Makna ayat yang artinya para Malaikat naik kepadaNya
Berikut kutipan pendapat atau pernyataan mereka dari sebuah group diskusi di jejaring atau media sosial Facebook http://www.facebook.com/groups/martalaksana77/permalink/2041641309483883/
***** awal kutipan *****
Para Malaikat dan Jibril saja “NAIK” untuk menghadap TUHANnya Wahhabi yang Bersemayam diatas Arsy.
Lalu bagaimana caranya .. para Malaikat dan Jibril jika ingin menghadap tuhannya ahlulbid’@h…? Yang katanya ada tanpa tempat dan arah…
***** akhir kutipan *****
Pendapat atau pernyataan tersebut berdalilkan terjemahan atau arti ayat Al Qur’an dari surat Al Ma’arij [70] ayat ke 4.
Sebaiknya janganlah mengikuti orang-orang yang secara terang-terangan melanggar larangan Rasulullah yakni mereka memahami atau “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Begitupula untuk mendalami ilmu agama dan apalagi perkara i’tiqod (aqidah) tidak boleh secara otodidak (shahafi) karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Dalam mendalami ilmu agama dan apalagi perkara i’tiqod (aqidah) tidak cukup dengan kitab tafsir atau terjemahan Al Qur’an dari SUDUT ARTINYA saja yang umumnya dijumpai pada kitab tafsir yang menggunakan metodologi tafsir bil matsur yakni sekedar menyampaikan ARTI ayat Al Qur’an dan Hadits maupun pendapat ulama yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan.
Berbeda dengan kitab tafsir seperti kitab tafsir Jalalain yakni kitab tafsir yang lebih menonjolkan pembahasan mengenai penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya dan bacaannya.
Dengan kata lain, menonjolkan penganalisaan mengenai ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan segi qiraahnya.
Penguasaan terhadap ilmu-ilmu tersebut merupakan prasyarat untuk memahami Al Qur’an dan Hadits dengan pemahaman yang benar karena ilmu nahwu, sharaf, balaghah terbentuk dari sumber referensi bahasa Arab yang asli.
Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 menyampaikan bahwa fuqaha (ahli fiqih) As Syaikh Al Imam Ibnu Abdis Salam atau Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan BID’AH WAJIB yakni BID’AH HASANAH yang hukumnya WAJIB adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat memahami Al Qur’an dan Hadits
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
As Syaikh Al Imam Ibnu Abdis Salam, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abu al-Qasim bin al-Hasan bin Humman al-Salami al-Dimasyqi al-Syafi’i. Dilahirkan di Damaskus pada tahun 577 H. Riwayat lain menyebutkan beliau lahir pada tahun 578 H sebagaimana contoh informasi pada http://nahdlatululama.id/blog/2017/12/20/syekh-izzudin-bin-abdussalam/
Nama asli Imam Izzuddin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad adalah nama kunyah beliau, sedangkan “Izzuddin” (kemuliaan agama) merupakan gelar yang diberikan beliau berkat kepakarannya dalam agama. Beliau juga disebut Sulthan al-Ulama (pemuka para ulama’). Gelar ini diberikan oleh muridnya, Ibnu Daqiq al-‘Id sebagai bentuk penghargaan atas atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya.
Berikut kutipan dari kitab Tafsir Jalalain, penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1159, juz 29, QS Al Ma’arij [70]: 4
***** awal kutipan *****
( Naiklah ) – تعرج
dapat dibaca ta`ruju dan ya`ruju – بالتاء والياء
( malaikat-malaikat dan Jibril) لملائكة والروح
Malaikat Jibril جبريل
( kepada-Nya ) إليه
kepada tempat turun bagi perintah-Nya di langit إلى مهبط أمره من السماء
***** akhir kutipan ******
Silahkan periksa kitab tafsir Jalalain secara online contohnya pada http://ibnothman.com/quran/surat-al-maarij-dengan-terjemahan-dan-tafsir
Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA
Ayat yang ARTINYA “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepadaNya” (QS Al Ma’arij [70]: 4) MAKNANYA adalah “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada tempat turun bagi perintah-Nya di langit”
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi dalam Ittihaf, jilid 5, hal 244 menjelaskan bahwa mengangkat tangan ke langit saat berdoa maupun para malaikat naik kepada-Nya adalah karena
***** awal kutipan ******
langit itu adalah tempat turunnya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkatnya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”
**** akhir kutipan *****
Jadi mengangkat tangan ke langit saat berdoa bukanlah berarti bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Para ulama telah sepakat bahwa sesungguhnya mengangkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Imam Nawawi berkata: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Dari pernyataan mereka bahwa “Para Malaikat naik untuk menghadap TUHANnya Wahhabi” menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut firqah atau paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Pada kenyataannya mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti manhaj atau mazhab Salaf namun hidup di zaman khalaf yakni di atas 300 H adalah PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Rasulullah telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka yang memahami Al Qur’an dan Hadits secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN sebagaimana perlakuan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan mencela atau menghardik Rasulullah.
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Jadi masuk akallah atau logislah kalau orang-orang pada ZAMAN NOW (masa sekarang) yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN dan menyalahkan, menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan umat Islam karena “nenek moyang mereka” yakni Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim menyalahkan Rasulullah.
Mereka sendiri yang mengatakan bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah adalah seorang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari tulisan kalangan mereka pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits mereka, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti atau tidak akan berguna karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ada seseorang bertanya kepada Albani: “Apakah anda ahli hadits (muhaddits)?”
Albani menjawab: “Ya!”
Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”
Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”
Lalu Albani terdiam. (dari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6)
Jadi ulama panutan mereka, Albani mengakui bahwa beliau bukan penghafal hadits.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya.
Ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi Hadits yakni Tabi’ut Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat yang mendapatkannya atau meriwayatkan dari lisannya Rasulullah.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Begitupula berdasarkan pengalaman kami berdiskusi di jejaring atau media sosial Facebook dengan para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah adalah mereka memahami Al Qur’an dan Hadits secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran sendiri sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN yakni suka menghamburkan celaan, menyalahkan, menganggap sesat bahkan mengkafirkan umat Islam.
Mereka tampaknya meneladani ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana yang disampaikan oleh muridnya sendiri, Adz Dzahabi dalam nasehatnya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Berikut kutipan nasehatnya,
***** awal kutipan *****
“Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.
****** akhir kutipan *******
Kutipan lainnya
******* awal kutipan *********
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?!
Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
****** akhir kutipan *****
Kutipan lainnya
******* awal kutipan *******
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
******* akhir kutipan *******
Apa yang digambarkan oleh Adz Dzahabi terhadap gurunya yakni Ibnu Taimiyyah tampaknya sesuai dengan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”
Jadi pada kenyataannya mereka yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah selain karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN adalah karena mereka menghina atau durhaka kepada Allah Ta’ala yakni mereka “menjauhkan” Allah Ta’ala dalam arti “menempatkan” Allah Ta’ala di tempat yang jauh.
Mereka mengatakan bahwa seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah sebagaimana contoh tulisan mereka yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Berikut percakapan antara mbah Lalar dengan kang Bangkak yang meyakini (beri’tiqod) bahwa Tuhan nya bertempat di langit
“Mau kemana kang Bangkak pagi pagi sudah membawa cangkul “ sapa mbah Lalar yang bikin kaget kang Bangkak
“Mau menggali sumur mbah“ jawab kang Bangkak
“Kenapa engkau melakukan hal hal yang dapat menjauhkan mu dari Tuhan?” ucap mbah Lalar sambil tersenyum.
“Maksudnya bagaimana mbah?” Kang Bangkak mulai bingung
“Bukankah Tuhan mu ada di langit? “
“Iya, lantas?”
“Kenapa engkau menggali sumur ? Bukankah itu bisa menjauhkan mu dari langit?
“Haaaa ?!?” Kang Bangkak pun langsung pergi dengan wajah sewot.
Mereka yang beri’tiqod atau beraqidah bahwa “Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah” dikoreksi oleh Rasulullah dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah yakni
لا تفضلوني على يونس بن متى
“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”
Imam Malik menjelaskan bahwa
****** awal kutipan *****
Rasulullah secara khusus menyebut Nabi Yunus dalam sabdanya, tidak menyebut Nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih (Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat).
Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.
Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”.
****** akhir kutipan ******
Penjelasan Imam Malik tersebut disampaikan oleh
1. Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa
2. Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.
3. Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin.
dan lain lainnya.
Begitupula Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan:
***** awal kutipan *****
“Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?”
Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”
Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah Ta’ala memberitakan tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
***** akhir kutipan *****
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:
***** awal kutipan *****
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Janganlah kamu menganggap aku lebih utama daipada Nabi Yunus bin Matta , maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama.
***** akhir kutipan *****
Para ulama terdahulu, seperti Al-Hafizh al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506 menjelaskan bahwa sabda Rasulullah,
فلَيس دونك شيء
yang artinya “Tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” dan berarti pula “tidak ada Arsy di bawah-Mu” adalah salah satu dalil untuk menafikan tempat bagi Allah.
Berikut kutipan penjelasan Al-Hafizh al Baihaqi selengkapnya terhadap sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
وأنت الظاهر فليس فوقك شيء ، وأنت الباطن فليس دونك شيء
***** awal kutipan ******
والذي روي في اخر هذا الحديث إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى, وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء, وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة, الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء, وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
“….Dan yang disebutkan di akhir hadits adalah indikasi penafian tempat bagi Allah dan seorang hamba di mana pun berada maka jauh dan dekatnya ia kepada Allah itu sama saja, Allah Ta’ala, adalah Adz-Dzahir – maka Dia bisa di ketahui dengan bukti-bukti (dalil) , Allah adalah Al-Bathin -. maka Dia tidak bisa diketahui dengan tempat ” dan telah berdalil sebagian sahabat kami (ahlus sunnah) dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam, Engkau Ad Dzahir maka tidak ada apa-apa di atas engkau dan Angkau Al Bathin maka tidak ada apa-apa di bawah Engkau “jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.
***** akhir kutipan *****
Para ulama terdahulu ada yang mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyyah, salah satunya karena beliau memaknai kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dimaknai dengan makna dzahir seperti ISTAQARRA yakni berada, bertempat, menetap tinggi sehingga terjerumus MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah sebagaimana contoh kabar dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan,
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak dahulu kala itu dan kaitannya dengan hukum tidak sah sholat dibelakang para pengikut i’tiqod (akidah) Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana tulisan mereka pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani mencontohkan HAL YANG BURUK atau KEBID’AHAN dari Ibnu Taimiyyah bukanlah dalam perkara furu’iyah namun dalam perkara pokok yakni i’tiqod atau akidah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya berjudul Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan contoh kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah Ibnu Taimiyyah mensifatkan atau MEN-JISM-KAN Dzat Allah. Di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya sebagaimana yang diinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html
**** awal kutipan ****
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah,
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-akidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya.
Di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhususan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
**** akhir kutipan ****
Oleh karenanya kita umat Islam pada umumnya prihatin melihat mereka yang masih ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) mengikuti para ulama panutan mereka yang berdusta.
Padahal sudah jelas kedustaan para ulama mereka yakni mereka mengaku-ngaku TANPA TAKWIL namun pada kenyataannya terhadap ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM oleh mereka di-TAKWILKAN yakni diterjemahkan dan dimaknai DENGAN MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya bertempat atau menetap tinggi di langit ( FIS SAMA’ ) atau di lain waktu mengatakan di atas Arsy atau bahkan ada yang mengatakan di Sidratul Muntaha.
Tidak ada ulama yang menterjemahkan dan mengartikan ISTAWA adalah BERADA, BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI
Para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menterjemahkan atau mengartikan ISTAWA adalah BERSEMAYAM namun kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM mempunyai dua makna yakni MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan)
MAKNA DZAHIR dari kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM adalah DUDUK atau BERTEMPAT dan tentu MAKNA seperti ini tidak patut atau tidak layak disifatkan bagi Allah Ta’ala karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod (akidah).
Makna kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yang patut atau layak disifatkan bagi Allah Ta’ala adalah dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni MENGUASAI.
Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa ada dua cara memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yakni
1. Tafwid yakni membiarkan khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya maksudnya membiarkan sebagaimana LAFAZnya dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah Ta’ala
2. Ta’wil dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni berkuasa karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Semua bahasa di dunia ini pasti mengakui keberadaan makna majaz (makna kiasan).
Ustadz Abdul Somad mencontohkan “Bapak Drs H M. Abdullah Msc duduk di singgasana Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia duduk di singgasana sepanjang dua periode namun maknanya dia berkuasa selama dua periode.
Saksikan penjelasan beliau selangkapnya dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=r5MTZUZneBw
Ustadz Abdul Somad juga mengingatkan bahwa tak layak ditanya Dia berada di mana sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/06/08/tak-layak-tanya-di-mana/
Dalam tulisan tersebut dimuat pula penjelasan para ulama terdahulu bagaimana cara memahami hadits panjang yang terdiri dari beberapa bagian yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.
Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sebagai hadits mudhtharib atau hadits kacau (guncang) matan (redaksinya) HANYA KHUSUS pada bagian kisah budak Jariyah BUKAN KESELURUHAN hadits.
Begitupula Imam Muslim tidak menganggap hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tersebut sebagai landasan i’tiqod (aqidah) bagi kaum muslim karena Imam Muslim tidak meletakkan hadits tersebut pada bab aqidah atau keimanan.
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Salah satu alasan para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan hadits panjang terdiri dari beberapa bagian yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah adalah hadits mudhtharib karena pertanyaan “Di mana” tidak boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala.
Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,
وقال سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف” (رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,
إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
(رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣)
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam kitab al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333
Oleh karenanya para ulama terdahulu membolehkan memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dengan makna majaz (makna kiasan) seperti ISTAWLA yang artinya menguasai karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.
Contohnya Imam al-Hafizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alaihi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alaihi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Oleh karenanya jumhur ulama telah sepakat bahwa istawa (bersemayam), fiis samaa-i (di langit), al-‘uluw (tinggi) , ‘ala (tinggi) , fawq (di atas) jangan dimaknai dengan makna dzahir dalam pengertian arah atau tempat namun dimaknai dalam pengertian ketinggian kekuasaan, derajat, keagungan dan kemuliaan-Nya.
Contohnya dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara akidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna kiasan atau metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab sehingga mereka melarang (mengharamkan) menakwilkan dengan makna majaz.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Padahal yang dilarang adalah sebagaimana firman Allah yang artinya, “mencari-cari takwilnya” (Q.S. Al Imran [3] : 7) maknanya adalah “mengada-ada takwil” yakni menakwilkan untuk mengingkari sifat-sifat Allah bukan LARANGAN MENAKWILKAN dengan MAKNA MAJAZ karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Takwil merupakan derivasi (turunan) dari kata أوّل yang secara etimologi artinya رجع (kembali) dan secara terminologi Takwil adalah :
صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضيه ذلك
memalingkan makna satu lafaz dari makna dzahirnya dengan disertai indikasi yang menghendaki demikian.
Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dzahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal.
Makna hakikat merupakan makna yang dzahir dari satu lafaz.
Sedangkan makna majaz merupakan makna muawwal
Satu lafaz baru boleh diberi makna majaz apabila ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin diterapkan makna dzahir atau makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna dzahir atau makna hakikat merupakan makna yang mustahil diterapkan dalam kalam tersebut.
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil” maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Hal yang perlu dipertanyakan adalah SIAPAKAH yang menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama panutan mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga dijuluki “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” alias penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
DITENGARAI atau DIDUGA kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab KARENA justru para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******
Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah selengkapnya dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar