Malaikat naik ke tempat turun bagi perintahNya di langit
Al Imam Al Hafizh Suyuthi menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada-Nya MAKNANYA adalah naik ke tempat turun bagi perintahNya di langit . (Tafsir Al-Jalalain, QS Al-Ma’arij [70] :4)
Tempat turun bagi perintahNya bukan berarti tempat bagi Allah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Begitupula Rasulullah Mi’raj ke Sidratul Muntaha adalah ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya dan sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Begitupula umat Islam bermunajat ke Baitullah maupun ke Masjid bukan ke tempat atau ke rumah Allah Ta’ala atau bukan Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat.
Berikut penjelasan Al Imam Al Hafizh Suyuthi selengkapnya dalam kitab tafsir Jalalain terhadap firman Allah Ta’ala (QS Al-Ma’arij [70 : 4)
***** awal kutipan *****
(Naiklah) dapat dibaca ta`ruju dan ya`ruju (malaikat-malaikat dan Jibril) Malaikat Jibril (kepada-Nya) kepada tempat turun bagi perintah-Nya di langit (dalam sehari) lafal fii yaumin bertaalluq kepada lafal yang tidak disebutkan, azab menimpa orang-orang kafir pada hari kiamat (yang kadarnya lima puluh ribu tahun) ini menurut apa yang dirasakan oleh orang kafir, karena penderitaan dan kesengsaraan yang mereka temui di hari itu. Adapun orang yang beriman merasakan hal itu amat pendek, bahkan lebih pendek daripada satu kali salat fardu yang dilakukan sewaktu di dunia. Demikianlah menurut keterangan yang disebutkan di dalam hadis. (Tafsir Al-Jalalain, Al-Ma’arij 70:4)
***** akhir kutipan *****
Rasulullah sendiri yang menafikan arah maupun tempat bagi Allah Ta’ala dengan sabdanya
وأنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء
Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR Muslim 4888)
Berikut kutipan penjelasan Al-Hafizh al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat, hlm. 506 yang menetapkan hadits tersebut sebagai salah satu dalil untuk menafikan arah dan tempat bagi Allah. Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari arah dan tempat.
***** awal kutipan ******
والذي روي في اخر هذا الحديث إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى, وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء
“….dan yang disebutkan di akhir hadits adalah indikasi penafian tempat bagi Allah Ta’ala dan seorang hamba di mana pun berada maka jauh dan dekatnya ia kepada Allah Ta’ala itu sama saja.
الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة, الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان
Allah Ta’ala, adalah Adz-Dzahir – maka Dia bisa diketahui dengan bukti-bukti (dalil) , Allah Ta’ala adalah Al-Bathin -. maka Dia tidak bisa diketahui dengan tempat.
واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم
Dan telah berdalil sebagian sahabat kami (ahlus sunnah) dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam,
أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء
Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu. (HR Muslim 4888)
وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
“jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.
***** akhir kutipan *****
Begitupula para Sahabat menafikan arah (jihah) bagi Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syâfi’i berkata:
****** awal kutipan ******
“Al-Badr ash-Shahib dalam kitab Tadzkirah-nya berkata: Dalam hadits ini terdapat isyarat para Sahabat menafikan arah dari Allah.
Hadits shahih dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
“ما ينبغي لعبدٍ أن يقول: إني خيرٌ من يونس بن متَّى ” اه. واللفظ للبخاري
“Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berkata: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad) lebih baik dari Yunus ibn Matta” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini adalah redaksi al-Imâm al-Bukhari. (4237)
***** akhir kutipan ******
Jadi Rasulullah diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha TIDAK BOLEH dikatakan LEBIH DEKAT kepada Allah Ta’ala dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.
Jadi Rasulullah sendiri yang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat dengan sabdanya,
لا تفضلوني على يونس بن متى
“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”
Imam Malik menjelaskan bahwa
****** awal kutipan *****
Rasulullah secara khusus menyebut Nabi Yunus dalam sabdanya, tidak menyebut Nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih (Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat).
Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.
Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”.
****** akhir kutipan ******
Penjelasan Imam Malik tersebut disampaikan oleh
1. Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa
2. Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
3. Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin.
dan lain lainnya.
Begitupula Al-Imam al-Qurthubi menuliskan
***** awal kutipan *****
وقال أبو المعالي: قوله صلى الله عليه وسلم لا تفضلوني على يونس بن متّى
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi “La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”
المعنى فإني لم أكن وأنا في سدرة المنتهى بأقرب إلى الله منه وهو في قعر البحر في بطن الحوت. وهذا يدل على أن البارىء سبحانه وتعالى ليس في جهة
memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87)
***** akhir kutipan *****
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:
***** awal kutipan *****
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لا تفضلوني على يونس بن متّى
“La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”
maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan
***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.
Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
***** akhir kutipan *****
Begitupula mengangkat tangan ketika berdoa tidak menunjukkan keberadaan Allah di langit, sama seperti menghadap Qiblat (Ka’bah) tidak menunjukkan keberadaan Allah dalam Ka’bah ataupun dekat kepada Allah ketika sujud bukan menunjukkan keberadaan Allah pada tempat sujud.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata:
Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada jihat (arah), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Begitupula mereka menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang ketika itu BARU MASUK ISLAM sebagai pokok dalam aqidah.
Namun pada kenyataannya Imam Muslim TIDAK MELETAKKAN hadits tersebut pada BAB AQIDAH atau KEIMANAN melainkan pada BAB SHALAT yakni haramnya berbicara saat shalat karena hal pokok yang SHAHIH dan TIDAK DIPERSELISIHKAN adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim 836)
Hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami adalah hadits panjang yang terdiri dari beberapa bagian
Namun para ulama berpendapat bahwa KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah termasuk hadits mudhtharib matan (redaksi) yakni hadits kacau (guncang) matan (redaksinya) KARENA perbedaan matannya (redaksi) dengan riwayat yang lainnya yang tidak memuat pertanyaan “di mana Allah”.
Selain alasan perbedaan matan (redaksi), Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah meriwayatkan hadits TIDAK dengan MATAN (redaksi) ASLI sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja) alias MATAN (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami SECARA PRIBADI berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam sehingga ia terjatuh dalam kesalahan.
Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”.
Contohnya Imam Syafi’i dalam Manaqib imam Syafi’I, al-Baihaqi : 1/396 menjelaskan
واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون فيالأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب.
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shahih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Diatas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atauNabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dzahir yang datang dalam Al-Quran”.
Para ulama menegaskan bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit adalah untuk mengungkapkan keagungan atau ketinggian derajat Allah Ta’ala bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah Maha Suci dari arah dan tempat”.
Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali berkata bahwa budak itu adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. (DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010)
Ulama Hambali Al Imam al-Hafidz Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Jadi sebaiknya kita tidak mengikuti aqidah Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah tersebut baru masuk Islam.
Sebenarnya, keyakinan bahwa Tuhan bertempat terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim.
Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Konsep seperti itu bukan konsep Islam yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam – termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam
Oleh karenanya para ulama sepakat bahwa KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dianggap sebagai hadits mudhtharib karena pertanyaan “Di mana Allah” adalah MATAN (redaksi) hadits SECARA PRIBADI dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang ketika itu baru masuk Islam merupakan pertanyaan yang TIDAK PATUT ditujukan kepada Allah sebagaimana contohnya dijelaskan oleh Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib
وقال سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف
رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al-Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98.
Abu Muzhaffar al-Asfarayini (W. 471 H/1078 M) nama sebenarnya ialah
Syahrur bin Thahir bin Muhammad al-Asfarayani. Selain faqih Mazhab
Syafi’i, ia adalah muhaddits dan mufassir (ahli tafsir).
Abu al Muzhafar adalah mertua Abu Al Manshur al Baghdadi (W. 429 H/1038 M)
Abu Al Manshur al Baghdadi juga meriwayatkan penjelasan
Imam Sayyidina Ali ra dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333
Imam Sayyidin Ali ra berkata,
إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”.
Berikut penjelasan para ulama lainnya bahwa pertanyaan “Di mana” tidak patut ditujukan kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“
Begitupula pada hakikatnya pertanyaan “di mana” atau “bagaimana” tidak patut ditujukan kepada Allah Ta’ala karena melanggar larangan Rasulullah yakni larangan untuk memikirkan Dzat Allah.
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Jadi sunnah Rasulullah untuk meyakini keberadaan Allah adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.
Oleh karenanya ungkapan-ungkapan seperti,
“Allah wujud (ada) di mana mana”
atau
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar