Hal yang dilarang mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu yang terkait bahasa Arab
Contoh lainnya mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya adalah mereka melarang (mengharamkan) mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dengan menyalahgunakan firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Justru mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah.
Contoh fitnah mereka dengan mengatasnamakan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafus Sholeh), salah satu ulama panutan mereka yang membaca dan memahami sebuah hadits shahih namun karena salah memahaminya sehingga mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash atau dalil secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Silahkan periksa tulisannya pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Sedangkan mereka yang mencari-cari takwil adalah mereka yang menakwilkan mengikuti hawa nafsu mereka.
Jadi yang dilarang adalah mencari-cari takwil bukan menakwilkan dengan ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan lain lain karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak mendoakan hal yang terlarang yakni mendoakan Ibnu Abbas ra agar Allah Ta’ala menganugerahkan kemampuan takwil
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanlah pengetahuannya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahuannya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Begitupula “tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” namun pada ayat yang lain Allah Ta’ala telah berfirman bahwa Dia mengkaruniakan kemampuan takwil kepada yang dikehendakiNya yakni Ulil Albab
Kemampuan takwil adalah kemampuan memahami dengan mengambil pelajaran berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah Ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ironisnya mereka yang terjerumus kesesatan akibat salah memahami Al Qur’an dan Hadits, justru mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Begitupula syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jism-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat durhaka kepada Allah sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya sebaiknya janganlah berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Mereka yang menyatakan bahwa “Tuhan yang bilang memiliki wajah, mata, pinggang, tangan, kaki dan lain lain, bahkan ada yang menyatakan Tuhan mereka memiliki dua tangan dan keduanya kanan maka pernyataan itu membuktikan bahwa mereka memahami firman Allah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/07/16/tuhan-yang-bilang/
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam.
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Apa yang mereka alami pada masa sekarang, dahulu kala telah dihadapi oleh ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi ketika meluruskan kesalahpahaman 3 ulama semula bermazhab Hanbali akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut. Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Berikut sedikit kutipan dari kitab tersebut,
****** awal kutipan ******
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Jadi mereka yang mengaku ahlussunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah, ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah salah dalam memahami Al Qur’an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Mereka lupa bahwa walaupun bentuk dan ukuran kakinya berbeda, sifat kaki bagi kaki semut, kaki gajah, kaki meja atau kaki kamera adalah untuk menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran.
Jika tidak menopang sesuatu maka tidak disifatkan dengan kaki seperti kaki semut, kaki gajah, kaki meja, kaki kamera dan lain lain.
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluq bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang wajib disembah”
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
1. Cara yang dipergunakan oleh Salafush Sholeh yakni
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak membagaimanakan yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir atau makna yang asal menurut bahasa namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah yang disebut dengan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh)
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni
Beriman pada lafaz-lafaz yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Berikut contoh cara memahami takwil ijmali dan tafsili,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan.
Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan selalu berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafaz-lafaz ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafaz-lafaz ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) sebagaimana pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah melainkan menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Ada pula para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang tidak anti takwil namun mereka hanya mau mentakwilkan kalau ada qorinah (petunjuk) dari ayat lain atau ada penjelasan dari hadits terhadap ayat tersebut.
Penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai selain berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain.
Ada pula penakwilan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian dari ayat tersebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/08/pengertian-takwil/
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Sedangkan menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafaz dari artinya yang dzahir kepada makna yang lain, tetapi bukan dzahirnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173].
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Contoh ayat mengandung lafazh yang kalau dipahami dengan makna dzahir adalah wajah Allah.
Salah seorang ulama panutan mereka yakni Albani menentang takwil QS al-Qashash [28] : (88) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ,
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan dalam kitab karyanya; al Fatawa, hlm. 523:
“هذا لا يقوله مسلم مؤمن”,
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali Mulk” maka “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ sebagaimana gambar pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/03/menentang-takwil.jpg
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa perkataan Albani, “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ bukanlah ditujukan kepada Imam Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali Mulk” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali Mulk, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau dimaknai secara dzahir adalah “Wajah Nya” dengan memalingkannya kepada sifat Mulk atau Malikul Mulk (Pemilik kerajaan, Raja dari segala raja) yang dimaksud adalah Allah Ta’ala itu sendiri dan pada kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”
Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Jadi kesimpulannya mereka menyalahkan , menganggap bukan “muslim yang beriman” atau bahkan mengkafirkan (menganggap bukan muslim) terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti muslim yang memahami firman Allah QS al-Qashash [28] : 88 sebagai “Segala sesuatu akan binasa kecuali Dia”
Mereka menganggap atau menuduh muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagai bukan “muslim yang beriman”, sebaimana anggapan atau tuduhan mereka terhadap Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208) pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa para ahli tafsir berkata: ”Makna ”ويبقى وجه ربك”; artinya ”ويبقى ربك”; ”Dan Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di atas, firman-Nya: ”يريدون وجهه”; para ahli tafsir berkata: ”Artinya ”يريدونه”; ”Mereka bertujuan ikhlas karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ”كل شىء هالك إلا وجهه”; artinya ”إلا هو”; ”Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.
Begitupula dari kalangan masyarajat Arab klasik bahwa kata wajah biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz (metaforis atau makna kiasan).
Begitu juga dengan juga kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz (metaforis atau makna kiasan) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum.
Paham Wahabisme terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah satunya karena Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf sebagaimana kutipan fatwanya dari http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama generasi.
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Mereka yang membeli atau memiliki kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak dapat dikatakan bahwa mereka telah mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) hanya dikarenakan dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika mereka membaca hadits maka itu adalah pemahaman mereka sendiri terhadap hadits yang mereka baca, bukan pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh)
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan pahami adalah pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh)
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya dikenal sebagai ahli membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat (Salafush Sholeh) .
Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat (Salafush Sholeh) dan sekaligus fitnah terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berikut kutipan tulisan Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA yang menjelaskan bahwa ke empat mazhab fiqih itulah the real salaf, sedangkan paham Wahabisme yang mengangkat pola pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah mazhab dzahiriyyah yakni mereka yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
***** awal kutipan ******
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
****** akhir kutipan ******
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/04/23/taubatkah-ibnu-taimiyah-kedalam-aqidah-asyariyah/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar dari http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala menerima taubat beliau.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Hal yang perlu kita ingat bahwa sesat berbeda dengan kafir. Kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam. Kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai akidah dan sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Memang ada ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”, sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
Dan lain lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar