Waspadalah aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah berkedok ASWAJA
Kalau firqah Syi’ah taqiyahnya sekedar tidak mengakui sebagai Syi’ah.
Sedangkan firqah Wahabi ini taqiyahnya dahulu mengaku sebagai al-Muwahhidun lalu mereka mengaku-ngaku sebagai “Ahlussunnah” namun pada kenyataannya dalam pengertian ahli membaca sunnah (membaca hadits) secara otodidak (shahafi)
Kemudian mereka mengaku sebagai Salafi, as Salafi, jamaknya Salafiyyun sebagaimana contoh tulisan http://www.darussalaf.or.id/mengapa-salaf/mengapa-harus-bermanhaj-salaf/
Mereka saling berebut dan saling mengaku sebagai Salafi dengan saling menyalahkan muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/03/08/menghalalkan-mencela/
Contohnya mereka saling mencela dan mereka menamakannya saling mentadzhir dengan celaan seperti ”kadzdzab” (pendusta) sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2012/04/08/inilah-bukti-kebohongan-dan-kedustaan-khalid-al-ghirbani/
Jadi fatwa mereka adalah jika seorang ulama telah mendapatkan jarh (kritikan) dari ulama panutan mereka maka seumur hidup perkataan atau pendapatnya tidak boleh digunakan lagi.
Hal ini mengingatkan kita pada http://www.darussalaf.or.id/hizbiyyahaliran/dusta-firanda-ditengah-badai-fitnah-yang-sedang-melanda-bag1-firanda-memfitnah-ulama-ahlus-sunnah/
***** awal kutipan *****
Gelar “kadzdzab” (gemar berdusta) yang disematkan oleh salah seorang ulama besar di Madinah Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim Al-Bukhari Hafizhahullah kepada seorang pelajar di Madinah yang bernama Firanda Andirja memang merupakan gelar yang layak disandangnya. Mengapa tidak, Firanda seakan tiada henti menghembuskan fitnahnya dengan menyebarkan berbagai kedustaan dikalangan salafiyyin dengan menyebarkan berita-berita palsu yang kandungannya adalah upaya merendahkan kedudukan para ulama dan Da’i Ahlus sunnah ditengah umatnya.
***** akhir kutipan ******
Kemudian ust Firanda menjawabnya dengan tulisan pada http://firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/144-tanggapan-terhadap-tulisan-seorang-ustadz-hafizohullah
Jadi berdasarkan fatwa mereka maka ust Firanda yang telah mendapatkan fatwa Kadzdzab (pendusta) dari Syaikh: Abdullah Bin Abdurrahim Al-Bukhari maka seumur hidup perkataan atau pendapat ust Firanda tidak boleh digunakan lagi
Kebenaran isi berita tersebut adalah menjadi urusan mereka
Hal yang kita ambil pelajaran atau hikmah dari perilaku mereka adalah bahwa salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam dengan nama-nama pemimpinnya masing-masing seperti Salafi Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), Salafi Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud Al-Haddaad Al-Mishri) dan salafi-salafi lainnya.
Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://atsarsunnah.wordpress.com/2013/11/20/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira.
Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
****** akhir kutipan ******
Jadi firqah atau sekte timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin) atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil.
Umat Islam maupun sekelompok umat Islam seperti organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tidaklah dikatakan berfirqah.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/21/perbedaan-adalah-rahmat/
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Sekedar ngaku Salafi atau “Ahlussunnah” saja tidak laku, akhirnya mereka mengaku juga sebagai “Ahlussunnah wal Jama’ah” (disingkat ASWAJA) sehingga dapat menyesatkan orang banyak.
Al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam pasal kedua pada Kitab Qawâ-id al-‘Aqâ-id dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, menuliskan sebagai berikut : “ Jika disebut nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H) dalam kitab Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, menuliskan : “Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.
Begitupula Syaikh Prof Dr Muhammad Hasan Hitou ulama asal Suriah Ahli Ushul bermadzhab Syafi’i yang banyak mendirikan lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia, STAI Imam Syafii di Cianjur yang mata kuliahnya menggunakan kitab kuning klasik http://stai-imamsyafii.ac.id/id
Beliau mengatakan bahwa “sesungguhnya pertanyaan yang paling aneh yang pernah ditujukan kepadaku selama hidupku adalah “apakah golongan Asy’ariyah termasuk dalam golongan ahlussunnah wal jamaah ?. Sungguh pertanyaan ini membuatku tercengang dalam waktu yang lama, karena aku dapati pertanyaan ini kosong dari makna ilmiah yang benar dan juga menunjuki dangkal dan bodohnya penanya tentang pengetahuan dan sejarah aqidah Islam. Hal ini dikarenakan sesungguhnya apa yang diketahui oleh setiap orang yang mencium bau ilmu dalam sepanjang masa adalah sesungguhnya golongan Asy’ariyah merupakan ahlussunnah wal jamaah, dan apabila disebutkan kalimat “ahlussunnah wal jamaah” dalam berbagai jenis kitab-kitab ilmiah maka yang dimaksudkan adalah mazhab Asya’irah” (kata pengantar Beliau untuk Kitab Ahlussunnah Asya’irah Syahadah Ummah wa Adillatuhum karangan Hamd Sinan dan Fauzi al-‘Anjari, hal 5-8 Dar Dhiya’ Kitab tersebut bisa di download http://www.mediafire.com/download/0jpc4uw5jx12yya )
Waspadalah aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah berkedok ASWAJA sebagaimana yang termuat dalam gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/03/wahabisme-berkedok-aswaj.jpg karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang dua firqah dalam Islam yakni ,
1. Orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti contohnya ulama panutan mereka yakni Abdul Hakim bin Amir Abdat yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Aqidah mereka tersebut akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir dan mengingkari makna majaz seperti terhadap riwayat berikut,
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada keluarga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
2. Orang-orang mencari-cari takwil untuk memperturutkan hawa nafsunya seperti firqah muktazilah yang menakwilkan untuk mengingkari sifat-sifat Allah
Firman Allah yang artinya, “Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan untuk Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan “mencari-cari takwil” untuk mengingkari sifat-sifat Allah.
Sedangkan menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz tidak terlarang karena Al Qur’an dalam bahasa Arab sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/03/16/takwil-dengan-majaz/
Bagi umat Islam yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat, oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diwajibkan menakwilkan dengan ilmu balaghah seperti dengan makna majaz kalau dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak patut atau tidak layak bagiNya
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya.
Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
Di Indonesia, sejumlah Tokoh Wahabi secara terang-terangan menyatakan bahwa Madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja, bahkan Firqoh sesat menyesatkan, antara lain :
1. Yazid Abdul Qadir Jawaz dalam buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” bab 13 hal. 519 – 521.
2. Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku “Risalah Bid’ah” bab 19 hal. 295 dan buku “Lau Kaana Khairan lasabaquunaa ilaihi” bab 6 hal. 69.
3. Hartono Ahmad Jaiz dalam buku “Bila Kyai Dipertuhankan” hal.165 – 166
***** akhir kutipan *****
Begitupula Habib Rizieq Shihab menjelaskan tentang mereka yang menamakan dirinya pengikut Salafi atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama istilah Wahhabi bahwa mereka menyalahkan muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka. Mereka menganggap Asy’ariah dan Maturidiyah termasuk firqah sesat dan menyesatkan sebagaimana yang dipublikasikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo dan http://www.youtube.com/watch?v=DZdjU2H6hpA
**** awal kutipan transkrip video yang pertama ****
Karena itu saya sangat prihatin terbit sebuah buku dengan judul “Mulia dengan manhaj salaf”. Judulnya bagus betul. Diterbitkan oleh pustaka At Taqwa, Yang menulis Yazid bin Abdul Qodir.
Kenapa saya prihatin dengan kehadiran buku ini. Kalau kita buka pada bab yang ketigabelas yaitu bab yang terakhir. Disini penulis menyebutkan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan. Yang nomor delapan disebutkan Asy’ariah. Yang nomor sembilan disebut Maturidiyah. Kemudian yang nomor empat belas atau yang nomor tiga belas Shufiyah, ahli tasawuf. Yang nomor empat belas Jama’ah Tabligh. Yang nomor lima belas Ikhwanul Muslimin. Yang nomor tujuh belas Hizbut Tahrir
Buku-buku semacam ini memecah belah umat. Kalau pengarang ini merasa bahwa Wahhabi adalah ajaran yang paling benar, silahkan. Dia menamakan dirinya pengikut Salafi atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama istilah Wahhabi. Kalau dia merasa Salafi Wahhabi paling benar, hak dia. Kalau dia merasa paling suci, hak dia. Kalau dia merasa paling lurus, hak dia. Tapi dia tidak punya hak untuk sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan sesama umat Islam.
***** akhir kutipan transkrip video ******
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah seperti ulama Lajnah Daimah, Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razzaq al ‘Afifi, Abdullah bin Qu’ud menegaskan bahwa Abu Bakar al Baqillani (W 403H), al Baihaqi (W 458 H) , Abu al Farj Ibnul Jauzi (W 597 H), Abu Zakariya an Nawawi (W 676 H), Ibnu Hajar al Asqalani (W 852 H) , Ibnu Hajar Haitami (W 974 H) dan yang serupa dengan mereka bersalah karena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. hal itu bertentangan dengan ulama salaf dan para imam sunnah –rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat perbuatan atau sebagiannya sebagaimana informasi dari http://islamqa.info/id/107645
Mereka menyalahkan ulama dari abad 4 H s/d 9 H dan bagi mereka yang pasti benar hanyalah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah (W 728H) , Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) atau bahkan Albani (W 1420 H) dan hanya ulama mereka sajalah pengikut ulama salaf dan dianggap sebagai imam sunnah (imam membaca sunnah) atau ahlus sunnah (ahli membaca sunnah) alias ahli membaca hadits secara otodidak (shahafi)
Berikut contoh kutipan pentahdziran mereka terhadap ulama terdahulu https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ulama_dan_tahdzir.pdf
“Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan yang mereka terjatuh padanya.“
Mereka berpendapat bahwa pentakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar telah terjatuh dalam kebid’ahan.
Pendapat serupa mereka utarakan pada http://www.rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3375-ibnu-hajar-dan-imam-nawawi-dikatakan-mubtadi.html
“Ibnu Hajar dan An Nawawi rahimahumallah memang dalam beberapa masalah aqidah terdapat ketergelinciran terutama dalam pembahasan Asma’ wa Shifat, di mana mereka berdua di antara orang yang mentakwil makna nama dan sifat Allah tanpa dalil. Namun demikianlah kesalahan ini tertutupi dengan kemanfaatan ilmu dan keutamaan mereka. Moga Allah merahmati mereka.“
Begitupula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi ditanya tentang aqidah Imam Nawawi dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah). Sumber: http://muslim.or.id/biografi/biografi-ringkas-imam-nawawi.html
Sebelumnya telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/03/10/taubat-dua-kali/ tentang mereka yang keukeuh (bersikukuh) mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah yang dalam perkara akidah telah difatwakan sesat dan menyesatkan oleh qodhi empat mazhab sejak dahulu kala bahkan ada yang mengkafirkannya adalah karena,
1. Ulama panutan mereka yang mengaku-ngaku bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
2. Syubhat, propaganda atau bahkan fitnah yang mengatakan bahwa Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase terakhir adalah Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disanggah pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias Ahlussunnah wal Jama`ah.
Sedangkan mereka mengatakan bahwa pada fase ke tiga, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari telah mengikuti manhaj mereka yang dinisbatkan dengan nama “manhaj Salaf” yakni menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan “TANPA TAKWIL” sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/3011/slash/0/apakah-al-asyariyyah-termasuk-ahlu-sunnah/
Bahkan mereka menganggap “telah kafir” bagi muslim lainnya yang tidak mau mengikuti mereka yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Contohnya, menurut Ibn Taimiyah, Salafus Sholeh memahami bahwa yang dimaksudkan dengan yadd Allah adalah tangan Allah tetapi keadaan tanganNya tersebut tidak diketahui.
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Jadi klaim mereka bahwa Salafush Sholeh menetapkan seluruh sifat-sifat Allah dengan “TANPA TAKWIL” adalah sebuah fitnah karena pada kenyataannya Salafush Sholeh terhadap ayat-ayat sifat menggunakan manhaj takwil (memalingkan makna sesuatu lafaz daripada makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa) yakni takwil secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) yakni menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa walaupun tidak memberikan makna lain kepada lafaz tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/12/takwil-ijmali-dan-tafsili/
Salah satu pilar aqidah Islam adalah tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan menakwilkan atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan)
Takwil dibutuhkan atau digunakan hanya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Berikut contoh cara memahami bahwa antara takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan bukan bertentangan.
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengatahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna literal atau makna indrawi adalah makna dari apa yang tampak atau makna dari apa yang tertulis (tersurat) atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Sedangkan makna majaz (makna kiasan) adalah termasuk makna bathin atau makna di balik yang tampak atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat atau makna yang terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain
Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai makna yang berlainan.
Oleh karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Begitupula dalam memahami apa yang Allah Azza wa Jalla sifatkan untuk diriNya perlu menguasai ilmu balaghah (sastra Arab) karena kita memahami dan meyakini apa yang tidak tampak oleh mata kepala
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak sempurna jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Ada pula mereka yang tidak anti takwil namun mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari hadits terhadap ayat tersebut.
Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain, penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”ويبقى وجه ربك”; artinya ”ويبقى ربك”; ”Dan Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di atas, firman-Nya: ”يريدون وجهه”; para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”يريدونه”; ”Mereka bertujuan ikhlas karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ”كل شىء هالك إلا وجهه”; artinya ”إلا هو”; ”Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.
Contoh lain bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz (metaforis atau makna kiasan).
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya.
Atas dasar itu, maka ayat seperti yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar 56) tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) bahwa Allah memiliki pinggang namun ditafsirkan (ditakwilkan) terkait dengan mengabaikan (melalaikan) urusan Allah atau mengabaikan (melalaikan) kewajiban terhadap Allah yakni mengabaikan (melalaikan) perintahNya dan laranganNya.
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam tulisan-tulisan mereka atau dalam diskusi di jejaring sosial atau dunia maya (internet) sering mereka membombardir dengan link-link atau tautan yang merujuk kepada tulisan-tulisan ulama panutan mereka yang mengutip perkataan ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf (kemudian) ataupun mengutip Al Qur’an dan Hadits namun permasalahannya mereka terjemahkan dan pahami selalu dengan makna dzahir.
Contohnya dalam memahami
وهو فوق كل شيء
diterjemahkan dan dipahami oleh mereka dengan, “dan Allah berada di atas segala sesuatu”
Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri karena mereka enggan tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dengan menakwilkan atau memalingkan makna fawq “berada di atas” ke makna lain yang lebih sesuai karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu” karena menurut Ibn Al Jawzi, pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) “berada di atas” hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/03/15/di-atas-segalanya/
Perbuatan mensifatkan Tuhan dengan sifat benda adalah perkara terlarang karena mensifatkan Tuhan dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa orang Arab sering menggunakan ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B)
Jadi makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah: Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)”.
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’li” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainn karena Rasulullah melarang kita untuk memikirkan DzatNya dan menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Tanda atau ciri-ciri orang-orang yang durhaka kepada Allah dan RasulNya adalah mereka menjadi sombong dan suka menyalahkan muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, salah satunya akibat mereka telah sombong dan durhaka kepada Allah yakni mereka mensifatkan DzatNya
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mensifatkan DzatNya dengan mengatakan contohnya bahwa Allah Ta’ala memiliki wajah namun wajah Allah tidak serupa dengan wajah makhlukNya sebagaimana publikasi mereka pada http://muslim.or.id/64-apakah-allah-memiliki-wajah.html
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jism-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat durhaka kepada Allah sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Cara efektif untuk mengadu domba umat Islam dan menghancurkan dari dalam adalah dengan hasutan untuk “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran masing-masing.
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti kaum Yahudi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2] : 87)
Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi)
Walaupun pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama dengan berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menduplikati (meneladani) Ibnu Taimiyyah ulama dari kalangan otodidak seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Perhatikanlah kitab-kitab Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah pada umumnya mereka tidak merujuk kepada pendapat mazhab yang empat melainkan pendapat atau fatwa mereka sendiri secara otodidak (shahafi)
Cara atau upaya kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk menyesatkan para pengikut ulama Najed, ditengarai adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang mendalami ilmu agama dengan metode belajar sendiri atau otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Kitab pokok atau kitab dasar aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Jadi apa lagi yang mau dikatakan dan dipertahankan ataupun dibela mati-matian oleh mereka kalau sejak dahula kala qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang paling faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan mazhab yang empat telah menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan yang ditetapkan oleh
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan : “Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari Kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara setelah sidang ke empat. Beliau wafat pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H
Begitupula mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
***** akhir kutipan *****
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/radikal-al-qaeda-dan-isis/
Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari pemahaman Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi (pendiri firqah Wahabi) yang mengikuti dan menyebarluaskan pemahaman Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
***** awal kutipan *****
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
***** akhir kutipan ****
Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan ajaran Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri Sembilan tidak akan menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/tak-sesuai-di-malaysia/
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor Husin menyampaikan
****** awal kutipan *****
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.
****** akhir kutipan *******
Sejak tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan fatwa pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-negeri/fatwa-mengenai-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah
Silahkan download fatwa dalam bentuk brosur pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/08/fatwa-negeri-perak-tentang-penegahan-wahabiah.jpg
Berikut daftar link arsip fatwa para fuqaha dari negara tetanga yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat terhadap paham Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/fuqaha-negeri-tetangga/
Mufti Haji Said bin Haji Ibrahim, mantan mufti Sabah silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/fatwa-mufti-sabah/
Syaikh Abdullah bin Ibrahim yang terkenal dengan gelaran Syaikh Abdullah Fahim merupakan ulama terkenal Tanah Melayu dan mufti pertama Pulau Pinang silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/mufti-pulau-pinang/
Wasiat ulama Kelantan, Syaikh ‘Utsman Jalaluddin bin Muhammad bin ‘Abdus Shamad al-Kelantani atau lebih dikenali sebagai Syaikh Utsman Jalaluddin Penanti silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/25/wasiat-ulama-kelantan/
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
42. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr alMu’azhzham – Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj
Dan lain lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar