga dapat diketahui apakah MATI SYAHID atau MATI SANGIT adalah “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha (ahli fiqih) di negara setempat karena ulama di luar negara tidak terbebas dari fitnah.
Kesimpulannya rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar