Mereka yang memfitnah Imam Malik dengan menterjemahkan selalu dengan makna dzahir
Kita umat Islam pada umumnya prihatin melihat mereka yang masih ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) mengikuti para ulama panutan mereka yang berdusta.
Padahal sudah jelas kedustaan para ulama mereka yakni mereka mengaku-ngaku TANPA TAKWIL namun pada kenyataannya terhadap ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM oleh mereka di-TAKWILKAN yakni diterjemahkan dan dimaknai DENGAN MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya bertempat atau menetap tinggi di langit ( FIS SAMA’ ) atau di lain waktu mengatakan di atas Arsy atau bahkan ada yang mengatakan di Sidratul Muntaha.
Dalam tulisan sebelumnya, mereka mengkafirkan umat Islam dengan memfitnah Imam Abu Hanifah dengan MENAKWILKAN yakni menterjemahkan dan memahami “Ar-Rahmanu alal arsy ISTAWA”, DENGAN MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya bertempat atau menetap tinggi di atas Arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/05/06/mengkafirkan-dan-memfitnah/
Begitupula dalam upaya untuk membenarkan aqidah (i’tiqod) atau keyakinan mereka berdasarkan ISTAWA yang DITAKWILKAN dengan makna dzahir yakni ISTAQARRA yang artinya bertempat atau menetap tinggi adalah dengan mengutip perkataan atau pendapat ulama-ulama terdahulu namun POKOK PERMASALAHANNYA mereka terjemahkan dan pahami selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Contohnya sebagaimana yang terungkapkan dalam gambar di atas, mereka mengatakan bahwa Imam Malik berkata
الله في السماء
Lalu mereka terjemahkan dalam makna dzahir yakni
“Allah berada di atas langit”
Padahal arti Fis Sama’ adalah “DI LANGIT” bukan “BERADA DI ATAS LANGIT”
Begitu pula ungkapan seperti “serahkan kepada Yang di langit” atau “serahkan kepada Yang di atas” seharusnya dimaknai dalam pengertian ketinggian kekuasaan, derajat, keagungan dan kemuliaan-Nya bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”
Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Berikut kutipan penjelasan Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaff at-tanzih dalam memahami firman Allah Ta’ala
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
***** awal kutipan *******
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******
Begitupula Al Imam al-Hafidz Ibnu Hajar Haitami telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******
Jumhur ulama telah sepakat bahwa istawa (bersemayam), fiis samaa-i (di langit), al-‘uluw (tinggi) , ‘ala (tinggi) , fawq (di atas) jangan dimaknai dengan makna dzahir dalam pengertian arah atau tempat namun dimaknai dalam pengertian ketinggian kekuasaan, derajat, keagungan dan kemuliaan-Nya.
Contoh lainnya dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Rasulullah sendiri yang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah yakni
لا تفضلوني على يونس بن متى
“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”
”Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”
Imam Malik menjelaskan bahwa
****** awal kutipan *****
Rasulullah secara khusus menyebut Nabi Yunus dalam sabdanya, tidak menyebut Nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih (Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat).
Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.
Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”.
****** akhir kutipan ******
Penjelasan Imam Malik tersebut disampaikan oleh
1. Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa
2. Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
3. Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin.
dan lain lainnya.
Begitupula Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan:
***** awal kutipan *****
“Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?”
Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah Ta’ala memberitakan tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
***** akhir kutipan *****
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:
***** awal kutipan *****
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Janganlah kamu menganggap aku lebih utama daipada Nabi Yunus bin Matta , maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama.
***** akhir kutipan *****
Berikut kutipan penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.
Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
***** akhir kutipan *****
Jadi Rasulullah Mi’raj ke Sidratul Muntaha adalah ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya dan sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi
Begitupula umat Islam bermunajat ke Baitullah maupun ke Masjid bukan ke tempat atau ke rumah Allah Ta’ala atau bukan Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Contoh yang lain mereka memfitnah Imam Malik dengan mengutip perkataan Imam Malik namun mereka terjemahkan dan memahaminya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagaimana contoh tulisan dari kalangan mereka pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
***** awal kutipan *****
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8].
Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?”
Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut.
Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]
**** akhir kutipan ******
Perhatikanlah mereka memfitnah Imam Malik dengan MENAKWILKAN yakni menterjemahkan dan memahami “Ar-Rahmanu alal arsy ISTAWA”, DENGAN MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya menetap tinggi.
Dengan mereka memfitnah Imam Malik sehingga mereka menganggap umat Islam yang mengingkari menakwilkan ISTAWA dengan ISTAQARRA yang artinya menetap tinggi adalah sebagai ahli bid’ah.
Mereka seolah berkata bahwa Imam Malik berkata, “Istawa Allah seperti yang diketahui maknanya secara dzahir atau makna dzahir yakni istaqarra (berada, bertempat atau menetap tinggi), mengimaninya seperti itu adalah wajib dan bagaimana Istawa (menetap tinggi) Allah yang tidak diketahui”
Imam Malik tidak memaknai istawa sebagaimana diketahui maknanya secara dzahir atau makna dzahir.
Namun Imam Malik mengatakan al-Istiwa غَيْرُ مَجْهُوْلٍ (Ghair Majhul) artinya “lafaz istawa sudah jelas diketahui atau disebutkan dalam Al Qur’an”
Hal yang dipermasalahkan oleh Imam Malik adalah الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ (al-kaif ghair ma’qul) artinya pertanyaan kaif (bagaimana – sifat benda) tidak logis dinyatakan kepada Allah.
Beriman kepada lafaz al-Istawa adalah wajib, dan mempertanyakan kaifiyyah Istawa bagi Allah atau bertanya bagaimanakah Istawa Allah tersebut adalah perbuatan bid’ah.
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
***** awal kutipan ******
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan kaifiyyah Istawa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah Istawa Allah”).
Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
***** akhir kutipan *******
Begitupula Al-Qaraafiyy, salah satu ulama besar dalam sejarah, dan ahli mazhab Imam Malik berkata:
***** awal kutipan ******
“Makna ucapan Imam Malik “istawa diketahui” adalah bahwa pikiran kita menuntun kita untuk istawa ‘yang layak bagi Allah Yang Mulia dan layak dengan kebesaranNya yakni istiilaa’ (menguasai) dan bukan makna duduk atau sejenisnya yang tidak bisa kecuali untuk jisim (benda).
Adapun Imam Malik mengatakan “kaif tidak mungkin” artinya bahwa Allah sendiri tidak dikaitkan dengan apa yang digunakan oleh orang-orang Arab dengan kata “kaif” yaitu pertanyaan untuk sifat yang baharu dan untuk jisim (benda)
dan ini tidak mungkin, karena mustahil Allah dikaitkan dengan arti tersebut (Dħakħiirah, 13/243).
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka memfitnah Imam Malik dengan menterjemahkan “Ar-Rahmanu alal arsy ISTAWA”, DENGAN MAKNA DZAHIR yakni “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”
Tidak ada satupun mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan atau mengartikan ISTAWA adalah “menetap tinggi”.
Para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menterjemahkan atau mengartikan ISTAWA adalah BERSEMAYAM namun kata BERSEMAYAM mempunyai dua makna yakni MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan)
MAKNA DZAHIR dari kata BERSEMAYAM menurut kamus bahasa Indonesia adalah DUDUK atau BERTEMPAT dan tentu MAKNA seperti ini tidak patut atau tidak layak disifatkan bagi Allah Ta’ala karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod (aqidah)
Makna kata BERSEMAYAM yang patut atau layak disifatkan bagi Allah Ta’ala adalah dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni MENGUASAI.
Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA.
Berikut contoh penjelasan ustadz Abdul Somad dalam video pada http://m.youtube.com/watch?v=r5MTZUZneBw
Dalam video tersebut ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa ada dua cara memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yakni
1. Tafwid yakni membiarkan khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya maksudnya membiarkan sebagaimana LAFAZnya dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah Ta’ala
2. Ta’wil dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni berkuasa karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Semua bahasa di dunia ini pasti mengakui keberadaan makna majaz (makna kiasan)
Dalam video tersebut ustadz Abdul Somad mencontohkan “Bapak Drs H M. Abdullah Msc duduk di singgasana Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia duduk di singgasana sepanjang dua periode namun maknanya dia berkuasa selama dua periode.
Utadz Abdul Somad juga berdalilkan salah satunya adalah dengan perkataan dan penjelasan dari Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
(رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣)
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam kitab al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333
Oleh karenanya para ulama terdahulu membolehkan memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dengan makna majaz (makna kiasan) seperti ISTAWLA yang artinya menguasai karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.
Contohnya Imam al-Hafizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Contohnya lainnya “sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”.
”Bersemayam di hatinya” dapat dimaknai dengan “menguasai hatinya”
Jika hal buruk bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah lakunya.
Hati adalah inti dan pusat kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah bersabda “Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alaihi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alaihi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama terdahulu justru telah melarang jika kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dimaknai dengan makna dzahir seperti ISTAQARRA yakni berada, bertempat, menetap tinggi karena pemaknaan seperti itu sama dengan MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah.
Contohnya Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan:
***** awal kutipan *****
“Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah.
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh.
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Jelas bahwa Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang menisbatkan sebagai SALAFI yakni mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti manhaj (mazhab) Salaf (terdahulu) atau mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) namun hidup pada zaman Khalaf (kemudian) yakni di atas 300 H sehingga tidak bertemu dengan Salafush Sholeh adalah PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab adalah PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah
Hal yang perlu dipertanyakan adalah SIAPAKAH yang menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama panutan mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga dijuluki “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” alias penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
DITENGARAI atau DIDUGA kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab KARENA justru para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******
Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah selengkapnya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Begitupula riwayat seperti, Imam Ahmad mengatakan dari Suraij bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya ada disetiap tempat, tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”
Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit.
Jika kita lihat di dalam kitab-kitab Adh-Dhu’afa’, Abdullah bin Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam bin Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan gharaib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah bin Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”. (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)
Mereka menterjemahkan matan (redaksi) riwayat di atas disebutkan,
“ilmu-Nya ada disetiap tempat,, tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”
Artinya ilmuNya pun meliputi langit , Arsy dan segala sesuatu.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Ironisnya mereka melarang atau mengharamkan takwil dengan makna majaz (makan kiasan) sedangkan Rasulullah justru mendoakan Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil dan tentu Rasulullah tidak mendoakan hal terlarang atau yang diharamkan.
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Oleh karenanya kita umat Islam pada umumnya prihatin dengan cara mereka dalam memahami Tauhid Asma wa Sifat atau memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya adalah selalu dengan makna dzahir sehingga mereka terjerumus DURHAKA kepada Allah karena mereka men-jisim-kan Allah atau mereka mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya
Contohnya mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah tangan dan keduanya adalah kanan.
Ada pula mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang ditempatkan di Kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/04/15/hanya-makna-dzahir/
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID”AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil” maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar