Mereka yang meremehkan Imam Al Ghazali
Dalam status rekan kami di jejaring sosial Facebook menyampaikan sebuah potongan video penceramah yang meremehkan Imam Al Ghazali dengan meletakkan “kejeniusan” Beliau di bawah ulama panutan bagi mereka yakni Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang dapat dilihat pada http://web.facebook.com/permalink.php?story_fbid=317479195262802&id=100010021715309
Video tersebut dapat pula dilihat pada http://www.youtube.com/watch?v=7K4jGcm2ZVs
Berikut kutipan transkript dari video tersebut
***** awal kutipan *****
“Ilmuku tentang ilmu hadits itu lemah” kata Imam Ghazali makanya beliau meninggal memegang shahih Bukhari.
Cuma muridnya kadung nyetak ihya ulumudin disebari di semua universitas Islam.
Setelah ahlinya mengecek ternyata dari 1013 hadits di kitab Ihya ulumuddin ternyata 996 nya dhoif. Kebayang nggak tuh.
Jadi wajar jebolan ihya ulumudin benci sama sunnah walaupun ketua sebuah partai Islam, kelompok Islam.
Jadi kita tidak bisa salahkan juga wong belajarnya salah. Tap lihat kalau orang belajarnya betul dua kali kajian tahu bid’ah. Tapi orang belajarnya salah bertahun-tahun nggak paham bid’ah. Makanya kitab tauhid syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bagi pecinta bacaan tahu penulisnya jenius.
***** akhir kutipan ******
Salah seorang peserta diskusi yang “membela” penceramah tersebut berpendapat bahwa si penceramah bukan meremehkan Imam Al Ghazali namun menjarh kedhaifan Imam Al Ghazali dalam ilmu hadits. Hal itu wajar (menurut pendapatnya) pernah terjadi pula ketika ulama menjarh Imam Abu Hanifah dalam kedhaifan di bidang hadits.
Berikut kutipan-kutipan pendapatnya
***** awal kutipan ******
“Bila Imam Abu Hanifah meriwayatkan hadits, ia shaduq dan tsiqah tapi dia dha’if dalam hal kedhabitannya, maka tak diambil hadits darinya. ALLAHu’alam itu sependek yang saya tahu dari kajian para penuntut ilmu hadits. Jangan heran kalo Imam Al Ghazali pun bisa lemah dalam hadits”.
“Imam Abu Hanifah dan Al Ghazali adalah ahli fiqh, undeniable! Namun belum teruji dalam bidang hadits atau bukan pakar dalam hal tersebut”, tambahnya.
“Saya menghormati Abu Hanifah, meski saya ikut ulama dalam mendhaifkan beliau di ilmu hadits.
Ahli fiqih kan cukup mengetahui gimana memproses dalil menjadi suatu hukum. Gak butuh terlalu tau bagaimana hadits itu diambil. Nah ini yang terjadi sama Imam Abu Hanifah maupun Imam Al Ghazali. Jadi kadang mereka pakai hadits dhaif untuk melakukan istinbath”.
****** akhir kutipan ******
Sedangkan menurut si pembela, Al Albani diakui sebagai ahli hadits salah satunya (menurut pendapatnya) karena kemampuannya menelaah sanad hadits, memilah dan memilih antara yang shahih dan dha’if.
“Apalagi beliau menelaah melalui manuskrip-manuskrip asli, bukan kitab cetakan seperti kita saat ini. Apalagi pake maktabah syamilah dan software-software semacamnya. Inilah salah satu keunggulan beliau”, tambahnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Imam Al Ghazali maupun Imam Abu Hanifah dianggap (baca dituduh) lemah di bidang ilmu hadits, salah satunya dha’if dalam hal kedhabitannya sehingga hadits dhaifpun diambil untuk melakukan istinbath.
Pengertian kedhabitan berasal dari kata dlabith yakni sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadits, dan mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits.
Salah satu hal yang perlu diketahui bahwa salah satu syarat sebagai seorang fuqaha (ahli fiqih) adalah sudah menjadi ahli hadits terlebih dari dahulu karena bagaimana mungkin dia mengambil hukum kalau belum dapat memastikan sumber hukumnya.
Tidak diambilnya hadits dari Imam Abu Hanifah bukan berarti Beliau lemah dalam ilmu hadits namun beliau mengumpulkan dan menghafal hadits yang diterima langsung pada zaman Salafush Sholeh bukan dalam rangka membuat kitab hadits melainkan dipergunakannya sendiri sebagai bahan untuk melakukan istinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits karena Beliau telah melampaui kapasitasnya sebagai ahli hadits.
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga berhak berpendapat atau berfatwa.
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu manthiq dan lain lain.
Oleh karenanya tidak ditemukan kitab cara sholat berdasarkan pemahaman ahli hadits sekaliber Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Perkataan Imam Al Ghazali, “Ilmuku tentang ilmu hadits itu lemah” boleh jadi adalah sikap ketawadhuan / kerendahan hati Beliau.
Serupa dengan orang-orang yang “meninggalkan” Imam Mazhab yang empat, salah satunya karena mereka salah memahami potongan perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perbedaan pendapat yang boleh dan dapat diterima adalah perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyyah di antara ahli istidlal seperti perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat
Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal atau orang awam adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak
Oleh karenanya kita mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk ahli istidlal yang dipunyai para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas berpendapat dan menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata: ”Telah menjadi ijma’ bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja”
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331)
Ibnul-Mundzir rahimahullahu berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.
Begitupula kedudukan ahli fiqih lebih tinggi daripada ahli hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi, “Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fiqih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli fiqih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fiqih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.” Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fiqih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan kesesatan tersebut dialami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Jadi para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat mengelompokkan ulama seperti Ibnu Taimiyyah maupun para pengikutnya sebagai ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits yang menerima dan menghafal hadits-hadits dari ahli hadits sebelumnya
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ini menunjukkan bahwa Albani adalah ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits
Albani adalah shahafi atau otodidak ketika mendalami hadits dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi Al Albani adalah contoh ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti sebenarnya yakni menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Perhatikanlah kitab-kitab Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah pada umumnya mereka tidak merujuk kepada pendapat mazhab yang empat melainkan pendapat atau fatwa mereka sendiri secara otodidak (shahafi)
Walaupun pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama dengan berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menduplikati (meneladani) Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Begitupula suatu hadits dianggap dhaif atau bahkan maudhu oleh seorang ahli hadits sangat dipengaruhi oleh jumlah hadits yang diketahui dan dihafalnya
Contohnya ada orang-orang yang meremehkan Imam Al Ghazali dengan menyalahgunakan pendapat al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahmân Ibnu al-Jauzi.
Ibnul Jauzi banyak memvonis dhoif atau bahkan palsu pada hadits-hadits yang ditulis Imâm Ghozali dalam kitab tersebut.
Dinamika inilah yang selanjutnya diangkat kepermukaan oleh kelompok ekstrimis dan orentalis untuk menolak sepenuhnya isi kitab Ihya’ Ulumiddîn. Lebih-lebih, kelompok ini tanpa malu-malu menyebut al-Ghozali sebagai pemalsu hadits.
Ibnul Jauzi hanya berfokus kepada penelitian ulang derajat hadits-hadits yang ada, kemudian melakukan eliminasi terhadap hadits-hadits yang menurut pengetahuannya dianggap maudhu, dhaif dan mauquf dan kemudian beliau gantikan dengan dalil yang shahih dan hasan, sehingga didapatkan sebuah kitab yang kokoh sebagai pegangan. Dan sama sekali tidak mengatakan kitab tersebut sesat, atau harus di singkirkan sebagaimana perkataannya, “Oleh karena itu, aku menyusun sebuah kitab yang terbebas dari masalah tersebut tadi, dengan tetap mempertahankan keutamaan (kebaikan) dari kitab aslinya (Al-Ihya). Dalam kitabku ini, aku bersandar hanya pada riwayat yang asli dan terkenal, dan aku hilangkan atau tambahkan dari kitab aslinya (Al-Ihya) apa yang dirasa perlu.”(Mukhtasar Minhajul Qashidin, Ibnu Daar Al-Manarah Mesir, bab Mukadimah)
Apa yang dianggap dhaif atau bahkan maudhu oleh Ibnul Jauzi belum tentu serupa dengan anggapan ulama lain yang jumlah hadits diketahui dan dihafalnya lebih banyak.
Contohnya Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi menulis takhrij tentang hadits-hadits yang terdapat dalam Ihya Ulumuddin. Menurut pendapatnya banyak dari hadits hadits tersebut yang sanadnya bersambung. Diantara hadits hadits tersebut yang menurut pengetahuannya ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Juga ada hadits-hadits dimana Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi tidak mengetahuinya sehingga beliau menyatakan dengan pernyataan yang penuh adab dan penghormatan:,
“ saya belum mendapatkan asal usulnya. “
Ketidaktahuan Al-Imam Zainuddin Al-Iraqi tentang asal usul hadits tersebut bukan berarti hadits tersebut langsung menjadi PALSU atau MAUDHU. Beliau mungkin belum mengetahuinya, namun ulama-ulama lain mengetahuinya.
Setelah masa imam al-Iraqi, datanglah seorang ulama besar berasal dari Zabid, Yaman yang bernama Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hujjah Muhammad bin Muhammad bin Murtadho Az-Zabidi bersama kitab beliau berisi sepuluh jilid yang merupakan syarah kitab Ihya Ulumuddin. Dalam kitab tersebut Al-Imam Muhammad Az-Zabidi menuliskan asal usul hadits-hadits pada Ihya Ulumuddin dengan banyak, yang mana sanad itu tidak di ketahui oleh Imam Iraqi. Az-Zabidi berkata :
“Al-Iraqi pernah menyatakan tentang hadits ini dan beliau berkata tidak mengetahui asal usulnya, tetapi saya sudah mendapatkan sumber dan asal usulnya”
Az-Zabidi juga menjawab kritikan beberapa ulama atas imam al-Ghazali seperti ath-Thurthusi, al-Marizi, Ibnu Taimiyyah dan lainnya dengan jawaban yang cukup ilmiyyah dan memuaskan. Beliau juga menjelaskan dengan bijak dan ilmiyyah beberapa ucapan dalam Ihya yang dinilai para pengkritiknya bertentangan dengan syare’at.
Beliau juga menyebutkan beberapa hujjah dan pendapat para ulama ahli hadits atas bolehnya menyebutkan riwayat hadits dengan makna yang sering dilakukan imam al-Ghazali di dalam kitab Ihyanya tersebut.
Terkait takhrij yang beliau tampilkan ketika mentakhrij hadits-hadits dalam kitab Ihya Ulumuddin tersebut, metode beliau umumnya tidak jauh berbeda dengan para ulama pendahulunya dan beliau pun lebih melengkapi refrensi takhirj sebelumnya yang tidak diketahui asalnya saat itu oleh al-Iraqi. Maka hadits-hadits Ihya Ulumuddin yang dinilai dhaif oleh al-Iraqi atau az-Zabidi, kemungkinan imam al-Ghazali memakai isnad lainnya yang dimiliki atau dibaca oleh al-Ghazali dan tidak sampai pada mereka apalagi kita yang hidup sekarang ini. Dan bisa jadi al-Ghazali menggunakan rujukan kitab selain kitab-kitab yang menjadi rujukan al-Iraqi dan az-Zabidi. Az-Zabidi terkadang juga memiliki pandangan yang berbeda dari penilaian ulama hadits lainnya ketika mentakhrij hadits dalam Ihya Ulumuddin.
Sebagai contoh, Hadits :
“ Jika telinga seorang dari kalian berdenging, maka sebutlah aku dan bersholawatlah atasku serta ucapkan, Semoga Allah menyebutkanya dengan kebaikan bagi orang yang menyebutku “. (HR. Ath-Thabrani)
Hadits ini disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin oleh al-Ghazali. Hadits ini dinilai palsu oleh Ibnul Jauzi dan al-Albani karena ada perawi bernama Muhamamd bin Ubaidillah bin Abu Rafi’ Al-Hasyimi Al-Kufi yang dinilai Munkarul hadits oleh sebagian ulama jarh. Namun jumhur ulama hadits menilainya dhaif. Asy-Syakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah menilainya dhaif. Al-Iraqi juga menilai sanadnya dhaif. Al-Ijluni juga menilainya dhaif dan ulama hadits lainnya. Bahkan az-Zabidi sendiri memiliki pandangan berbeda yang menguatkan hadits tersebut, ia berkomentar :
“ Akan tetapi al-Haitsami mengatakan, “ Isnad ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabirnya bernilai hasan “. Ini membatalkan hujjah orang yang menilai hadits ini dhaif apalagi menilainya palsu seperti Ibnul Jauzi dan al-‘Uqaili. Al-Munawi menukil dalam syarh Jami’nya bahwasanya hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya dengan lafadz tersebut dari Abi Rafi’, sedangkan beliau (Ibnu Khuzaimah) termasuk orang yang valid di dalam mentakhrij hadits, maka ketahuilah itu “.
Ini artinya az-Zabidi memiliki penilaian berbeda terhadap riwayat hadits tersebut, di mana al-Iraqi dan ulama lainnya menilainya dhaif dan Ibnul Jauzi menilainya palsu, namun az-Zabidi menilainya hasan dengan bersandar pada hujjah al-Haitsami.
Begitupula jumlah hadits yang diperselisihkan itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih dari tiga redaksi hadits. Diantaranya adalah hadits yang menyebutkan keutamaan membaca Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali Imran yang diklaim palsu oleh Imam Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad hadits tersebut terdapat Al-Haris Bin ‘Amir yang menurut Ibnu Hibbân, sebagai sosok periwayat Hadits palsu. namun, tuduhan ini dibantah oleh Al-Hafizh Al-`Iraqi. Al-Hafizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah diberikan oleh Hammad Bin Zaid, Ibnu Mu`In, Abu Zar`Ah, Abu Hatim, dan Imam Nasâ’i kepada Al-Haris Bin `Amîr.
Begitupula tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan (menghilangkan) keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhaif sebagai hadits yang palsu karena ketidak tahuan maka berarti mendustakan ucapan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan hukumnya kufur.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi mengatakan dalam al Ilal al Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu. (al Ilal al Mutanahiyah, 2/65)
Begitupula Ibn Hajar, Tabyin al-‘ajab, hlm. 29; al-Suyuti, al-Jami’ al-saghir, jil. 1, hlm. 312 tidak menghukumi hadits dhaif karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.
Jadi Al-Imam al-Hafizh sekelas mereka tidaklah berani menghukumi hadits dhaif (lemah) karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.
Hadits palsu sudah pasti bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. sedangkan hadits dhaif karena perawi tidak dikenal belum tentu bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jadi sebaiknya mereka bercermin kalau dikatakan menjarh Imam Al Ghazali berbekal jumlah hadits yang dibaca (bukan dihafal) dari kitab-kitab hadits yang telah terbukukan.
Hal yang perlu kita ingat, tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan yang disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang atau hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang harus disampaikan secara langsung melalui lisan dalam bentuk bimbingan karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu seperti “Hai’atil Maknun”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama Allah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salam
Imam Ghazali telah diakui sejak dahulu sebagai salah seorang kekasih Allah (Wali Allah) sebagaimana contohnya disampaikan oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Ditanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami (semoga Allah memberikan kemanfaatan atas ilmunya), “Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
Imam Ibn Hajar menjawab: ”Ya, hal itu dapat terjadi, dan telah dijelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allah seperti Imam al-Ghozali, Al-Barizi, Taaj ad-Diin as-Subki, dan al-‘Afiif al-Yafi’i yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Syafi’i, serta Qurthubi dan Ibn Abi Jamroh yang mana mereka adalah ulama-ulama madzhab Maliki.
Dan dikisahkan, bahwasanya ada Wali Allah menghadiri majlis ilmunya seorang yang faqih, kemudian seorang faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadits, lalu Wali tersebut berkata, “Hadits itu bathil.” Maka Sang faqih pun berkata, “Bagaimana bisa engkau mengatakan kalau hadits ini bathil, dari siapa?”
Sang Wali menjawab, “Itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri di hadapanmu dan Beliau bersabda: [Inniy lam aqul hadzal hadits] , “Sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini”
Lalu faqih tersebut dibukakan hijabnya dan beliau pun dapat melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (al-Fatawa al-Haditsiyyah li Ibn Hajar al-Haitami)
Suatu saat Imam Ghazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam al-Ghazali berjumpa dengan Rasulullah. Padahal, Imam al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya terpaut lima abad. Kitab Ihya’ yang terdiri atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk pikuk manusia.
Pengalaman lain, Ibnu ‘Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru. Menurutnya, kitab Fushush bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Ibnu ‘Arabi menjawab, kitab itu termasuk judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah mengatakan, “Khudz hadzal kitab, Fushush al-Hikam (ambil kitab ini, judulnya Fushush al-Hikam)
Mereka yang terjerumus meremehkan para Wali Allah pada hakikatnya karena memang Allah Ta’ala tidak memperkenalkan kekasihNya kepada mereka.
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Salah satu bukti bahwa Allah Azza wa Jalla tidak memperkenalkan kekasihNya kepada mereka adalah mereka belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah sehingga mereka memfatwakan bahwa Rasulullah sesat sebelum turunnya wahyu sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat/
Bukti lain bahwa Allah Azza wa Jalla tidak memperkenalkan kekasihNya kepada mereka adalah mereka yang berpendapat bahwa perkataan ASSALAAMU ‘ALAIKA hanya untuk orang yang hidup maka sama saja mereka secara tidak langsung merendahkan Rasulullah dibandingkan para Syuhada sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/24/merendahkan-rasulullah/
Bukti lain bahwa Allah Azza wa Jalla tidak memperkenalkan kekasihNya kepada mereka adalah mereka belum mengenal dengan baik kemuliaan Rasulullah sehingga mereka menyakiti Rasulullah dengan mengatakan bahwa Ayah dan Ibu Rasulullah adalah penyembah berhala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/23/menyakiti-rasulullah/
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang sholeh”. (QS Ali Imran [3] : 39)
Terkait kedua orang tua Rasulullah, As Suyuthi menjelaskan bahwa beberapa hadits dengan redaksi (matan) berbeda namun intinya sama menjelaskan bahwa orang tua dan kakek-nenek Nabi shallallahu alaihi wasallam suci dari kotoran syirik dan kekafiran, tidak ada di antara mereka yang kafir karena orang kafir tidak laik disebut manusia terbaik, suci atau bersih, orang kafir disebut najis.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai oran-orang yang beriman, sesungguhnya, orang-orang yang musyrik itu najis (QS At Taubah : 28)
Ibnu Hajar Al Makki menjelaskan, hadits-hadits secara redaksi dan inti dengan tegas menjelaskan bahwa kakek nenek Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai ke Adam alaihissalam adalah manusia-manusia terbaik dan mulia. Orang kafir tidak bisa disebut manusia terbaik, mulia ataupun suci tapi najis.
Seperti itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala membersihkan RasulNya dengan menjaganya di balik tulang-tulang punggung dan rahim-rahim suci, seperti itu juga saat masih kecil, beranjak remaja hingga dewasa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyucikannya dengan kenabian.
Rasulullah bersabda, Allah telah memindahkan aku dari sulbi-sulbinya para lelaki yang suci ke dalam rahim wanita-wanita yang suci yang tidak mencemariku sama sekali noda-noda jahiliah yaitu syirik dan menyembah berhala
Rasulullah bersabda, Aku senantiasa dipindahkan dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci ke dalam rahim-rahim wanita-wanita yang suci.
Rasulullah juga bersabda “ Allah Subahanhu wa Ta’ala menempatkanku di kelompok yang terbaik lalu aku terlahir di antara kedua orang tuaku, aku tidak pernah tersentuh oleh perzinahan jahiliyah, aku terlahir dari pernikahan bukan perzinahan sejak Nabi Adam hingga sampai pada ayah dan ibuku, karena itu aku adalah yang terbaik nasab dan ayahnya di antara kalian”
Kesimpulannya kedua orang tua Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sampai kepada Nabi Adam alaihissalam senantiasa terjaga oleh Allah Azza wa Jalla, senantiasa berada di atas fitrah, selalu menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun pada masa fatrah (masa kosong dari kenabian).
Jadi mereka yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat berakibat dilaknat oleh Allah sehingga amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Telah berkata sebagian ulama: “Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin ‘Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan”. (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka.
Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seseorang berkata: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka’, maka berdirilah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan marah, kemudian berkata yang artinya: “Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.
Mereka belum mengenal kekasihNya atau belum diperkenalkan oleh Allah juga diakibatkan mereka belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya akibat mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Contohnya salah satu ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Di sisi yang lain ada yang mengatakan bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Begitupula syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jism-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat durhaka kepada Allah sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Mereka belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya akibat mereka tidak mau mengikuti aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Oleh karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka gemar menyalahkan dan menganggap sesat umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Contohnya mereka bukan sekedar meremehkan namun adapula mereka yang menanggap sesat Imam al Ghazali sebagaimana yang
dapat diketahui dari tulisan mereka pada http://asysyariah.com/mengurai-kesesatan-ihya-ulumuddin/
Berikut kutipan yang dianggap sesat oleh mereka
1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah, Imam Al-Ghazali dianggap sesat karena (menurut pendapat mereka) terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah.
Mereka mencontohkan Imam Al Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)
Ada pula mereka mengatakan bahwa Imam Syaf’i melarang ilmu kalam.
Padahal Imam Syafi’i melarang ilmu kalam tetapi ilmu kalam ahli bid’ah, bukan berarti Imam Syafi’i tidak ahli kalam.
Di dalam Manaqib Imam Syafi’i (karangan Imam al-Baihaqi) dikatakan bahwa Imam Syafi’i pernah berdebat dengan orang Muktazilah dihadapan murid-muridnya menggunakan teori ilmu kalam sampai orang muktazilah itu takluk, setelah itu murid-muridnya tanya mengapa [Imam Syafi’i] ahli ilmu kalam?! kata Imam Syafi’i “Saya ini pakar ilmu kalam sebelum menjadi pakar fiqih”.
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang penguatan dalil-dalil / bukti-bukti tentang kebenaran aqidah keimanan. Dari pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa ilmu kalam bukanlah ilmu yang buruk. Akan tetapi sebaliknya, ia adalah ilmu yang bagus karena selaras dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Para mutakallimin (ulama ahli ilmu kalam) telah mendefinisikan ilmu kalam yang berarti ilmu yang disarikan dari dalil-dalil yang kuat untuk memantapkan pondasi-pondasi agama. (tuhfatul murid ‘ala jauharotit tauhid).
Sesungguhnya larangan para ulama untuk mempelajari ilmu kalam tidak sepenuhnya bersifat mutlak. Ilmu kalam yang dilarang oleh para ulama adalah ilmu kalam yang menggunakan metode para filosof, cara-cara ahli bid’ah, dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu -untuk memenangkan akal dan mengalahkan al-Qur’an dan al-Hadits-. Para filosof itu senantiasa menjadikan akalnya sebagai tuhan.
Dan ilmu kalam bagi mereka adalah menyamakan antara kedudukan akal dengan kedudukan al-Qur’an dan al-Hadits. Padahal kedudukan al-Qur’an harus jauh lebih tinggi dari pada akal. Ilmu kalam versi mereka mengikuti cara-cara filosof yang amat rumit dalam menguraikan pembagian-pembagian teori sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh sedikit orang. Oleh karena itu ilmu kalam ini terlalu banyak memunculkan pertanyaan dan jawaban yang amat mendetail yang mengakibatkan timbulnya banyak kerancuan dan keraguan.
Dan dalam hal ini nabi bersabda, halaka al-mutanatthi’uun (akan hancur orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mendalami ilmu kalam) (HR. Muslim).
Mengenai hadits ini imam al-Ghozali mengatakan bahwa ilmu kalam yang dimaksud di sini adalah yang mengikuti cara-cara filsafat yang mengedepankan akal dan meninggalkan al-Qur’an dan al-Hadits, dan menjadikan akal mereka sebagai ukuran kebenaran. Inilah ilmu kalam yang dilarang oleh para ulama.
Awal kemunculan ilmu kalam bermula dari keinginan para ulama untuk melawan para ahli bid’ah yang gemar memancing perdebatan atas permasalahan aqidah Islam. Para ahli bid’ah seringkali memunculkan syubhat (kerancuan-kerancuan) yang menabrak batasan dan dasar-dasar agama yang telah dibangun oleh para ulama zaman dahulu. Mereka juga gemar mencampuradukkan kerancuan-kerancuan itu dengan kaidah-kaidah filsafat. Oleh sebab itu para ulama ahlussunnah wal jama’ah merasa perlu untuk melawan mereka dengan berdebat dan berdiskusi, sehingga kerancuan-kerancuan yang mereka munculkan -yang menyebabkan kebingungan umat Islam yang masih awam dan lemah akalnya- dapat dihilangkan.
Jika para ulama membiarkan perbuatan mereka, maka umat Islam yang kurang tajam pemikirannya mengira bahwa pemikiran para ahli bid’ah itu bagian dari agama -sehingga banyak yang tersesat dan menyimpang dari jalan kebenaran aqidah yang lurus. Maka dari itu bagi ulama yang diberi kemampuan lebih oleh Allah diharuskan untuk mempelajari dan mendalami ilmu ini guna menolak pemikiran-pemikiran ahli bid’ah yang membahayakan umat Islam.
Para ulama ahlussunnah memiliki tugas untuk menolak dan membatalkan pemikiran dan kerancuan-kerancuan mereka. Adapun metode yang mereka gunakan adalah dengan menetapkan dasar-dasar agama Islam dan menguatkannya dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits dengan bahasa yang menentramkan sanubari dan menyejukkan kalbu.
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “mengajarkan hujjah-hujjah (dalil-dalil) para ulama ahli ilmu kalam dan menggunakannya untuk menolak para ahli bid’ah hukumnya fardlu kifayah, dan menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang ahli. Apalagi para penentang itu tidak bisa dikalahkan melainkan dengan ilmu kalam”.
ilmu kalam dapat menjadi sebuah amalan atau perantara yang paling baik untuk mendekat kepada Allah. Hal ini karena ilmu kalam berfungsi untuk memantapkan tauhid dan menjaga agama Allah”.
Imam al-Ghozali mengatakan, “hukum mempelajari ilmu kalam bermacam-macam. Hukum mempelajari ilmu kalam adalah mubah atau sunnah ketika seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya dan mencurahkan segala pikirannya untuk mendalami ilmu ini”. Dan mengenai keharaman ilmu kalam Imam beliau mengatakan, “seorang hamba yang membawa segala dosa selain syirik lebih baik baginya dari pada ia bertemu Allah dengan membawa ilmu kalam”.
Jadi ilmu kalam ada yang baik dan ada yang buruk -menurut masing-masing orang yang menggunakannya, sedangkan bagi orang awam, mendalami ilmu kalam cukuplah dengan mendalami Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab karyanya yang berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Bersihnya Ibnu ‘Arabi) menjelaskan bahwa orang-orang yang menganggap sesat tulisan dari para ulama tasawuf adalah akibat mereka memahaminya selalu dengan makna dzahir
****** awal kutipan ******
Imam As-Suyuthi berkata:
“Syaikh kami, Syaikhul Islam Al-Mujtahid Syarafuddin Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibnu ‘Arabi, beliau menjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang paling layak bagi seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya.”
Kemudian beliau menukil salah satu perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabi, “Kami adalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kitab kami.”
Hal itu dikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka.
Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran.
Hal itu disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh As-Suyuthi, Beliau berkata,
“(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (dzahir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemayam) sebagaimana makna yang selama ini diketahui, ia kafir secara pasti.”
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi?
Pertanyaan ini sangat perting untuk dijawab mengingat banyaknya orang yang menghukumi Ibnu ‘Arabi hanya berdasarkan kitab-kitab yang konon adalah karangan beliau.
Imam As-Suyuthi menjawab:
Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kitab itu adalah karangan Ibnu ‘Arabi.
Cara ini tidak mungkin lagi dilakukan karena tak ada bukti yang kuat bahwa kitab-kitab itu adalah asli karangan Ibnu ‘Arabi, meskipun kitab-kitab itu sudah sangat populer di masyarakat, karena popularitas di zaman ini tidak cukup.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa perkataan itu benar-benar berasal dari penulis sendiri.
Selain itu juga agar dipastikan tidak ada sisipan penambahan atau pengurangan yang tidak ilmiah yang bertendensi untuk menciptakan citra buruk terhadap penulisnya, karena ada indikasi kuat bahwa kitab-kitab karangan beliau sengaja disisipi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, istilah-istilah di dalamnya harus dipahami sesuai dengan maksud penulisnya.
Cara ini juga tidak mungkin dilakukan, karena di dalamnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagian ahli fikih pernah bertanya kepada sebagian kaum sufi, “Apa yang mendorong kalian menggunakan istilah-istilah yang secara literal mengundang rasa risih di hati?”.
Mereka menjawab, “Sebagai bentuk rasa kecemburuan kami terhadap metode kami, agar orang-orang yang bukan dari golongan kami tidak dapat mengaku-ngaku bahwa mereka dari golongan kami dan supaya orang yang bukan ahlinya tidak masuk ke dalam golongan kami.”
Siapapun yang membaca atau mendengarkan isi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi pasti akan menyarankan bagi dirinya sendiri, terlebih orang lain, untuk tidak membacanya karena hanya akan membahayakan diri mereka sendiri dan kaum muslimin secara umum, terutama mereka yang masih dangkal pengetahuannya tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu dzahir lainnya.
Mereka dapat tersesat dan menyesatkan. Bahkan, sekalipun yang membacanya adalah seseorang yang ‘arif dan ‘alim, mereka takkan mau mengajarkannya kepada murid-murid mereka, karena ilmu mereka tak bisa dipahami dari kitab-kitab.
Alangkah indahnya jawaban salah seorang wali ketika ia diminta oleh seseorang untuk membacakan kitab Taiat Ibn Al-Faridh, beliau menjawab, “Tinggalkan itu! Orang yang telah berlapar-lapar sebagaimana mereka berlapar-lapar, terjaga di malam hari sebagaimana mereka terjaga, ia akan melihat (mengetahui) apa yang mereka lihat.”
Imam As-Suyuthi pernah ditanya tentang seorang pemuda yang menyuruh membakar kitab-kitab Ibnu ‘Arabi sambil mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi lebih kafir dari orang Yahudi, Nasrani dan kaum yang berkeyakinan bahwa Allah punya anak.
Beliau menjawab, “Wajib bagi pemuda itu untuk bertaubat dan beristighfar serta tunduk dan kembali kepada Allah agar ia tidak termasuk orang yang memusuhi wali Allah, yang berarti telah mengumandangkan perang terhadap Allah.”
Dalam hadis Qudsi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumandangkan perang terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6134)
Imam As-Suyuthi melanjutkan, “Jika ia tetap enggan bertaubat, cukuplah hukuman Allah baginya, tanpa hukuman dari makhluk.
Apa kiranya yang akan diperbuat oleh hakim atau pihak yang berwajib?
Inilah jawabanku mengenai masalah itu.
Wallahu A’lam.”
******** akhir kutipan *******
Kutipan lain dari kitab tersebut dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/08/ibnu-arabi/
Jadi jika ada orang yang dianggap ulama namun meremehkan ulama yang telah diakui sejak dahulu kala sebagai kekasih Allah (Wali Allah) maka amal ibadah sepanjang hidupnya tidak akan berguna di akhirat kelak karena diperangi oleh Allah Azza wa Jalla
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)
Diceritakan oleh Imam Izuddin bin Abdis Salam, berkumpullah sekelompok mufti di sebuah masjid. Mereka bersantai sejenak setelah melaksanakan majlis ilmu dan dzikir.
Tak lama kemudian, datanglah seorang badui. Berpenampilan apa adanya, laki-laki badui ini menyampaikan pertanyaan yang sukar kepada para Mufti, “Wahai para Mufti,” tegasnya berkata, “bagaimana caranya agar shalat kita bisa khusyuk?”
Para Mufti pun saling berpandangan seraya menunjuk satu dan yang lainnya untuk menyampaikan jawaban. Agak lama. Tapi, tak ada yang angkat bicara. Diam. Hening. Lalu, si badui pergi dengan membawa kecewa sebab pertanyaannya tidak terjawab.
Agak jauh dari majlis para Mufti itu, duduklah seorang laki-laki yang berpenampilan ala kadarnya pula. Ia memanggil laki-laki badui. Ditanyakan oleh si laki-laki, “Apa maksud kedatanganmu?” Si badui pun berkisah tentang pertanyaannya kepada para Mufti.
Si laki-laki yang tak dikenal ini pun memberikan jawaban dengan detail. Si badui juga menyimak dengan saksama. Konyolnya, setelah pertanyaan tersebut dijawab oleh sang laki-laki, si badui justru berteriak, “Celakalah engkah, wahai seorang laki-laki awam! Para Mufti saja tidak bisa menjawab pertanyaanku, bagaimana mungkin kau bisa menyampaikan keterangan sejelas ini?!”
Sebab kencangnya teriakan, para Mufti pun memanggil si badui dan bertanya kejadian yang sebenarnya. Lepas dikisahkan jawaban dari si laki-laki, para Mufti pun langsung mendatangi si laki-laki.
Kepada sang laki-laki tak dikenal itu, perwakilan para Mufti berkata, “Sudilah kiranya jika Tuan mengadakan majlis harian bagi kami. Agar kami bisa mempelajari Islam secara mendalam dari Tuan.”
Keesokan harinya, sang laki-laki sederhana yang tak lain adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali sudah tidak ditemukan di masjid itu. Beliau melanjutkan kembara ilmunya tepat di malam hari, saat orang-orang tertidur dalam lelapnya.
Peristiwa yang terjadi di masjid al-Umawi ini merupakan salah satu kisah dalam Biografi Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Rahimahullahu Ta’ala.
Seperti inilah sebagian kita. Lebih mengedepankan tampilan fisik ketimbang kedalaman ilmu. Seringkali seseorang dianggap hina, hanya karena tampilan sederhana.
Sebaliknya, sebagian kita mengangungkan gelaran dan jabatan. Padahal, gelar hanyalah gelar. Tak bisa menjamin kemuliaan.
Sebagai penutup tulisan, Imam Al Ghazali pernah ditanya, “bagaimana cara mengetahui, apakah shalat kita khusyuk atau tidak?”
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjawab, “tanda shalat yang khusyuk adalah tercegahnya pelaku shalat dari perbuatan keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika shalat Subuh seseorang khusyuk maka dia akan terjaga dari perbuatan nista dan jahat antara Subuh dan Dzuhur. Terus seperti itu sepanjang hari”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Link sumber kajian:
http://www.aswj-rg.com/2014/11/keagungan-kitab-ihya-ulumuddin.html
http://www.embunhati.com/kebolehan-mempelajari-ilmu-kalam/
http://kisahikmah.com/kisah-badui-yang-meremehkan-imam-ghazali/
Sangat detail, walaupun kadang terlalu melebar
Setuju dengan komentar di atas, tulisan ustadz Yulizon sangat detail. Namun kekurangannya adalah terlalu melebar.