Jangan biarkan KEJAHATAN Pemilu berlalu karena akan turut berdosa
Daripada People Power untuk menuntut keadilan atas KEJAHATAN PEMILU yang kemungkinannya akan menimbulkan korban jiwa.
LEBIH BAIK cara menumbangkan rezim yang dianggap ZALIM yakni rezim yang dianggap tidak menegakkan keadilan adalah dengan mengungkapkan dan mempublikasikan bukti-bukti serta mendesak Bawaslu maupun para penegak hukum lainnya untuk melakukan PENEGAKKAN HUKUM terhadap KEJANGGALAN-KEJANGGALAN Pemilu yang MEMBERATKAN saksi 02 untuk menandatangani hasil pleno rekapitulasi provinsi Jatim dan Jateng karena kedua provinsi tersebut memiliki suara di atas 20 Juta sehingga akan sangat mempengaruhi perolehan suara secara Nasional.
Tentu ada permufakatan jahat (samenspanning atau conspiracy / konspirasi) antara para pelaku KEJANGGALAN Pemilu dengan SANG DALANG atau OTAK KEJAHATAN PEMILU.
Kalau KEJAHATAN PEMILU dibiarkan BERLALU maka Paslon 01 secara DE JURE berdasarkan AYAT HUKUM (konstitusi) akan memperoleh suara di atas 50% secara Nasional.
Padahal secara DE FACTO melalui AYAT KAUNIYAH yakni apa yang telah diperlihatkan oleh Allah Ta’ala, pada kenyataannya lebih banyak dalam SEBARAN Provinsi atau % jumlah Provinsi di Indonesia dengan perolehan suara terbanyak bagi Paslon 02 sebagai perwujudan keinginan rakyat #2019gantipresiden
Ayat hukum (konstitusi) di Amerika Serikat tampaknya lebih memperhatikan atau mempertimbangkan “ayat kauniyah” yakni apa yang telah diperlihatkan oleh Allah Ta’ala bahwa WALAUPUN Hillary Clinton lebih unggul dalam Popular Vote yakni jumlah akumulasi suara dari seluruh Negara Bagian NAMUN Donald Trump ditetapkan sebagai pemenang pilpres karena lebih unggul dalam SEBARAN Negara Bagian yakni lebih unggul secara Electoral College yang mendasarkan pada suara per Negara Bagian.
Contohnya sebelumnya, Badan Pemenangan Provinsi (BPP) Prabowo-Sandi di Jawa Timur menginstruksikan jajaran saksi untuk menolak menandatangani hasil rekapitulasi suara di tingkat kecamatan karena ditemukan KEJANGGALAN-KEJANGGALAN Pemilu
“Diinstruksikan kepada seluruh saksi kecamatan untuk tidak menandatangani hasil rekapitulasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di tingkat kecamatan dan membuat catatan keberatan atas hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,” begitu petikan surat yang ditandatangani Soepri dan Anwar Sadad, Sekretaris DPD Gerindra Jatim ini.
Dikonfirmasi terkait surat tersebut, Soepri membenarkan surat ini.
“Kami banyak menemukan kecurangan yang luar biasa masifnya,” kata Soepriyatno kepada Surya.co.id
Komisioner KPU Jatim, Nurul Amalia berpendapat bahwa rekap di tingkat selanjutnya (Kabupaten/Kota) tetap akan berjalan meskipun tak ada tandatangan saksi.
Bahkan, keberatan pada saat rekap kabupaten/kota juga berpotensi untuk TIDAK DITINDAKLANJUTI.
“Sehingga, kalau di tingkat kecamatan sudah clear, maka untuk keberatan pada rekap di kabupaten/kota TIDAK BISA kami terima.
Seharusnya, kalau ada permasalahan sudah selesai di tingkat kecamatan,” katanya
Nurul menjelaskan bahwa petugas PPK akan menindaklanjuti setiap temuan yang dinilai janggal. Mulai dengan melihat Plano hingga berujung pada perhitungan ulang.
“Semua dilakukan di situ,” katanya.
“Menurut kami, seharusnya tidak ada masalah saat rekapitulasi di Kabupaten/Kota.
Saat PPK saja, sudah ada rekomendasi dari Bawaslu.
Nah, ketika PPK menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu tersebut, masalah itu seharusnya sudah selesai,” katanya sebagaiman yang diberitakan pada http://madura.tribunnews.com/2019/04/24/bpp-jatim-prabowo-sandi-klaim-ada-kecurangan-dan-enggan-tandatangan-rekap-suara-kpu-sebut-tetap-sah
Begitupula Lembaga Pemantau Pemilu Forum Silaturahmi Santri (Forsis) Provinsi Jatim menemukan banyak dugaan kecurangan dalam proses penghitungan dan rekapitulasi Pemilu 2019 di Surabaya dan Pasuruan sebagaimana yang diberitakan pada http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/praijl335/lembaga-pemantau-pemilu-temukan-ratusan-salinan-c1-hologram
***** awal kutipan *****
Ketua Forsis Jatim, Nafisatul Qudsiyah mengungkapkan, indikasi kecurangan tersebut ditandai banyaknya ditemukan copy-an form C1 Hologram di beberapa kecamatan di Surabaya dan Pasuruan.
Di Pasuruan contohnya, ditemukan 300 lembar lebih copy-an form C1 Hologram. Pun di Surabaya, ditemukan copy-an form C1 Hologram dengan jumlah yang hampir sama. “Kami juga menerima copyan form C1 berhologram dari Ketua Bawaslu Kabupaten Pasuruan. Padahal form C1 Hologram itu tidak boleh keluar dari kotak suara kecuali memang ada sengketa, kok ini bisa ada foto copynya,” kata Nafisatul di Surabaya, Jumat (10/5).
Nafisatul menduga, bertebarannya form C1 Hologram diduga lantaran adanya kerja sama untuk membuka kotak surat suara untuk mengubah catatan hasil Pemilu. Kerja sama dimaksud antara Ketua Bawaslu Kabupaten Pasuruan dengan penyelenggara teknis yang bertanggung jawab terhadap kotak surat suara yang telah tersegel setelah penghitungan dan rekapitulasi tingkat KPPS.
Forsis juga menemukan adanya dugaan penggelembungan suara setelah ditemukannya perbedaan hasil rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Perbedaan yang dimaksud antara C1 yang dihimpun oleh tim pemantau Forsis dengan DA1 hasil rekapitulasi PPK.
“Hal tersebut ditemukan di beberapa kecamatan, antara lain: Kecamatan Gubeng, Genteng, Bubutan, Dukuh Pakis, Pakal, Asemrowo, Karang Pilang, dan Wonokromo,” ujar Nafisatul.
Sebagai salah satu lembaga pemantau pemilu yang terdaftar di Bawaslu, Forsis setelah melaporkan dugaan dugaan kecurangan tersebut kepada Bawaslu Kota Surabaya, sejak tanggal 7 Mei 2019. Namun sampai saat ini, belum ada surat untuk klarifikasi dari Bawaslu.
“Hal ini mengindikasikan bahwa Bawaslu Kota Surabaya tidak kompeten dan profesional,” ucap Nafisatul.
Begitu juga di Bawaslu Kabupaten Pasuruan, Forsis juga telah melaporkan dugaan kecurangan tersebut sejak 3 Mei 2019. Namun sampai saat ini belum juga ada tindak lanjut. Forsis pun menyatakan akan melaporkannya ke tingkat DKPP atau MK, jika tak kunjung ada tanggapan dari Bawaslu.
Atas ditemukannya banyak dugaan kecurangan tersebut, Forsis menuntut Bawaslu melakukan Penghitungan Suara Ulang (PSU) di beberapa kecamatan. Seperti Kecamatan Gubeng, Genteng, Bubutan, Dukuh Pakis, Pakal, Asemrowo, Karangpilang, Wonokromo, yang terindikasi adanya dugaan penggelembungan suara dan merugikan banyak pihak.
****** akhir kutipan ******
Janganlah membiarkan atau tidak peduli dengan KEJAHATAN-KEJAHATAN PEMILU 2019 karena akan turut berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran yakni membiarkan kejahatan-kejahatan Pemilu 2019.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran yakni membiarkan kejahatan-kejahatan Pemilu 2019 akan mengakibatkan kerusakan atau azab.
Kerusakan atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat atau munkar itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Bagi rakyat yang menginginkan #2019gantipresiden karena PENGUASA NEGERI dianggap ZALIM yakni TIDAK MENEGAKKAN KEADILAN maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin (penguasa) yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung KEZALIMAN (KETIDAKADILAN) mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).
Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (pemimpin/penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung KEZALIMAN (KETIDAK ADILAN) mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Pengertian ZALIM (Arab: ظلم, Dzholim) adalah meletakkan sesuatu (perkara) bukan pada tempatnya.
Lawan kata ZALIM adalah ADIL yakni meletakkan sesuatu (perkara) pada tempatnya, proporsional, berada ditengah-tengah, tidak berat sebelah, jujur, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya.
Contohnya menghargai yang baik maupun menghukum yang jahat sesuai haknya, menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggarannya.
Dengan demikian keadilan berarti bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu atau kepentingan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia. Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa ; 135)
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Penguasa yang zalim adalah salah satu akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih), para ulama yang faqih (berkompetensi) dalam memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana sabda Rasulullah yang disampaikan oleh asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, yaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka.
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka.
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Siapapun presiden yang terpilih harus mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam Pakta Integritas sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/04/17/siapapun-presiden-terpilih/
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mengikuti firman Allah Ta’ala di atas yakni menjalankan kepemimpinannya selalu mempertimbangkannya dengan Al Qur’an dan Hadits.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara (penguasa negeri).
Oleh karenanyalah pada zaman sekarang, penguasa negeri (umara) yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam memahami dan menggali hukum langsung dari Al Qur’an dan Hadits dalam memimpin negara maka seharusnya di bawah nasehat dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih) yakni ulama yang faqih (berkompeten) atau menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri dalam bimbingan para fuqaha.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Jadi Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati firmanNya (Al Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits) dengan mengikuti mentaati “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) dan pada zaman sekarang adalah dengan mengikuti dan mentaati ulil amri setempat yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yang sebenarnya yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada penguasa negeri (umaro) maupun pemimpin organisasi masyarakat (ormas) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin.
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Kesimpulannya rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para ulama yakni para fuqaha (ahli fiqih).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar