Kebiasaan baik yang dirutinkan disukai Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”
Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Jadi jika ada seseorang ulama Allah menyampaikan rutinkanlah membaca surat surat Al Mulk, Al Waqiah, Ar Rahman setiap malam Senin dan Kamis, maka selama perintah tersebut bukan dianggap perkara wajib (jika ditinggalkan berdosa) sehingga kebiasaan tersebut hukum asalnya mubah (boleh) dan pahalanya dari kebiasaan membaca surah-surah-surat tersebut.
Oleh karenanya para ulama terdahulu menasehatkan bahwa janganlah berprasangka buruk jika kita mendengar perkataan atau melihat perbuatan atau amal ibadah saudara muslim lainya yang belum atau tidak diketahui dalilnya .
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Hal yang perlu kita ingat bahwa tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan yang disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang atau hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang harus disampaikan secara langsung melalui lisan dalam bentuk bimbingan karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu seperti “Haiatul Maknun”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Haiatul Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama Allah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salam)
Begitupula suatu hadits dianggap dhaif atau bahkan maudhu oleh seorang ahli hadits sangat dipengaruhi oleh jumlah hadits yang diketahui dan dihafalnya
Sebagai contoh, Hadits :
“ Jika telinga seorang dari kalian berdenging, maka sebutlah aku dan bersholawatlah atasku serta ucapkan, Semoga Allah menyebutkanya dengan kebaikan bagi orang yang menyebutku “. (HR. Ath-Thabrani)
Hadits ini disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin oleh al-Ghazali. Hadits ini dinilai palsu oleh Ibnul Jauzi dan al-Albani karena ada perawi bernama Muhamamd bin Ubaidillah bin Abu Rafi’ Al-Hasyimi Al-Kufi yang dinilai Munkarul hadits oleh sebagian ulama jarh. Namun jumhur ulama hadits menilainya dhaif. Asy-Syakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah menilainya dhaif. Al-Iraqi juga menilai sanadnya dhaif. Al-Ijluni juga menilainya dhaif dan ulama hadits lainnya. Bahkan az-Zabidi sendiri memiliki pandangan berbeda yang menguatkan hadits tersebut, ia berkomentar :
“ Akan tetapi al-Haitsami mengatakan, “ Isnad ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabirnya bernilai hasan “. Ini membatalkan hujjah orang yang menilai hadits ini dhaif apalagi menilainya palsu seperti Ibnul Jauzi dan al-‘Uqaili. Al-Munawi menukil dalam syarh Jami’nya bahwasanya hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya dengan lafadz tersebut dari Abi Rafi’, sedangkan beliau (Ibnu Khuzaimah) termasuk orang yang valid di dalam mentakhrij hadits, maka ketahuilah itu “.
Ini artinya az-Zabidi memiliki penilaian berbeda terhadap riwayat hadits tersebut, di mana al-Iraqi dan ulama lainnya menilainya dhaif dan Ibnul Jauzi menilainya palsu, namun az-Zabidi menilainya hasan dengan bersandar pada hujjah al-Haitsami.
Begitupula tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan (menghilangkan) keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhaif sebagai hadits yang palsu karena ketidak tahuan maka berarti mendustakan ucapan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan hukumnya kufur.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi mengatakan dalam al Ilal al Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu. (al Ilal al Mutanahiyah, 2/65)
Begitupula Ibn Hajar, Tabyin al-‘ajab, hlm. 29; al-Suyuti, al-Jami’ al-saghir, jil. 1, hlm. 312 tidak menghukumi hadits dhaif karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.
Jadi Al-Imam al-Hafizh sekelas mereka tidaklah berani menghukumi hadits dhaif (lemah) karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.
Oleh karenanya hadits dhaif, contohnya karena perawi tidak dikenal belum tentu bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sehingga orang-orang yang membuang atau mengingkari hadits dhaif boleh jadi terjerumus mengingkari hadits Rasulullah.
Namun para ulama sepakat bahwa hadits dhaif tidak boleh digunakan untuk menetapkan hukum perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa) maupun larangan (dilanggar berdosa)
Bagi kami umat Islam ketika menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kami menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kami untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang dibolehkan
Jadi dapat kita simpulkan bahwa apapun yang tidak dijumpai pada zaman Radulullah atau perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah BID’AH HASANAH dan hukumnya bid’ah mubah, bid’ah sunnah (mandub) atau bid’ah wajib
Sebaliknya apapun yang tidak dijumpai pada zaman Radulullah atau perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat selama menyalahi laranganNya atau selama bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah BID’AH SAYYIAH dan hukumnya bid’ah haram dan serendahnya bid’ah makruh .
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang menyalahi atau yang bertentangan dengan syara atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah bid’ah yang sesat
Sedangkan perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Contoh adat istiadat pada saat resepsi pernikahan tentulah bersifat lokal sehingga tidak ada pada zaman Rasulullah maka selama kegiatan tersebut tidak menyalahi laranganNya atau selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Pahalanya dari mana?
Bisa saja pahalanya diperoleh misalkan dari kegiatan yang merupakan wujud syukur kepada Allah
Para ulama Allah telah mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah
1. Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi
Prinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
2. Ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang mungkin saja ada yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah namun selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah
Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh).
Namun karena tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Pada kenyataannya Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.
Ironisnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi namun mereka membolehkan melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab
Ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin berfatwa bahwa salah satu alasan mereka membolehkannya adalah karena kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab bukan dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Jadi kegiatan mereka mengenang ulama panutan mereka bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah artinya kegiatan mereka tersebut untuk menjauhkan diri dari Allah.
Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut menyampaikan pendapatnya sebagai berikut
***** awal kutipan ******
Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.
Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-masing.
Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.
Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di negerinya, mau ulama atau pahlawan lainnya.
***** akhir kutipan *****
Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan tidak diingkari atau dibolehkan.
Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan logika adalah kontradiksi.
Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi untuk MENGENANG Rasulullah.
Apakah lebih mulia ulama atau pahlawan mereka daripada Rasulullah?
Apakah Rasulullah bukan pahlawan bagi mereka?
Apakah mereka tidak menganggap Rasulullah memperjuangkan Islam?
Begitupula kalau dilarang Maulid Nabi karena dirutinkan maka bertentangan dengan sabda Rasulullah di atas bahwa kebiasaan baik yang dirutinkan disukai Allah.
Kalau pekan memorial yakni mengenang ulama mereka sebagai pahlawan adalah amalan atau perbuatan yang tidak dianggap mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah maka amalan tersebut adalah keburukan atau amal keburukan kebalikan dari amal kebaikan.
Seluruh sikap dan perbuatan yang bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau menjauhkan diri dari Allah atau berpaling dari Allah adalah keburukan yakni seluruh sikap atau perbuatan yang melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Sebaliknya bagi kami umat Islam, seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Jadi seluruh sikap dan perbuatan seseorang yang mengaku sebagai hamba Allah termasuk MENGENANG pahlawan, ulama, reuni, merayakan ultah, milad organisasi, hari kemerdekaan sebagai wujud syukur kepada Allah Ta’ala adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah selama bentuk kegiatannya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Seluruh sikap atau perbuatan seorang hamba Allah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla merupakan ibadah kepada Allah
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda
“Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amal kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Dalam hadits di atas Rasulullah bersabda bahwa wujud dari mencintai Allah Ta’ala tidak semata-mata dengan melakukan amal atau perbuatan yang telah diwajibkanNya.
Amal atau perbuatan yang telah Allah Azza wa Jalla wajibkan (wajib dijalankan dan wajib dijauhi) adalah suatu keharusan bukan karena pahala (takut dosa) atau bukan karena surga (takut neraka)
Kaum muslim yang mencintai Allah dibuktikan dengan terus menerus mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan amal kebaikan sehinga meraih cinta Allah dan menjadi kekasih Allah (Wali Allah)
Ironis mereka lainnya, daripada memperingati Maulid Nabi, mereka lebih suka memperingati ( mengenang ) ulama panutan lainnya seperti al-Albani sebagaimana yang termuat dalam buku edisi bahasa Indonesia berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary dan diterbitkan oleh At-Tibyan – Solo.
Buku tersebut memuat syair-syair untuk mengenang dan memuji Al Albani sebagaimana yang dapat didownload pada
http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Dalam buku tersebut memuat bab khusus yakni Bab VII dengan judul “Syair-syair duka cita melepas kepergian Syaikh Al-Albani” dimulai dari halaman 138.
Pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” dengan kalimat
“Ibnu Taimiyyah tidak memiliki generasi pengganti yang lebih bernyawa, daripada Syaikh As-Sunnah Al-Albani orangnya”
Pujian yang perlu dipertanyakan, salah satunya pada halaman 155, yang berjudul “Selamat jalan Al-Albany” yang ditulis oleh Dziyab Abdul Kariem yakni
“Dengan karuniamu langitpun dipenuhi dengan keindahan selalu, bahkan ketukan penamu bisa menjadi senandung di malam gelap gulita. Masing-masing boleh saja menerima derita dengan terpana, namun orang yang penyabar selalu jauh dari kaum yang semena-mena. Mereka mendengki sang Imam sehingga bersikap memusuhinya, namun beliau mendekati mereka dengan petunjuk meski mereka menjauhinya”
“karuniamu”, “penamu” , [mu] dalam kalimat syair tersebut kembali kepada siapa?
Bahkan mereka yang melarang makna majaz dalam sholawat Nariyah, justru pada halaman 158 menuliskan, “Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Syaikh kami sang Ulama, yang menyebabkan bintang-bintang, bulan dan matahari bersujud karenanya”
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap syair atau kalimat yang artinya, “yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-nariyyah-fiqhaqidah/
Contoh lainnya dalam haul Al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim yang diadakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin, seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:
“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”
Jadi kesimpulannya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia.
Mereka melarang (mengharamkan) umat Islam memuji Rasulullah salah satunya karena mereka salah memahami sabda Rasulullah,
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Hal ini timbul dikarenakan mereka mencoba memahami hadits secara sepotong-potong.
Kadang mereka memotong sebatas
“Jangan memujiku secara berlebihan ”
atau
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam”
Mereka tidak memperhatikan apa fungsi bagian akhir dari sabda Rasulullah tersebut yakni “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Hadits tersebut sudah secara jelas memberikan batasan pujian yang berlebihan yakni “seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” yang mempunyai makna majaz (kiasan) yang maknanya adalah “seperti kaum Nasrani yang menjadikan Nabi Isa a.s sebagai putera Tuhan”
Apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani diingkari dengan “Isa putera Maryam” dan “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melebihi batasannya sebagai manusia.
Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya:
“Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau (shallallahu alaihi wasallam) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliaannya…”
Ulama panutan mereka, Al Albani menamakan kitabnya “Sifat sholat Nabi” namun ironisnya belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Salah satu bukti belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah, ulama panutan mereka, Al Albani secara tidak langsung terjerumus mencela atau menyakiti Rasulullah dengan fatwa atau pendapatnya bahwa Rasulullah sesat dari kebenaran sebelum turunnya wahyu akibat mengikuti paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat/
Kutipan gambar fatwanya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2017/07/fatwa-albani.jpg
Tentang kesalahpahaman mereka terhadap (QS Adh Dhuha [93] : 7), Prof Dr. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menyatakan di dalam bukunya al Zakhair al Muhammadiyyah,
***** awal kutipan *****
“Ayat ini sering dieksploitasi oleh sebagian ahli fitnah yang buta basirah dan tertutup pintu hati sehingga mereka tidak dapat melihat hakikat kedudukan Nabi dan Rasul yang sebenar.
Mereka hanya melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai manusia biasa semata-mata yang berjalan di muka bumi, berjalan-jalan di pasar, memikul dosa, melakukan dosa dan kesalahan, pernah hidup dalam kesesatan lalu Allah Ta’ala memberi hidayah kepadanya, pernah hidup dalam kemiskinan lalu Allah memberikannya kekayaan dan dilahirkan dalam keadaan yatim lalu Allah memberi perlindungan kepadanya.
Sehinggalah ke akhir perbicaraan yang hanya membangkitkan kekeliruan orang awam karena dia memahami nas-nas yang terdapat di dalam al Quran dan Sunnah secara dzahir”
Begitupula Al Allamah al Qadhi Iyadh menyatakan dalam kitabnya al Syifa bi Tarif Huquq al Mustafa, “Terdapat banyak khabar dan athar yang saling mendukung di antara satu sama lain yang mensucikan para nabi daripada kekurangan ini semenjak mereka dilahirkan dan mereka membesar di atas tauhid dan iman.”
Beliau menambah lagi: “Tidak pernah seorang pun ahli hadis berpendapat bahwa seorang daripada mereka yang dipilih menjadi nabi daripada kalangan orang yang dikenali dengan kekufuran dan kesyirikannya sebelum itu.”
Oleh karena itu kita tidak pernah mendengar para Nabi dan Rasul terdahulu sebelumnya mereka mengikuti keyakinan yang sesat yang dianuti oleh kaum mereka.
Kemuliaan ini adalah terlebih utama dianugerahkan ke atas Rasulullah dan tiada satu sebab atau dalil yang menghalangi baginda daripada memperoleh nikmat dan keistimewaan itu karena baginda adalah penghulu segala nabi dan rasul.
Jangan sekali-kali kita berpaling kepada pendapat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di atas agama kaumnya sebelum Nubuwwah, lalu Allah menghidayahkan Islam kepada baginda karena Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para nabi yang lain sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanan.
Sesungguhnya mereka terpelihara sebelum Nubuwwah daripada jahil tentang sifat-sifat Allah dan mentauhidkan-Nya.
***** akhir kutipan *****
Mereka tampaknya belum mengenal Rasulullah yang sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanaan, terperlihara (maksum) sejak sebelum Nubuwwah atau sejak sebelum turunya wahyu akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Kita periksa kitab tafsir Jalalain yang lebih menonjolkan pembahasan mengenai penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya, dan bacaannya. Dengan kata lain, menonjolkan penganalisaan dari sudut tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain.
Penafsirannya sebagai berikut, “(Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung)” mengenai syariat yang harus kamu jalankan (lalu Dia memberi petunjuk) Dia menunjukimu kepadanya.
Asbabun Nuzul “Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” (QS Adh Dhuhaa [93]:5)
Dari Ibnu Abbas ra, dari ayahnya dia berkata , “telah ditampakkkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sesuatu yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan. Karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merasa sangat gembira . Lalu turunlah ayat ini” (HR Hakim, Baihaqi, dan Thabarani)
Jadi tidak ada ahli tafsir (mufassir) yang mengatakan bahwa Rasulullah sesat dari kebenaran sebelum turunnya wahyu namun Rasulullah bingung dalam menghadapi kaumnya kemudian turun petunjuk atau wahyu dari Allah yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar