Tidak sembarang ulama berhak untuk menjelaskan pendapat Imam Syafi’i
Ada seseorang mempertanyakan pengakuan taqlid kepada Imam Syafi’i.
Contoh penjelasan mereka tentang sedekah bacaan Al Qur’an dari kitab Al Umm
****** awal kutipan *****
Imam Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa selain 3 pekara berikut maka pahalanya (hanya) untuk pelakunya, tidak untuk mayit yakni,
1. Haji yang ditunaikan untuk mayit (badal haji),
2. Harta yang disedekahkan atas namanya atau yang dibayarkan
3. Doa
Silahkan periksa pendapat Imam Syafi’i dalam “Al Umm” bab shodaqohnya orang yang hidup dari mayit (4/126, Daarul Ma’rifah-Beirut) :
أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا الشَّافِعِيُّ إمْلَاءً قَالَ: يَلْحَقُ الْمَيِّتَ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى عَنْهُ وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَنْهُ، أَوْ يُقْضَى وَدُعَاءٌ فَأَمَّا مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ صَلَاةٍ، أَوْ صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّت
Akhbaronaa ar-Robii’ bin Sulaimaan ia berkata, haddatsanaa asy-Syafi’i dengan imlaa bahwa beliau berkata : ‘diikutkan mayit (mendapatkan pahala-pent.) dari perbuatan orang lain dalam 3 perkara yaitu, haji yang ditunaikan untuk mayit (badal haji), harta yang disedekahkan atas namanya atau yang dibayarkan dan doa. Adapun selain itu berupa sholat dan puasa, maka pahalanya (hanya) untuk pelakunya, tidak untuk mayit.
Jadi kesimpulannya pendapat Imam Syafi’i bahwa sedekah bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada si mayit
****** akhir kutipan ******
Kitab Al Umm yakni kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh murid-murid Beliau sendiri.
Kitab Al Umm adalah catatan pribadi Imam Syafi’i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya
Jadi ulama yang berhak menjelaskan pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm adalah murid-murid Beliau secara turun temurun sehingga sampai kepada kita pada zaman sekarang.
Begitupula Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya memilih metodologi tafsir bil matsur yakni sekedar menyampaikan ayat Al Qur’an dan Hadits maupun pendapat ulama yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan.
Kita sebaiknya tidak berhukum berdasarkan kitab tafsir seperti kitab tafsir Ibnu Katsir dan kitab Al Umm secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran sendiri.
Kitab tafsir dan kitab hadits adalah sumber atau bahan baku untuk berijtihad dan beristinbath yang boleh dilakukan oleh para fuqaha (ahli fiqih)
Untuk membaca, memahami, menelaah dan mengambil hukum dari kitab-kitab para pewaris penunjuk yang menguraikan, menjelaskan dan menjabarkan kitab petunjuk (kitab Al Qur’an dan Hadits) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari Al Qur’an dan Hadits seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Sebuah kenyataan yang perlu diwaspadai adalah umat Islam yang terpengaruh dan mengikuti kelompok yang menamakan kelompok mereka sebagai Majelis Tafsir Al Qur’an namun mereka belum memenuhi syarat minimal penguasaan ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan lain lain. sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/majelis-tafsir-al-quran/
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan kesesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/07/paham-sebelum-bertobat/
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Negara kita sebaiknya mencontoh negara tetangga Malaysia dalam upaya mencegah kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/kekacauan-karena-otodidak/
Pada kenyataannya umat Islam berselisih karena berbeda pendapat bahkan sampai saling membunuh (bunuh membunuh) sehingga umat Islam hancur dari dalam adalah diakibatkan orang-orang yang merasa benar sehingga merasa pasti masuk surga padahal mereka mengikuti ulama di balik perpustakaan alias ulama dari kalangan otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/14/ahli-membaca-hadits/
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Habib Munzir juga mengingatkan bahwa ulama dlaif (lemah) adalah ulama yang sanad guru (sanad ilmu) terputus hanya sampai akal pikirannya sendiri, tidak tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau kepada Sahabat, atau kepada Tabiin, atau kepada para Imam Imam sehingga pendapatnya (fatwanya) mardud (tertolak), dan ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena sanadnya maqtu sebagaimana yang disampaikan pada http://www.majelisrasulullah.org/forums/reply/resyaikh-albani/
****** awal kutipan ******
Berkata para Muhadditsin, “Tiada ilmu tanpa sanad” maksudnya semua ilmu hadits, fiqih, tauhid, Al Qur;an, mestilah ada jalur gurunya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau kepada Sahabat, atau kepada Tabiin, atau kepada para Imam Imam, maka jika ada seorang mengaku pakar hadits dan berfatwa namun ia tak punya sanad guru, maka fatwanya mardud (tertolak), dan ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena sanadnya Maqtu’.
***** akhir kutipan ******
Walaupun mereka pada awalnya memiliki sanad guru (susunan guru) namun menjadi tidak berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu agama di balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/18/sanad-tak-berarti/
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Begitupula Imam Malik ~rahimullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu / sanad guru) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Orang-orang yang mendustakan perkataan ulama adalah
1. Orang-orang yang merusak peninggalan para ulama seperti mengutip atau mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.
2. Orang-orang yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan atau menjelaskan perkataan ulama karena tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari ulama bersangkutan.
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah Ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Begitupula hal yang perlu kita ingat bahwa kitab Al Umm adalah kitab hadits yang berisikan riwayat-riwayat Imam Syafi’i dalam masalah fiqih dan pendapatnya namun ulama yang berhak untuk menjelaskan perkataan atau pendapat Imam Syafi’i adalah para ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Syafi’i
Tokoh Syafi’iyyah yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Syafi’i generasi pertama adalah dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H) sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/pegangan-mazhab-syafii/
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (yang berhak menjelaskan pendapat Imam Syafi’i) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi karenanya Imam Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55).
Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Contohnya potongan pendapat Imam Syafi’i ~rahimahullah bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat sehingga pendapat tersebut menjadi pendapat masyhur
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi :
وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi : “ Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “ Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقرءوا يس على موتاكم
“Bacalah surat Yaasiin untuk orang yang mati di antara kamu.” (Riwayat Imam Abu Dawud; kitab Sunan Abu Dawud, Juz III, halaman 191)
Al-Faqih al-Hanbali al-Ushuli al-Mutqin al-‘allamah Qadhi qudhah, Ibnu an-Najjar berkomentar : “Hadits tersebut mencangkup orang yang sekarat maupun sudah wafat, baik sebelum dimakamkan atau pun sudah dimakamkan. Setelah dimakamkan, maka itu adalah makna hadits secara hakikat (dhahir) dan sebelum dimakamkan, maka itu makna hadits secara majaz “ (Mukhtashar at-Tahrir syarh al-Kaukab al-Munir : 3/193)
Asy-syaukani berkomentar : “ Lafazd hadits tsb berkenaan pada mayit, mengarahkannya pada orang yang sekarat menjelang wafat adalah majaz, maka tidak boleh diarahkan ke sana kecuali ada qarinah “. (Nail al-Awthar : 2/679)
Imam Nawawi berkata dalam Majmu’nya : “Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)
Imam Nawawi berkata “Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah walaupun sebutir kurma , apalagi melebihi sebutir kurma
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمَرَةٍ
“Shodaqohlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma“. (HR. Al Bukhori)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa si mayyit akan mendapatkan manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh keluarga yang diatas namakan kepadanya
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah:
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماعالعلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
Dari Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi dan bertanya: “Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?
Rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR Bukhari)
Contoh si mayyit mendapatkan manfaat dari amal yang dilakukan oleh bukan keluarga.
Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Ada pula mereka yang menganggap sedekah bacaan Al Qur’an adalah pekerjaan yang sia-sia. Pendapat mereka amalan seperti itu tidak akan sampai kepada ahli kubur karena salah memahami sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim 3084)
Apa yang dimaksud “terputus segala amalannya” ?
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya maknanya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan beramalnya sudah terputus atau apapun yang mereka perbuat, seperti penyesalan atau minta ampun ketika mereka memasuki alam barzakh tidak akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih diperhitungkan terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika masih hidup seperti,
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
Hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit.
Sedangkan firman Allah Ta’ala , wa-an laysa lil-insaani illaa maa sa’aa, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm [53]:39)
Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya atau mensedekahkannya kepada orang lain dan begitupula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.
Jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”.
Sesunggunya ayat (QS An Najm [53]:39) terkait kuat dengan ayat sebelumnya yakni tentang dosa bukan tentang pahala.
allaa taziru waaziratun wizra ukhraa, “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS An Najm [53]:38)
Begitulah cara kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) terhadap kaum muslim dengan menyebarluaskan potongan-potongan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim.
Jadi sesungguhnya dalam bentuk lengkapnya adalah
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)” (QS An Najm [53]:38 s/d 42)
Kaum Yahudi sudah berhasil mensesatkan kaum Nasrani bahwa seseorang dapat menanggung atau menebus dosa orang lain.
Padahal sudah dijelaskan
” Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Jehezkiel 18:20)
Dijelaskan bahwa kebaikan (pahala) dan kefasikan (dosa) adalah milik orang yang melakukannya
Kebaikan (pahala) dapat diberikan kepada orang lain namun dosa tidak dapat diberikan atau ditanggung oleh orang lain
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al Najm [53]:38)
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain” (QS Al Israa [17]:15)
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS Al Baqarah [2]:123)
Begitupula dalam syarah thahawiyah hal. 456 bahwa
**** awal kutipan ****
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ” (QS Yaa Siin [36]:54)
Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah : “Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar