Perbedaan pendapat bukan dalam perkara jilbab tapi dalam perkara cadar
Kita harus dapat membedakan antara JILBAB dengan CADAR atau PURDAH yakni kain penutup muka (wajah) perempuan dalam bahasa Arab disebut juga dengan NIQAB.
Pada hakikatnya TIDAK ADA ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam memahami perintah Allah untuk wanita mukmin menggunakan JILBAB.
Perintah Allah Ta’ala sudah jelas (qathi) yakni
“yudnina ‘alaihinna min jalabibihinn”
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”
Lafadz Jalabib adalah bentuk jamak dari lafadz Jilbab
BERLAKU BAGI,
qul li`azwajika wa banatika wa nisa`il-mu`minina,
” katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin” (QS. al Ahzab [33] : 59)
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) terjadi dalam memahami PENGECUALIAN yang dibolehkan ditampakkan (tidak tertutup) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya,
“janganlah mereka menampakkan perhiasannya, KECUALI yang (biasa) nampak dari padanya. (QS. an-Nur [24] : 31)”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu berkata (mengomentari ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangannya’.
Al Imam Al Hafizh An Nawawi dalam Al Majmu’, 3: 122 dan juga disinggung Beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188 mengatakan,
ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد
“Pendapat yang masyhur dalam mazhab kami (syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak perempuan. Sedangkan aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya KECUALI wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
Jadi pada kenyataannya perbedaan pendapat (ikhtilaf) bukan dalam perkara JILBAB tapi dalam perkara apakah MUKA tidak wajib ditutup atau wajib ditutup dengan CADAR/PURDAH/NIQAB atau PENUTUP MUKA bagi wanita.
Para ulama menyarankan sebaiknya menggunakan cadar/purdah/niqab atau penutup muka bagi wanita TIDAK BERLAKU UMUM namun dengan BATASAN atau KONDISI/KEADAAN tertentu seperti suatu keadaan akan menimbulkan fitnah, dapat mengundang pandangan yang diharamkan atau lainnya.
Namun pada kenyataannya Allah Ta’ala maupun Rasulullah tidak pernah memerintahkan bagi wanita untuk menggunakan CADAR/PURDAH/NIQAB.
Jadi hukum perkara menggunakan cadar/purdah/niqab bagi wanita BUKAN KEWAJIBAN ataupun SUNNAH (MANDUB) melainkan MUBAH (boleh) karena para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang TIDAK ADA DALIL yang menjelaskan KEWAJIBAN (perintah) atau KEHARAMAN (larangan) sesuatu secara jelas (qathi) , maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Begitupula para ulama tidak menetapkan CADAR/PURDAH/NIQAB sebagai sebuah KEWAJIBAN atau SUNNAH (MANDUB) berdalilkan AYAT HIJAB (di balik tabir) karena kewajiban di balik tabir khusus bagi istri Rasulullah.
Sebagian mereka menjawab; Jika Beliau menghijabnya berarti termasuk salah seorang dari ummahatul muslimin, jika Beliau tidak menghijabnya berarti hanya seorang sahaya Beliau. Ketika berangkat pulang, Beliau menempatkan Shafiyyah dibelakang Beliau dan menyelimutinya dengan hijab (HR Bukhari 3891)
Dari Anas radliallahu ‘anhu, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim tiga hari di daerah antara Khaibar dan Madinah, Beliau menikahi Shafiyyah binti Huyay. Maka aku pun mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya. Dan di dalam walimahan itu tidak ada roti dan tidak pula daging. Beliau menyuruh agar dibuatkan hamparan kulit lalu di dalamnya diberi kurma, keju dan samin. Seperti itulah acara walimah Beliau. Maka kaum muslimin pun berkata, Ia adalah salah seorang dari Ummahatil Muslimin ataukah sekedar hamba sahayanya. Mereka katakan, Jika Beliau menghijabinya, maka ia adalah termasuk Ummahat Muslimin, namun jika tidak, maka ia adalah hamba sahayanya. Maka ketika berangkat, Beliau meletakkannya agak rendah di belakang, lalu Beliau membentangkan hijab yang menutupi antara ia dan orang banyak. (HR Bukhari 4695)
Ummu Salamah lantas berseru di balik tabir “Tolong sisakan air itu untuk ibu kalian! Maka keduanya menyisakan air itu”. (HR Bukhari 3983)
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), , tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” QS Al Ahzab [33]:53)
Anas bin Malik berkata; Aku orang yang lebih tahu tentang ayat hijab ini, yaitu ketika Zainab binti Jahsy dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika Zainab bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumahnya, Beliau membuat makanan lalu mengundang orang-orang. Kemudian mereka pun duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja keluar masuk, namun mereka masih duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya…, hingga ayat: maka mintalah dari belakang tabir. (Al Ahzab: 53). Maka dibuatkanlah tabir dan orang-orang pun beranjak pergi. (HR Bukhari 4418)
Dari Ibnu Syihab bahwa Anas berkata, Aku adalah orang yang paling paham dengan hijab, Ubai bin Ka’b pernah menanyakannya kepadaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pengantin dengan Zainab binti Jahsy, Beliau menikahinya di Madinah. Beliau lalu mengundang para sahabat untuk menghadiri jamuan makan setelah siang hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian duduk bersama beberapa orang setelah orang-orang pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berjalan pergi dan aku mengikutinya, hingga Beliau sampai di depan pintu kamar Aisyah. Beliau mengira bahwa para sahabat tersebut sudah pulang, maka aku pun mengikuti Beliau keluar dan ternyata mereka masih duduk-duduk di tempat mereka. Beliau lantas kembali masuk ke dalam, dan aku tetap mengikuti untuk yang kedua kalinya, hingga ketika sampai di depan pintu kamar Aisyah, Beliau kembali keluar, dan aku tetap mengikutinya. Dan ternyata mereka semua telah pergi, kemudian Beliau memasang hijab antara aku dengannya, lalu turunlah ayat hijab. (HR Bukhari 5044).
Alasan lain cadar/purdah/niqab atau penutup muka bagi wanita bukanlah sebuah kewajiban bagi seluruh wanita karena di sisi lain Rasulullah melarang wanita ketika ihram memakai sarung tangan dan cadar.
Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat, Rasulullah tentu tidak akan mengharamkan menutupnya.
Beginilah contoh riwayat bagaimana cara para istri Nabi menyiasati ketika berthawaf dan hal ini sulit dilakukan bagi wanita muslim secara umum karena pada masa kini begitu banyaknya jumlah jama’ah haji dan umrah.
Tentu Allah Ta’ala tidak mewajibkan sesuatu yang akan sangat sulit dilaksanakan oleh hambaNya.
Dan berkata, kepadaku ‘Amru bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim berkata, Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada kami berkata,
“Aku berkata: Bagaimana mereka berbaur dengan kaum lelaki?. Ia menjawab: Mereka tidak berbaur dengan kaum lelaki, dan ‘Aisyah radliallahu ‘anha thawaf dengan menyendiri dan tidak berbaur dengan kaum lelaki.
Lalu ada seorang wanita berkata, kepadanya: Beranjaklah wahai Ummul Mukminin, mari kita mencium hajar aswad. ‘Aisyah radliallahu ‘anha menjawab: Engkau saja yang pergi. Sedangkan ia enggan untuk pergi.
Dahulu kaum wanita keluar pada malam hari tanpa diketahui keberadaannya, lalu mereka thawaf bersama kaum lelaki. Namun mereka jika memasuki masjid, mereka berdiri hingga mereka masuk saat para lelaki telah keluar.
Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku bertanya: Hijabnya apa? Ia menjawab: Ia berada di dalam tenda kecil buatan Turki. Tenda itu memiliki penutup yang tipis dan tidak ada pembatas antara kami dan Beliau selain tenda itu, dan aku melihat Beliau mengenakan gamis bermotif mawar. (HR Bukhari 1513).
Begitupula Grand Syaikh Al Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al Tayeb dalam sebuah wawancara menyampaikan pendapat (fatwa) ulama pada umumnya bahwa Cadar/Purdah/Niqab itu bukanlah perkara Wajib, bukan pula perkara Sunah, bukan pula perkara Mandub. Tapi ia juga bukan perkara Makruh dan juga tidak terlarang. Ia adalah perkara Amrun Mubah (dibolehkan). Seorang wanita boleh memakainya, boleh juga melepaskannya, sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Silahkan saksikan wawancaranya dalam video pada https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157968718567065&id=752272064
Sedangkan ketika ditanya bagaimana hukumnya seorang wanita yang tidak memakai jilbab?
Berikut kutipan jawaban Grand Syaikh Al Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al Tayeb
***** awal kutipan *****
Wanita PELAKU MAKSIAT. Dia BERMAKSIAT SEPERTI layaknya wanita yang BERDUSTA atau yang melakukan apa saja dari perkara maksiat.
Tapi anda perlu perhatikan bahwa maksiat itu ada berbagai tingkatan. Ada yang dosa besar.
Tapi apakah itu (tidak memakai jilbab) termasuk DOSA BESAR ?
Tidak, ia bukan dosa besar tapi itu termasuk MAKSIAT, dia BERDOSA KARENA itu MENYALAHI salah satu PERINTAH Allah, PERINTAH syariat.
***** akhir kutipan*****
Dalam video tersebut Beliau juga mengingatkan bahwa jika berpendapat bahwa wanita yang tidak memakai jilbab itu sebagai wanita yang telah keluar dari Islam (murtad), maka itu SALAH !!!
Jadi kita harus ingat selalu sabda Rasulullah bahwa terhadap orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah, kita harus menahan diri dan tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa”
Begitupula Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar”
Terkait hukum penutup muka, berikut kutipan berita bulan Mei 2011 dari Mesir.
****** awal kutipan ******
Gerakan dan serangan wahabi Mesir tidak hanya sampai kepada pengahancuran kuburan dan menguasai masjid-masjid milik pemerintah, bahkan sekarang mereka turun dan berkumpul ke Dar Ifta` Mesir untuk berdemontrasi menuntut agar Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah turun dari jabatannya disebabkan fatwanya yang menurut kaum Wahabi tidak berpihak kepada mereka.
Wahabi Mesir tidak menerima fatwa Syeikh Ali Jum`ah yang mengatakan bahwa Niqab ( Cadar= Purdah-red ) suatu kebiasaan yang dibolehkan dan bukan merupakan satu kewajiban, sementara para jamhur ulama telah memutuskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat bagi perempuan.
Warga Wahabi membuat fitnah dengan memutar balikkan fatwa Syeikh Ali Jum`ah agar orang banyak mendukung mereka yang ingin menjatuhkan Mufti, mereka mengatakan bahwa Mufti mengharamkan pemakaian Niqab di Mesir.
Hal ini di bantah oleh Mufti sebagaimana yang di kutip oleh surat kabar harian ” Yaum Sabi` ” pada tanggal 29 April 2011.
Mahkamah Agung Adriministratif menanyakan kepada Mufti tentang hukum menggunakan Niqab dan pelarangan menggunakannya sementara ketika melaksanakan prosedur adriministrasi memasuki ruang ujian (pemeriksaan-red) dan membuat pasport, mengingat sudah banyak kejadian perempuan-perempuan yang menggunakan niqab berlaku curang ketika didalam ujian.
Maka Mufti menegaskan : “bahwa fatwa yang di keluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir dan Lembaga Riset Islam yang terdiri dari ulama besar di seluruh dunia menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk auratnya perempuan, sebagaimana juga pendapat mayoritas ulama islam dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Imam Mardawi al-Hanbali mengatakan bahwa pendapat yang sahih didalam mazhab Hanbali adalah muka dan telapak tangan tidak termasuk aurat”.
Mufti melanjutkan : “Bahwa fatwa ini bukan saja dimulai oleh mereka, bahkan Imam Auza`i, Imam Abu Tsur , Atha`, Ikrimah, Sa`id bin Jubair, Abu Sya`tsa`, ad-Dhahak, Ibrahim an-Nakha`i juga berpendapat seperti itu, sementara diantara para sahabat yang berpendapat seperti itu adalah Umar, Ibnu Abbas,
Dan Mufti juga menegaskan bahwa pemakaian Niqab merupakan satu kebiasaan menurut mayoritas ulama, hal ini merupakan kebebasan seseorang yang ingin memakainya atau tidak memakainya, kecuali jika bersangkut paut dengan adriministarasi seperti membuat pasport, kartu kependudukkan, identitas diri, bekerja di lembaga kesehatan, unit keamanan dan sebagianya maka boleh bagi pemerintah melarang menggunakan Niqab ketika urusan tersebut dilaksanakan”.
Mufti menambahkan : “Beginilah keputusan ulama umat dari zaman dahulu sampai sekarang jika bersangkut paut sesuatu yang Mubah ( Boleh-red) maka negara boleh membatasinya sesuai dengan maslahah dan mudhrat .
Sementara Partai Nahdhah mengecam golongan yang ingin menurunkan mufti sebagaimana yang di kutip oleh surat kabar harian ” Youm Sabi` ” pada tanggal 1 Mei 2011.
Adham Hasan sebagai wakil pendiri Partai Nahdhah berkata : “Mufti Mesir berfatwa berlandaskan mazhab mayoritas ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi`iyyah, dan Hanbilah yang tidak berhaluan keras, kami mengecam suara tinggi yang ingin menjatuhkan Mufti dan pemikiran radikal serta mendukung pendapat Mufti Mesir, beliau merupakan ulama terhormat yang sangat jarang sekali didapati seperti dia di negeri ini”.
Bahkan partai Nahdhah akan membuat demontrasi besar-besaran mendukung mufti dan menolak golongan radikal dari kelompok Wahabi yang berdemontrasi di depan bangunan lembaga Fatwa Mesir.
Perlu diketahui :
1- Disebabkan penggunaan Niqab banyak terjadi pencurian di Mesir, sebab pelakunya adalah seorang laki-laki yang menggunakan Niqab, demikian juga baru-baru ini tertangkapnya seorang laki-laki yang membawa senjata tajam di lapangan Tahrir, laki-laki ini menggunakan Niqab untuk melaksanakan aksinya, banyak terjadi penzinaan di rumah seorang perempuan yang suaminya bekerja di luar, sebab kekasih gelapnya menggunakan niqab untuk masuk kerumah mereka, dan peristiwa yang banyak terjadi adalah banyaknya pengguna niqab yang curang didalam ujian atau pemeriksaan di Universitas, mereka menggunakan telfon genggam ( Hp-Handset ) ketika melaksanakan aksinya, dan banyak pegawas ujian yang menangkap mereka.
2 – Orang yang menggunakan Niqab kebanyakkannya menganggap bahwa perempuan yang tidak menggunakannya dalah perempuan yang jahat, bermaksiat dan berdosa sehingga berhak masuk kedalam neraka.
***** akhir kutipan ****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar