Kita berbeda pendapat dengan firqah Syiah sedangkan dengan mereka berbeda aqidah
Banyak pihak yang menyampaikan hasil kajian tentang bentuk-bentuk kesesatan firqah Syiah namun sebaiknya tidak menggeneralisir bahwa seluruh warga syiah, anak kecil, para pemuda dan pemudi, orang dewasa, pria maupun wanita pasti berada dalam kesesatan-kesesatan tersebut
Habib Rizieq Shihab menasehatkan bahwa jangan ada sikap gebyah uyah dengan “penggeneralisiran” semua Syiah, pasti Ghulat dan pasti Roofidhoh, sehingga semuanya pasti kafir dan murtad atau sesat. Sikap seperti itu sangat gegabah dan amat tidak ilmiah, serta bukan sikap Aswaja sebagaimana yang disampaikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Habib Rizieq Syihab menyampaikan bahwa sekte (firqoh) syiah maupun wahabi masing-masing terbagi kedalam 3 bagian
****** awal kutipan *****
SYIAH
Pertama, SYI’AH GHULAT yaitu Syi’ah yang menuhankan/menabikan Ali ibn Abi Thalib RA atau meyakini Al-Qur’an sudah di-TAHRIF (dirubah/ditambah/dikurangi), dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB ISLAM. Syi’ah golongan ini adalah KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, SYI’AH RAFIDHOH yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan seperti Ghulat, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan atau pun tulisan terhadap para Sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar RA dan Umar RA atau terhadap para isteri Nabi SAW seperti ‘Aisyah RA dan Hafshah RA. Syi’ah golongan ini SESAT, wajib dilawan dan diluruskan.
Ketiga, SYI’AH MU’TADILAH yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan Ghulat dan tidak bersikap Rafidhah, mereka hanya mengutamakan Ali RA di atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan riwayat Ahlul Bait daripada riwayat yang lain, secara ZHOHIR mereka tetap menghormati para sahabat Nabi SAW, sedang BATHIN nya hanya Allah SWT Yang Maha Tahu, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan. Syi’ah golongan inilah yang disebut oleh Prof. DR. Muhammad Sa’id Al-Buthi, Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai salah satu Madzhab Islam yang diakui dan mesti dihormati. Syi’ah golongan ketiga ini mesti dihadapi dengan DA’WAH dan DIALOG bukan dimusuhi.
WAHABI
Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim, lalu bersikap MUJASSIM yaitu mensifatkan Allah SWT dengan sifat-sifat makhluq, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB ISLAM. Wahabi golongan ini KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, WAHABI KHAWARIJ yaitu yang tidak berkeyakinan seperti Takfiri, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan mau pun tulisan terhadap para Ahlul Bait Nabi SAW seperti Ali RA, Fathimah RA, Al-Hasan RA dan Al-Husein RA mau pun ‘Itrah/Dzuriyahnya. Wahabi golongan ini SESAT sehingga mesti dilawan dan diluruskan.
Ketiga, WAHABI MU’TADIL yaitu mereka yang tidak berkeyakinan Takfiri dan tidak bersikap Khawarij, maka mereka termasuk MADZHAB ISLAM yang wajib dihormati dan dihargai serta disikapi dengan DA’WAH dan DIALOG dalam suasana persaudaraan Islam.
***** akhir kutipan *****
Pada masa sekarang boleh dikatakan tidak ada lagi Syiah Ghulat yang menuhankan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Pada kenyataannya mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) pada masa sekarang yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat berbeda pendapat dengan firqah Syiah sedangkan dengan mereka berbeda aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Rizieq Shihab di atas adalah mereka yang bersikap mujassim yaitu mensifatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluq, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari ushuluddin yang disepakati semua mazhab Islam
Untuk itulah umat Islam seperti di Malaysia sudah mulai bertaubat dari aqidah firqah Wahabi sebagaimana arsip berita pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/31/taubat-dari-wahabi/
Berikut kutipan alasan bertaubatnya
****** awal kutipan ******
Pada tahun 2012, setelah saya mula menguasai sedikit bahasa Arab, saya mula meneliti kembali tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabi Salafi), terutamanya karya terbesar beliau, ‘Kitab At-Tawhid’. Di situ saya merasakan adanya tanaqudh dalam cara mereka memahami tentang istawa dan ma’iyah Allah. Kononnya, mereka tidak terima takwil dan ambil zahir nas, tetapi hakikatnya tidak. Jadi saya mula memutuskan hubungan dan menjauhkan diri dari rakan-rakan ‘sunnah’ saya.
***** akhir kutipan *****
Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf menjelaskan bahwa,
“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Oleh karenanya sebaiknya mensyaratkan bagi pondok pesantren, institut atau universitas Islam, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/
Orang-orang yang bertaubat dari aqidah firqah Wahabi salah satunya karena mereka menyadari bahwa mereka setelah mengikuti firqah Wahabi menjadikan mereka sombong sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/17/paham-menjadikan-sombong/
Mereka menganggap semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka adalah menyelisihi Rasulullah
Mereka merasa telah berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah namun permasalahannya cara mereka “berpegang teguh” adalah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Rasulullah telah bersada bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Pada kenyataannya umat Islam berselisih karena berbeda pendapat bahkan sampai saling membunuh (bunuh membunuh) sehingga umat Islam hancur dari dalam dan meruntuhkan ukhuwah Islamiyah adalah diakibatkan orang-orang yang merasa benar sehingga merasa pasti masuk surga padahal mereka mengikuti Al Ashaaghir yakni ulama yang memahami Al Qur;an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/14/ahli-membaca-hadits/
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Walaupun ulama panutan mereka pada awalnya berguru dengan guru-guru yang memiliki sanad guru (susunan guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/sanad-tak-berarti/
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Oleh karenannya janganlah mengikuti salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/05/termasuk-salaf/
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan mereka disebut dengan khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan ada yang berujung menghalalkan darah atau membunuhnya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/09/menghalalkan-darah-muslim/
Orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka berakhlak baik
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,
****** awal kutipan *****
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
***** akhir kutipan *****
Dari riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka “menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.
Tanda orang-orang yang mengikuti Rasulullah adalah bersikap ramah, penuh kasih, mencintai orang-orang miskin dan papa, lemah lembut penuh perhatian dan mencintai saudara muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah adalah
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada para ulama Allah yakni suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Jadi kesimpulannya bahwa salaf yakni orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim walaupun mereka mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Seseorang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima.
Apa yang menyebabkan amal ibadah tidak diterima ?
1. Amal ibadah tidak diterima karena tidak mengenal Tuhan yang disembah.
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Mereka yang belum mengenal Allah (makrifatullah) dapat disebabkan karena mereka memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.
Akibat mereka dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir adalah ibadah mereka tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla karena ibadah mereka bukan kepada Tuhan yang sebenarnya, layaknya orang yang menyekutukan Tuhan karena beribadah kepada tuhan yang disangkakan menurut akal pikiran mereka sendiri.
Imam Ja’far As Shadiq berkata : “Barang siapa yang mengatakan bahwa Tuhan bertempat di mana mana atau bertempat di atas sesuatu atau berasal daripada sesuatu maka dia telah syirik” (menyekutukan Allah dengan sesuatu yang diyakininya)
Mereka beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/02/04/bagaimanakah-bentuk-allah-swt-itu/
****** awal kutipan ******
1] Allah Ta’ala memiliki tempat kediaman (‘Arsy);
2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;
3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya, namun Dia selalu bersama kita dimana pun kita berada.
4] Allah Ta’ala mempunyai bentuk;
5] Wujud Nabi Adam As (wujud manusia) tercipta sebagaimana wujud Allah;
6] Allah Ta’ala juga mempunyai ruh;
7] Allah Ta’ala memiliki pembatas;
8] Allah Ta’ala memiliki wajah;
9] Allah Ta’ala memiliki pantat;
10] Allah Ta’ala mempunyai pinggang;
11] Allah Ta’ala memiliki tangan kiri dan tangan kanan
12] Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan;
13] Allah Ta’ala mempunyai lima jari;
14] Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga;
15] Allah Ta’ala memiliki kaki;
16] Allah Ta’ala memiliki betis;
17] Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia;
18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;
19] Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap tengah malam;
20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas mimbar;
21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;
22] Allah Ta’ala akan cemburu jikalau Dirinya tidak disembah;
23] Allah Ta’ala juga bisa tertawa
****** akhir kutipan *****
Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tuhan mereka berambut keriting dan berpakaian warna hijau,
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Silahkan periksa tulisan dari kalangan ulama panutan mereka, Abdul Hakim bin Amir Abdat seperti yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ di bagian akhir tulisan menuliskan kesimpulan bahwa Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Silahkan baca pula informasi tentang pendapat ulama panutan mereka lainnya, Ibn Baz (Muhammad bin Abdul Aziz bin Baz) bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, seperti yang disampaikan pada http://abuolifa.wordpress.com/2012/12/21/menurut-wahabi-salafi-allah-memiliki-dua-tangan-keduanya-adalah-kanan/
Dalam kitab yang berjudul Fatawa al Aqidah karya Muhammad ibn Shalih al Utsaimin hal. 112 ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah datang dengan sebenar-benar datang.” Dan pada hal. 114 ia mengatakan: “Sesungguhnya dhahirnya terdapat kedatangan Allah dengan bergegas dan ini tidak mustahil bagiNya, jadi Dia benar-benar datang”.
Ibnu Utsaimin berkata, “Mazhab Ahlussunah adalah: Bahwa Allah memiliki dua mata, Dia melihat dengan keduanya secara hakikat sesuai dengan kedudukan yang layak bagi-Nya. Keduanya merupakan sifat dzatiyah.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/58)
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48)
Dan dalam kitab yang berjudul Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah cetakan Yayasan Cordoba al Andalus hal. 14-15 Ibn Utsaimin mengatakan: “Kami beriman bahwa Allah memiliki dua mata dengan sebenarnya”. Ia juga mengatakan: “Ahlussunnah telah bersepakat bahwa mataNya ada dua”.
Dalam kitab yang berjudul Tafsir ayat al Kursiy karya Muhammad ibn Utsaimin hal. 27 disebutkan: “Dan kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah azza wa jalla.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) yang diketuai Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwa Nomor 2331 menetapkan bahwa Nabi Adam AS diciptakan dalam bentuk Allah Yang Maha Pengasih sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/07/dalam-bentuknya/
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah
Jadi jelaslah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat berbeda pendapat dengan firqah Syiah sedangkan dengan mereka berbeda aqidah
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
2. Amal ibadah tidak diterima karena suka menampakkan “bekas” amalnya
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian ialah syirik kecil”. Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?” Jawab Beliau, “Riya’ ”. (H.R. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Dari Abu Sa’id dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami, sementara kami saling mengingatkan tentang Al Masih Ad Dajjal, maka beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajjal ?” Abu Sa’id berkata, “Kami menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan shalat dan membaguskan shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya.” (Hadits Hasan. Sunan Ibni Majah 4204)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tami suka menampakkan “bekas’ amalnya karena salah memahami firman Allah seperti yang artinya
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Tafsir Ibnu Katsir mengatakan: dalam menafsirkan “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka” Ibnu Abbas mengatakan perilaku yang baik. Mujahid dan lainnya mengatakan khusyu’ dan tawadhu’. (Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Juz. VII, Hal. 337)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi yang artinya “Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud” (Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
3. Amal ibadah tidak diterima karena diperangi Allah
Seseorang dapat diperangi Allah, contohnya karena salah memahami hadits “janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid” sehingga mereka benci atau memusuhi para wali Allah yang kuburannya di dalam atau di sisi masjid sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku telah mengumumkan peperangan terhadapnya.” (HR. Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a.).
4. Amal ibadah tidak diterima karena dilaknat Allah
Seseorang dapat dilaknat Allah, contohnya karena salah memahami hadits “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka (HR Muslim)
Dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=4FIZCE3Tmx8 pada menit ke 37:20 , salah seorang ulama panutan mereka, Khalid Basalamah ketika menjawab pertanyaan “apakah Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk orang kafir ?”
Beliau menjawab “Ya, Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggal dalam keadaan menyembah berhala”
Prof, DR Ali Jum’ah, mantan mufti agung Mesir dalam kitab berjudul “Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammiqadlayahum” yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Khatulistiwa Press (http://www.khatulistiwapress.com) dengan judul Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ yang berisikan jawaban ilmiah terhadap pemahaman dan cara dakwah kaum “salafi-wahabi”, pada Bab 12 mulai halaman 173 sampai dengan halaman 184 telah diuraikan tentang kesalahpahaman mereka dalam memahami al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka mengklaim kedua orang tua Rasulullah sebagai ahli neraka di hari kiamat.
Orang Arab yang dijelaskan dalam ilmu tata bahasa Arab bahwa ketika menyebut kata ayah, dapat pula yang dimaksud adalah paman.
Contohnya firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan ? sesungguhnya aku meihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata “(QS Al An’am [6]:74)
Para ahli tafsir atau mufassirin telah menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan “Abiihi” (bapaknya) ialah “pamannya” karena ayahnya Nabi Ibrahim alaihisalam sebenarnya bernama Tarih atau Tarikh.
Telah berkata sebagian ulama: “Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin ‘Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan”. (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka.
Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seseorang berkata: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka’, maka berdirilah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan marah, kemudian berkata yang artinya: “Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah”
Kesimpulannya, amal ibadah tidak diterima dapat disebabkan karena berpendapat atau berfatwa tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar