Hukumnya mubah
2 Juni 2015 oleh mutiarazuhud
Bukan perintahNya dan bukan pula laranganNya maka hukumnya mubah
Bagi umat Islam melakukan sesuatu perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara muamalah, kebiasaan maupun adat yang tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya tidak akan masuk neraka.
Contohnya mereka ada mempunyai kebiasaan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat seperti membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya kecuali kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
Contohnya lainnya ada seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Begitupula walaupun dalam hadits yang telah terbukukan ada sunnah Rasulullah membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at bukan berarti terlarang membaca surat lainnya
Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim)
Ada kebiasaan-kebiasaan yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk membaca surat-surat lainnya pada malam-malam lainnya yang tidak terbukukan seperti surat Al Mulk, Al Waqiah, Ar Rahman.
Hal yang perlu kita ingat, banyak hadits-hadits yang belum terbukukan karena hadits-hadits yang terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah Ilmu seperti “Hai’atil Maknun” yang diterima oleh para ulama Allah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Sedangkan mereka yang melarang sebuah kebiasaan dengan perkataan manusia seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” akan masuk neraka karena mereka melarang (mengharamkan) tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Perkataan tersebut bukanlah firman Allah dan tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in maupun Imam Mazhab yang empat.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” diartikan oleh mereka sebagai “kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Dari susunan kata “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada satupun yang dapat diterjemahkan sebagai para Sahabat
Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya
“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.
Ayat tersebut justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa kebiasaan yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun bukanlah dasar hukum bagi umat Islam untuk tidak melakukan kebiasaan tersebut.
Dasar hukum bagi umat Islam adalah yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan ada lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Oleh karenanya jika sesuatu dilakukan bukan diperintahkanNya yakni bukan perkara wajib dan bukan perkara sunnah (mandub) maka hukumnya mubah (boleh).
Begitupula jika sesuatu dilakukan bukan dilarangNya yakni bukan perkara haram dan bukan perkara makruh maka hukumnya mubah (boleh).
Para ulama telah memberi batasan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Jadi jika bukan perintahNya dan bukan pula laranganNya maka hukumnya mubah (boleh)
Kesimpulannya bahwa semua perkara dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan maupun adat yang tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Jadi pegangan umat Islam adalah perintah dan larangan Allah dan RasulNya selebihnya adalah perkara mubah (boleh)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Sedangkan mereka mungkin telah menjadikan ulama mereka sebagai tuhan selain Allah sehingga dipatuhi seluruh larangan ulama mereka berdasarkan akal pikiran mereka sendiri
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Oleh karena mereka gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan selain Allah yakni melarang atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/menjauh-darinya/
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram.
Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya yakni mengharamkan atau melarang hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para Imam Mujtahid telah mengingatkan untuk berhati-hati dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara), hindarilah mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil karena perbuatan mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah termasuk perbuatan menyekutukan Tuhan
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Jadi mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah termasuk bid’ah dalam urusan agama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku
Begitupula yang sering disalahpahami oleh mereka adalah perkataan Sahabat Abdullah bin Umar yakni
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.
Mereka memahami perkataan “kullu bid’ah dholalah” adalah “semua bid’ah itu sesat” karena mereka mengartikan “kullu” sebagai “semua” bukan “setiap” dan mereka belum mengetahui bahwa kullu dapat berarti “setiap dari semua” (kullu jam’in) dapat pula berarti “setiap dari sebagian” (kullu ba’din) sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/contoh-baik-dan-buruk/
Dari Mujahid, beliau mengatakan: “Saya dan Urwan bin Zubair masuk masjid, sementara Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu duduk menghadap ke arah kamarnya Aisyah. Kemudian kami duduk mendekat beliau. Tiba-tiba ada banyak orang melaksanakan shalat dhuha (di masjid). Kami bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, shalat apa ini?” Beliau (ibn Umar) menjawab: “Bid’ah..!” (HR. Ahmad 6126, kata Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim).
Al Qodhi Iyadh, An Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Ibn Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu di masjid, dan dengan berjamaah.
Namun Sahabat Abdullah bin Umar tidak berpendapat bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana contoh riwayat berikut ini
عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:” بدعة ونعمت البدعة
“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.
Para ulama berkata sesungguhnya yang diingkari oleh Ibnu Umar adalah hanyalah melazimkannya, menampakkannya di masjid-masjid dan melakukan sholat dhuha dengan berjama’ah namun beliau berpendapat bahwa hal itu adalah “sebaik-baik bid’ah”
Begitupula dalam shahih Muslim ada riwayat bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhu menambah kalimat Talbiyah selain dari yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam;
Dan Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Talbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah: LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULKA LAA SYARIIKA LAKA (Kupatuhi perintah-Mu ya Allah, kupatuhi Engkau. Kupatuhi Engkau, Kupatuhi Engkau, tiada sekutu bagi-Mu. Kupatuhi Engkau, sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu, begitu pula kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu). Nafi’ berkata; Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma menambahkan Talibiyah tersebut dengan bacaan: LABBAIKA LABBAIKA WA SA’DAIKA WAL KHAIRU BIYADIKA LABBAIKA WARRAGHBAA`U ILAIKA WAL’AMAL (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah untuk mencari ridla-Mu. Kebaikan ada dalam kekuasaan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, sebagai amal ibadah untuk mencari ridla-Mu). (HR. Muslim).
Begitupula sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam sepanjang bulan Ramadhan bukanlah sunnah Sayyidina Umar atau bukanlah perkara syariat yang ditetapkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan bukan pula Beliau menghidupkan kembali sunnah Rasulullah.
Sayyidina Umar bin Khatab radliallahu ‘anhu mengatakan sebagai “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini” adalah setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam pada malam berikutnya
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)
Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Jadi yang dimaksud sholat taraweh adalah sebaik-baik bid’ah yakni sholat taraweh yang dilakukan berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam.
Hukum shalat tarawih berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan atau dikatakan sebagai “menegakkan Ramadhan” adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah Ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan berfungsi sebagai syiar Islam.
Begitupula dalam hadits-hadits yang telah terbukukan ada sunnah Rasulullah, kebiasaan membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at namun bukan berarti terlarang mempunyai kebiasaan membaca surat-surat yang lain pada malam Jum’at.
Boleh jadi ada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah lainnya yang dilakukan pada malam Jum’at belum terbukukan karena perlu kita ingat bahwa jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits sebenarnya.
Apalagi banyak hadits-hadits yang terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah Ilmu seperti “Hai’atil Maknun”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)
Ulama Allah adalah suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya
Oleh karenanya untuk mengetahui kebiasaan-kebiasan Rasulullah yang tidak terbukukan dalam kitab-kitab hadits dapat bertanya kepada ulama Allah sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Contoh lain, para Sahabat ada yang mempunyai kebiasaan membaca surah al Ikhlas sehingga Sahabat yang lain mempertanyakan kebiasaan yang tidak dicontohkan (dilakukan) oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Sholatnya adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan membaca surat Al Ikhlas adalah sebuah kebiasaan yang termasuk ibadah ghairu mahdhah
Dalam ibadah ghairu mahdhah, boleh ada kebiasaan yang baru atau kebiasaan yang tidak dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dengan alasan yang bersifat rasional yakni baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.
Alasannya adalah, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya’ dan “aku mencintai surat Al Ikhlas”
Para ulama terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah, , KA + SS = karena Allah dan sesuai dengan syariat.
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
2. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
3. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
4. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut riwayat yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan perkataan Imam Malik tersebut
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jadi terlarang menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya dan sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya.
Contoh lain ibadah mahdhah adalah sholat lima waktu.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal), azasnya “taat”, tatacaranya harus berpola kepada apa yang telah dijelaskan, dicontohkan, dilakukan oleh Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam
Tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Sedangkan prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah, BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
3. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
4. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan.
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Perayaan atau peringatan Maulid Nabi merupakan kebiasaan yang baik dan termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang menyalahi atau yang bertentangan dengan syara atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah yang sesat
Sedangkan perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam, “Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Begitupula bid’ah menurut Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam terbagi menjadi dalam hukum lima, wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah, seperti yang termaktub dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339).
Contoh bid’ah wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) sebagaimana yang dicontohkan oleh Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) dan dapat dibaca kutipannya pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat.
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah, ”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Orang-orang yang dianggap oleh orang awam sebagai Hanabila atau pengikut Imam Ahmad bin Hambal namun pada kenyataannya mengikuti imam atau guru besar kaum musyabbihah telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar