GM sebaiknya belajar dari kasus Ahok.
Dahulu Ahok juga sudah minta maaf namun minta maaf atas pernyataannya yang menimbulkan kegaduhan.
Ahok belum minta maaf atas pernyataannya karena Ahok tidak merasa bersalah atas pernyataannya tersebut.
Begitupula GM belum merasa bersalah dan minta maaf atas pernyataannya.
GM hanya minta maaf atas “pemilihan kata” yang dianggapnya kurang tepat dan GM merasa telah memilih kalimat-kalimat yang menurutnya sederhana tetapi beberapa orang menganggap sebagai kalimat yang cukup berat.
Jadi kemungkinannya GM ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) secara sadar dan tetap akan memilih kata yang lain untuk mensifatkan Rasulullah dengan sifat rembes (ingusan) , dekil, kotor dan tidak terawat dalam upaya pembenaran pengingkarannya terhadap irhas (kejadian istimewa) ketika Rasulullah lahir.
Bahkan GM diberitakan pula berpendapat adanya kemungkinan Rasulullah ketika kecil maling jambu sebagaimana yang termuat dalam laporan ke polisi nomor LP/B/1017/XII/2019/Bareskrim atas nama pelapor Amir Hasanudin tertanggal 4 Desember 2019. GM dituduh melanggar Pasal 156a UU KUHP sebagaimana contoh berita https://merahputih.com/post/read/gus-muwafiq-dipolisikan-atas-kasus-dugaan-penistaan-agama.
Sebaiknya tidak perlu diadukan kepada pihak kepolisian namun cukup mendorong dan meminta fatwa atau pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan terlebih dahulu memanggil GM dan menyidangkannya.
Begitupula sebaiknya ada komisi atau bagian khusus di Majelis Ulama Indonesia yang menyidangkan pemahaman (pendapat) ulama atau ormas yang keluar atau menyimpang dari pemahaman (pendapat) jumhur ulama.
Sebaiknya hilangkan dari pikiran dan hati kita selama-lamanya terhadap perkataan bahwa Rasulullah “manusia biasa” karena Rasulullah hanya bersabda “aku hamba Allah” dan “Aku manusia seperti kalian”
Sabda Rasulullah “Aku hamba Allah” sebaiknya dipahami dengan makna majaz (makna kiasan) atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat dari “Aku hamba Allah” adalah “Aku bukan Tuhan”, jadi maknanya adalah janganlah menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum Nasrani.
Begitupula sabda Rasullah, “Aku manusia seperti kalian” sebaiknya dipahami pula dengan makna majaz (makna kiasan) atau makna di balik yang tertulis (tersurat) atau makna tersirat dari “aku manusia seperti kalian” adalah “aku bukan jin”, “aku bukan malaikat” yakni “aku manusia”.
Sebaiknya janganlah ditambah/disisipi kata “biasa” menjadi “aku manusia biasa”
Jadi maknanya adalah “Aku manusia” – “seperti kalian” butuh makan, minum, beristri, memiliki keturunan, ditimpa penyakit dan lain lain.
Rasulullah tentu adalah manusia atau “hamba Allah” namun dengan maqomat, jenjang atau derajat yang paling mulia.
Tidak ada ulama yang mengingkari adanya larangan memanggil Rasulullah dengan panggilan yang buruk termasuk mensifati Rasulullah dengan sifat yang buruk.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)” (QS An Nur :63)
Jadi sebaiknya janganlah mensifati atau “menyamakan” sifat Rasululullah seperti sifat buruk yang ada pada manusia.
Salah satu penyebab orang-orang belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah adalah karena Allah Ta’ala belum menghendaki sampai kepada mereka tentang Nur Muhammad.
Kami mendukung siapapun menggunakan tangannya untuk membuat tulisan atau lisan untuk menegur GM agar beliau memohon ampunan kepada Rasulullah dan umat Islam pada umumnya karena telah memanggil dan mensifati Rasulullah dengan sifat yang buruk dan mencabut pengingkarannya terhadap irhas (kejadian istimewa) ketika Rasulullah lahir.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar