Orang yang sombong
Ada dari mereka yang menyatakan pendapatnya sebagai berikut,
***** awal kutipan *****
“Tidak ada orang-orang yg sanggup menyesatkan ibnu taimiyyah, ibnu wahhab, dan al-Albani kecuali golongan sufi yg sesat dan syiah jahat”
“Orang yang sombong adalah orang yang ingkar akan Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih dan menyelisihinya”
***** akhir kutipan *****
Pada kenyataannya, orang-orang yang sombong adalah orang-orang yang mengaku muslim namun selalu menganggap muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka telah mengingkari Al Qur’an dan As Sunnah
Pada hakikatnya orang-orang yang mengaku muslim namun memusuhi bahkan membunuhi muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi karena kaum yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla mempunyai rasa permusuhan terhadap umat Islam adalah kaum Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan zionis Yahudi menjadikan mereka sombong mengikuti kaum Yahudi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS Al Baqarah [2] : 87)
Mereka menjadi sombong dan mengabaikan siapapun yang mengingatkan atau memberikan petunjuk kepada mereka karena mereka hanya berpegang pada pemahaman atau pendapat mereka sendiri terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Upaya penyesatan umat Islam ditengarai dilakukan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi adalah dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Kesimpulannya kitab dasar atau kitab pokok aqidah ajaran atau paham Wahabi (wahabisme) adalah kitab Al Aqidah Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
Mereka terhasut dengan ungkapan, jargon atau propaganda seperti
“kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh karena mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk” sebagaimana contoh hasutan yang termuat pada http://asysyariah.com/mengapa-harus-manhaj-salaf/
Hasutan tersebut dilabeli dengan nama (istilah) manhaj salaf. Mereka mengatakan bahwa seseorang yang mengikuti manhaj salaf tersebut disebut dengan salafi atau as-salafi, jamaknya salafiyyun
Hasutan tersebut pada hakikatnya adalah hasutan atau ajakan untuk mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi).
Contohnya ada kita mendengar ucapan “anak muda” seperti “Jangan beragama berdasarkan katanya-katanya ulama tapi bacalah Al Qur’an dan Hadits”
Bahkan kita temukan “anak muda” yang mencela dengan celaan seperti “Bagaimana mau masuk surga kitab hadits saja tidak punya” atau “Bagaimana mau masuk surga jika tidak menguasai bahasa Arab”
Celaan tersebut datang dari “anak muda” yang sudah menguasai bahasa Arab dan dia telah membeli kitab-kitab hadits (itupun terjemahan) dan kemudian membacanya lalu mengatakan kepada orang ramai bahwa dia telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh. Tentulah “anak muda” tersebut tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh namun semata-mata karena dalam hadits tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in.
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Contoh bagimana mereka memahami hadits berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Salah satu pengikut firqah Wahabi yakni Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam 100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah (kitab karya Ibnu Taimiyyah) menyampaikan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong” tentu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits di atas.
Mereka menemukan “pertentangan” dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.
Mereka menemukan “pertentangan” ketika memahami “Allah turun ke langit dunia” dan di sisi lain mereka memahami bahwa Tuhan berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy sehingga mereka mengatakan “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Mereka meyakini bahwa Tuhan berbatas atau dibatasi oleh ‘Arsy namun ketika Tuhan turun ke langit dunia tidak menjadikan ‘ArsyNya kosong.
Allah Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah Ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahamannya.
Dengan arti kata lain segala pendapat atau pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada pertentangan di dalam pendapat atau pemahamannya.
Hal yang perlu kita ketahui bahwa bukanlah kaum sufi yang menetapkan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi adalah sesat dan menyesatkan melainkan oleh para fuqaha (ahli fiqih).
Kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dihadirkan dan dibacakan dalam persidangan yang memutuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan yang ditetapkan oleh qodhi empat mazhab yakni
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan : “Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari Kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara setelah sidang ke empat. Beliau wafat pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H. sebagaimana yang dikabarkan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.co.id/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Orang-orang yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy adalah orang-orang yang mengingkari dan mendurhakai Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/12/09/durhaka-kepada-allah/
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah bersabda “Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu, Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atas Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawah Mu”. (HR Muslim 4888)
Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata : “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Allah Ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy
Apabila diyakini Allah berada, bertempat atau menetap tinggi di langit atau di atas ‘Arsy setelah sebelumnya (pada ‘azal) tidak bertempat, maka Allah menyandang sifat Taghayyur (berubah) dari tidak bertempat menjadi bertempat di langit atau di atas ‘Arsy.
Menurut para ulama, at-Taghayyur (perubahan) merupakan sifat yang paling menonjol (dominan) pada makhluk. Semua makhluk pasti mengalami perubahan.
Begitupula secara logika, sesuatu yang berubah pasti Haadis (baru) dan setiap yang Haadis pasti makhluk (tercipta).
Sedangkan Allah adalah al-Khaliq (Pencipta) dan al-Qadiim/La Awwala Lahu (tidak didahului oleh permulaan) lawan dari al-Haadis/Lahu Awwalun (mempunyai permulaan). Maha Suci Allah dari sifat taghayyur.
Dalam Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat diketahui bahwa Allah itu bersifat Qidam (Maha Dahulu) dan mustahil Allah itu Huduts (baru)
Oleh karenanya mustahil Allah itu berubah dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy karena sifat berubah adalah sifat makhlukNya
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W. 321 H) menyatakan dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyah: Ta’ala ‘anil Hududi wal Ghayati wal Arkani wal A’dha’i wal Adawati La Tahwihil Jihatus Sittu Kasairil Mubtada’at, “Maha Suci Allah dari ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (Seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (Seperti mata dan lidah) Dia tidak diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)”.
Contoh uraian yang lebih lengkap tetang konsep ketuhanan firqah Wahabi dapat dibaca pada http://alvianiqbal.wordpress.com/2009/02/21/mengenali-konsep-ketuhanan-wahabi/
Buya Yahya dari lembaga pengembangan da’wah Al-Bahjah menjelaskan bahwa telah bermunculan kelompok orang yang mengaku dirinya salaf namun dia tidak mewakili salaf karena mereka memunculkan kesyirikan baru yakni beraqidah bahwa Allah berada atau bertempat atau menetap tinggi di langit atau di atas ‘arsy. Beliau menganjurkan untuk “mengusir” orang-orang yang berdakwah dengan bertanya di mana Allah, sebagaimana ceramahnya yang diupload pada http://www.youtube.com/watch?v=fS47nbe79wQ
Sedangkan hadits kisah budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk i’tiqod karena pertanyaan “di mana” atau “bagaimana” tidak patut disandarkan kepada Allah ta’ala.
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya:“Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Begitupula hadits kisah budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada kenyataannya dalam kitab hadits Muslim tidak diletakkan pada bab iman melainkan pada tentang sholat karena hal pokok yang disampaikan oleh hadits tersebut adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan kisah budak Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”. Jadi redaksi/matan kisah budak Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi
Kisah budak pada jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari Abu Hurairah yang dimuat Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di dalam Bab zhihar dikatakan membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman.
Artinya redaksi (matan) kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat. Selain itu redaksi (matan) kisah budak Jariyah dapat pula dipengaruhi keadaan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasulullah karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasululullah ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya. (DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010)
Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.
Jelaslah dalam pendapat Imam Syafi’i di atas bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala atau tidak.
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.
Syaikh Nawawi al Bantani berkata, Barang siapa meninggalkan 4 kalimat maka sempurnalah imannya, yaitu
1. Dimana
2. Bagaimana
3. Kapan dan
4. Berapa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Dimana Allah ? Maka jawabnya: Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Bagaimana sifat Allah ? Maka jawabnya: Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Kapan adanya Allah ? Maka jawabnya: Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Ada Berapa Allah ? Maka jawabnya : Satu Sebagaimana firman Allah Ta`ala di dalam Qalam-Nya Surat Al-Ikhlas ayat pertama : “Katakanlah olehmu : bahwa Allah itu yang Maha Esa (Satu).
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Bagaimana Dzat dan sifat Allah ? Maka jawabnya : Tidak boleh membahas Dzat Allah Ta`ala dan Sifat-sifatNya, karena meninggalkan pendapat itu sudah termasuk berpendapat. Membicarakan Zat Allah Ta`ala menyebabkan Syirik. Segala yang tergores didalam hati anda berupa sifat-sifat yang baru adalah pasti bukan Allah dan bukan sifatNya.
Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti
“Allah wujud (ada) di mana mana”
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
“Hakekat alam dan isinya atau atau semua yang terlihat oleh mata, hakekatnya adalah wujud Allah”
Bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa dengan kita memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah maka kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala
Manusia mengenal Allah (makrifatullah) melalui tanda-tanda kekuasaanNya yang merupakan ayat-ayat kauniyah yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Keberadaan atau wujud Allah bukan dengan cara menempatkanNya disuatu tempat seperti di langit atau di atas ‘Arsy namun dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah juga telah melarang kita untuk memikirkan atau menanyakan tentang DzatNya dan menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Jadi mereka bertambah ilmu agama secara otodidak (shahafi) tetapi semakin jauh dari Allah dan mereka juga menempatkan tuhan mereka di tempat yang jauh.
Rasulullah telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Akhlak seseorang akan mengikuti siapa yang diteladaninya.
Berikut kutipan perkataan salah seorang ulama panutan mereka yakni al-Albani dalam kata pengantar cetakan pertama kitabnya Shahih al-Kalim ath-Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke-1 tahun 1390 H sebagaimana yang diinformasikan pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/08/26/nashiruddin-al-albani-ulama-wahhabi-yang-merasa-lebih-mengerti-ilmu-hadits-daripada-imam-bukhari-imam-muslim-dan-ulama-muhaddits-lain/
***** awal kutipan ******
“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka tinggalkanlah hadits tersebut.”
Perhatikan, dari perkataan al-albani diatas (perhatikan juga bahwa tata bahasa arab yang beliau gunakan dalam beberapa kalimat terakhir di atas juga sedikit kacau balau, namun meskipun susunannya kacau balau masih dapat ditangkap maksudnya) dapat dipahami bagaimana al-albani memposisikan dirinya sebagai ahli hadits yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang terdahulu. Dia melarang umat muslim untuk mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam muhaddits besar seperti al-Imaam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain terkecuali setelah ada komentar dari al-albani bahwa hadits-hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-albani. Jika tidak dikatakan shohih oleh al-albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan atau tidak boleh diamalkan sama sekali.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, Apakah kapasitas keilmuan al-albani lebih jauh hebat daripada ulama’-ulama’ muhaddits terdahulu? Sedangkan ulama’ – ulama’ ahli hadits yang mu’tabar tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Coba bandingkan dengan masa kehidupan al-albani di abad 20 Masehi ini yang sangat jauh dari masa Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam?
Dari statement singkat al-albani yang tercantum di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat disimpulkan juga bahwasanya menurut al-albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada “embel-embel” dishahihkan oleh al-albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun hadits tersebut tercantum di dalam kitab-kitab hadits tershohih sekalipun seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
***** akhir kutipan ******
Jadi Albani karena merasa sebagai ahli hadits sehingga melarang para pengikutnya mengamalkan hadits-hadits yang belum ada “komentar Albani”
Albani dalam dialog dengan Syaikh al Buthi sebagaimana informasi dalam tulisan pada http://www.piss-ktb.com/2013/09/2799-mengkritisi-madzhab-panggilan-hati.html?m=0 menyatakan pendapatnya sebagai berikut
“”Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim (pandai) dari mereka
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Pada kenyataannya sudah sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai mujtahid mutlak bersumber dari hadits yang terbukukan dalam kitab-kitab hadits karena jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Dalam kitab yang diatasnamakan sebagai “sifat sholat Nabi” baik Al-Albani maupun para pengikutnya “meninggalkan” Imam Mazhab yang empat, salah satunya karena salah memahami potongan perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka yang terhasut meninggalkan Imam Mazhab yang empat seperti dengan potongan perkataan Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Begitupula ulama panutan mereka lainnya, Muhammad bin Abdul Wahhab berkata “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya) sebagaimana pula yang termuat di kalangan mereka sendiri pada http://thoifah-manshurah.blogspot.co.id/2012/03/surat-syaikh-muhammad-ibnu-abdil-wahhab.html
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gamblang dan dengan kesombongannya, menyebutkan tidak ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha illalah sebelum ia merasa menerima karunia Allah.
Dengan pengakuannya bahwa memperoleh pengetahuan tentang Islam dan makna la ilaha ilalah bukan dari para gurunya membuktikan bahwa pengetahuan tersebut adalah pemahamannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri.
Pada hakikatnya kita tidak boleh merasa selain kita tidak mendapatkan petunjukNya karena setelah Rasulullah wafat yang menjaga agama Allah sampai akhir zaman adalah para kekasih Allah (Wali Allah) dan Imamnya
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut ulama dari kalangan otodidak (shahafi) yakni Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang mereka sampaikan pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Kesombongan Muhammad bin Abdul Wahahb mengingatkan kita kepada salah seorang murid dari Ibn Taimiyah yang bertemu muka yakni Al-Hâfizh adz-Dzahabi .
Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagaimana contoh kabar pada http://abuolifa.wordpress.com/2015/01/12/nasehat-adz-dzahabi-atas-keasombongan-ibnu-taimiyah/
Berikut kutipan selanjutnya
***** awal kutipan *****
“Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
****** akhir kutipan *******
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak bertemu muka alias melalui kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sehingga Beliau tidak melihat akhlak ulama yang diikutinya sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang mereka sampaikan di atas bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab pada awalnya berguru dengan ulama yang mumpuni namun menjadi tidak berarti apa-apa jika pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) karena artinya sanad ilmu (sanad guru) terputus hanya sampai akal pikirannya semata.
Sebagaimana yang mereka sampaikan di atas , mereka mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah “duplikat Ibnu Taimiyyah” sedangkan Albani adalah “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang membuat syair-syair pujian bagi Al Albani sebagaimana yang termuat dalam buku edisi bahasa Indonesia berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam Kenangan” yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary dan diterbitkan oleh At-Tibyan – Solo dan dapat diunduh (download) pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Dalam buku tersebut memuat bab khusus yakni Bab VII dengan judul “Syair-syair duka cita melepas kepergian Syaikh Al-Albani” dimulai dari halaman 138 dan pada halaman 147 mereka memuji Al Albani sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” dengan kalimat “Ibnu Taimiyyah tidak memiliki generasi pengganti yang lebih bernyawa, daripada Syaikh As-Sunnah Al-Albani orangnya”
Begitupula Al Albani walaupun pada awalnya berguru dengan ulama yang mumpuni namun pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html atau pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
***** akhir kutipan *****
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/radikal-al-qaeda-dan-isis/
Muslim tapi radikal adalah orang-orang yang mengaku muslim tapi bersikap radikal yakni mereka yang menyalahkan atau menganggap sesat atau bahkan menuduh telah musyrik , laknatullah atau “bukan Islam” atau kafir terhadap muslim lain yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka bangkrut di akhirat kelak sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/11/27/orang-yang-bangkrut/
Bahkan ada orang-orang yang mengaku muslim tapi bersikap teroris yakni mereka yang menganggap muslim lain yag tidak sepaham (sependapat) dengan mereka telah halal darahnya sehingga mereka membunuhnya.
Muslim tapi teroris atau muslim tapi radikal adalah mereka yang merasa bahwa hanya mereka dan kelompok mereka saja yang mendapatkan petunjukNya sedangkan selain mereka tidak mendapatkan petunjukNya.
Muslim tapi teroris atau muslim tapi radikal merasa dengan amal ibadahnya termasuk yang dianggap mereka sebagai jihad fi sabilillah pasti masuk surga sedangkan orang-orang yang mereka bunuh pasti masuk neraka.
Bahkan karena sangat yakin akan masuk surga, seorang teroris mengaku menggunakan pelindung kemaluan dari baja metal, tujuannya jika melakukan bom bunuh diri kemaluannya tidak rusak untuk keperluan bertemu 72 bidadari surga sebagaimana yang dikabarkan pada http://pskpiyunganonline.blogspot.co.id/2015/11/teroris-ini-memakai-pelindung-baja.html
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)
Apalagi jika apa yang mereka sangkakan amal ibadah mereka diterima oleh Allah namun ternyata sebaliknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu tentang ayat yang paling menakutkan yakni firman Allah Ta’ala yang artinya, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong (QS An Nisa [4]:123)
Apalagi kita masuk surga bukan semata karena amal perbuatan yang kita hadapkan kepadaNya namun karena keridhoan Allah Ta’ala sehingga mendapatkan rahmatNya
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits, “Lan yadhula ahadukumul jannata bi ‘amalihi”. Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya semata-mata. Kemudian salah seorang bertanya, “Wa laa anta yaa Rasuulallaahi?” Tidak pula engkau ya Rasulullah? Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Wa laa anaa illa an yataghamada niiyallaahu bi rahmatih” Tidak juga aku, melainkan Allah mengkaruniai aku dengan rahmat-Nya
Firman Allah Ta’ala, “..Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS an Nuur : 21)
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada para ulama Allah yakni para wali Allah, suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).
Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :
Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata (rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.
Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (1/698-699)].
Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45).
Alhamdulillah , umat Islam pada umumnya dan khususnya di negeri kita mendapatkan pengajaran agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah yang berasal dari Hadramaut, Yaman
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
****** akhir kutipan ******
Contoh silsilah para Wali Songo pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg
Para wali Songo didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, berbaur dengan budaya yang ada adalah hasil (output) dari metode pemahaman dan istinbath (menetapkan hukum perkara) mengikuti Mazhab Syafi’i sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/pegangan-mazhab-syafii/
Jadi selama budaya atau adat tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Oleh karenanya sebaiknya mensyaratkan bagi pondok pesantren, institut atau universitas Islam, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar