TIDAK BOLEH memahami kitab-kitab tasawuf selalu dengan makna dzahir
Imam As-Suyuthi berkata:
***** awal kutipan *****
“Syaikh kami, Syaikhul Islam Al-Mujtahid Syarafuddin Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibnu ‘Arabi, beliau menjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang paling layak bagi seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya.”
Kemudian beliau menukil salah satu perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabi, “Kami adalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kitab kami.”
Hal itu dikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka.
Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran.
Hal itu disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh As-Suyuthi, beliau berkata, “(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemayam) sebagaimana makna yang selama ini diketahui, ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
***** akhir kutipan *****
Jadi berdasarkan penjelasan Imam As Suyuthi di atas, terjawablah mengapa orang-orang mentakfir (mengkafirkan) yakni mentahdzir dengan celaan dan tuduhan kafir terhadap ulama-ulama tasawuf adalah akibat mereka MEMBACA, MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI kitab-kitab ulama tasawuf secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dengan METODE PEMAHAMAN mereka selalu dengan MAKNA DZAHIR.
Mereka yang gemar mentahdzir dengan celaan dan tuduhan adalah khawarij sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2019/11/25/siapa-termasuk-khawarij/
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa kitab-kitab ulama-ulama tasawuf itu adalah tentang jalan untuk mencapai IHSAN.
Kitab-kitab mereka “menceritakan” pengalaman mereka memperjalankan diri hingga sampai kepada Allah dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) dan salah satu buktinya adalah mereka dapat memandang Allah dengan hati mereka (ain bashirah)
Oleh karena mereka telah menjadi kekasih Allah (wali Allah) maka kitab-kitab mereka dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan cinta dalam balaghah yang bermutu tinggi yang TIDAK BOLEH DIPAHAMI dengan MAKNA DZAHIR.
Contoh yang paling mudah dan menjadi salah satu alasan atau dorongan kami untuk meneliti dan menelusuri firqah Wahabi yakni para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah sejak awal tahun 2009 adalah ada seorang teman kami sepulang mendalami ilmu agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi mengkafirkan dan memperlakukan ibundanya sebagai orang kafir HANYA karena ibundanya mengamalkan sholawat Nariyah.
Berikut contoh pendapat mereka yang melarang sholawat Nariyah dan menuduh (menganggap) syirik,
****** awal kutipan ******
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
****** akhir kutipan ******
Tampak jelas mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap syair atau kalimat yang artinya, “yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik”
Berikut kutipan penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa.
***** awal kutipan ******
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid.
mengenai kalimat diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, adalah cermin dari bertawassul pada beliau saw para sahabat sebagaimana riwayat shahih Bukhari.
mengenai bacaan 4444X atau lainnya itu adalah ucapan sebagian ulama, tidak wajib dipercayai dan tidak ada larangan untuk mengamalkannya
***** akhir kutipan ******
Begitupula kita prihatin dengan orang-orang yang melarang (mengharamkan) mengamalkan TASAWUF (IHSAN), contohnya dengan mengutip perkataan Imam Syafi’i NAMUN TIDAK MENYAMPAIKAN PENJELASANNYA (dan tidak juga berhak menyampaikan penjelasan terhadap qoul Imam Syafi’i) SEHINGGA dapat TERJERUMUS MEMFITNAH Imam Syafi’i dan menyesatkan orang banyak.
Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’i,
“Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tasawuf di awal siang, maka tidak sampai kepadanya dzuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu)”
ADALAH celaan terhadap orang-orang yang mengaku sufi (mengamalkan tasawuf) namun hanya sebatas pengakuan.
Imam Al Baihaqi menyampaikan ungkapan Imam Syafi’i terhadap orang-orang yang mengaku sufi (mengamalkan tasawuf) hanya sebatas pengakuan adalah ungkapan seperti,
“Orang-orang yang mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya dan tulisan daripada hakikatnya”
Imam Al Baihaqi menyampaikan penjelasan dari Imam Syafi’i bahwa orang-orang yang mengaku sufi (mengamalkan tasawuf) sebatas pengakuan, salah satu cirinya adalah mereka meninggalkan usaha (tidak lagi mau bekerja) dan membebankan kesusahannya (hidupnya) kepada kaum muslim.
Kemudian Imam Al Baihaqi menyampaikan penjelasan dari Imam Syafi’i tentang ciri-ciri lain dari orang-orang yang mengaku sufi (mengamalkan tasawuf) sebatas pengakuan adalah malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.
Imam Al Baihaqi lalu mengatakan bahwa ”Sesungguhnya yang beliau (Imam Syafi’i) ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat-sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Begitupula ada UPAYA PEMALSUAN kitab diwan al-Imam asy-Syafi’i DENGAN MENGHILANGKAN beberapa bait syair Imam Syafi’I yang sangat vital terkait tasawuf yakni
“Jadilah ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa. Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan)
Begitupula Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal (sebelum belajar Tasawuf) menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika Beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.”
Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?”
Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Tasawwuf sendiri menurut Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah hijarahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak mulia. Seorang sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan amal, perkataan, niat dan akhlak dari riya’, dan segala yang dapat menimbulkan murka Allah, pun pula pendekatan dhohir dan bathin kepada Allah. (Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, Nafaisu al-uluwiyyah fi al-masail al-shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-masaail, hal 103),
Amalan TASAWUF terkait dengan perkara IHSAN (AKHLAK) yakni memperjalankan diri untuk sampai kepada Allah sehingga menyaksikan Allah dengan hati (ain bashirah) MEMANG SEBAIKNYA JANGAN SECARA OTODIDAK (SHAHAFI) namun melalui bimbingan seorang mursyid yang sudah memperjalankan dirinya atau sudah mengamalkan tasawuf yakni yang sudah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashirah).
Silahkan periksa kurikulum atau silabus tentang tasawuf di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi Islam, pastilah TASAWUF adalah jalan untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Contoh hasil scan buku guru kelas XI kurikulum 2013 bahwa tasawuf adalah pendidikan akhlak dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/tasawuf-dalam-buku-guru-kelas-xi-kurikulum-2013.jpg
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana tulisannya yang diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Ada 3 pokok dalam ajaran Islam yakni,
1. Tentang Islam atau tentang syariat diuraikan dalam ilmu fiqih
2. Tentang Iman atau tentang akidah atau i’tiqod diuraikan dalam ushuluddin
3. Tentang Ihsan
Banyak orang-orang yang menyibukkan diri membuang waktu untuk memperbincang tentang Islam (syariat/fiqih) dan tentang Iman (aqidah) dan lupa menyibukkan diri kepada Ihsan.
Dalam perkara fiqih atau dalam perkara syariat, kita ikuti saja apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
Perkara akidah atau i’tiqod atau ushuluddin kita ikuti hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) seperti Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dan dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Jadi yang diperlukan adalah menyibukkan diri pada perkara Ihsan yakni memperjalankan diri supaya sampai kepadaNya , dapat menyaksikan Allah dengan hati (ain bashirah)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Jadi dapat kita simpulkan bahwa muslim yang Ihsan adalah muslim yang takut kepada Allah yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau minimal selalu yakin diawasi oleh Allah Ta’ala sehingga setiap akan bersikap atau berbuat selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Tujuan beragama adalah untuk menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Jadi manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehinnga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Para ulama Allah menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesaksian. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan syahadat namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”.
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni
Orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah karena TERJERUMUS KESOMBONGAN seperti gemar mentahdzir dengan celaan dan tuduhan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Orang-orang yang gemar mentahdzir dengan celaan dan tuduhan menunjukkan sholat mereka tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar
dan amal ibadah sholat mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Orang-orang yang sholat namun masih terus menerus melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan keji dan mungkar menandakan shalatnya lalai
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya
`…. maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Orang-orang yang shalatnya lalai atau tidak khusyuk karena sekedar “melepaskan” kewajibannya atau sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya namun tidak mempunyai hati sehingga pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah Ta’ala. Ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (gerak dan perbuatan kalian), tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Tidaklah mereka mencapai shalat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul mi’rajul mu’minin“, “shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya shalat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah [ 2] : 45).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Imam Al Ghazali pernah ditanya, “bagaimana cara mengetahui, apakah shalat kita khusyuk atau tidak?”
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjawab, “tanda shalat yang khusyuk adalah tercegahnya pelaku shalat dari perbuatan keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika shalat Subuh seseorang khusyuk maka dia akan terjaga dari perbuatan nista dan jahat antara Subuh dan Dzuhur. Terus seperti itu sepanjang hari”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar