Tugas Wakil Presiden membantu Presiden sedangkan tugas ulama menasehati Presiden
Dalam sebuah diskusi terkait pilpres 2019, salah seorang menyampaikan bahwa salah satu harapan dengan KH Ma’ruf Amin kelak terpilih menjadi Wakil Presiden adalah sistem perekonomian dapat diangkat secara Islami untuk menghadapi masalah perekonomian Indonesia sebagaimana terungkap dalam gambar di atas.
Tampaknya berat sekali kalau pak Kyai untuk merubah kiblat ekonomi petahana walaupun pak Kyai berlatar belakang ekonomi Islam.
Seberapa besarkah kewenangan Wakil Presiden dalam menentukan kebijakan ekonomi sedangkan tugas Wakil Presiden adalah “membantu” Presiden sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 2
“Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”
Contohnya Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari, jauh-jauh hari sebelum JK terpilih mendampingi Jokowi menyampaikan bahwa PDI Perjuangan menyiapkan beberapa perjanjian ‘pra nikah’ terutama soal pembagian kerja yang jelas.
Sanksi-sanksi juga diatur oleh mereka untuk “membatasi” kewenangan seorang Wakil Presiden sebagaimana contoh informasi pada http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/19/pdip-siapkan-sanksi-jika-jk-suka-over-kewenangan
Selain kemungkinan pembatasan kewenangan, seberapa besar kemungkinan “kebijakan” ekonomi seorang Wakil Presiden dapat diterima oleh Presiden sehingga ditaati dan diikuti oleh para menterinya ?
Contohnya ketika JK menjadi Wapres periode 2004-2009 , Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan TIDAK MENTAATI kebijakan JK yang TIDAK MENYETUJUI blanket guarantee sebagaimana informasi pada http://nasional.kompas.com/read/2014/05/08/1836478/Sri.Mulyani.Pernah.ke.Rumah.Jusuf.Kalla.Minta.Persetujuan.Blanket.Guarantee
***** awal kutipan *****
Kalla menilai pemberian dana talangan (bail out) Bank Century tanpa dasar hukum. Hal itu karena sebelumnya pemerintah tidak pernah menyetujui blanket guarantee untuk bank gagal.
“Dasar hukum bail out itu apabila pemerintah menyetujui atau mengeluarkan aturan bahwa semua bank gagal dijamin pemerintah atau blanket guarantee. Aturan itu tidak ada, yang ada penjaminan terbatas yang hanya Rp 2 miliar,” ujarnya.
***** akhir kutipan *****
JK dengan tegas berpendapat bahwa Century adalah perampokan dan dengan kewenangannya memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular (pemilik Bank Century).
JK, menyatakan baru mendapat laporan pada 25 November. Laporan tidak mungkin dilakukan pada 22 November karena saat itu hari Sabtu.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Gubernur (Bank Indonesia), Boediono, melaporkan situasi Bank Century.
“Saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis tapi itu perampokan, kriminal karena pengendali bank ini merampok dana bank century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri,” ujarnya.
Dia pun menyarankan Robert Tantular (pemilik Bank Century) ditangkap. Sehingga, persoalan itu bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kalla meminta Boediono melaporkan kasus itu ke polisi.
“Saya bilang, Pak, penyelesaiannya yang harus ini orang (Robert Tantular) ditangkap dulu karena kriminal dan perampokan. Tapi jawaban BI (Bank Indonesia), ini tidak ada dasar hukumnya,” tuturnya.
JK mengaku terpaksa langsung menginstruksikan kepala kepolisian Republik Indonesia untuk menangkap Robert Tantular dan sejumlah direksi yang bertanggung jawab dalam waktu dua jam. Dia khawatir Robert Tantular dan direksi-direksi Bank Century melarikan diri bila tak ditangkap dalam waktu dua jam.
“Harus (ditangkap dalam dua jam) dan syukur polri pas dua jam ambil itu. Karena jam tujuh malam dia laporkan itu, jam empat (sore) Saya perintah. Jam tujuh (malam) Pak Kapolri bilang, sudah Pak, tangkap lima orang,” katanya.
Marilah kita lihat program kerja masing-masing Calon Presiden, apakah mereka akan mempertahankan kebijakan ekonomi liberal atau kebijakan ekonomi Pancasila yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kebijakan ekonomi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tentu harus mempertimbangkan Al Qur’an dan Hadits.
Hal yang menarik dari adanya “kesamaan” pak Kyai dan JK sebelum “dipinang” oleh Jokowi untuk menjadi pendampingnya dalam pilpres yakni sama-sama melontarkan “pernyataan” keras.
Kalau JK sebelum “dipinang” oleh Jokowi sempat melontarkan pernyataan bahwa “bisa hancur dan kacau negara ini kalau dipimpin Jokowi” sebagaimana contoh informasi pada http://www.kompasiana.com/yakusa/54f7389ba3331152748b47a5/pengakuan-jk-negara-ini-bisa-kacau-kalau-dipimpin-jokowi
Di kemudian hari, JK beralasan bahwa dengan penggabungan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman Beliau dengan kemampuan Jokowi, Insya Allah Indonesia ini bisa jauh lebih baik sebagaimana contoh berita pada http://www.merdeka.com/politik/5-pembelaan-jk-setelah-sebut-negara-hancur-jika-jokowi-capres/saya-dan-jokowi-saling-melengkapi.html
Jadi pada kenyataannya kepemimpinan Jokowi pada saat ini secara tidak langsung “terbantu” oleh pengalaman dan kemampuan wakil presidennya yakni Jusuf Kalla yang sudah teruji pula pada saat kepimpinan presiden SBY dan bahkan dijuluki “the Real Presiden”
Sedangkan pak Kyai sebelum “dipinang” oleh Jokowi ketika menjabat sebagai wakil ketua umum MUI mengeluarkan “fatwa” tidak boleh memilih kembali pemimpin yang ingkar janji atau tidak melaksanakan janji kampanyenya sebagaimana contoh berita pada http://news.detik.com/berita/2940855/ini-fatwa-mui-soal-pemimpin-ingkar-janji-dan-yang-boleh-tak-ditaati
***** awal kutipan *****
9.Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.
***** akhir kutipan ******
Wakil Ketua Umum MUI saat itu KH Ma’ruf Amin mengatakan fatwa tersebut merupakan salah satu poin dari pembahasan tentang hukum kedudukan pemimpin yang tidak menepati janjinya. Secara umum, kata Ma’ruf, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tingkat nasional V di Tegal itu membahas tiga bagian besar fatwa yaitu soal kebangsaan, fikih kontemporer dan perundang-undangan sebagaimana contoh berita pada http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/06/10/npq5ry-pemimpin-ingkar-janji-fatwa-mui-jangan-ditaati
Contohnya sebagian masyarakat menganggap Jokowi ingkar janji adalah mobil esemka.
Calon Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menyebut mobil Esemka yang pernah dirintis Joko Widodo atau Jokowi akan diluncurkan pada Oktober mendatang. “Bulan Oktober nanti akan diluncurkan mobil nasional bernama Esemka, yang dulu pernah dirintis oleh Pak Jokowi. Akan diproduksi besar-besaran,” kata Ma’ruf Amin di Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Jember, Kamis, 27 September 2018 sebagaimana contoh berita pada http://otomotif.tempo.co/read/1131299/maruf-amin-sebut-mobil-esemka-akan-diluncurkan-oktober
Namun kemudian hari Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin mengatakan Proyek Mobil Esemka merupakan urusan swasta. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu menekankan tak ada unsur pemerintah dalam proyek tersebut sebagaimana contoh berita pada http://www.cnnindonesia.com/nasional/20181109043952-32-345151/maruf-amin-tegaskan-mobil-esemka-urusan-swasta
***** awal kutipan ******
“Ya itu bukan pemerintah, itu swasta, pengusaha yang ingin membangun dari mobil bengkel menjadi mobil pabrikan,” ujar Ma’ruf saat ditemui di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan, Kamis (8/11).
Ma’ruf berpendapat ide produksi Esemka memang perlu didorong. Namun ia enggan menjelaskan hal apa yang perlu difasilitasi untuk mendorong proyek tersebut.
“Itu kan swasta, enggak ada urusannya, mau jadi apa enggak kan urusan dia,” ucapnya
***** akhir kutipan *******
Presiden Jokowi mengaku dirinya hanya sebatas mendorong program mobil Esemka selagi menjabat sebagai Wali Kota Solo sebagaimana contoh berita pada http://finance.detik.com/industri/d-4271058/soal-produksi-mobil-esemka-jokowi-jangan-dipikir-saya-yang-bikin
***** awal kutipan *****
“Mobil Esemka itu kan dulu itu produk uji coba dari prototipe dari anak-anak SMK yang dibantu oleh beberapa teknisi dari perusahaan-perusahaan besar. Kemudian jadi yang namanya mobil Esemka,” kata Jokowi di ICE BSD, Banten, Rabu (24/10/2018).
“Ya kan bagus dan saya saat itu menjadi Wali Kota hanya mendorong. Jangan dipikir saya yang membuat mobil Esemka,” tambah dia.
Jokowi melanjutkan, keberlanjutan produksi mobil Esemka pun bukan tanggung jawab pemerintah, tugas dari pemerintah adalah hanya mendorong agar ada pihak swasta yang bantu menggarap.
“Tugas pemerintah hanya itu, setelah jadi ya diserahkan kepada industri mau diproduksi atau tidak produksi ya bukan urusan kita lagi,” papar dia.
“Masa presiden mau buat pabrik sendiri bikin mobil Esemka sendiri, yang bener aja kamu itu gimana sih itu,” sambung dia.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada akhirnya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres “terpaksa” harus mengikuti “kebijakan” presiden Jokowi.
Oleh karenanya kami prihatin pak Kyai mau menerima “pinangan” Jokowi karena kalau Beliau tetap sebagai ulama yakni fuqaha (ahli fiqih) maka Beliau bebas dan independen memberikan nasehat, arahan atau pendapat agar kebijakan penguasa sipapun yang terpilih tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Kami prihatin kalau ulama sebagai “pembantu” umara (penguasa negeri) karena takut disalahgunakan sebagai “stempel” pembenaran kebijakan umara (penguasa negeri).
Tidak terlarang ulama (para fuqaha) “mendatangi” atau “dikunjungi” oleh umara (penguasa negeri) bekerjasama bagi kepentingan masyarakat.
Rasulullah melarang ulama khususnya para fuqaha (ahli fiqih) “mendatangi pintu penguasa” adalah larangan dalam kalimat majaz (makna kiasan) yang artinya larangan bagi para ulama (para fuqaha atau ahli fiqih) untuk “membenarkan” tindakan atau kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas . Pembenaran ini ada kaitannya dengan materi atau kepentingan duniawi.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “barangsiapa mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah” ( HR Abu Dawud [2859]).
Diriwayatkan dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah pintu-pintu penguasa, karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan‘,
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits namun dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1.Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3.Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan Hadits
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha (ahli fiqih).
Pihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah JIHAD (mujahidin) atau JAHAT (teroris) sehingga dapat diketahui apakah MATI SYAHID atau MATI SANGIT adalah “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha (ahli fiqih) di negara setempat karena ulama di luar negara tidak terbebas dari fitnah.
Bagi umat Islam, jika berbeda pendapat maka kembalikanlah kepada Allah Ta’ala (Al Qur’an) dan RasulNya (Hadits) dengan mengikuti “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha (ahli fiqih)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.
Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.
Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.
Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.
Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.
Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.
Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Kesimpulannya rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha (ahli fiqih).
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para fuqaha (ahli fiqih) untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri (umaro) sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar