Salafush Sholeh berdoa kepada Allah diawali BERTAWASSUL dengan SEDEKAH atau HADIAH BACAAN
Berikut contoh Salafush Sholeh berdoa kepada Allah Ta’ala untuk kesembuhan non muslimpun diawali BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN AL FATIHAH.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)
Dalam riwayat di atas, dengan pertanyaan Rasulullah, “Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera ?” menunjukkan bahwa amalan bertawassul dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN AL FATIHAH disampaikan dari lisan ke lisan secara turun temurun yang kita kenal dengan isitilah di-ijazah-kan
Hal yang perlu kita ingat bahwa tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan yang disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang.
Pada umumnya hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang disampaikan secara langsung melalui lisan ke lisan secara turun temurun dalam bentuk bimbingan seperti amalan bertawassul dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN AL FATIHAH di atas karena kalau salah paham dapat berakibat menuduh (menganggap) mempercayai adanya “kekuatan” Al Fatihah atau menuduh (menganggap) syirik alias mengkafirkan bahkan membunuh orang yang menyampaikannya.
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Haiatul Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Jadi separuh kantung yang telah dibagikan atau disampaikan dan diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu yang tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada kebanyakan orang yang diumpamakan oleh Rasulullah sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama Allah seperti amalan bertawassul dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN AL FATIHAH
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salam)
Jadi jika ada seseorang ulama Allah menyampaikan rutinkanlah membaca surat Al Mulk, Al Waqiah, Ar Rahman setiap malam Senin dan Kamis, selama perintah amalan tersebut bukan dianggap perkara wajib (jika ditinggalkan berdosa) maka kebiasaan tersebut hukum asalnya mubah (boleh) dan minimal pahalanya dari kebiasaan membaca surat-surat tersebut.
Oleh karenanya para ulama terdahulu menasehatkan bahwa janganlah berprasangka buruk jika kita mendengar perkataan atau melihat perbuatan atau amal ibadah saudara muslim lainya yang belum atau tidak diketahui dalilnya karena tidak semua hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Berdasarkan contoh dari Salafush Sholeh tersebut maka umat Islam, contohnya ketika berdoa kepada Allah Ta’ala untuk kesembuhan seseorang diawali BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN AL FATIHAH.
Begitupula dalam acara apapun maka umat Islam berdoa kepada Allah Ta’ala sesuai dengan tujuan atau kepentingan acara tersebut diawali BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN seperti surat Yasin atau minimal dengan Al Fatihah
Contoh lainnya, TAHLILAN adalah adab dalam berdoa kepada Allah Ta’ala yang diawali BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH / HADIAH BACAAN berupa Tahlil, bacaan Al Fatihah, Yasin, sebagian Al Baqarah, dan lain lain, SEBELUM DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala untuk ahli kubur, keluarga ahli kubur maupun kepentingan sendiri
Dalil dari hadits tentang bertawasul dengan amal kebaikan adalah seperti dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal kebaikan yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal kebaikan
Jadi mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti Rasulullah namun pada kenyataannya mereka secara tidak langsung menentang sabda Rasulullah bahwa amal kebaikan atau sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.(HR Muslim 1674)
KH. Maimoen Zubair berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawassul). Beliau mengingatkan bahwa, “yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo’a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma’ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan”.
Salah satu perintah Allah Azza wa Jalla adalah berdoa kepadaNya diawali dengan bertawasul
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Kita umat Islam pada umumnya prihatin melihat mereka yang melarang (mengharamkan) berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan orang-orang sholeh atau para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat akibat mereka berpegang pada pendapat atau fatwa ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani bahwa
“Saya katakan kepada mereka yang bertawassul dengan wali dan orang sholeh bahwa saya tidak segan sama sekali menamakan dan menghukum mereka sebagai SESAT dari KEBENARAN, tidak ada masalah untuk menghukum mereka sebagai SESAT dari KEBENARAN dan ini selaras dengan penghukuman Allah atas Nabi Muhammad sebagai SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu”
Mereka terjerumus menyakiti dan mencela Rasulullah SESAT dari KEBENARAN sebelum turunnya wahyu akibat mereka secara otodidak (shahafi), membaca, menterjemahkan dan memahami selalu dengan makna dzahir sehingga salah memahami firman Allah Ta’ala , “wa wajadaka dhollan fa hada” (QS Adh Dhuha [93] : 7) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/fatwa-rasulullah-sesat
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut dan meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya serta meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang yang dijadikan tawassul
Berikut kutipan penjelasannya
****** awal kutipan *******
Tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
****** akhir kutipan ******
Jadi berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat pada hakikatnya bertawassul dengan amal kebaikan yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah)
Mereka yang berkeyakinan ada perbedaan antara yang masih hidup dengan yang sudah wafat atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan mereka dalam kemusyrikan yang nyata. karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang masih hidup dengan yang sudah wafat tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap yang masih hidup adalah sumber manfaat dan yang sudah mati adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Mereka melarang (mengharamkan) berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan orang-orang sholeh atau para kekasih Allah (wali Allah) yang telah wafat.
Padahal umat Islam , setiap hari bertawassul dengan Rasulullah yang telah wafat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawasul dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Oleh karenanya berdoa setelah sholat. lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allah, bertawasul dengan bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawasul dengan hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, yang hidup maupun yang telah wafat.
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, kita bertawasul dengan amal kebaikan yakni memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit, jika mereka menginginkan dapat mendoakan kepada Allah Ta’ala bagi penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Jadi jika seseorang melakukan ziarah kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara hajatnya dengan ahli kubur bukan berarti ahli kubur yang mengabulkan atau mewujudkan hajat pemohon melainkan ahli kubur dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) disisi Allah mendoakan hajat pemohon kepada Allah Azza wa Jalla.
Begitupula kita dianjurkan berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan sholawat bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat dari umatnya namun kita mendapatkan balasan salam dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam.(HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421)
Begitupula amat merugilah bagi mereka yang mengaku mencintai Rasulullah namun bersholawat hanya sebatas pada saat sholat wajib maupun sholat sunnah saja.
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR. Turmudzi)
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan banyak bersholawat padanya”
Ubayy bin Ka’ab Al-Anshary ra bertanya, “Ya Rasulullah, aku senantiasa membaca shalawat untukmu. Sebaiknya, berapa banyak lagi aku membaca shalawat untukmu? Nabi menjawab, “Terserah kamu.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana kalau seperempat waktu dari setiap hariku?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay melanjutkan bertanya, “Sepertiga?” Nabi lagi-lagi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay kembali bertanya, “Setengah?” Nabi menjawab, “Sesukamu, jika ditambah akan lebih baik.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana jika kutambah dua pertiga?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah lebih baik.” Ubay melanjutkan, “Ya Rasulullah, akan kugunakan seluruh hariku untuk bershalawat kepadamu.” Nabi menjawab, “Kalau begitu, keinginanmu akan dicukupi dan dosamu akan diampuni Allah Subhanau wa Ta’ala.”
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”
Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali.
Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah lagi dalam mimpinya.
Dalam mimpinya tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau…
***** akhir kutipan *****
Jadi cara mendatangi Rasulullah, selain menziarahi Beliau bagi yang mampu ke makamnya di Madinah adalah bertawassul dengan bersholawat kepadanya sehingga kita dikenal oleh Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Pada suatu waktu Hasan al Qassab dan kawannya datang berziarah ke kuburan muslimin. Setelah mereka memberi salam kepada ahli kubur dan mendoakannya, mereka kembali pulang. Di perjalanan ia bertemu dengan salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab : “Ini hari adalah hari Senin. Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli kubur mengetahui kedatangan kita di hari Jumat dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”
al-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm telah diberitahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah kuburan pada hari Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli kubur mengetahui kedatangannya. Hal itu karena kebesaran dan kemuliaan hari Juma’t.
Diriwayatkan salah satu dari keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi melihatnya dan berkata kepadanya : “ Bukankan kamu telah meninggal dunia? Dan dimana kamu sekarang? “ Asem berkata : “ Saya berada di antara kebun-kebun sorga. Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul setiap malam Juma’t dan pagi hari Juma’t di tempat Abu Bakar bin Abdullah al Muzni. Di sana kita mendapatkan berita-berita tentang kamu di dunia. Kemudian saudaranya yang bermimpi bertanya : “Apakan kalian berkumpul dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian? “ Maka mayyit itu ( Asem al-Jahdari ) berkata : “ Tidak mungkin kami berkumpul dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan tetapi kami berkumpul dengan ruh-ruh kami “.. Kemudian ditanya : “Apakah kalian mengetahui kedatangan kami ? “. Maka dijawab : “ Ya!.. Kami mengetahui kedatangan kamu pada hari Juma’t dan pagi hari Sabtu sampai terbit matahari “. Kemudan ditanya : “ Kenapa tidak semua hari-hari kamu mengetahui kedatangan kami? “. Ia (mayyit) pun menjawab : “ Ini adalah dari kebesaran dan keafdholan hari Juma’t “.
Ibunya Utsman al Tofawi disaat datang sakaratul maut, berwasiat kepada anaknya : “Wahai anakku yang menjadi simpananku di saat datang hajatku kepadamu. Wahai anakku yang menjadi sandaranku disaat hidupku dan matiku. Wahai anakku janganlah kamu lupa padaku menziarahiku setelah wafatku“. Setelah ibunya meninggal dunia, ia selalu datang setiap hari Juma’t kekuburannya, berdoa dan beristighfar bagi arwahnya dan bagi arwah semua ahli kubur. Pernah suatu hari Utsman al Tofawi bermimpi melihat ibunya dan berkata : “Wahai anakku sesunggunya kematian itu suatu bencana yang sangat besar. Akan tetapi, Alhamdulillah, aku bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang penuh dengan kenikmatan. Aku duduk di tikar permadani yang penuh dengan dengan sandaran dipan-dipan yang dibuat dari sutera halus dan sutera tebal. Demikianlah keadaanku sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdoa bagiku. Sesungguhnya aku selalu mendapat kegembiraan dengan kedatanganmu setiap hari Juma’t. Jika kamu datang ke kuburanku semua ahli kubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.
al-Fadhel bin Muaffaq disaat ayahnya meninggal dunia, sangat sedih sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah dikubur, ia selalu menziarahinya hampir setiap hari. Kemudian setelah itu mulai berkurang dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada ayahnya dan segera menziarahinya. Disaat ia duduk disisi kuburan ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari kuburan dengan kafannya. Ia menangis saat melihatnya. Ayahnya berkata : “wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku? Al-Fadhel berkata : “ Apakah kamu mengetahui kedatanganku? ” Ayahnya pun menjawab : “ Kamu pernah datang setelah aku dikubur dan aku mendapatkan ketenangan dan sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah dengan doa-doamu”. Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk menziarahi ayahnya.
Oleh karenanya bagi umat Islam yang tidak lagi memiliki waktu untuk menziarahi ahli kubur setiap hari Jum’at maka untuk menjaga tali silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan setiap malam Jum’at.
Jadi mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam penantian) yang sangat lebih lama dari alam dunia dalam kesendirian karena tidak ada yang bersilaturahmi.
Ahli (membaca) hadits mereka, Albani menyebutkan dalam kitabnya Sifat Shalatun Nabiy, hal. 143 , bahwa dalam Tasyahud hendaknya membaca: ASSALAAMU ‘ALANNABIYY sebagai ganti dari ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY
Alasan penggantian adalah , ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY dengan huruf kaf yang menunjukkan kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal disarakan menyebutkan dengan lafadz ghaib (kata ganti orang ketiga yang tidak hadir) yakni ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana yang dapat diketahui dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/sifat-sholat-nabi.pdf
Oleh karenanya dalam ringkasan Sifat Sholat Nabi sudah diganti dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana contoh informasi dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/ringkasan-sifat-shalat-nabi.pdf
Jadi jika para pengikut ahli (membaca) hadits Albani taqlid buta sehingga dalam sholatnya menggantinya dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY maka seumur hidup mereka pada hakikatnya sholatnya batal.
Imam Syafii mewajibkan dhamir khithab itu, yaitu : Assalamu alaika Ayyuhannbiyy, jika tak mengucapkannya atau menggantinya dengan Assalamu alannabiyy saja maka sholatnya batal.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa lafadh : Assalamualaika ayyuhannabiyy hingga akhirnya, maka wajib, dan padanya 3 bentuk pada sahabat sahabat kita (ulama sezaman beliau dalam madzhab Syafii) dan yang paling shahih adalah tidak boleh menghapus satu kalimatpun darinya, ini adalah yg paling berpadu Ittifaq hadits padanya. kedua adalah boleh menghapus salah satu kalimatnya yaitu kalimat warahmatullah dan wabarakatuh, (bukan assalamualaika menjadi assalamu alannabiyy) ketiga adalah boleh menghapus wabarakatuh. (Al Adzkar Annawawi 53 Bab Tasyahhud fisshalaat).
Perkataan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY memang bukan perkataan Rasulullah namun perkataan tersebut tidak pantas juga dinisbatkan kepada segelintir Sahabat.
Walaupun hadits tersebut dari sisi sanad (susunan perawi) tsiqoh namun dapat dinilai syadz karena matan (redaksi) hadits bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lainnya.
Mereka yang berpendapat bahwa perkataan ASSALAAMU ‘ALAIKA hanya untuk orang yang hidup maka sama saja mereka secara tidak langsung merendahkan Rasulullah dibandingkan para Syuhada
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka sholat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai ditiupnya sangkakala.” Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”
Pada peristiwa mi’raj , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dipertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah menjadi penduduk langit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “kami meneruskan perjalanan sehingga sampai di langit keenam, lalu aku menemui Nabi Musa dan memberi salam kepadanya. Dia segera menjawab, ‘Selamat datang wahai saudara yang dan nabi yang shalih.’ Ketika aku meningalkannya, dia terus menangis. Lalu dia ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan kamu menangis? ‘ dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku! Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku, tetapi umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada umatku” (HR Muslim 238)
Penduduk langit sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah dalam riwayat di atas ketika peristiwa mi’raj ditemui sedang sholat karena penduduk langit selalu mengingat dan berzikir kepada Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah, Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57]:1)
Penduduk langit juga bisa menyaksikan dan mengenal hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS Yunus/10:64).
Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini. Rasulullah menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.”
Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS al-Zumar [39]:42).
Rasulullah bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur)”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar.
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.”
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan (alam) kepada keadaan (alam) lain.”
Para ulama Allah yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari
alam nasut (alam mulk / alam jasad)
alam malakut (alam mitsal)
alam jabarut (alam ruh)
alam lasut
Alam lasut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut
Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allah dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada. Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allah) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.
Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.
Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita.
Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad. Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).
Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Allah adalah yang paling rendah. Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad.
Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.
Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.
Sedangkan penghuni alam mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa dimengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)
Para ulama menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut (alam mulk), alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya.
Sementara itu, an nafs (jiwa) kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waktu. Para ulama menyebut alam ini alam malakut.
Jiwa (an nafs) kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita. Jiwa (an nafs) adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat dilihat oleh mata batin (ain bashirah).
Dari penjelasan ulama Allah di atas, dapat kita ketahui bahwa manusia terdiri dari ruh di alam jabarut, jiwa (an nafs) di alam malakut dan jasad di alam mulk
Jiwa (an nafs) juga memiliki bentuk seperti jasad. Jiwa (an nafs) akan tumbuh dengan memakan cahaya ruh (amr Allah), sabda-sabda Allah, perintah-perintah Allah.
Oleh karenanya kita kenal ungkapan “bangunlah jiwanya (an nafs) bangunlah badannya (jasad)”
Sering dikatakan sebagai “bentuk ruh” sebenarnya adalah bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk dari amal kebaikan (amal sholeh) .
Bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk bagi manusia yang sempurna atau muslim yang berakhlakul karimah adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik, mereka yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan.
Imam Malik ra berkata: “Ruh manusia yang sholeh itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) dirinya atau orang lain. Mereka dapat menengok ke alam malakut. Kemampuan itu diperoleh karena mereka sudah melatih mata batinya dengan riyadhah kerohanian atau karena anugrah Allah Ta’ala (al-mawahib al-rabbaniyyah).
Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Kabah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shadiq ra, ulama besar dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, menyuruh Abu Bashir menutup matanya. Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.”
Apa yang disaksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia. Apa yang dilihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk ruh mereka.
Seperti tubuh, ruh mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa ruh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. Ruh dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Al-Ghazali menulis: ‘Al-Khuluq dan Al-Khalq kedua-duanya digunakan. Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan batin. Yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahir, yang dimaksud dengan khuluq adalah bentuk batin. Karena manusia terdiri dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir dan ruh yang dapat dilihat dengan mata batin. Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah. Ruh yang dapat dilihat dengan mata batin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang dapat dilihat dengan mata lahir. Karena itulah Allah memuliakan ruh dengan menisbahkan kepada diri-Nya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku menjadikan manusia dan’ tanah. Maka apabila telah kusempurna kan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruhku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’ (QS. Shaad [38]:71-72).
Allah menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan ruh dari Tuhan semesta alam. (Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlak. Ruh kita menjadi indah dengan akhlak yang baik dan menjadi buruk dengan akhlak yang buruk. Dalam teori akhlak dari Al-Ghazali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki ruh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki ruh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai ruh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk memperindah bentuk ruh kita, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita. Kita dapat simpulkan dari doa ketika bercermin. “Allahumma kama ahsanta khalqi fa hassin khuluqi.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku)
Setelah manusia wafat ditetapkanlah apa yang telah dicapainya selama perjalanannya di dunia menjadi ruh manusia beriman atau ruh manusia durhaka
Kabar tentang ruh manusia beriman
Lalu terdengarlah sebuah panggilan dari langit, “Jika memang hamba-Ku ini benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.” Kemudian ruh orang yang beriman dikembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu diluaskan kuburannya sejauh mata memandang.
Selanjutnya datanglah seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata, “Berbahagialah dengan segala yang membahagiakan Anda. Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan.” Orang beriman tersebut bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu tampan sekali.” Ia menjawab, “Aku adalah amal saleh Anda.”
Kabar tentang ruh manusia durhaka
Setelah itu terdedengar sebuah pamggilan dari langit, “Jika ia benar-benar berdusta, hamparkanlah untuknya sebuah hamparan yang terbuat dari api neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu yang menuju ke neraka.”
Ketika pintu itu dibuka, maka panas dan racunnya langsung menembus badannya dan kuburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulang-tulangnya berserakan”.
Ia kemudian didatangi seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk. Orang itu berkata kepadanya, “Berbahagialah kamu dengan sesuatu yang membinasakanmu. Hari ini adalah hari kesengsaraanmu yang telah Allah janjikan!” Orang yang mati durhaka itu kemudian bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu sangat buruk.” Ia menjawab, “Aku adalah amal burukmu”.
Imam Syafi’i ~ rahimahullah mengatakan “Sesungguhnya saya memperhatikan anak Adam, setiap mereka itu dicintai, mereka terikat oleh cinta orang yang mencintainya, dan sebagian orang yang dicintainya itu ditemani oleh kekasihnya sampai kepada masa sakit diambang kematiannya. Sebagian lagi ditemani oleh sang kekasih sampai ke pintu kubur, kemudian semuanya kembali dan meninggalkannya sendirian. Tidak seorang pun yang mendampinginya di alam kubur. Maka aku pun berfikir dan berkata “sebaik-baik orang yang dicintai seseorang adalah yang ikut menemaninya ke dalam kubur, mendampingi serta memberi manfaat kepadanya di alam kubur. Maka tidak satupun yang bisa melakukan itu selain amal sholeh, maka akhirnya aku menjadikan amal sholeh sebagai kekasih sejatiku, supaya nanti dia menjadi penerang di kubur saya kelak, mendampingi serta tidak meninggalkan saya sendirian”
Para Nabi, para wali Allah (shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam malakut itu.
Ditanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami (semoga Allah memberikan kemanfaatan atas ilmunya), “Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
( وسئل ) نفع الله بعلومه ورضى عنه هل يمكن الآن الاجتماع بالنبي [ ] في اليقظة والتلقي منه ( فأجاب ) بقوله نعم يمكن ذلك فقد صرح بأن ذلك من كرامات الأولياء الغزالي والبارزي والتاج السبكي والعفيف اليافعي من الشافعية والقرطبي وابن أبي جمرة من المالكية وقد حكى عن بعض الأولياء أنه حضر مجلس فقيه فروى ذلك الفقيه حديثا فقال له الولي هذا الحديث باطل قال ومن أين لك هذا قال هذا النبي [ ] واقف على راسك يقول إني لم أقل هذا الحديث وكشف للفقيه فرآه
Imam Ibn Hajar menjawab: ”iya, itu bisa terjadi, dan telah dijelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allah seperti Imam Ghozali, dan Al-Barizi, dan Tajjud diin as-subki, dan Afiful al-Yafi’i (dari ulama madzhab syafi’i) dan qurthubi dan Ibn abi jamroh (dari ulama madzhab maliki).
Dan dikisahkan: bahwasannya ada sebagian waliAllah menghadiri majlis fiqih, kemudian seorang faqih yg sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadist, lalu Wali tersebut berkata: itu hadist bathil. Sang faqih berkata: darimana engkau mengatakan hadist ini bathil?
Sang wali menjawab:Itu Nabi sedang berdiri di hadapanmu dan beliau bersabda: ”Inniy lam aqul hadzal hadist” (sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini) Lalu faqih tersebut dibukakan hijabnya dan beliau pun melihat Nabi. (Al Fatawa Al Haditsiyah Imam Ibn Hajar al-Haitami pertanyaan ke 340, hal: 543)
Hal yang serupa yakni berguru dan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga diceritakan oleh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim 1945-2010M (1431H) (tinggal terakhir di Parung Bogor) dalam sebuah video pada http://www.facebook.com/ZonJonggol/videos/10155807832109846/ sekitar menit 05:10 Habib Saggaf bin Mahdi pada bagian akhir ketika Beliau “mencari” guru sejati (ulama Allah) sering berjumpa Rasulullah yang menyuruhnya pulang ke Indonesia, nanti di sana ada barokah
Begitupula berikut kutipan cerita dari al-Habib ‘Ali Ridlo bin Luqman al-Kaff tentang didikan Ibunda al-Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shohibul Maulid) untuk cinta Nabi shallallahu alaihi wasallam yang bersumber dari http://alfirqahannajiah.wordpress.com/2011/10/03/didikan-ibunda-al-habib-ali-bin-muhammad-al-habsyi-shohibul-maulid-untuk-cinta-nabi-saw-2/
***** awal kutipan ******
Di waktu umur Habibana ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi 7 tahun, ibunda beliau memanggil beliau dan berkata,
“Yaa ‘Ali, engkau mau dapat ridlo ku tidak di dunia dan akhirat..?”
“Iya, ya ummii..” Jawab beliau.
“Kalau engkau mau dapat ridlo dariku, ada syaratnya..!!” Kata ibunda Habib ‘Ali.
“Apa syaratnya, ummi..??”
“Hmm.. Engkau harus bertemu dengan datukmu, Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam.” Jawab ummi beliau.
Habib ‘Ali al-Habsyi yang masih kecil bingung. Dia tidak mengetahui bagaimana cara untuk bertemu dengan datuknya. Mulailah beliau mencari tahu dan belajar dengan guru-gurunya. Pergilah beliau ke salah satu tempat majelis Ulama, kemudian dia berkisah tentang permasalahannya untuk mendapat ridlo ibunya dengan cara seperti tadi. Lalu gurunya berkata, “Yaa ‘Ali, kalau engkau ingin bertemu dengan Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam maka engkau harus mencintai Beliau shallallahu alaihi wasallam dahulu dan tak akan ada rasa cinta jika engkau tak kenal dengan yang di cinta.”
Belajarlah beliau tentang sejarah Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam Tidak hanya itu, setiap orang alim yang ada selalu di tanya tentang masalah ini. Walhasil, banyaklah guru beliau. Ada yang berkisah kalau guru beliau mencapai ribuan orang.
Nah.. seiring waktu berjalan, bertambahlah umur beliau sampai mencapai usia kurang lebih 20 tahun, beliau akhirnya bermimpi bertemu datuknya shallallahu alaihi wasallam. Begitu terbangun dari tidurnya, beliau langsung memberitahu ibunya.
“Yaa ummii… ‘Ali sudah bertemu Baginda Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam.” Kata al-Habib ‘Ali sambil menangis haru.
Tetapi, apa jawab ibunda beliau..!!!?? “Yaa ‘Ali, dimana engkau bertemu Beliau?”
“Di dalam mimpiku, Ummii.” Kata al-Habib ‘Ali.
“Yaa ‘Ali, pergi engkau dari hadapanku. Engkau bukan anakku…!!!!”
Menangislah beliau… Keinginan hati untuk menyenangkan sang ibu pupus sudah.
Dalam kegelisahannya, beliau kembali bertanya kepada guru-gurunya, namun tak satupun dapat menjawabnya. Mengapa ibu beliau justru marah setelah mendapat laporan beliau tentang mimpinya.
Pada suatu malam beliau kembali bermunajah untuk dapat bertemu datuknya shallallahu alaihi wasallam. Larut dalam tangisan tengah malam, al-hasil tidurlah beliau. Dan al-Hamdulillah beliau kembali beremu dengan datuknya shallallahu alaihi wasallam.
“Yaa Jiddy (Kakek ku), Yaa Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam. Anakmu ini ingin menanyakan tentang perihal ummii.” Kata al-Habib ‘Ali kepada Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam. “Duhai ‘Ali anakku, sampaikan salamku kepada ibumu..” Jawab Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam di dalam mimpinya al-Habib ‘Ali.
Begitu bangun, beliau langsung mengetuk pintu kamar umminya sambil menangis tersedu-sedu. “Duhai Ummii, anakmu telah bertemu lagi dengan Baginda Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam dan Beliau kirim salam kepada Ummii.” Kata al-Habib ‘Ali.
Tiba-tiba dari kamar, ibunda beliau keluar dan berkata, “Yaa ‘Ali, kapan dan dimana engkau bertemu datukmu shallallahu alaihi wasallam..??” Tanya ibunda al-Habib ‘Ali
“Aku bertemu beliau di dalam mimpiku.” Jawab al-Habib ‘Ali dengan tangisan yang tak putus-putus.
“Pergi dari hadapanku ya ‘Ali…!!! Engkau bukan anakku..!!” Jawabnya.
Jawaban sang ibu benar-benar meruntuhkan hati al-Habib ‘Ali. Kemudian pintu kamar ibunda al-Habib ‘Ali al-Habsyi tertutup lagi, meninggalkan beliau seorang diri.
Esok harinya beliau mengadu kembali kepada guru-gurunya namun tak satupun dari mereka yang dapat menenangkan hati beliau. Semakin hari kegelisahannya semakin menjadi-jadi, setiap detik setiap saat beliau terus-terusan mengadu dan bermunajah serta bertawajjuh kepada Allah dan Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam.
Tibalah suatu malam, beliau hanyut jauh ke dalam lautan munajah dan mahabbah yang amat sangat dahsyat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kemudian beliau sujud yang sangat lama, tiba-tiba dalam keadaan sujud beliau mendengar suara yang lemah lembut,
“Yaa ‘Ali, angkat kepalamu..!!! Datukmu ada di mata zhohirmu.”
Begitu al-Habib ‘Ali al-Habsyi mengangkat kepalanya seraya membuka kedua pelupuk matanya perlahan-lahan, bergetarlah seluruh tubuh Habibana ‘Ali. Beliau menangis dan berkata, “Marhaba bikum Yaaa Jiddii, Yaa Rosul Allah..” Ternyata sosok tersebut adalah Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam berada di hadapan al-Habib ‘Ali.
Kemudian Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Duhai anakku, sampaikan salamku kepada ummi mu dan katakan kepadanya kalau aku menunggunya di sini..!!”
Seolah-olah gempa. Bergetar sekujur tubuh al-Habib ‘Ali al-Habsyi, beliau merangkak ke kamar ibundanya. “Yaa ‘Ummi, aku telah bertemu kembali dengan Rosul Allah shallallahu alaihi wasallam dengan mata zhohirku dan Beliau menunggu Ummi di kamar ‘Ali..”
Ibunda beliau membuka pintu kamarnya seraya berkata, “Ini baru anakku engkau telah mendapat ridlo dari ku.”
****** akhir kutipan ********
Mereka yang bertemu Rasulullah dalam keadaan terjaga adalah mereka yang memperoleh atau dikaruniai (dianugerahi) nikmat oleh Allah Azza wa Jalla karena Dia menghendakinya dan mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi sehingga menjadi muslim yang ihsan, muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang meraih maqam (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah dan menjadi kekasih Allah (Wali Allah) serta berkumpul dengan Rasulullah.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan (disucikan / dipelihara) oleh Allah Ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh).
Hubungan yang tercipta antara Allah Ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘
ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Sedangkan ulama su’ (ulama yang buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Saya kesulitan melacak Hadits Muslim No. 4080 seperti di kutip diatas,
boleh di share informasinya di kitab mana lagi hadits ini di kutip ataupun ulama mana lagi yang mengupasnya?
Mas Yusri anda bisa mencarinya berdasarkan no hadits dan “cari di Shahih Muslim” dengan HP Android dan unduh (download) melalui play store aplikasi “Ensiklopedi Hadits 9 Imam” yang dibuat oleh app.lidwa.com
atau link sharingnya pada http://hadits.in/muslim/4080
Subhanallah, Terima kasih pak informasinya