Selamatkanlah umat Islam dari firqah MUJASSIMAH yang “memenjarakan” Allah yakni mereka memaknai istawa Allah dengan istiqrar yang artinya menetap dan berbatas dengan Arsy demikianlah pesan dari umat yang dapat melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga
Buya Arrazy “diperbincangkan” dan “disalahkan” karena dalam sebuah majelis mengucapkan Assalaamu ‘alaika yang ditengarai (diduga) melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga sebagaimana yang dapat disaksikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=10210230792363303&id=1744863872
Ada yang menuliskan komentar “sudah halu dan sesat juga menyesatkan orang lain”
Maulana Habib Luthfi bin Yahya MENASEHATKAN
***** awal kutipan *****
Jika ada orang yang berbeda pemahaman atau tidak sesuai dengan pengetahuan kita, sebaiknya tidak mudah menghukumi sesat, kafir, tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau klaim-klaim yang seolah-olah kita paling benar dan tahu segalanya”
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya TENTU BUKAN Rasulullah kembali ke alam nasut (alam mulk / alam jasad) NAMUN orang-orang yang dikehendaki Allah Ta’ala, meskipun tubuh mereka di dunia namun pandangan mereka kasyaf (mukasyafah) sehingga dapat melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga.
Ditanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami (semoga Allah memberikan kemanfaatan atas ilmunya),
هل يمكن الآن الاجتماع بالنبي في اليقظة والتلقي منه بقوله
“Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
نعم يمكن ذلك فقد صرح بأن ذلك من كرامات الأولياء الغزالي والبارزي والتاج السبكي والعفيف اليافعي من الشافعية والقرطبي وابن أبي جمرة من المالكية
Imam Ibn Hajar menjawab: ”iya, itu bisa terjadi, dan telah dijelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allah seperti Imam Ghazali, dan Al-Barizi, dan Tajjuddiin as-Subki, dan Afiful al-Yafi’i (dari ulama madzhab syafi’i) dan Qurthubi dan Ibn abi jamroh (dari ulama madzhab Maliki).
وقد حكى عن بعض الأولياء أنه حضر مجلس فقيه فروى ذلك الفقيه حديثا فقال له الولي هذا الحديث باطل
Dan dikisahkan: bahwasanya ada sebagian wali Allah menghadiri majlis fiqih, kemudian seorang faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadist, lalu Wali tersebut berkata: itu hadist bathil.
أين لك هذا قال هذا النبي واقف على راسك يقول
Sang faqih berkata: darimana engkau mengatakan hadist ini bathil?
Sang wali menjawab: Itu Nabi sedang berdiri di hadapanmu dan beliau bersabda:
إني لم أقل هذا الحديث
”Inniy lam aqul hadzal hadist” (sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini)
وكشف للفقيه فرآه
Lalu faqih tersebut dibukakan hijabnya dan beliau pun melihat Nabi. (Al Fatawa Al Haditsiyah Imam Ibn Hajar al-Haitami pertanyaan ke 340, hal: 543)
Tulisan tentang kisah mereka yang tubuhnya di dunia namun disingkapkan-Nya pandangannya sehingga dapat melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=946729353369220&id=100040964923547 atau salinannya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2023/06/25/terjaga-melihat-rasulullah/
Begitupula sekitar tiga tahun yang lalu, ustadz firqah Wahabi, Firanda mengatakan,
***** awal kutipan *****
Ternyata ada Sahabat Nabi dari Indonesia.
“Nabi cium lutut saya” Aqidah sufi yang wajib diluruskan
***** akhir kutipan *****
Tentu panggilan sebagai Sahabat Nabi adalah diperuntukan bagi yang bertemu dengan Rasulullah ketika Beliau masih hidup.
Sedangkan bagi umat yang dapat melihat Rasulullah dalam keadaan terjaga setelah Rasulullah wafat termasuk yang dipanggil oleh Rasulullah sebagai SAUDARA Rasulullah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا
“Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat SAUDARA-SAUDARA kita”.
قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua SAUDARA-SAUDARA wahai Rasulullah?”
قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ
Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah SAHABATKU, sedangkan SAUDARA-SAUDARA kita ialah mereka yang belum berwujud”. (HR Muslim 367 atau Syarh Shahih Muslim 249)
Begitupula dalam video yang lengkap diceritakan bahwa Rasulullah mendatangi cucunya yakni Abah Guru Sekumpul Al Banjari Alaydrus
Lalu tanpa terduga Rasulullah mencium lutut Abah Guru untuk menyembuhkan sakit di kaki Abah.
Abah kaget, dan dia menjatuhkan diri dari kursi roda. Lalu bersimpuh di kaki Rasulullah.
Abah merasa tidak pantas dicium lutut oleh kakek buyutnya itu. Walau hal itu jadi syarat penyembuhan.
“Saya langsung gugur (menjatuhkan diri) dari kursi roda. Bersimpuh di hadapan Rasulullah karena merasa tidak pantas di hadapan Rasulullah,” kata Wali Qutbul Akwan-Ganjil Raja ini.
Contoh penjelasan pada https://www.bacagituloh.com/khazanah/8816621045/transkrip-asli-pernyataan-abah-guru-sekumpul-bertemu-rasulullah-di-madinah-dari-video-tanpa-diplintir-hoaks?page=2
Ustadz firqah Wahabi, Firanda adalah salah seorang penerus KEBID’AHAN ulama rujukan bagi firqah Wahab yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang sebelum bertaubat terjerumus durhaka (aashin) kepada Allah Ta’ala karena secara tidak langsung “memenjarakan” Allah Ta’ala dengan menetapkan sifat makhluk atau benda yakni BERADA dan BERBATAS dengan Arsy yang DIBUKTIKAN contohnya dari Tesis S2 Beliau yang berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-syubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dzatiyah yang dilontarkan oleh para penolak sifat”
Begitupula dalam sebuah video Buya Arrazy menyampaikan bahwa firqah MUJASSIMAH justru menuduh umat Islam pada umumnya menolak atau mengingkari sifat-sifat Allah seperti sifat istiwa Allah sebagaimana yang dapat disaksikan pada https://youtube.com/watch?v=IUg12Xwq554 atau pada https://fb.watch/lnnnhtkStC/
Mu’atilah adalah orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah.
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MENGGANTI sifat Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda.
Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat terjerumus durhaka (aashin) kepada Allah Ta’ala karena secara tidak langsung “memenjarakan” Allah Ta’ala dengan menetapkan sifat makhluk atau benda yakni BERADA dan BERBATAS dengan Arsy.
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyah)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Jadi Ibnu Taimiyah TERBUKTI mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni Ibnu Taimiyah MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTIWA Allah dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy.
Laqob atau julukan MUSYABBIHAH bagi yang berakidah TASYBIH dan MUJASSIMAH bagi yang berakidah TAJSIM
Jadi firqah MUSYABBIHAH adalah orang-orang yang MENYERUPAKAN Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MEN-JISIM-KAN Allah Ta’ala dengan MENGGANTI sifat-sifat Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti contohnya mereka mengganti sifat ISTIWA Allah dengan ISTIQRAR artinya MENETAP TINGGI dalam pengertian TIDAK BERJARAK yakni MENEMPEL di atas Arsy atau artinya BERARAH dalam pengertian BERJARAK yakni “MELAYANG” arah atas Arsy.
Orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni mereka yang MEN-JISIM-KAN Allah Ta’ala dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah, jarak, tempat, ukuran, BATASAN seperti BERBATAS dengan Arsy dan sifat-sifat fisikal lainnya maupun ANGGOTA-ANGGOTA badan ADALAH karena mereka mensifati Allah atau memaknai sifat Allah dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi (indrawi atau fisikal, materi, jisim).
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa KELAK,
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan ANGGOTA-ANGGOTA BADAN.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi wafat 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi)
Jadi umat Islam pada umumnya BUKAN MENGINGKARI sifat-sifat Allah NAMUN yang DIINGKARI adalah cara mereka menterjemahkan dan memahami ayat MUTASYABIHAT yakni ayat-ayat dengan banyak makna terkaif sifat-sifat Allah.KERUSAKAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH karena mereka terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah AKIBAT mereka TERKECOH oleh ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang MELABELI pemahamannya SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna MAJAZ maupun TAFWIDH sebagai mazhab atau manhaj SALAF sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 4/149,***** awal kutipan *****Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR ***** akhir kutipan *****Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat TERJERUMUS DURHAKA (‘aashin) kepada Allah karena PENGINGKARAN makna MAJAZ dalam Al Qur’an Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan, ***** awal kutipan *****فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ، فلا مجاز في القرآن ، بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف “maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk majaz. Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.***** akhir kutipan ***** Padahal dalam percakapan antar manusia saja dikenal MAKNA DZAHIR (makna tersurat) dan MAKNA MAJAZ (makna tersirat) Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W. 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)Jadi pada kenyataannya “Dakwah Tauhid” mereka adalah MENYERUKAN untuk “mengikuti” ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga MEREKA secara tidak langsung MENGAJAK orang-orang untuk mengikuti firqah MUJASSIMAH.Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang menyebarluaskan FITNAH seolah-olah Allah Ta’ala dan Rasulullah MELARANG TAKWIL dan mereka MEWAJIBKAN untuk mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH dan menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah seperti mereka mengatakan bahwa,Allah Ta’ala memiliki WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, dua tangan KEDUA-DUANYA kanan, kelak MENYINGKAP betis, dua kaki yang seolah-olah “MENJUNTAI” ke bawah Arsy yakni ke kursi dan terkadang menggunakan kakinya sebagai JARIHAH (anggota badan) untuk membenamkan penghuni neraka dan SEMUA itu akan BINASA kecuali wajahnya.Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 7) Pengertian orang-orang yang “MENCARI-CARI TAKWILNYA” atau “mengada-ngada takwil” adalah mereka MENTAKWIL (memaknai) TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, ketika menafsirkan (QS. Ali Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس kalangan orang-orang jahil (TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya. Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-tafsir/1Apabila mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah HARUS dimaknai dengan MAKNA DZAHIR dan TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA MAJAZ maka apakah menurut mereka wajah Allah BERADA di Timur dan Barat karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah [2] : 115)Begitupula jika SEMUA itu (yakni WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, betis, jari, dua tangan yang kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang kakinya sebagai JARIHAH untuk membenamkan penghuni neraka) AKAN BINASA kecuali WAJAHNYA,Apakah Tuhan mereka seperti Angry Bird yakni burung yang hanya tampak wajah pemarahnya ?Tulisan selengkapnya tentang firqah MUJASSIMAH mengatakan contoh yang membedakan dzat Allah dengan makhluk adalah Allah memiliki wajah tanpa kepala dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2023/06/25/wajah-tanpa-kepala/
TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan ISTAWA dalam MAKNA DZAHIR dengan pengertian BERADA sehingga firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA menjadi “Ar Rahman, yang BERADA di atas Arsy kecuali firqah MUJASSIMAH
Para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan ISTAWA artinya BERSEMAYAM adalah karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan).
Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk atau bertempat dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi:
Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Istiwa maknanya diketahui ada banyak namun JUMHUR ulama TELAH SEPAKAT seperti ulama umat Islam pada umumnya Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari maupun ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar di atas Arsy.
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah hal 102 MEMILIH TAFWIDH dan MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar yang artinya menetap tinggi dan bahkan ada yang mengartikan melayang tinggi.
وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار
Dan Sesungguhnya Dia Istiwa atas Arasy-Nya BILA KAIFA wa LA ISTIQRAR.
Jadi Istiwa Alllah atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (had) dengan Arsy.
Sedangkan ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin melarang memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar dengan kalimat pertanyaan,
الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس
Istiwa di atas sesuatu dalam bahasa Arab bermakna ISTIQRAR (menetap) dan JULUS (duduk).
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin bertanya
لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟
Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah atas Arsy?
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin memilih MENTAKWIL atau memaknai ISTIWA dengan MAHA TINGGI.
ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه
Tapi kita katakan makna ISTIWA adalah MAHA TINGGI. Inilah yang tidak diragukan.
Sumber : Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450.
Para ulama mengingatkan bahwa HANYA firqah MUJASSIMAH yang memaknai Allah Ta’ala TINGGI di atas Arsy dalam pengertian arah atau tempat.
Contohnya Al-Mufassir Al Imam al-Qurthubi (W. 671H) dalam kitab tafsirnya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan firnan Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 255 menyampaikan para ulama mengatakan bahwa kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni firqah Mujassimah yang memaknai Maha Tinggi adalah ketinggian arah atau tempat
Berikut kutipan penjelasannya
***** awal kutipan *****
ﻭ” ﺍﻟﻌﻠﻲّ ” ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ
“al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah Maha Suci dari bertempat”
وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا: هو العلي عن خلقه بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه
Ath Thabari (W. 310H) mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.”
قال ابن عطية: وهذا قول جهلة مجسمين
Ibnu Athiyah (W. 541H) berkata: “Ini adalah pendapat kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni MUJASSIMAH
***** akhir kutipan *****
Begitupula firqah MUJASSIMAH menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Syafi’i (W. 204H) menterjemahkan ISTAWA Allah atas Arsy artinya BERADA di atas Arsy dan BILA KAIFA ditejermahkan tanpa ditanya bagaimananya sebagaimana tulisan mereka pada https://firanda.com/855-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit.html
Berikut kutipan contoh terjemahan mereka
***** awal kutipan *****
الرحمن على العرش استوى بلا كيف
Ar-Rahman BERADA di atas ‘Arsy tanpa ditanya bagaimananya. Dan atsar dari para salaf tentang yang seperti ini banyak.
Dan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu menunjukkan berada di atas jalan ini, dan ini juga merupakan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali dan dari kalangan para ulama mutaakhirin adalah Abu Sulaiman Al-Khotthoobi” (Al-Asmaa’ wa as-Shifaat 2/308)
***** akhir kutipan *****
Imam Syafi’i ketika ditanya terkait firman Allah Ta’ala, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” (QS. Thaha [20] : 5) menyarankan kepada orang-orang yang tidak memiliki kompetensi atau orang awam untuk membiarkan sebagaimana ia datang yakni sebagaimana teks atau lafadz yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah
***** awal kutipan *****
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم
“Ini termasuk ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna), jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya (orang AWAM) adalah agar mengimaninya dengan MEMBIARKAN sebagaimana ia datang (sebagaimana TEKS atau LAFADZNYA) dan tidak membahas atau membicarakannya secara detail KARENA bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam KESESATAN TASYBIH.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) ketika ditanya Nuzulnya Allah, Beliau memilih TAFWIDH yakni beriman dan membenarkannya dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadz yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA (tanpa makna dzahir maupun makna majaz) dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (W. 620H) dalam kitab Lum’atul I’tiqad,
***** awal kutipan *****
وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأَحَادِيْثَ
Hadits-hadits yang semisal hadits ini (hadits nuzul)
نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا
Kami beriman dan membenarkannya
بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى
BILA KAIFA WALA MA’NA yakni TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA DZAHIR maupun MAKNA MAJAZ (Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Lum’atul I’tiqad, Hal 3)
***** akhir kutipan *****
Lalu Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa Nuzulnya Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda seperti TANPA HAD (tanpa batas) dan tanpa ujung (kiri, kanan, atas, bawah, depan, belakang)
وَلَا نَصِفُ اللهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ بِلَا حَدِّ وَلَا غَايَةٍ
maka kita tidak menyifati Allah lebih daripada apa yang Allah Ta’ala sifatkan tentang diri’-Nya TANPA HAD (batas) dan ujung”
Contoh kajian kitabnya dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3qe3qCZ
Firqah Mujassimah menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Malik (W. 174H) menciptakan istilah TAFWIDH KAIFIYAH yakni “menyerahkan” kaifiyah kepada Allah.
Padahal Imam Malik berkata,
الاستواء معلوم والكيف غير معقول
Al Istiwa ma’lum wal kaifu ghairu ma’qul”
Al Istiwa maknanya diketahui (ada banyak) NAMUN Kaifa yakni sifat-sifat JISIM (sifat-sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal atau TIDAK BOLEH ditujukan bagi istiwa Allah.
Jadi firqah MUJASSIMAH yang menciptakan istilah TAFWIDH KAIFIYAH dan ketika mereka mengatakan “menyerahkan kaifiyah kepada Allah” maka sama artinya mereka mengatakan ADA KAIFA yakni ADA sifat-sifat JISIM (sifat makhluk atau benda) bagi sifat Istiwa Allah NAMUN “kaifiyahnya diserahkan kepada Allah Ta’ala”.
Jadi jelaslah bahwa ADA KAIFA namun “kaifiyiah diserahkan kepada Allah” BERTENTANGAN dengan BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (had) dengan Arsy.
Contoh tulisan yang memuat daftar ulama yang melarang berkeyakinan ada kaifiyah bagi Allah Ta’ala https://www.hmetro.com.my/addin/2021/10/770751/perbahasan-kaifiyyat-bagi-allah
Begitupula firqah MUJASSIMAH menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Abu Hanifah (W.150H) memaknai ISTAWA Allah dengan ISTIQRAR artinya menetap atau melayang tinggi di atas arsy sebagaimana tulisan yang mereka publikasikan pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
***** awal kutipan *****
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah MENETAP TINGGI di atas ‘Arsy”.
***** akhir kutipan *****
Padahal Imam Abu Hanifah (W.150H) dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Abu Hanifah mengkafirkan atau menetapkan kufur dalam perkara i’tiqod adalah karena dua ungkapan atau pernyataan si penanya yakni
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Dengan kedua ungkapan atau pernyataan orang tersebut telah menetapkan adanya arah dan tempat bagi istiwa Allah sehingga menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod
Setiap yang berlaku arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DINISBAHKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada kenyataan firqah MUJASSIMAH yang melarang (mengharamkan) ilmu kalam ataupun ilmu filsafat secara mutlak, JUSTRU akidah mereka mirip atau terpengaruh FILSAFAT MATERIALISME.
FILSAFAT MATERIALISME adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam KEBENDAAN semata. Mereka MENGINGKARI segala sesuatu yang tidak dapat dicapai atau di luar alam indra.
Sedangkan FIRQAH MUJASSIMAH akibat mereka memahami atau yang diistilahkan “kembali” kepada Al Qur’an dan As Sunnah secara TEKSTUAL yakni SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAFWIDH maupun takwil dengan MAKNA MAJAZ sehingga mereka mengatakan dan meyakini bahwa segala sesuatu di luar alam indra yakni segala sesuatu yang tidak dapat dinisbahkan ke suatu arah atau tempat maka sama saja TIDAK ADA.
Contohnya ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131)
Jadi perbedaannya kaum musyrikin berhala dibuatkan sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala dikhayalkan.
Begitupula KAIDAH KELIRU yang dibuat oleh ulama rujukan mereka, Ibnu Abdil Barr (W. 463 H) ketika membahas tentang Allah, Beliau berkata dalam at-Tamhid:
وقد قال المسلمون وكلُّ ذي عقلٍ: إنه لا يُعقَلُ كائنٌ لا في مكانٍ منا، وما ليس في مكانٍ، فهو عدمٌ
“Kaum muslimin dan setiap orang berakal berkata: Sesungguhnya TIDAK dapat DINALAR adanya SESUATU yang TAK BERTEMPAT dari perspektif kita. Dan, apa yang TAK BERTEMPAT maka ia TIDAK ADA.”
Jikalau mereka mengatakan bahwa SESUATU yang TAK BERTEMPAT itu TIDAK ADA maka sama artinya mereka mengatakan bahwa dulu SEBELUM ADA tempat asalnya Allah TIDAK ADA juga sebagaimana yang disampaikan oleh ustadz Abdul Wahab Ahmad dalam tulisan pada https://hidayatuna.com/kesalahan-kaidah-logika-imam-ibnu-abdil-barr/
Para ulama menjelaskan bahwa mustahil arah berlaku bagi Allah Ta’ala karena seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya
Contohnya pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih pada hal 135 menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
كان أحمدُ لاَ يقولُ بالجهةِ للباري لأن الجهات تخلى عما سواها
Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya (seperti kekosongan pada arah berlawanannya).”
Jadi jika mengitsbatkan (menetapkan) Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di arah atas Arsy maka berarti KEKOSONGAN atau TIDAK ADA Allah Ta’ala di selain arah atas Arsy seperti arah berlawanannya.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar