Paham penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sarana adu domba umat Islam
Paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah sarana adu domba umat Islam untuk meruntuhkan ukhuwah Islamiyah dari dalam.
Ada dari pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah berulang kali meng-copas (menyampaikan) potongan perkataan Buya Hamka bahwa “Vonis sesat terhadap Wahabi direkayasa untuk gurita kolonialisme”
Apa yang disampaikan oleh Buya Hamka terkait kolonialisme Belanda yang mempergunakan isu Wahabi tujuannya adalah untuk meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat.
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang dapat diketahui dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka Semesta, cetakan I Juli 2009 pada halaman 169. (lihat hasil scan pada gambar di atas)
***** awal kutipan *****
“Amerika Serikat, jauh sebelum meletusnya perang Padri, 1821-1837 M, sudah mengadakan kontak dagang dengan Indonesia di Agam Sumatra Barat. Kedatangan Amerika serikat menimbulkan kelompok Wahabi kuat perekonomiannya. Namun, kolonial Belanda berusaha meniadakan pengaruh Amerika Serikat di Sumatra Barat, dengan menggunakan potensi kaum adat melawan Wahabi dalam Perang Padri yang berlangsung selama 17 tahun.”
Pada 1821 – 1837 M, pecah Perang Padri di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan Inggris yang melakukan pendekatan dengan masyarakat Sumatera Barat MEMPERGUNAKAN PAHAM SEKUTUNYA YAKNI PAHAM WAHABI.
***** akhir kutipan *****
Halaman 200-202
***** awal kutipan *****
Menyusul di Sumatera Barat, pecah Perang Padri, 1821 – 1837 M, yang dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari provokasi pemerintahan kolonial Belanda agar terjadi perang antar kaum adat kontra kaum Padri.
Apa kepentingannya dengan provokasi tersebut?
Operasi serdadu Belanda di Sumatera Barat, sepintas seperti hanya bertujuan menumpas perkembangan Wahabisme. Namun tujuan sebenarnya mengusir Amerika Serikat dan Inggris yang mengadakan kontak dagang dengan kaum Pidari atau kaum Padri atau Wahabi di daerah Agam.
Dalam upaya mengatasi persaingan kedua imperialis Protestan ini, kerajaan Protestan Belanda segera mengadakan Teatry of London, 1824 M, Isinya penjajahan Inggris atas Bengkulu yang dekat dengan Sumatera Barat berakhir. Ditukar dengan Semenanjung Malaka dan Singapura diserahkan ke Inggris. Tinggal satu langkah lagi bagaimana menetralisasikan ancaman Amerika Serikat di Sumatera Barat
***** akhir kutipan *****
Kutipan dari halaman 166-167 dalam buku berjudul “API SEJARAH” dapat kita ketahui sebagai berikut,
***** awal kutipan *****
Di bawah kekuasaan Tsar Alexander II, 1855 -1881 M, Dr. Theodore Hertzl mengubah gerakan Zionisme menjadi gerakan politik, 1896 M, yang ingin membangun Judenstat – The Jewish State – Negara Yahudi. Namun, wilayah Palestina masih di bawah kekuasaan Kesultanan Turki. Oleh karena itu, gerakan Zionisme mempunyai tiga tujuan politik.
Pertama, di Rusia bertujuan menumbangkan Czar Nicolas II dengan membiayai Revolusi Oktober 1917 yang dipimpin oleh Lenin.
Kedua, di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kekuasaan kesultanan Turki
Ketiga, di Arabia, bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud , penganut Wahhabi,
Kerajaan Protestan Anglikan, Inggris berhasil menumbangkan kerajaan Arabia dari kekuasaan Raja Husein ataupun putra Raja Ali, Ahlush Sunnah wal Jama’ah yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina dan Syiria bekas wilayah kekuasaan kesultanan Turki.
Klaim atas kedua wilayah tersebut menjadikan Raja Husein dan putranya Raja Ali, dimakzulkan. Kemudian, kedua raja tersebut minta suaka di Cyprus dan Irak.
Kelanjutan dari kerjasama tersebut, Kerajaan Protestan Anglikan Inggris mengakui Abdul Aziz bin Saudi, Wahabi sebagai raja Kerajaan Saudi Arabia yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria sebagai wilayah Saudi Arabia.
Keberhasilan dengan ketiga hal di atas, memungkinkan berdirinya negara Israel, sesudah perang dunia II, 1939-1945M, tepatnya 15 Mei 1948
***** akhir kutipan *****
Kerajaan dinasti Saudi tidak mengklaim wilayah Palestina adalah bahasa halus dari penyerahan Palestina kepada kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla demi kepentingan politik atau kekuasaan.
Kalau ingin tahu tentang Perang Paderi dan tuanku Imam Bonjol, carilah informasi dari Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB) sebagaimana yang telah dikutip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/24/hilangnya-naskah-tib/
Dalam naskah Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—lihat transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi yang cenderung diabaikan para sejarawan selama ini, terurai penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas perang Paderi dari tahun 1821 M s/d 1832 M
Di dalam MTIB terefleksi rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan Kaum Paderi terhadap sesama orang Minang dan Mandailing.
Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), demikian tulis Tuanku Imam Bonjol dalam MTIB (hlm.39).
Sadar akan kekeliruan itu, Tuanku Imam Bonjol lalu mengirim kemenakannya, Fakih Muhammad, dan Tuanku Tambusai ke Mekah untuk belajar mengenai “kitabullah nan adil” (Hukum Kitabullah yang sebenarnya).
Ikut juga kemenakan Tuanku Rao bernama Pakih Sialu, dan Kemenakan Tuanku Kadi (salah seorang rekan Tuanku Imam Bonjol) bernama Pakih Malano (MTIB, hlm. 36-40).
Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar tentang penyerbuan Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal oleh Turki Utsmani.
Mengetahui kabar seperti itu, Imam Bonjol mengadakan pertemuan penting, masih pada 1832 itu juga. Di tengah para tuanku, hakim-hakim syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol mengumumkan semacam gencatan senjata. Semua harta rampasan turut dikembalikan.
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala keinginannya untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf kepada para pemuka adat yang telah banyak dirugikan.
Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri baru ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1838 M.
Jadi dari tahun 1821 M s/d 1832 M adalah perang saudara dan sejak tahun 1833 M s/d 1838 M kaum adat bersatu padu dengan kaum Paderi melawan penjajah Belanda
Setahun kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan ke Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang laki-laki tua yang bercocok-tanam di sebidang tanah kecil.
Sebelum meninggal-dunia, Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “Akui hak para penghulu adat,” pesannya. “Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.
Wasiat singkat Imam Bonjol tersebut sarat dengan makna yang maksudnya adalah jangan main hakim sendiri taatilah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha karena merekalah yang mengetahui hukum-hukum Allah
Dikatakan oleh Beliau “akui hak para penghulu adat” karena penghulu adat yang benar di Minangkabau berpegang pada prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Kalau mau menggali hukum sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah, dikatakan oleh Beliau maka awali dengan mengenal Allah (makrifatullah) seperti dengan mempelajari dua puluh sifat Allah
Dari wasiat Imam Bonjol untuk mempelajari kembali “dua puluh sifat-sifat Allah” adalah pengakuan beliau bahwa “pembagian tauhid jadi tiga” telah menjadi faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme.
Mantan mufti Mesir, Ali Jum’ah mengatakan bahwa salah satu penyebab terorisme atau sikap radikalisme seperti yang diperlihatkan oleh ISIS dan serupa dengan mereka adalah akibat mereka meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah. Salah satunya adalah akibat pembagian Tauhid menjadi tiga sehingga seseorang muslim yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dapat dianggap kafir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/01/28/penerus-kebidahan/
Pembagian tauhid jadi tiga sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme. Pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa berdasarkan pemahaman mereka kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid sebagaimana yang disampaikan oleh Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam sebuah makalah yang kutipannya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Imam Mazhab yang empat, para ulama yang telah diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, imam atau pemimpin ijtihad dan istinbat kaum muslim, tidak pernah menyampaikan adanya pembagian tauhid menjadi tiga.
Para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa pembagian tauhid jadi tiga adalah perkara baru (bid’ah atau muhdats) karena pembagian tersebut tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah dan tidak pula dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in sebagaimana pengakuan yang dipublikasikan mereka pada http://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0/pembagian-tauhid/
Memang ada dalil-dalil tentang tauhid uluhiyah dan rububiyah namun tidak terbagi atau tidak terpisah
Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat sehingga tidak terbagi atau tidak terpisah.
Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman.
Jadi jika seseorang telah mengakui tauhid rubbubiyyah bagi Allah maka secara otomatis dia juga telah mengakui tauhid uluhiyyah karena Rabb, Pencipta dan Pengurus semesta raya itu tak lain pasti juga Ilah.
Sampai kapanpun, orang-orang kafir tidaklah dapat dikatakan bertauhid atau beriman. Seandainya orang kafir mempunyai tauhid yang benar, maka tauhid itu tentu akan mengeluarkannya dari neraka karena tak ada seorang ahli tauhid pun yang tinggal di neraka.
Dengan pembagian tauhid jad tiga, mereka menganggap atau menuduh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka meyakini bahwa yang menciptakan alam ini, yang memberikan rezeki hanya Allah Ta’ala namun tidak mau beribadah hanya kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/07/26/takfir-dan-pembagian-tauhid/
Umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dianggap atau dituduh menyembah berhala atau menyembah patung.
Jadi sebenarnya apa yang mereka maksud bahwa umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah penyembah kuburan, penyembah berhala atau bahkan penyembah patung ?
Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya pada hal 224 menuliskan
***** awal kutipan *****
Apa sebenarnya makna yang tersembunyi (hidden meaning) di balik pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut ?
Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut, setidaknya mempunyai dua tujuan:
Pertama, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa praktek-praktek seperti tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran. Nah, untuk menjustifikasi (pembenaran) pendapat ini, Ibn Taimiyah menggagas pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah.
Dari sini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa sebenarnya keimanan seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam ini juga dilakukan oleh orang-orang musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.
Kemudian setelah melalui pembagian Tauhid tersebut, untuk mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti Tawassul, Istighatsah, Tabarruk, Ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan kufur.
****** akhir kutipan ******
Jadi pada kenyataannya mereka menganggap umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka baru bertauhid rubbubiyyah dan belum bertauhid uluhiyah adalah pentakfiran atau pengkafiran terselubung.
Contohnya salah satu ulama panutan mereka, Abu Yahya Badrussalam Lc, pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam sebuah video yang diupload pada http://www.youtube.com/watch?v=MnW6wJYjIlU
Pada menit 13:47 menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang dengan tegas mengatakan bahwa umat Islam yang berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat adalah syirik akbar.
Salah satu ciri khas dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Salah satu dalil yang umumnya disalahgunakan mereka untuk melarang umat Islam berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang sudah wafat adalah ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS Az Zumar [39]:3)
Mereka memahami tawasul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah.
Mereka mendudukan para ahli takwa dan orang-orang sholeh yang dijadikan sarana (wasilah) dalam bertawasul sebagai “berhala” yang disembah oleh kaum muslim
Mereka menyamakan kaum muslim yang bertawassul kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat dengan orang-orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Mereka menyamakan argumen kaum jahiliyah ketika diminta berhenti menyembah berhala, “Kami tidak menyembah mereka (berhala-hala), kecuali untuk mendekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah (QS Al-Zumar [39]:3).
Padahal kalau kita cermati perbedaan antara tawassul kaum muslim dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut adalah
1. Tawassul kaum muslim semata-mata dalam berdoa kepada Allah dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara
2. Tawassul kaum muslim dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertawassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.
Tawassul kaum muslim dengan sesuatu yang dicintai Allah yakni dengan amal kebaikan berupa bacaan surat, ucapan salam atau pujian bagi ahli kubur maupun istighatsah dengan menyebut nama para Nabi , para kekasih Allah (Wali Allah) atau orang-orang sholeh.
Dalil dari hadits tentang bertawasul dengan amal kebaikan adalah seperti dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal kebaikan yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal kebaikan
Jadi mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Rasulullah namun kenyataannya mereka pada hakikatnya menentang sabda Rasulullah bahwa amal kebaikan atau sedekah tidak selalu dalam bentuk harta sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/27/penentang-hadits-sedekah/
Begitupula apa yang mereka maksudkan sebagai tauhid asma wa sifat adalah cara mereka memahami apa yang telah apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/24/makna-dzahir-tanpa-takwil/
Mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti mereka yang “tanpa (perlu) takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/content/794/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa-sifat/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun menghindari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Mereka menganggap sesat atau mengkafirkan umat Islam yang tidak mau mengikuti ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat yang mengatakan bahwa Tuhan mereka bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Di sisi yang lain ada yang mengatakan bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf.
Jadi pada kenyataannya mereka beribadah bukan kepada Allah Azza wa Jalla melainkan beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemamaham mereka selalu dengan makna dzahir.
Oleh karenanya kita umat Islam prihatin dengan “serangan” terhadap dunia Islam pada umumnya dan khususnya keadaan negara kita yang boleh dikatakan bahwa “Indonesia darurat Wahabi”
Bukti lainnya sebuah video ceramah ustadz panutan bagi mereka yakni Khalid Basalamah yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
Pada menit 02:55 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
Pada menit 03:35 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Paham Wahabisme adalah pemahaman atau ajaran ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari https://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut kutipan catatan kaki (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Begitupula syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jism-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat durhaka kepada Allah sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Mereka belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya akibat mereka tidak mau mengikuti aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Kita prihatin dengan orang-orang yang baru selesai kursus bahasa Arab, para mualaf, seorang dokter medis dari India atau bahkan para penghafal Al Qur’an sekalipun sudah berani memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti kaum Yahudi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2] : 87)
Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi)
Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani sekitar tahun 1924 M adalah seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian, selain menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga menyebarkan hasutan supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi.
Salah satu tujuan ormas NU didirikan adalah untuk memerdekakan umat Islam bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat dan menolak dengan tegas paham Wahabisme yakni ajaran (pemahaman) ulama Najed, Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/post/read/39479/komite-hijaz
***** awal kutipan *****
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Merembuk Hijaz atau Komite Hijaz.
Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
***** akhir kutipan *****
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi karena mereka termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi.
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) sehingga meninggalkan Imam Mazhab yang empat, salah satunya karena salah memahami potongan perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) sehingga meninggalkan Imam Mazhab yang empat ada pula dengan potongan perkataan Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Firqah dalam Islam timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin) atau sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil
Akibat bukan ahli istidlal mengakibatkan mereka saling mencela dan menyalahkan yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/24/penyebab-gemar-menyalahkan/
Mereka memfatwakan bahwa jika seseorang telah mendapatkan jarh (kritikan) dari ulama panutan mereka maka seumur hidup perkataan atau pendapatnya tidak boleh digunakan lagi sebagaimana yang dipublikasikan mereka pada http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2012/04/08/inilah-bukti-kebohongan-dan-kedustaan-khalid-al-ghirbani/
Contoh ulama panutan mereka Firanda disematkan gelar Kadzdzab (pendusta) dari syaikh mereka, Abdullah Bin Abdurrahim Al-Bukhari maka seumur hidup perkataan atau pendapat ust Firanda tidak boleh digunakan lagi sebagaimana kabar dari http://www.darussalaf.or.id/hizbiyyahaliran/dusta-firanda-ditengah-badai-fitnah-yang-sedang-melanda-bag1-firanda-memfitnah-ulama-ahlus-sunnah/
***** awal kutipan *****
Gelar “kadzdzab” (gemar berdusta) yang disematkan oleh salah seorang ulama besar di Madinah Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim Al-Bukhari Hafizhahullah kepada seorang pelajar di Madinah yang bernama Firanda Andirja memang merupakan gelar yang layak disandangnya. Mengapa tidak, Firanda seakan tiada henti menghembuskan fitnahnya dengan menyebarkan berbagai kedustaan dikalangan salafiyyin dengan menyebarkan berita-berita palsu yang kandungannya adalah upaya merendahkan kedudukan para ulama dan Da’i Ahlus sunnah ditengah umatnya.
***** akhir kutipan *****
Kebenaran isi berita tersebut adalah menjadi urusan mereka
Hal yang kita ambil pelajaran atau hikmah dari perilaku mereka adalah bahwa salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam dengan nama-nama pemimpinnya masing-masing seperti Salafi Wahabi (nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab), Salafi Suruuriyyah (nisbat kepada Muhammad Suruur), Salafi Haddaadiyyah (nisbat kepada Mahmuud Al-Haddaad Al-Mishri) dan salafi-salafi lainnya.
Contoh lainnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://atsarsunnah.wordpress.com/2013/11/20/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) atau jama’ah minal muslimin
Muhammadiyah pada awalnya bukanlah sebuah sekte atau firqah dalam Islam yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Subuh dan shalat Tarawih 20 rakaat dengan Witir 3 rakaat sebagaimana yang telah disampaikannya pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html
Begitupula pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau adalah Pembela “Qunut Subuh” dan “Jahar Bismillah” sebagaimana tulisan pada http://surautuo.blogspot.co.id/2013/10/pembawa-muhammadiyah-ke-minangkabau.html
Namun setelah berdiriya Majelis Tarjih, organisasi kemasyarakatan (ormas) Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Sehingga mereka dapat terjerumus menjadi sebuah firqah dalam Islam karena mereka menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil.
Para mufti atau para fuqaha yakni para ulama yang faqih (ahli fiqih) dalam berfatwa atau berkompeten dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah selalu merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat sehingga kita kenal dengan mufti mazhab dari kalangan empat mazhab
Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu.
Mereka mengatakan bahwa Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab.
Mereka menambahkan bahwa terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya.
Mereka mengatakan bahwa tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada http://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-zon-jonggol-aswaja-sarkub/
Jadi berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri , mereka menyalahkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan
Bahkan mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan yang dahulu dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan adalah kesesatan atau bid’ah dholalah sehingga secara tidak langsung mereka menganggap KH Ahmad Dahlan akan bertempat di neraka.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa jika ada orang-orang yang mengaku tidak bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat melainkan mereka merasa atau mengaku-ngaku mengikuti mazhab (manhaj) Salafush Sholeh maka itu artinya mereka berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam
(dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Ini menunjukkan bahwa Albani adalah ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits
Albani adalah shahafi atau otodidak ketika mendalami hadits dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi Al Albani adalah contoh ahli hadits dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti sebenarnya yakni menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Mereka sendiri yang menyatakan bahwa ulama panutan mereka yakni Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” pada halaman 147 tercantum pujian bagi Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Perhatikanlah kitab-kitab Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah pada umumnya mereka tidak merujuk kepada pendapat mazhab yang empat melainkan pendapat atau fatwa mereka sendiri secara otodidak (shahafi)
Walaupun pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama dengan berguru pada guru yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menduplikati (meneladani) Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar