Polemik pernyataan Ahok dan Nusron Wahid
Sebuah kenyataan menarik bahwa para pembela Ahok melarang umat Islam mempergunakan (QS Al Maidah [5] : 51) sebagai dasar untuk tidak memilih calon gubernur petahana dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI 2017.
Sedangkan cagub Ahok justru “tidak apa-apa” atau tidak mempermasalahkanya sebagaimana video yang diupload di Youtube pada http://www.youtube.com/watch?v=4Xh0bnvvp0E
Berikut kutipan transkript dari melihat video tersebut
***** awal transkript *****
“Bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya,iya karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu.
Jadi kalau bapak ibu perasaan, ga bisa milih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, nggak apa-apa
***** akhir transkript ******
Namun timbul polemik akibat pernyataan Ahok karena pernyataannya adalah “karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51” dan “karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya” sehingga muncullah Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia, Selasa 11 Oktober 2016 yang salah satu butirnya adalah
4. Menyatakan bahwa kandungan surat Al Maidah 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al Qur’an
Polemik pernyataan cagub Ahok agak mereda setelah dia menyampaikan permintaan maaf kepada umat Islam sebagaimana contoh kabar dari http://pilkada.liputan6.com/read/2622179/ahok-saya-minta-maaf-kepada-umat-islam
Namun dalam pernyataan minta maafnya cagub Ahok tidak mengklarifikasi atau tidak mencabut sama sekali pernyataan kelirunya yang menyebabkan timbulnya polemik.
Sebaiknya cagub Ahok mencabut pernyataannya dan mengkoreksinya dengan menghilangkan kata “dibohongin” dan dibodohi”.
Contohnya cagub Ahok dapat meralatnya dengan menyatakan bahwa ia “legowo” atau “tidak apa apa” jika umat Islam tidak memilihnya berdasarkan (QS Al Maidah [5] : 51) maupun karena takut masuk neraka.
Timbulnya kegaduhan di negeri ini karena pernyataan cagub Ahok dilanjutkan oleh polemik yang lain seperti pernyataan sang pembela Ahok yakni Nusron Wahid dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang disiarkan oleh TV One sebagaimana yang dapat disaksikan pada potongan video yang diupload di youtube, contohnya pada http://www.youtube.com/watch?v=VoYlo0lTARQ
Berikut kutipan transkprit dari melihat video tersebut
****** awal kutipan ******
Saya ingin menegaskan di sini yang namanya text apapun itu bebas tafsir, bebas makna.
Yang namanya Al Qur’an yang paling sah untuk menafsirkan yang paling tahu tentang Al Qur’an itu sendiri adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul, bukan Majelis Ulama Indonesia, bukan Ahmad Dhani, bukan Daniel Simanjuntak, dan bukan juga saya.
Yang paling tahu tentang text ya orang yang membuat text itu sendiri.
Dalam ilmu sastra, ada namanya proses kreatif, yang paling tahu tentang makna puisi Taufik Ismail ya Taufik Ismail bukan kita menterjemahkan seakan-akan,
****** akhir kutipan ******
Nusron Wahid mengaku pernah belajar sastra di perguruan tinggi namun pada kenyataannya teori yang dikemukakannya berdasarkan analisa teks bertolak belakang dengan teori sesungguhnya sebagaimana yang ditanggapi oleh master sastra, Miftahur Rahman El-Banjary yang meraih gelar master dari Fakultas Sastra dan Bahasa Arab Universitas Liga Arab Kairo Mesir tahun 2011 sebagaimana tulisannya yang dikutip pada http://www.liputan6terkini.com/2016/10/bantahan-telak-dr-miftah-el-banjari-terkait-statement-nusron-wahid-di-ilc.html
Berikut kutipan pendapatnya,
****** awal kutipan *******
Dia katakan bahwa sebuah teks hanya diketahui oleh pemilik teks dan hanya pembuatnya yang berhak menafsirkannya. Jika demikian teks al-Qur’an hanya benar-benar diketahui oleh Allah semata dan hanya Allah yang mutlak menafsirkan, lantas apa gunanya al-Qur’an diturunkan jika tidak bisa dipahami?!!
Hal ini paradoks dengan kaidah yang biasa dipegang oleh para pentakwil liberal.
Di dalam ilmu Nash [textologi] para pentakwil liberal biasanya mengandalkan kaidah نصك ليس ملكك “Teks Anda bukanlah milik Anda secara mutlak” artinya sebuah teks entah itu ayat suci atau teks puisi dan lain sebagainya bukanlah milik si penulisnya sepenuhnya yang memungkinkan setiap pembaca untuk menafsirkannya.
Teori diatas adalah senjata para kaum liberal untuk menafsirkan al-Qur’an sekehendak mereka. Seharusnya Nusron tetap berpegang pada kaidah ini sebagai orang yang memiliki haluan liberal dalam pemikiran.
****** akhir kutipan ******
Begitupula Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”
Allah Ta’ala lalu menurunkan firman-Nya :
Walaqad aatainaaka sab’an minal matsaanii wal quraanal ‘azhiim(a)
“Kami telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung.” (QS Al Hijr [15]:87)
Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).
Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tenang meninggalkan umat.
Al Qur’an kita telah mengetahuinya sedangkan Assab’ul-matsani pada umumnya ahli tafsir menafsirkannya sebagai “tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” berdasarkan hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Al Fatihah.
Assab’ul-matsani itu telah diisyaratkan dalam surat Al Fatihah, tepatnya pada firman-Nya yang artinya, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau karuniai nikmat“. (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Jadi Assab’ul-matsani adalah para penunjuk yang telah dikarunia nikmat oleh Allah Ta’ala yang akan menuntun umat Islam sampai akhir zaman.
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah, penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat dan para pengikutnya.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43 )
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Motode bertanya kepada kaum yang mengetahui (QS. an-Nahl [16] : 43 ) ada dua cara yakni
1, Bertalaqqi , berguru atau belajar secara berhadapan dengan guru yakni para pewaris penunjuk.
2. Mutholaah (menelaah kitab) karya para pewaris penunjuk
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu secara turun temurun yang tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Rasulullah.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan.
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Motode bertanya kepada para pewaris penunjuk (QS. an-Nahl [16] : 43 ), selain dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para pewaris penunjuk adalah dengan mutholaah (menelaah kitab) karya para pewaris penunjuk.
Kita sebaiknya tidak mengambil hukum secara langsung dari kitab-kitab hadits shahih seperti shahih Bukhari atau shahih muslim tanpa melalui kitab syarahnya karya para pewaris penunjuk.
Kitab syarah hadits adalah kitab yang memuat komentar, penjelasan dan penjabaran kitab hadits oleh para pewaris penunjuk.
Begitupula kita sebaiknya tidak mengambil hukum dari kitab karya pewaris penunjuk, seperti kitab Al Umm yakni kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh murid-murid Beliau sendiri.
Kitab Al Umm adalah catatan pribadi Imam Syafi’i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya
Jadi ulama yang berhak menjelaskan pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm adalah murid-murid Beliau secara turun temurun sehingga sampai kepada kita pada zaman sekarang.
Begitupula Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya memilih metodologi tafsir bil matsur yakni sekedar menyampaikan ayat Al Qur’an dan Hadits maupun pendapat ulama yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan.
Kita sebaiknya tidak berhukum berdasarkan kitab tafsir seperti kitab tafsir Ibnu Katsir dan kitab Al Umm secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran sendiri.
Kitab tafsir dan kitab hadits adalah sumber atau bahan baku untuk berijtihad dan beristinbath yang boleh dilakukan oleh para fuqaha (ahli fiqih)
Untuk membaca, memahami, menelaah dan mengambil hukum dari kitab-kitab para pewaris penunjuk yang menguraikan, menjelaskan dan menjabarkan kitab petunjuk (kitab Al Qur’an dan Hadits) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari Al Qur’an dan Hadits seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Kalau tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut kemudian berpendapat, berfatwa atau beristinbat, menggali hukum maka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Oleh karenanya Imam Ibnu Abdissalam berpendapat bahwa pengusaan ilmu-ilmu tersebut adalah contoh bid’ah hasanah yang hukumnya wajib (Bid‟ah Wajibah) bagi yang ingin membaca, memahami, menelaah dan mengambil hukum dari kitab-kitab para pewaris penunjuk karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Begitupula dalam memahami (QS Al Maidah [5]:51) kita periksa kitab tafsir Jalalain yang lebih menonjolkan pembahasan mengenai penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya, dan bacaannya. Dengan kata lain, menonjolkan penganalisaan dari sudut tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain.
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
yaa ayyuhaal ladziina aamanuu laa tattakhidzuul yahuuda wal nashaaraa awliyaa-a, (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai
ba’dhuhum awliyaau ba’dhin , (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran.
waman yatawallahum minkum fa-innahu minhum , (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka.
inna allaaha laa yahdiil qawmazhzhaalimiina, (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.
****** akhir kutipan *****
Hal yang dimaksud dengan orang kafir termasuk orang-orang yang tidak mentaati apa yang diturunkah oleh Allah Ta’ala atau hukum Allah yakni mereka yang menghendaki hukum jahiliyah.
Firman Allah Ta’ala , afahukma aljaahiliyyati yabghuuna, (Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki) dengan memakai ya dan ta; artinya dengan berpaling itu mereka hanyalah hendak bermanis mulut dan mengambil muka sedangkan pertanyaan di sini berarti sanggahan (Tafsir Jalalain QS Al Maidah [5]:50)
Para pendukung Ahok ada pula yang mengatakan bahwa yang dilarang “menjadikan awliya” bukanlah menjadikan pemimpin namun “menjadikan teman dekat” atau “menjadikan sekutu sahabat” dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai allies artinya sekutu.
Di atas , Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain menjelaskan bahwa yang dilarang menjadikan awliya adalah menjadikan pemimpin (yang) menjadi ikutanmu dan kamu cintai.
Begitupula kalau kita perhatikan ayat selanjutnya yang menjelaskan keadaan atau saat turunnya (asbabun nuzul) ayat (QS Al Maidah [5]: 51)
Firman Allah Ta’ala,
Fataraal ladziina fii quluubihim maradhun, (Maka kamu lihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit) yakni lemah akidahnya seperti Abdullah bin Ubai gembong munafik itu
yusaari’uuna fiihim, (bersegera kepada mereka) untuk mengambil mereka sebagai pemimpin
yaquuluuna, (seraya katanya) mengemukakan alasan dari sikap mereka itu.
nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun, ( “kami takut akan mendapat giliran bencana.”) misalnya giliran musim kemarau, kekalahan, sedangkan urusan Muhammad tidak berketentuan sehingga tidak dapat membela kami. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:
fa’asaa allaahu an ya/tiya bialfathi, (Semoga Allah mendatangkan kemenangan) kepada rasul-Nya dengan mengembangkan agama-Nya,
aw amrin min ‘indih, (atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya) misalnya dengan membuka kedok orang-orang munafik dan menyingkapkan rahasia mereka
fayushbihuu ‘alaa maa asarruu fii anfusihim (sehingga mereka atas apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka) berupa keragu-raguan dan mengambil orang-orang kafir itu sebagai pemimpin
naadimiina (menjadi menyesal) (tafsir Jalalain QS Al Maidah [5] : 52)
Jadi orang-orang munafik tersebut menjadikan orang-orang kafir sebagai “teman dekat” atau “teman sekutu” adalah menjadikan pemimpin yang diikuti dan dicintai karena mereka takut akan mendapatkan bencana atau kesukaran hidup di dunia sehingga mereka meragukan dan meninggalkan kepemimpinan Rasulullah.
Para pendukung Ahok , ada pula yang berpendapat bahwa seorang gubernur bukanlah pemimpin namun hanyalah petugas. Gubernur sebagaimana pejabat lainnya ialah orang yang dibayar oleh rakyat untuk bekerja mengurus transportasi publik, kemacetan, banjir dan hal-hal semacamnya.
Kemudian mereka contohkanlah pengangkatan gubernur non muslim oleh khalifah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nusron Wahid pada abad bani Abbasiyah.
Khalifah Abbasiyah ke 16, Sultan Khalifah Al Mu’tadid billah pernah mengangkat seorang gubernur namanya Umar bin Yusuf, seorang kristen taat, menjadi gubernur di al Anbar Irak
Ada pula yang mengutip pendapat Imam al Mawardi dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniyah bahwa dalam hal kekuasaan pemerintahan berada di tangan kepala negara, di mana kedudukan para menteri hanya sebagai pembantu kepala negara dan sebagai pegawai / pejabat tinggi negara / pemerintah, yang dalam kajian siyasah syar’iyah disebut “wizaratut tanfidz” dibenarkan adanya anggota kabinet atau menteri dari non muslim.
Jelas disampaikan oleh Imam al Mawardi bahwa pengangkatan non muslim sebagai gubernur atau pemimpin di suatu wilayah dalam kondisi kekuasaan pemerintahan berada di tangan kepala negara yang mengikuti hukum Allah.
Non muslim pada waktu itu mengikat perjanjian dan taat kepada pemimpin muslim atau khalifah, contohnya pada masa kekhalifahan Rasulullah sebagaimana yang tertuang dalam piagam Madinah https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/piagam-madinah.pdf
Contohnya pada pasal 23 berbunyi “apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad (shallallahu alaihi wasallam)”
Begitupula dalam keputusan Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya 25 September 2016 bahwa memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden menjadi haram sebab memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya.
Berikut kutipan pertimbangannya
*****awal kutipan *****
1) Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.
Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.
Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan.
Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.
2) Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim.
Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar.
Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.
3) Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.
4) Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.
5) Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.
6) Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar.
Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafi’i, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.
***** akhir kutipan *******
Khalifah Umar bin Khattab pernah menyuruh Abu Musa Al Asy’ari memecat sekretarisnya karena ia Nasrani lalu Umar membaca surat Al Maidah 51 sebagaimana yang tercantum dalam tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. tafsir Ibn Abi Hatim dan sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur sebagaimana yang disampaikan pada http://www.nu.or.id/post/read/71937/meluruskan-sejumlah-tafsir-surat-al-maidah-51
Kisah tersebut dicantumkan pula dalam Tafsir al-Qurtubi ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala yang artinya,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS Ali Imran [3] : 118)
Ucapan sayyidina Umar dalam Tafsir al-Qurtubi, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.
Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.
Berikut kutipan pernyataan berikutnya dari Nusron Wahid dalam video di atas
****** awal kutpan *******
Indonesia ini negara Pancasila, namanya negara Pancasila itu adalah hukum-hukum Islam, syariat Islam adalah harus kita hormati dalam konteks ranah privat tapi dalam konteks pengambilan keputusan ada konsensus bersama mitsaqon gholizon yang namanya Pancasila itu
Di dalam Pancasila sudah jelas muslim, non muslim boleh menjadi pemimpin, boleh menjadi apapun.
Kalau kita ingin berpolitik, sebagai negara Pancasila, ayo kita sepakat bersama-sama malam ini, hentikan penggunaan ayat-ayat itu politik.
****** akhir kutipan ******
Kalau Nusron Wahid konsisten dengan pernyataannya “syariat Islam harus dihormati (hanya) dalam ranah privat”, mengapa dia mempersoalkan umat Islam yang tidak memilih Ahok dengan alasan QS al Maidah ayat 51 , bukankah privasi sesorang menentukan pilihan dan apa yang mendasari penentuan pilihannya.
Dengan pernyataan Nusron Wahid bahwa “berpoiltik dilarang menggunakan ayar-ayat” maka secara tidak langsung dia melarang umat Islam menjalani kehidupan di dunia berlandaskan Al Qur’an dan Hadits.
Hal tersebut mengingatkan kami kepada pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebelumnya bahwa “kitab suci merupakan sesuatu yang sangat penting namun dalam kehidupan bernegara, konstitusi harus tetap dikedepankan. Menurutnya, Indonesia terdiri dari berbagai macam golongan. Jika kehidupan bernegara harus mengedepankan kitab suci dibanding konstitusi, maka sulit untuk menyatukan satu sama lain sebagaimana yang ditulis pada http://ahok.org/berita/news/antara-ayat-suci-dan-ayat-konstitusi/
Begitupula dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne Selasa, 14 Oktober 2014 bertema “FPI Menyerang Ahok Melawan” , Nusron Wahid yang membela Ahok menyatakan bahwa hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama sebagaimana yang diberitakan pada http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2014/10/15/31386/nusron-wahid-aswaja-terapan-dan-tongkat-nabi-musa.html
Mereka mengatakan bahwa dalam bernegara harus menjunjung tinggi hukum konstitusi yang telah disepakati menjadi hukum positif, namun sebagai pribadi wajib menjunjung tinggi hukum agama.
Mereka mengatakan bahwa hukum konstitusi itu lebih tinggi dari hukum agama sehingga hukum konstitusi harus dikedepankan daripada hukum agama dengan alasan berdasarkan asas hukum Lex specialis derogat legi generali, hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)
Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.
Jadi berdasarkan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) artinya hukum konstitusi (bersifat khusus) mengesampingkan hukum agama (bersifat umum)
Seluruh rakyat Indonesia tentu harus menjunjung tinggi hukum konstitusi namun kita sebagai hamba Allah tetap harus mengedepankan hukum agama daripada hukum konstitusi atau hukum agama di atas hukum konstitusi karena kita tidak boleh dalam melaksanakan konstitusi seperti bernegara namun melanggar hukum agama karena demokrasi di negeri kita adalah demokrasi Pancasila.
Dalam bernegara kita mengacu kepada Konstitusi. Sedangkan konstitusi mengacu kepada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan semua itu mengacu kepada sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa alias mengacu kepada hukum Allah (hukum agama)
****** awal kutipan ******
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
****** akhir kutipan ****
Sudah jelas sekali tercantum “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ” dan ” negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dahulu NKRI pernah memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara namun berdasarkan keyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang telah menetapkan bahwa UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit
****** awal kutipan ******
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA / PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara
******* akhir kutipan ******
Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945
Di dalam Piagam Jakarta termuat dengan jelas
****** awal kutipan ******
maka disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam suatu susunan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaoelatan Rakjat, dengan berdasar kepada:
Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek2-nja*
******* akhir kutipan *******
Kesimpulannya kalau ada ayat konstutisi yang melanggar hukum Allah (larangan Allah) maka wajib direvisi.
Jadi tidak boleh satupun ayat dalam konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melanggar hukum Allah
Nusron Wahid selain sebagai pendukung Ahok, tampak jelas bahwa ia adalah bagian dari pendukung paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme.
Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman) namun orang-orang disekeliling Gus Dur, ada yang salah memahaminya dan bahkan menyebut atau menggelari Beliau sebagai bapak Pluralisme.
Kita sebaiknyan dapat membedakan antara pluralitas (pluralis/keberagaman) agama dengan pluralisme.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman).
Gus Dur adalah tokoh Islam terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran terhadap penganut agama lain namun bukan tokoh Islam yang membenarkan agama selain Islam
Syaiful Arif dalam diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11/2013) menyampaikan pendapatnya bahwa penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” dinilai kurang tepat sebagaimana yang diberitakan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48190-lang,id-c,nasional-t,Penyematan++Gus+Dur+Bapak+Pluralisme++Dinilai+Kurang+Tepat-.phpx
“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya”. kata Arif.
Jadi yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaannya yakni mengakui, menghormati, toleran, merangkul, membela keberagaman manusia dengan keyakinannya (pluralis) bukan memperjuangkan membenarkan agama selain Islam atau memperjuangkan membenarkan pemahaman firqah Ahmadiyah dan firqah-firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).
Sedangkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme lahir dari kumpulan Freemason salah satu gerakan Zionisme yang paling disegani dikalangan Yahudi dengan prinsip “Liberty, Equality, Fraternity”.
Majelis Ulama Indonesia telah mengerluarkan fatwa No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang kesesatan paham pluralisme, liberalisme dan sekuarisme agama
Silahkan unduh (download) fatwa MUI pada http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf
Dalam fatwa MUI didefinisikan bahwa
Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Dalam fatwa MUI telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )
Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Nusron Wahid bahwa kegaduhan umat Islam disebabkan oleh dua hal yakni salah paham dan pahamnya salah maka orang-orang seperti Nusron Wahid termasuk pahamnya salah, paham liberal (liberalisme) yakni orang-orang yang menyatakan bahwa pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits menyesuaikan dengan perkembangan zaman mengikuti paham liberal alias pemahaman dengan semangat kebebasan tidak mengikuti metode pemahaman dan istinbath yang telah dibakukan dan dicontohkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana contoh informasi dari http://tamamblog-sayang.blogspot.com/2013/10/islam-liberal-dalam-kajian-islam.html
Selain kegaduhan di NKRI yang ditimbulkan oleh para pengikut paham liberal (liberalisme) adalah akibat orang-orang yang berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan Hadits” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikut Salafush Sholeh namun pada kenyataannya mereka mengikuti salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/10/06/akal-pikirannya-sendiri/
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf atau sahabat karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/23/dari-najed-bani-tamim/
Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang suka mencela, menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Oleh karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed dari bani Tamim salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Contoh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim atau kaum khawarij pada masa khalifah Sayydina Ali bin Abi Thalib adalah Abdurrahman ibn Muljam
Abdurrahman ibn Muljam seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash.
Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (ghazwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.
Mereka yang merasa lebih pandai sehingga menyalahkan dan melarang khalifah sayyidina Ali karamallahu wajhu berhukum dengan hukum buatan manusia seperti perjanjian (tahkim / arbitrase) dengan Sahabat Muawiyah dan menuduhnya telah kafir karena dianggap berhukum dengan thaghut, berhukum dengan selain hukum Allah. Pada akhirnya mereka menganggap halal darah Sayyidina Ali karamallahu wajhu dan berujung eksekusi pembunuhan
Hal itu disebabkan mereka salah memahami firman Allah seperti yang artinya
“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah [5]:44).
Firman Allah pada (QS Al Maidah [5]:44) adalah ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.
Salah satu ciri khas orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah atau kaum khawarij , orang-orang yang membaca Al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya (tidak mempegaruhi hatinya) karena salah paham sehingga berakhlak buruk adalah suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Padahal dengan memperhatikan asbabun nuzul (riwayat turunnya ayat) dari (QS Al Maidah [5]:44) maka kita akan mengetahui maksud atau tujuan dari ayat itu sebenarnya.
Oleh karenanya Sayyidina Ali karamallahu wajhu berkata “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah) ketika menanggapi semboyan kaum khawarij pada waktu itu yakni “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…”
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda janganlah memvonis kafir atau mengeluarkan dari Islam akibat perbuatan dosa apalagi hanya karena perbedaan pemahaman atau pendapat
Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.(HR. Dawud)
Jadi yang dimaksud tidak berhukum dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan adalah bagi orang yang menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasululullah shalallahu ‘alaihi wasallam yakni kaum non muslim.
Kaum muslim boleh berhukum dengan hukum buatan manusia selama isi perjanjian tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Kaum muslim yang tinggal di negeri kaum kuffar pun tidak dianggap berhukum dengan hukum thaghut selama mereka dapat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Ketika orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Sayyidina Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.”
Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat zhuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.” Ali radhiyallahu anhu menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.” Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya Ali radhiyallahu anhu merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh dari pada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka. Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an dari pada kalian.
Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. 43 : 58).
Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Perpecahan umat Islam menjadi 3 kelompok terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah yakni
1. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Imam sayydina Ali
2. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Sahabat Muawiyah
3. Kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) firqah yang keluar dari kedua kelompok di atas
Rasulullah bersabda “Akan keluar suatu firqah tatkala kaum muslimin terpecah, firqah (kelompok) yang keluar akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran”
“Firqah (kelompok) yang keluar ” adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij dan merekapun diperangi oleh Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya.
Oleh karenanya kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Imam sayydina Ali lebih utama di atas kebenaran daripada kelompok yang mengikuti pemahaman (pendapat) Sahabat Mu’awiyah berdasarkan sabda Rasulullah di atas , “firqah yang keluar” akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran”
Dasar tindak laku atau perbuatan umat Islam adalah berdasarkan pemahamannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah namun kesesatan bukan selalu berarti kafir atau bukan Islam.
Begitupula Sahabat Muawiyah gemar mencaci maki Sayyiidina Ali bin Abi Thalib dan Ahli Bait Nabi shallallahu alaihi wasallam lainnya, boleh jadi karena dia berbeda pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
Habib Rizieq Shihab mengingatkan bahwa “Terlepas dari kontroversial sikap Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompoknya maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak mengkafirkan mereka”, sebagaimana yang disampaikan Beliau dalam ceramah yang bertemakan “Hari Asyura dan Tragedi Karbala Dalam Perspektif Ahlusunnah wal Jama’ah” disiarkan Live oleh Radio Rasil AM 720 Khz yang dapat didengarkan pada http://podcast.radiosilaturahim.com/rasil/kajianumum/habib_riziek_asyura_karbala.mp3
Jadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan atau tidak menganggap “bukan Islam” terhadap Sahabat Muawiyah dan para pengikutnya termasuk puteranya Yazid bin Muawiyah dan para pengikutnya.
Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, “Yazid telah melakukan kesalahan fatal dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk menghalalkan Madinah selama tiga hari. Apalagi dengan terbunuhnya beberapa Sahabat dan putra-putra mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”
Kaum muslim pada umumnya berpegang pada sabda Rasulullah, Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari).
Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu”atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Begitupula pada kenyataannya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka mengembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (As Sunnah) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.
Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Kalau umaro (penguasa negeri) tidak mentaati para fuqaha atau kebijakan umaro (penguasa negeri) menurut pendapat para fuqaha, ada yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka wajib kita ingkari dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan sholat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])
Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.
Rasulullah bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar